Sabtu, 28 Agustus 2010

DIBUTUHKAN SASTRA MULTIKULTUR

Sumber Seputar Indonesia, 28 November 2010

DIBUTUHKAN SASTRA MULTIKULTUR

Oleh : S Yoga

Akhir-akhir ini kita begitu dibuai oleh apa yang disebut dengan nasionalisme dan bhineka tunggal ika sebagai slogan pembangunan. Namun demikian apa yang disebut dengan dua hal itu seringkali pada prakteknya hanyalah merupakan hal-hal yang bersifat permukaan, fisikal, semu belaka. Padahal apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan bhineka tunggal ika adalah sebuah mentalitas dalam pembangunan ini. Tentu saja mentalitas berkait erat dengan spiritualisme.

Bagaimana mungkin rasa nasionalisme dan bhineka tunggal ika terbagun bila mental-mental seperti fenomena Gayus dan antek-anteknya masih sering terjadi di negeri ini. Mafia hukum, korupsi masih begitu mengedepan. Pola pikir yang terkotak-kotak dalam kesukuan, partai politik, agama dan kepentingan ekonomi masih merajalela. Fenomena anarkisme atas nama kepentingan agama dan suku masih sering terjadi. Misal atas nama ormas, komunitas, suku atau agama tertentu menyerang orang-orang yang merayakan pluralisme, liberalisme, seksualitas dan rekonsilisasi antar isme, tanpa bisa ditangani oleh pihak yang berwajib. Demikian pula peristiwa pembantaian masyarakat Madura di Sambas tempo hari, juga rasa curiga masyarakat Aceh terhadap orang Jawa, yang merupakan imbas militerisme di NAD. Belum lagi rasa tidak aman agama-agama tertentu dalam menjalankan ibadah, hal ini menunjukan adanya keretakan-keretakan dalam makna nasionalisme dan kebhinekatunggalikaan.

Konflik Etnis

Karena itu dibutuhkan sastra multikultur, untuk menjembatani konflik-konflik etnis atau SARA, yang seringkali melanda negeri ini. Apalagi negara kita terdiri dari berbagai etnis dan agama, yang sangat mudah untuk disulut kemarahan dan anarkismenya, sebab merupakan sesuatu yang sangat sensitif, berkaiatan dengan harga diri dan kepercayaan atau keimanan. Karena itu sangat dibutuhkan adanya sastra multikultur yang mampu mengakui dan membincangkan masalah etnis, kelokalan yang dikadung oleh komunitas itu. Sehingga orang lain mampu memahami dan menyelami makna dari kearifan lokal yang dimunculkan oleh budaya tersebut. Terjadi sebuah dialog kebudayaan.

Ada beberapa contoh sastra multikultural, yang berkaitan konteks konflik pribumi dan orang Cina. Misal Pai Yin karya Lan Fang dan Miss Lu karya Naning Pranoto. Demikian juga karya-karya subkultur lain yang memungkinkan adanya dialog budaya, karya dari Wisran Hadi, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AD, Umar Kayam, YB Mangunwijaya misalnya.

Juga dalam dinamika sastranya akan dilakukan diskusi-diskusi, pembacaan yang berkaitan dengan muatan sastra multikultur tersebut, disini maka fungsi sastra akan melebar kedalam agen perubahan sosial, dan jaring-jaring budaya yang telah dibentangkan oleh sastra multikultur akan menemukan titik temu, dimana masing-masing puak akan saling bisa memahami akar tradisi, kebiasaan dan pola hidup masyarakat yang diangkat dalam sastra tersebut. Yang dimaksud dengan sastra multikultur ini, tidak hanya yang berkaitan dengan kultur namun juga spirit, mental dan cara padang masyarakatnya. Termasuk juga yang berkaitan dengan agama, masa lalu, sejarah dan politik yang dilakukan oleh masayakat tersebut.

Dalam posisi yang demikian, di samping sastra mampu mengembangkan dinamikan dan variannya, tentu saja tetap dengan memperhatikan mutu atau kualitas karyanya. Maka sastra multikultur akan menempatkan diri sebagai jembatan budaya bagi masyarakat yang ada. Dimana dalam sebuah wilayah baik itu kota atau provinsi, selama ini telah mengalami urbanisasi, dan percampuran masyarakat, yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, pola hidup dan ekonomi. Umunya yang menjadi pergesekan-pergesekan selain SARA adalah faktor ekonomi, dan penguasan-penguasan wilayah yang disebabkan oleh faktor politik atau kekuasaan.

Sastra Hibrida

Disinilah peranan sastra multikultur menjadi sangat penting. Syukur-syukur sastra multikultur yang dihasilkan mampu melahirkan sastra hibrida yang orisinil, dimana dalam karya sastra tersebut tidak digandoli oleh kultur tertentu namun menjadi kultur baru, dari persilangan budaya tersebut, hasil dari perkawinan dua atau lebih kultur yang mendukungnya.

Saat ini kita sadar, bahwa kita hidup dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, 60 tahun yang lalu. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra dunia maupun kelokalan, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern.

Kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan. Karena itu sastra multikultur yang ada nantinya akan memiliki multidimensi kultur dan identitas. Yang nantinya kita akan sadar bahwa kita semua disatukan oleh sebuah kultur yang bernama kemanusiaan.

***

Penyair dan Anggota Biro Sastra DK-Jatim

Tidak ada komentar: