Senin, 23 Agustus 2010

Baca Puisi di Teater Utan Kayu (TUK) 9-10 November 2007



8 PENYAIR MUDA BACA KARYA' Di TUK

Publikasi acara dengan tajuk `8 Penyair Muda Baca Karya' yang
berlangsung selama dua hari (9-10 November 2007) di Teater Utan Kayu (TUK) cukup gencar. Tak hanya di milis-milis sastra tapi juga di media cetak. Mengundang rasa penasaran, apalagi nama Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Ngawi), dan Pranita Dewi (Bali) sudah tak asing lagi, karena karya
mereka bertebaran di media cetak dan dunia cyber.

Barangkali istilah `Penyair Muda' bisa diperdebatkan, apakah dari segi usia atau pada jam terbang di dunia perpuisian yang baru sekian tahun lamanya. Toh jika dari segi umur, Fadjroel Rachman sendiri merasa dan mengakui bukan masuk di situ, seperti dikatakannya sebelum tampil di hari pertama `Seharusnya disebut 7 Penyair Muda dan 1 Penyair Setengah
Tua'.

Tapi Sitok Srengenge sebagai wakil tuan rumah punya alasan tentang itu. "Tampilan para penyair pada November 2007 ini merupakan upaya TUK untuk melihat wajah perpuisian dengan tidak sekedar penampilan ramai-ramai dalam satu dua puisi masing-masing penyair, tapi adanya gambaran sejauh mana perkembangan mereka dalam tampilan selama 30 menit. Karena itu, lebih cepat jika disebut sebagai pengajian puisi."

Dan acara dimulai usai pidato singkat Sitok. Jumat malam yang dingin diisi dengan gelegar suara Hasan Aspahani, lembutnya suara Lupita Lukman, gaya orasi Fadjroel Rachaman dan cuek-nya Dina Octaviani. Sedang esoknya, saat sorenya air menggenang hampir selutut di depan TUK, tampil secara berurutan Pranita Dewi, S.Yoga, Inggit Putria Marga dan Binhad Nurohmat.

Penonton juga menyimak, sejauh mana perkembangan dari tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair itu. Dan Pranita Dewi dengan cerdiknya menyajikan 7 puisinya, yang empat merupakan puisi baru dan tiga dari bukunya `Pelacur Para Dewa'. Kesengajaan ini memberikan gambaran telah berkembangnya, dalam kedalaman isi dan kata, penyair
Bali yang bernama lengkap Ni Wayan Eka Pranita Dewi ini.

Hasan Aspahani yang konon Desember depan akan meluncurkan bukunya di Jakarta, membawakan beberapa sajaknya yang pernah dimuat di Kompas dan sering dibawakan dalam aksinya seperti `Bibirku Bersujud Di Bibirmu' dan `Kamus Empat Kata Berawal I'. Penampilannya dengan suara ngerock
ini sebagai pembuka langsung menghangatkan suasana. Tak beda dengan Fadjroel yang sempat meledek Binhad soal peluang mereka sebagai 10 besar finalis Khatulistiwa Literary Award 2007.

Sedang Lupita dan Dina memberi nuansa baru yang tak menggebu. Lupita tampil begitu kalem, Dina dengan gaya cuek tapi mampu menghadirkan sajaknya dengan emosi penuh. Hal serupa juga dari Pranita dan Inggit yang mampu menghadirkan ciri mereka masing-masing, meski Inggit seperti `keliru' memilih puisi terakhirnya yang terasa kurang bertenaga dibanding beberapa puisi yang telah dibawakannya.

Lain lagi dengan Binhad yang tampil paling akhir, dan banyak yang sudah menunggu puisi-puisi birahi dan orgasmenya. Gayanya yang jenaka dan sesekali meledek, membuat suasana meriah. Tapi terasa kurang maksimal pada pemilihan puisi-puisinya, setidaknya seperti yang pernah dimuat di Kompas atau media lainnya. Bisa jadi karena sakit perut yang
mendadak mendatanginya beberapa menit sebelum acara dimulai.

S. Yoga sendiri, seperti penampilannya yang kalem tampil memukau dengan penguasaannya pada larik puisi-puisinya dengan nyaris tanpa melihat lembaran yang dibawanya. Warna budaya Jawa, terutama Jawa Timur dan Madura, terasa kental dalam setiap puisinya.

Sayangnya gambaran `sejauh mana perkembangan mereka' seperti kurang tampak dalam tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair. Bisa jadi, tidak semua yang hadir punya pengenalan yang lengkap dengan para penyair itu, sehingga terasa sulit mencerna sejauh mana perkembangannya. Selain para penyair, yang larut dalam pertunjukan dua hari ini juga ada penggemar puisi, cerpenis dan lainnya. Mungkin akan lengkap referensinya jika disiapkan satu atau dua lembar foto kopi tentang perjalanan karier plus foto biar hitam putih saja dari 8 penyair muda yang tampil.

Setidaknya bisa mengurangi ketidaktahuan penonton, seperti dibisikkan oleh Donni Anggoro `Siapa dia', ketika para penyair di Sabtu kemarin satu per satu maju ke panggung. (Yo)



JARAN GOYANG*

mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu

bunga mawar, kenanga dan kantil
agar engkau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa di singgasana kekal

apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu

bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi

telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku

yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku

bunga bunga yang mekar dalam hati
pernah kukhidmati di bening telaga mati
wajahmu menjadi murka tanpa cahaya berseri

ingin kugoyang rindang pohon malam para penyamun
yang memayungi semua kegelapan
agar runtuh dan menciptakan cahaya bulan

kau pulang dengan perasaan cemas dan gamang
karena rindu di rumah ada yang hilang
burung hantu telah menyingkir ke kali kuning

anjing malam tak menyalak tunduk ke semak
melihatku dalam ujud buruk merangkak rangkak
menebar benih rajah kesumat di hati yang berjarak

demi cintaku yang purba dan berkabut
apalah artinya kesesatan sesaat yang pucat
bila kebahagiaan yang akan kujumpa lebih nikmat

apalah artinya kegelapan yang menyekap aurat
bila titik terang yang kuduga mudah kudapat
agar jasadmu dapat kuharap dan kujerat

dengan lidi lanang dari surga
yang besarnya tak seberapa
buat kenangan dan kesenangan selamanya

yang abadi di dalam hati dan tak mungkin luput
telah kupilih buah pinang yang kuning langsat
mengingatkanku pada buah kuldi keramat

dengan mayang muda yang mekar dan merak ati
agar tempatmu bertahta menjadi marak keindahan abadi
karena telah kukirim bunga aneka warna nan suci

namun rajah menyerpih kembali bersama kabut
berduyun duyun mengetok pintu hati yang kusut
agar aku tunduk padamu wahai kabut yang kalut

padahal asap dapur telah kumatikan agar tak lewat
tinggal nyala damar di sentong yang mulai larut
doa doa dan ajimat pun kembali tanpa kalimat

dibawa kabar goyah dan kemaruk
dibawa hasrat bergejolak yang remuk
membuat hati luka dan duka berkecamuk

adakah kebahagiaan datang bila selalu dipaksa
ataukah kebahagiaan datang tanpa diminta
bersabarlah demi rasa kalbu nan murni berlaksa

duhai dzat yang agung yang bertahta di altar
datanglah tanpa diundang pergi tanpa diantar
karena kasihmu lebih tinggi dari kasihku yang samar

Sumenep-Ngawi, 2007
*Mantra untuk memikat kekasih.
Kompas, Minggu, 20 Mei 2007

KEONG

perjalanan hanyalah mencari jejak lambang
lambat sebelum ke arah cahaya terang
sungut pun hanya mampu meraba permukaan
tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening
bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir
namun selalu kembali ke dalam lumpur
biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam
agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak
agar matahari tak menolak ketika kupinang
rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah
burung burung hanya menunjukkan jalan
jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang
namun burung burung hanya dapat terbang di terang
sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh
lewat lorong lorong gelap berlumut
akhirnya hanya kelelawar yang menemani
ia pun hanya memberi baju malam yang kelam
ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya
yang akan terbakar esok hari
kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam
ke dasar lumpur yang terdalam
agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri
kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan
kuminum sebanyak mungkin air keruh
kumuntahkan dalam setiap doa
kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal
agar aku nampak telanjang di hadapanmu

Sumenep, 2006
Kompas, Minggu, 17 September 2006

ASMARAGAMA

kau adalah rumah
tak terjamah sebelum dosa
seolah gua purba tengah hutan
di antara semak dan ular menjalar
dan gunung kembar yang memancar
hawa panas yang samar

kau berbisik
pada malam berisik
pada hujan gemericik
aku bukan hiasan cawan permata
guna wibawa, kata dan kuasa

di bawah bulan purnama
di pagedongan yang dingin
kau tancapkan keris yang pertama
pada sebatang pisang di hatimu
yang sunyi tak tersentuh
merangsek
airnya mengalir
pada kalbu yang kering
agar benih dapat ditanam

pergilah api panas kesesatan
datanglah air hujan ketabahan
kuterima sebagai berkah di bumi
malam ini hanya ada kera dalam diri
keluarlah dari istana ruh yang suci
bukan tempatmu bertahta

keluarlah air hidup dari penderitaan
hiduplah dalam air perjalanan lambang
telah kusiapkan kolam dalam bagai jiwa yang tenang
ditumbuhi lumut dan gangang masa lalu
akarnya menjerat dan memeluk kesunyian
tempat terbaik untuk samadi
agar nurani tetap pada tujuan

janganlah menang sendiri
pada rasa di kalbu sebelum mati
kecuali raja diraja bertahta cahaya
di singasana kebenaran dan keabadian
kuusap kau merintih dan doa terlepas
kutindih kau meronta dan jiwa lepas tak terkendali
minta darah segar sepanjang hayat
agar rasa hidup tak tawar lagi

malam ini kau welas asih padaku
merayu dan berjanji akan merawat rasa sakit itu
serupa dan sewarna, lahir dan batin
agar benih yang kau pilih sebelum penyesalan
tidak salah asal dan tujuan
agar semua jasad ini sampai padamu

telah kusiapkan dalam bokor, akar kakas
mrica sunti, cabe wungkul, garam lanang
yang telah kutumbuk di dalam hati
demi sang kamajaya dan dewi ratih
yang semayam di lingga dan yoni

besar dan panjang dalam doa
keras dan hangat dalam ihktiar
hangat yang menyaran setiap waktu
empuk yang menyerah pada cahaya
kau pilihkan tempat istirah untukku
agar mencapai kebenaran yang agung
sebelum sampai batas yang membekas
batas yang tak pernah kau tahu
kapan kereta kencana menjemput

Sumenep, 2006
Kompas, Minggu, 25 Juni 2006



CEMARA UDANG
buat d zawawi imron

kau telah renta
dengan suara parau
lukisan lukisan di dinding
semua berbentuk abstrak
yang kulihat hanya sebaris
huruf alif

saban hari kau hanya mengikat diri sendiri
tak jauh dan tak dekat
tak tinggi dan tak pendek
duniamu kini hanya ada di sekitar
bonsai kata kata
kata kata yang kau ambil
dari alam dan semesta
kau bayangkan kata kata
adalah rumahmu sendiri
yang penuh dengan cemara udang
yang kau tanam dalam pot porselin
kau sirami, kau rawat dan kau potong
daun daun kata kata tumbuh ke segala arah
namun kau luruskan lagi ke arah kiblatmu
yang indah dan bersahaja
seindah suara gadis remaja
mengaji di surau senja hari
ayat ayatmu mengalun dari
lembah ke lembah
hati ke hati

di pagi hari cemara udang yang kau bonsai
tumbuh dengan dahan dahan yang lebat dan liar
seperti berkelebatannya kata kata dalam pikiranmu
yang tak tertuang dalam alifmu
kini saban pagi kau tunggui daun kata katamu
yang berguguran ke bumi

Gapura-Sumenep 2005
*Cemara yang berbentuk seperti udang terbalik, banyak tumbuh di Pantai Lobang, Sumenep.
Kompas, Minggu, 6 November 2005


Tidak ada komentar: