Bosan dengan peluncuran buku yang gitu-gitu aja? Proses Kreatif penulis, Diskusi, tanya jawab, padahal kita belum baca bukunya?
Yuk...nonton pembacaan karya para penulis-penulis kreatif yang baru saja meluncurkan buku barunya. Akan dibacakan karya dari buku Ucu Agustin, Dunia di Kepala Alice, S.Yoga dengan dua buku terbarunya: Patung Matahari (kumpulan sajak), dan Dalam Gelap Tanpa Cahaya Bulan dan Bintang (Novel). Masih ada Badri AQ.T yang akan mengusung kumpulan cerpen terbarunya, Buntelan.
Sementara Liza Mutiara dari Bandar Lampung akan tampil sebagai pembaca tamu. Liza adalah merupakan aktris berbakat dari Teater Satu Bandarlampung.
Tentu saja, pembacaan karya sastra tersebut akan dibawakan dengan gaya yang atraktif, dengan gaya masing-masing pembaca yang berbeda-beda.
So, tunggu apa lagi? Berbondong-bondonglah datang untuk menikmati eksplorasi alam madura dalam sajak dan Nevel S.Yoga, jangan pula lewatkan Ucu Agustin yang tak henti-hentinya menafsir ulang dongeng dan mitologi dari khazanah sastra dunia, sementara Badri akan menurunkan cerita-ceritanya dengan cara-caranya yang dingin dan tak pandang bulu.
Ajak kerabat, sahabat ke Ruang Kreatifitas terbuka, Taman Ismail Marzuki, Jumat 6 Oktober 2006, pk. 16.00 - 18.00 WIB
Acara ini akan ditutup dengan berbuka puasa bersama, dan setelah itu kita akan makan malam bersama sambil menunggu acara Tadarus Puisi 1427 H di Teater Kecil.
Informasi dan Konfirmasi:
Dewan Kesenian Jakarta, (O21) 3162780
(Puisi Sape Sono*. puisi yang dibacakan dalam acara Lampion Sastra)
SAPESONO’*
cermin di bumi
cermin di langit
datanglah padaku
irigan irigan sesajen
arak arakan payung purba, musik saronen
terompet, siter, tetabuhan
gamelan dan gong bertalu talu
membuka rahasia hidup
langkah sepasang sapi jantan dan betina
menari nari dengan pakaian kemanten
dihiasi pernik pernik, gelang, kalung, perak
tembaga dan alis mata tegak
mata berbinar menuju pelaminan
menuju duka dan nestapa
menuju kebahagiaan dan keabadian
satu langit dan satu bumi
didandani bersepakat satu rumah
kandang sapi, bau apek, tai terbakar
pesing air kencing dan lumpur basah
adalah lantai lantai kehidupan
yang harus dijalani
di depan ada cermin
maha luas
cermin siapakah itu
tak ada yang tahu
hanya ekor sapi yang kebat kebit
mengusir lalat hijau sebesar jempol
menghisap pantat coklat bahenol
sepasang kemanten terus menari nari
seiring musik rancak bersahut
dalam rimba kata kata
terdengar cempreng di pengeras suara
yang hampir pecah
kaki kiri dan kaki kanan bersijingkat seirama saronen
kepala berlengak lengok
gemerincing genta
terpasang di leher
seperti orang berzikir
dengan pakaian warna warni
hijau pupus, merah lembayung dan kuning langsat
bagai keberanian sedang dipertaruhkan
dengan doa sekerabat dekat
dan puja puji dari nyanyian ilahi
orang orang bertepuk tangan
sambil melambai lambaikan masa lalu
dengan kaki gemetar terkena busung lapar
melepas upacara yang sedang dihelat
apakah akan lulus memasuki kehidupan
dua cermin yang terpasang
di kanan kiri gapura
memantulkan bayang bayang hitam
diselingi cahaya cahaya yang kemilau
dua sapi saling berebut simpati
dalam tarian purba yang wingit
di depan cahaya
mereka berdua berlutut
memberi sembah
dengan dua kaki tertekuk
sujud kehidupan dan sujud maut
kepada ilahi
musik mengalun kembali
dalam seruling yang meninggi
seolah suara terompet dari
yang maha jauh
di balik kelambu
sepasang kemanten sedang bercengkrama
menghitung keuntungan
dengan baju baju baru
perhiasan baru
hadiah baru
sambil ekornya
mengibas ngibas
kiri kanan
mengusir
kesunyian
lalu
saling
berbelit
dalam
diri
*Sapi Sonok, sapi Madura yang dilombakan keindahan dan kepandaiannya menari diiringgi musik.
MANTERAKU terbang bersama malam bernafsu. Adakah yang tak akan goyah karena goda dan nafsu? Telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu.
Sepenggal puisi bernada guna-guna itu meluncur dari bibir S. Yoga di Gedung Utama Balai Pemuda tadi malam (13/6). Puisi bertajuk Jaran Goyang tersebut merupakan salah satu di antara beberapa puisi yang dilantunkan lima penyair pada panggung Festival Seni Surabaya (FSS) 2007.
Yoga, penyair asal Sumenep tersebut, tampil bersama empat penyair lain. Yaitu, Zen Hae (Jakarta), Iswadi Pratama (Bandar Lampung), Gunawan Mariyanto (Jogjakarta), dan Sindu Putra (Mataram). Masing-masing membawakan beberapa puisi.
Yoga menampilkan puisi berciri keunikan berbagai daerah yang pernah dia kunjungi. "Dia selalu membawa puisi sepulang dari tempat lain. Puisi yang dia buat memasukkan unsur etnologi. Jadinya seperti dunia lain," kata Project Officer (PO) Sastra Mardiluhung.
Zen Hae menampilkan puisi beraroma imajinasi. Misalnya, yang berjudul Paus Merah Jambu. Dalam karya itu, dia berkisah tentang sang paus hidup dan menyelami kehidupan. Sindu Putra, penyair asal Bali yang bermukim di Mataram, menampilkan puisi dengan tipografi (bait ditulis atau diketik menjadi bentuk-bentuk tertentu).
Malam itu, pertunjukan sastra ditutup Teater Mozaik asal Malang. Mereka membawakan Hubbu, novel pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006. Novel tersebut karya Mashuri, sastrawan asli Lamongan. Berkat kemenangan itu, Mashuri disebut-sebut menyamai fenomena Ayu Utami yang juga mengawali langkah dari sayembara novel DKJ.
"Hubbu menceritakan tentang pemberontakan anak muda terhadap kemajuan zaman. Ceritanya, seorang ahli waris pesantren digadang-gadang sebagai penerus tradisi. Namun, dia berontak dan memilih kuliah di perguruan tinggi kota besar. Akhirnya, dia gagap dengan kultur kehidupan kota," ungkap Mashuri.
Kemarin, panitia FSS 2007 juga mengeluarkan buku Lima Pusaran. Buku itu merupakan kumpulan puisi dari lima penyair yang tampil tadi malam. Editor buku tersebut adalah Nirwan Dewanto, kurator sastra FSS 2007.
Nanti malam (14/6), Guangzhou Art Ensemble hadir menyajikan suguhan terbaik yang ditampilkan seniman terbaik dari Negeri Tiongkok. Kemarin, kelompok yang terdiri atas 24 orang itu mampir ke Jawa Pos bersama panitia FSS 2007. Dalam kunjungan tersebut, mereka tersanjung atas sambutan yang diberikan untuk penampilannya di FSS 2007.
"Kami datang sudah disambut panitia hingga konjen Tiongkok. Kami mengucapkan terima kasih," ujar Cui Ri Sou, vice director of the People’s Government of Guangzhou Municipality. "Misi kami, selain menyebarluaskan budaya Tiongkok, juga ingin mempererat persahabatan Tiongkok-Indonesia," ungkapnya.
Soal penampilan malam nanti, Mr Cui menjanjikan pertunjukan luar biasa. Sebab, hampir semua pemain Guangzhou Art Ensemble adalah pemain terbaik di Negeri Tiongkok. Mulai penyanyi, penari, hingga pemain musik adalah yang terbaik.
Kelompok tersebut akan mengolaborasikan berbagai jenis kesenian. Misalnya, musik, tari, bahkan sedikit akrobatik. Pertunjukan itu memang sebagian besar berupa teater tari. Namun, nuansa yang dibawakan akan berbeda setiap penggalan. Mereka akan memainkan kesenian tersebut menjadi enam sesi. (ode)
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 14 Juni 2007
(Dibawah ini adalah 3 buah puisi yang dibacakan dalam acara FSS 2007)
JARAN GOYANG*
mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu
bunga mawar, kenanga dan kantil
agar engkau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa di singgasana kekal
apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu
bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi
telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku
yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku
bunga bunga yang mekar dalam hati
pernah kukhidmati di bening telaga mati
wajahmu menjadi murka tanpa cahaya berseri
ingin kugoyang rindang pohon malam para penyamun
yang memayungi semua kegelapan
agar runtuh dan menciptakan cahaya bulan
kau pulang dengan perasaan cemas dan gamang
karena rindu di rumah ada yang hilang
burung hantu telah menyingkir ke kali kuning
anjing malam tak menyalak tunduk ke semak
melihatku dalam ujud buruk merangkak rangkak
menebar benih rajah kesumat di hati yang berjarak
demi cintaku yang purba dan berkabut
apalah artinya kesesatan sesaat yang pucat
bila kebahagiaan yang akan kujumpa lebih nikmat
apalah artinya kegelapan yang menyekap aurat
bila titik terang yang kuduga mudah kudapat
agar jasadmu dapat kuharap dan kujerat
dengan lidi lanang dari surga
yang besarnya tak seberapa
buat kenangan dan kesenangan selamanya
yang abadi di dalam hati dan tak mungkin luput
telah kupilih buah pinang yang kuning langsat
mengingatkanku pada buah kuldi keramat
dengan mayang muda yang mekar dan merak ati
agar tempatmu bertahta menjadi marak keindahan abadi
karena telah kukirim bunga aneka warna nan suci
namun rajah menyerpih kembali bersama kabut
berduyun duyun mengetok pintu hati yang kusut
agar aku tunduk padamu wahai kabut yang kalut
padahal asap dapur telah kumatikan agar tak lewat
tinggal nyala damar di sentong yang mulai larut
doa doa dan ajimat pun kembali tanpa kalimat
dibawa kabar goyah dan kemaruk
dibawa hasrat bergejolak yang remuk
membuat hati luka dan duka berkecamuk
adakah kebahagiaan datang bila selalu dipaksa
ataukah kebahagiaan datang tanpa diminta
bersabarlah demi rasa kalbu nan murni berlaksa
duhai dzat yang agung yang bertahta di altar
datanglah tanpa diundang pergi tanpa diantar
karena kasihmu lebih tinggi dari kasihku yang samar
Sumenep-Ngawi, 2007
*Mantra untuk memikat kekasih.
Kompas, Minggu, 20 Mei 2007
KEONG
perjalanan hanyalah mencari jejak lambang
lambat sebelum ke arah cahaya terang
sungut pun hanya mampu meraba permukaan
tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening
bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir
namun selalu kembali ke dalam lumpur
biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam
agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak
agar matahari tak menolak ketika kupinang
rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah
burung burung hanya menunjukkan jalan
jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang
namun burung burung hanya dapat terbang di terang
sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh
lewat lorong lorong gelap berlumut
akhirnya hanya kelelawar yang menemani
ia pun hanya memberi baju malam yang kelam
ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya
yang akan terbakar esok hari
kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam
ke dasar lumpur yang terdalam
agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri
kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan
kuminum sebanyak mungkin air keruh
kumuntahkan dalam setiap doa
kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal
agar aku nampak telanjang di hadapanmu
Sumenep, 2006
Kompas, 17 September 2006
ASMARAGAMA
kau adalah rumah
tak terjamah sebelum dosa
seolah gua purba tengah hutan
di antara semak dan ular menjalar
dan gunung kembar yang memancar
hawa panas yang samar
kau berbisik
pada malam berisik
pada hujan gemericik
aku bukan hiasan cawan permata
guna wibawa, kata dan kuasa
di bawah bulan purnama
di pagedongan yang dingin
kau tancapkan keris yang pertama
pada sebatang pisang di hatimu
yang sunyi tak tersentuh
merangsek
airnya mengalir
pada kalbu yang kering
agar benih dapat ditanam
pergilah api panas kesesatan
datanglah air hujan ketabahan
kuterima sebagai berkah di bumi
malam ini hanya ada kera dalam diri
keluarlah dari istana ruh yang suci
bukan tempatmu bertahta
keluarlah air hidup dari penderitaan
hiduplah dalam air perjalanan lambang
telah kusiapkan kolam dalam bagai jiwa yang tenang
ditumbuhi lumut dan gangangmasa lalu
akarnya menjerat dan memeluk kesunyian
tempat terbaik untuk samadi
agar nurani tetap pada tujuan
janganlah menang sendiri
pada rasa di kalbu sebelum mati
kecuali raja diraja bertahta cahaya
di singasana kebenaran dan keabadian
kuusap kau merintih dan doa terlepas
kutindih kau meronta dan jiwa lepas tak terkendali
- Someone's stolen her heart (and I found it) , for viola & piano 3' - The Sleepers, for violin & piano 3' - Sweet Sorrow, for violin & piano - Funfair Fanfare, for trumpet & piano 3' - Nothing Gold can stay (Robert Frost), for soprano & piano 2' - Daun Jati (S. Yoga), for baritone (with falsetti) & piano 2' - The Pirates are Coming, for 1 pianist with only 2 fingers acc. by 1 pianist (both hands)
Ananda Sukarlan (lahir di Jakarta, 10 Juni 1968; umur 41 tahun) adalah pianis asal Indonesia yang menetap di Spanyol. Namanya lebih dikenal di kalangan musik klasik. Ia menjadi satu-satunya orang Indonesia dalam buku "The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century", yang berisikan riwayat hidup 2000 orang yang dianggap berdedikasi pada dunia musik.
Ananda kecil telah belajar bermain piano sejak kecil. Selulusnya dari SMA Kolese Kanisius Jakarta pada tahun 1986, ia belajar ke Amerika Serikat, dilanjutkan ke Den Haag, Belanda. Di tempat terakhir ini ia meraih master dengan predikat summa cum laude. kesempatan bersekolah di Eropa ini dipakainya untuk mengikuti berbagai kompetisi piano internasional.
Saat ini Andy, begitu ia disapa, sering diundang atau terlibat dalam konser simfoni orkestra di Eropa atau bermain tunggal. Ia menyebut dirinya bermain dengan genre "musik sastra", bukan musik klasik. Dalam setahun ia dapat mengadakan pertunjukan 60 - 80 kali (5-7 kali per bulan).
Putra pasangan Letkol. Sukarlan dan Poppy Kumudastuti ini menikah dengan Raquel Gómez asal Spanyol dan memiliki seorang putri.
Ia menyebut dirinya bermain dengan genre "musik sastra", bukan musik klasik. pianis muda itu memiliki sensibilitas tinggi terhadap puisi. "Puisi itu seperti sudah bernada dan berbunyi menjadi musik," katanya. Malam itu, di konser tunggalnya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yang bertajuk "Libertas", ia memusikalisasi puisi-puisi yang menyentuh hatinya.
KICK ANDY
Kamis, 29 Maret 2007
Setitik Cahaya di Lorong Gelap
Lain lagi cerita Labiq, yang datang ke Kick Andy dari Batu, Malang. Gadis cilik berusia 5,5 tahun ini memang masih duduk di bangku TK. Tetapi, yang luar biasa, dia baru saja menyelesaikan pameran lukisan tunggal. Hampir semua dari 40 lukisannya langsung laku terjual dengan harga mulai Rp 500 ribu sampai Rp 950 ribu.
”Dia melukis sejak umur dua tahun,” ujar Diah, sang ibu. Maka penonton dibuat tergelak manakala sambil berbisik, Labiq mengatakan kepada ibunya ingin melukis Om Andy. Hasilnya? Penonton dibuat semakin tergelak. Selain berkacamata, rambut orang yang dilukis juga kribo!
Belum selesai terkesima, penonton di studio kembali dibuat terhenyak saat secara spontan Labiq membacakan sebuah puisi. Berjudul LAUT karya S Yoga. Puisi dengan syair yang panjang itu dibawakan dengan penjiwaan yang sungguh tidak disangka dapat dilakukan seorang anak seumur itu. (Foto Labiq sebelah kanan memakai Jaket)
LAUT
di atas gelombang lautmu
aku mulai berjalan
sejak dilahirkan
aku bersahabat dengan asin garam
dan kasim kuda laut hingga birahi dunia hilang
para kelasi yang berbaju kotor karena gemuk
dan bertubuh tegar karena matahari
adalah kawan yang pemberani
rumput dan karang laut pun berjamaah bersamaku
bersama angin dan badai yang tunduk pada gelombang laut
aku pun rindu pada ikan ikan yang berenang begitu jauh
ke palung palung tak terjaga dan jurang jurang laut yang kemilau
Akhir-akhir ini kita begitu dibuai oleh apa yang disebut dengan nasionalisme dan bhineka tunggal ika sebagai slogan pembangunan. Namun demikian apa yang disebut dengan dua hal itu seringkali pada prakteknya hanyalah merupakan hal-hal yang bersifat permukaan, fisikal, semu belaka. Padahal apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan bhineka tunggal ika adalah sebuah mentalitas dalam pembangunan ini. Tentu saja mentalitas berkait erat dengan spiritualisme.
Bagaimana mungkin rasa nasionalisme dan bhineka tunggal ika terbagun bila mental-mental seperti fenomena Gayus dan antek-anteknya masih sering terjadi di negeri ini. Mafia hukum, korupsi masih begitu mengedepan. Pola pikir yang terkotak-kotak dalam kesukuan, partai politik, agama dan kepentingan ekonomi masih merajalela. Fenomena anarkisme atas nama kepentingan agama dan suku masih sering terjadi. Misal atas nama ormas, komunitas, suku atau agama tertentu menyerang orang-orang yang merayakan pluralisme, liberalisme, seksualitas dan rekonsilisasi antar isme, tanpa bisa ditangani oleh pihak yang berwajib. Demikian pula peristiwa pembantaian masyarakat Madura di Sambas tempo hari, juga rasa curiga masyarakat Aceh terhadap orang Jawa, yang merupakan imbas militerisme di NAD. Belum lagi rasa tidak aman agama-agama tertentu dalam menjalankan ibadah, hal ini menunjukan adanya keretakan-keretakan dalam makna nasionalisme dan kebhinekatunggalikaan.
Konflik Etnis
Karena itu dibutuhkan sastra multikultur, untuk menjembatani konflik-konflik etnis atau SARA, yang seringkali melanda negeri ini. Apalagi negara kita terdiri dari berbagai etnis dan agama, yang sangat mudah untuk disulut kemarahan dan anarkismenya, sebab merupakan sesuatu yang sangat sensitif, berkaiatan dengan harga diri dan kepercayaan atau keimanan. Karena itu sangat dibutuhkan adanya sastra multikultur yang mampu mengakui dan membincangkan masalah etnis, kelokalan yang dikadung oleh komunitas itu. Sehingga orang lain mampu memahami dan menyelami makna dari kearifan lokal yang dimunculkan oleh budaya tersebut. Terjadi sebuah dialog kebudayaan.
Ada beberapa contoh sastra multikultural, yang berkaitan konteks konflik pribumi dan orang Cina. Misal Pai Yin karya Lan Fang dan Miss Lu karya Naning Pranoto. Demikian juga karya-karya subkultur lain yang memungkinkan adanya dialog budaya, karya dari Wisran Hadi, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AD, Umar Kayam, YB Mangunwijaya misalnya.
Juga dalam dinamika sastranya akan dilakukan diskusi-diskusi, pembacaan yang berkaitan dengan muatan sastra multikultur tersebut, disini maka fungsi sastra akan melebar kedalam agen perubahan sosial, dan jaring-jaring budaya yang telah dibentangkan oleh sastra multikultur akan menemukan titik temu, dimana masing-masing puak akan saling bisa memahami akar tradisi, kebiasaan dan pola hidup masyarakat yang diangkat dalam sastra tersebut. Yang dimaksud dengan sastra multikultur ini, tidak hanya yang berkaitan dengan kultur namun juga spirit, mental dan cara padang masyarakatnya. Termasuk juga yang berkaitan dengan agama, masa lalu, sejarah dan politik yang dilakukan oleh masayakat tersebut.
Dalam posisi yang demikian, di samping sastra mampu mengembangkan dinamikan dan variannya, tentu saja tetap dengan memperhatikan mutu atau kualitas karyanya. Maka sastra multikultur akan menempatkan diri sebagai jembatan budaya bagi masyarakat yang ada. Dimana dalam sebuah wilayah baik itu kota atau provinsi, selama ini telah mengalami urbanisasi, dan percampuran masyarakat, yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, pola hidup dan ekonomi. Umunya yang menjadi pergesekan-pergesekan selain SARA adalah faktor ekonomi, dan penguasan-penguasan wilayah yang disebabkan oleh faktor politik atau kekuasaan.
Sastra Hibrida
Disinilah peranan sastra multikultur menjadi sangat penting. Syukur-syukur sastra multikultur yang dihasilkan mampu melahirkan sastra hibrida yang orisinil, dimana dalam karya sastra tersebut tidak digandoli oleh kultur tertentu namun menjadi kultur baru, dari persilangan budaya tersebut, hasil dari perkawinan dua atau lebih kultur yang mendukungnya.
Saat ini kita sadar, bahwa kita hidup dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, 60 tahun yang lalu.“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra dunia maupun kelokalan, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern.
Kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan. Karena itu sastra multikultur yang ada nantinya akan memiliki multidimensi kultur dan identitas. Yang nantinya kita akan sadar bahwa kita semua disatukan oleh sebuah kultur yang bernama kemanusiaan.
Publikasi acara dengan tajuk `8 Penyair Muda Baca Karya' yang berlangsung selama dua hari (9-10 November 2007) di Teater Utan Kayu (TUK) cukup gencar. Tak hanya di milis-milis sastra tapi juga di media cetak. Mengundang rasa penasaran, apalagi nama Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Ngawi), dan Pranita Dewi (Bali) sudah tak asing lagi, karena karya mereka bertebaran di media cetak dan dunia cyber.
Barangkali istilah `Penyair Muda' bisa diperdebatkan, apakah dari segi usia atau pada jam terbang di dunia perpuisian yang baru sekian tahun lamanya. Toh jika dari segi umur, Fadjroel Rachman sendiri merasa dan mengakui bukan masuk di situ, seperti dikatakannya sebelum tampil di hari pertama `Seharusnya disebut 7 Penyair Muda dan 1 Penyair Setengah Tua'.
Tapi Sitok Srengenge sebagai wakil tuan rumah punya alasan tentang itu. "Tampilan para penyair pada November 2007 ini merupakan upaya TUK untuk melihat wajah perpuisian dengan tidak sekedar penampilan ramai-ramai dalam satu dua puisi masing-masing penyair, tapi adanya gambaran sejauh mana perkembangan mereka dalam tampilan selama 30 menit. Karena itu, lebih cepat jika disebut sebagai pengajian puisi."
Dan acara dimulai usai pidato singkat Sitok. Jumat malam yang dingin diisi dengan gelegar suara Hasan Aspahani, lembutnya suara Lupita Lukman, gaya orasi Fadjroel Rachaman dan cuek-nya Dina Octaviani. Sedang esoknya, saat sorenya air menggenang hampir selutut di depan TUK, tampil secara berurutan Pranita Dewi, S.Yoga, Inggit Putria Marga dan Binhad Nurohmat.
Penonton juga menyimak, sejauh mana perkembangan dari tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair itu. Dan Pranita Dewi dengan cerdiknya menyajikan 7 puisinya, yang empat merupakan puisi baru dan tiga dari bukunya `Pelacur Para Dewa'. Kesengajaan ini memberikan gambaran telah berkembangnya, dalam kedalaman isi dan kata, penyair Bali yang bernama lengkap Ni Wayan Eka Pranita Dewi ini.
Hasan Aspahani yang konon Desember depan akan meluncurkan bukunya di Jakarta, membawakan beberapa sajaknya yang pernah dimuat di Kompas dan sering dibawakan dalam aksinya seperti `Bibirku Bersujud Di Bibirmu' dan `Kamus Empat Kata Berawal I'. Penampilannya dengan suara ngerock ini sebagai pembuka langsung menghangatkan suasana. Tak beda dengan Fadjroel yang sempat meledek Binhad soal peluang mereka sebagai 10 besar finalis Khatulistiwa Literary Award 2007.
Sedang Lupita dan Dina memberi nuansa baru yang tak menggebu. Lupita tampil begitu kalem, Dina dengan gaya cuek tapi mampu menghadirkan sajaknya dengan emosi penuh. Hal serupa juga dari Pranita dan Inggit yang mampu menghadirkan ciri mereka masing-masing, meski Inggit seperti `keliru' memilih puisi terakhirnya yang terasa kurang bertenaga dibanding beberapa puisi yang telah dibawakannya.
Lain lagi dengan Binhad yang tampil paling akhir, dan banyak yang sudah menunggu puisi-puisi birahi dan orgasmenya. Gayanya yang jenaka dan sesekali meledek, membuat suasana meriah. Tapi terasa kurang maksimal pada pemilihan puisi-puisinya, setidaknya seperti yang pernah dimuat di Kompas atau media lainnya. Bisa jadi karena sakit perut yang mendadak mendatanginya beberapa menit sebelum acara dimulai.
S. Yoga sendiri, seperti penampilannya yang kalem tampil memukau dengan penguasaannya pada larik puisi-puisinya dengan nyaris tanpa melihat lembaran yang dibawanya. Warna budaya Jawa, terutama Jawa Timur dan Madura, terasa kental dalam setiap puisinya.
Sayangnya gambaran `sejauh mana perkembangan mereka' seperti kurang tampak dalam tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair. Bisa jadi, tidak semua yang hadir punya pengenalan yang lengkap dengan para penyair itu, sehingga terasa sulit mencerna sejauh mana perkembangannya. Selain para penyair, yang larut dalam pertunjukan dua hari ini juga ada penggemar puisi, cerpenis dan lainnya. Mungkin akan lengkap referensinya jika disiapkan satu atau dua lembar foto kopi tentang perjalanan karier plus foto biar hitam putih saja dari 8 penyair muda yang tampil.
Setidaknya bisa mengurangi ketidaktahuan penonton, seperti dibisikkan oleh Donni Anggoro `Siapa dia', ketika para penyair di Sabtu kemarin satu per satu maju ke panggung. (Yo)
JARAN GOYANG*
mantraku terbang bersama malam bernafsu adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu
bunga mawar, kenanga dan kantil agar engkau selalu terpikat dan kintil wahai kekasih berelok rupa di singgasana kekal
apakah artinya cahaya wajahmu bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu
bila tak kutemukan sukmamu dalam diri hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai tak terwujud kesejatian hidup yang abadi
telah lama kugiring agar semua arwah merayumu yang tak sudi kupinang karena membenciku kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku
yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu agar harum tubuh menakjubkan rohmu hingga hati luluh melihat doa malamku
bunga bunga yang mekar dalam hati pernah kukhidmati di bening telaga mati wajahmu menjadi murka tanpa cahaya berseri
ingin kugoyang rindang pohon malam para penyamun yang memayungi semua kegelapan agar runtuh dan menciptakan cahaya bulan
kau pulang dengan perasaan cemas dan gamang karena rindu di rumah ada yang hilang burung hantu telah menyingkir ke kali kuning
anjing malam tak menyalak tunduk ke semak melihatku dalam ujud buruk merangkak rangkak menebar benih rajah kesumat di hati yang berjarak
demi cintaku yang purba dan berkabut apalah artinya kesesatan sesaat yang pucat bila kebahagiaan yang akan kujumpa lebih nikmat
apalah artinya kegelapan yang menyekap aurat bila titik terang yang kuduga mudah kudapat agar jasadmu dapat kuharap dan kujerat
dengan lidi lanang dari surga yang besarnya tak seberapa buat kenangan dan kesenangan selamanya
yang abadi di dalam hati dan tak mungkin luput telah kupilih buah pinang yang kuning langsat mengingatkanku pada buah kuldi keramat
dengan mayang muda yang mekar dan merak ati agar tempatmu bertahta menjadi marak keindahan abadi karena telah kukirim bunga aneka warna nan suci
namun rajah menyerpih kembali bersama kabut berduyun duyun mengetok pintu hati yang kusut agar aku tunduk padamu wahai kabut yang kalut
padahal asap dapur telah kumatikan agar tak lewat tinggal nyala damar di sentong yang mulai larut doa doa dan ajimat pun kembali tanpa kalimat
dibawa kabar goyah dan kemaruk dibawa hasrat bergejolak yang remuk membuat hati luka dan duka berkecamuk
adakah kebahagiaan datang bila selalu dipaksa ataukah kebahagiaan datang tanpa diminta bersabarlah demi rasa kalbu nan murni berlaksa
duhai dzat yang agung yang bertahta di altar datanglah tanpa diundang pergi tanpa diantar karena kasihmu lebih tinggi dari kasihku yang samar
Sumenep-Ngawi, 2007 *Mantra untuk memikat kekasih. Kompas, Minggu, 20 Mei 2007
KEONG
perjalanan hanyalah mencari jejak lambang lambat sebelum ke arah cahaya terang sungut pun hanya mampu meraba permukaan tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir namun selalu kembali ke dalam lumpur biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak agar matahari tak menolak ketika kupinang rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah burung burung hanya menunjukkan jalan jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang namun burung burung hanya dapat terbang di terang sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh lewat lorong lorong gelap berlumut akhirnya hanya kelelawar yang menemani ia pun hanya memberi baju malam yang kelam ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya yang akan terbakar esok hari kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam ke dasar lumpur yang terdalam agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan kuminum sebanyak mungkin air keruh kumuntahkan dalam setiap doa kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal agar aku nampak telanjang di hadapanmu
Sumenep, 2006 Kompas, Minggu, 17 September 2006
ASMARAGAMA
kau adalah rumah tak terjamah sebelum dosa seolah gua purba tengah hutan di antara semak dan ular menjalar dan gunung kembar yang memancar hawa panas yang samar
kau berbisik pada malam berisik pada hujan gemericik aku bukan hiasan cawan permata guna wibawa, kata dan kuasa
di bawah bulan purnama di pagedongan yang dingin kau tancapkan keris yang pertama pada sebatang pisang di hatimu yang sunyi tak tersentuh merangsek airnya mengalir pada kalbu yang kering agar benih dapat ditanam
pergilah api panas kesesatan datanglah air hujan ketabahan kuterima sebagai berkah di bumi malam ini hanya ada kera dalam diri keluarlah dari istana ruh yang suci bukan tempatmu bertahta
keluarlah air hidup dari penderitaan hiduplah dalam air perjalanan lambang telah kusiapkan kolam dalam bagai jiwa yang tenang ditumbuhi lumut dan gangang masa lalu akarnya menjerat dan memeluk kesunyian tempat terbaik untuk samadi agar nurani tetap pada tujuan
janganlah menang sendiri pada rasa di kalbu sebelum mati kecuali raja diraja bertahta cahaya di singasana kebenaran dan keabadian kuusap kau merintih dan doa terlepas kutindih kau meronta dan jiwa lepas tak terkendali minta darah segar sepanjang hayat agar rasa hidup tak tawar lagi
malam ini kau welas asih padaku merayu dan berjanji akan merawat rasa sakit itu serupa dan sewarna, lahir dan batin agar benih yang kau pilih sebelum penyesalan tidak salah asal dan tujuan agar semua jasad ini sampai padamu
telah kusiapkan dalam bokor, akar kakas mrica sunti, cabe wungkul, garam lanang yang telah kutumbuk di dalam hati demi sang kamajaya dan dewi ratih yang semayam di lingga dan yoni
besar dan panjang dalam doa keras dan hangat dalam ihktiar hangat yang menyaran setiap waktu empuk yang menyerah pada cahaya kau pilihkan tempat istirah untukku agar mencapai kebenaran yang agung sebelum sampai batas yang membekas batas yang tak pernah kau tahu kapan kereta kencana menjemput
Sumenep, 2006 Kompas, Minggu, 25 Juni 2006
CEMARA UDANG buat d zawawi imron
kau telah renta dengan suara parau lukisan lukisan di dinding semua berbentuk abstrak yang kulihat hanya sebaris huruf alif
saban hari kau hanya mengikat diri sendiri tak jauh dan tak dekat tak tinggi dan tak pendek duniamu kini hanya ada di sekitar bonsai kata kata kata kata yang kau ambil dari alam dan semesta kau bayangkan kata kata adalah rumahmu sendiri yang penuh dengan cemara udang yang kau tanam dalam pot porselin kau sirami, kau rawat dan kau potong daun daun kata kata tumbuh ke segala arah namun kau luruskan lagi ke arah kiblatmu yang indah dan bersahaja seindah suara gadis remaja mengaji di surau senja hari ayat ayatmu mengalun dari lembah ke lembah hati ke hati
di pagi hari cemara udang yang kau bonsai tumbuh dengan dahan dahan yang lebat dan liar seperti berkelebatannya kata kata dalam pikiranmu yang tak tertuang dalam alifmu kini saban pagi kau tunggui daun kata katamu yang berguguran ke bumi
Gapura-Sumenep 2005 *Cemara yang berbentuk seperti udang terbalik, banyak tumbuh di Pantai Lobang, Sumenep. Kompas, Minggu, 6 November 2005
Lahirkan di Purworejo Jawa Tengah, alumnus Sosiologi FISIP Unair Surabaya. Puisi-puisinya tersebar di media masa lokal dan nasional. Kini tinggal di Situbondo-Jawa Timur. Juga menjabat Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur (DK-Jatim)periode 2008-2013
Pada November 2006 diundang Dewan Kesenian Jakarta dalam acara Lampion Sastra. Pada Juni 2007 diundang dalam Festival Seni Surabaya. Pada Agustus 2007 diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta. Pada November 2007 diundang TUK-Jakarta dalam acara 8 Penyair Muda Baca Karya.