Minggu, 29 Agustus 2010

S Yoga Baca Puisi di Lampion Sastra 2 DKJ 2006















LAMPION SASTRA2 "BUKU BARU"

Bosan dengan peluncuran buku yang gitu-gitu aja? Proses Kreatif penulis, Diskusi, tanya jawab, padahal kita belum baca bukunya?
Yuk...nonton pembacaan karya para penulis-penulis kreatif yang baru saja meluncurkan buku barunya. Akan dibacakan karya dari buku Ucu Agustin, Dunia di Kepala Alice, S.Yoga dengan dua buku terbarunya: Patung Matahari (kumpulan sajak), dan Dalam Gelap Tanpa Cahaya Bulan dan Bintang (Novel). Masih ada Badri AQ.T yang akan mengusung kumpulan cerpen terbarunya, Buntelan.
Sementara Liza Mutiara dari Bandar Lampung akan tampil sebagai pembaca tamu. Liza adalah merupakan aktris berbakat dari Teater Satu Bandarlampung.
Tentu saja, pembacaan karya sastra tersebut akan dibawakan dengan gaya yang atraktif, dengan gaya masing-masing pembaca yang berbeda-beda.
So, tunggu apa lagi? Berbondong-bondonglah datang untuk menikmati eksplorasi alam madura dalam sajak dan Nevel S.Yoga, jangan pula lewatkan Ucu Agustin yang tak henti-hentinya menafsir ulang dongeng dan mitologi dari khazanah sastra dunia, sementara Badri akan menurunkan cerita-ceritanya dengan cara-caranya yang dingin dan tak pandang bulu.
Ajak kerabat, sahabat ke Ruang Kreatifitas terbuka, Taman Ismail Marzuki, Jumat 6 Oktober 2006, pk. 16.00 - 18.00 WIB
Acara ini akan ditutup dengan berbuka puasa bersama, dan setelah itu kita akan makan malam bersama sambil menunggu acara Tadarus Puisi 1427 H di Teater Kecil.
Informasi dan Konfirmasi:
Dewan Kesenian Jakarta, (O21) 3162780


(Puisi Sape Sono*. puisi yang dibacakan dalam acara Lampion Sastra)

SAPE SONO’*


cermin di bumi

cermin di langit

datanglah padaku


irigan irigan sesajen

arak arakan payung purba, musik saronen

terompet, siter, tetabuhan

gamelan dan gong bertalu talu

membuka rahasia hidup


langkah sepasang sapi jantan dan betina

menari nari dengan pakaian kemanten

dihiasi pernik pernik, gelang, kalung, perak

tembaga dan alis mata tegak

mata berbinar menuju pelaminan

menuju duka dan nestapa

menuju kebahagiaan dan keabadian


satu langit dan satu bumi

didandani bersepakat satu rumah

kandang sapi, bau apek, tai terbakar

pesing air kencing dan lumpur basah

adalah lantai lantai kehidupan

yang harus dijalani

di depan ada cermin

maha luas

cermin siapakah itu

tak ada yang tahu

hanya ekor sapi yang kebat kebit

mengusir lalat hijau sebesar jempol

menghisap pantat coklat bahenol


sepasang kemanten terus menari nari

seiring musik rancak bersahut

dalam rimba kata kata

terdengar cempreng di pengeras suara

yang hampir pecah

kaki kiri dan kaki kanan bersijingkat seirama saronen

kepala berlengak lengok

gemerincing genta

terpasang di leher

seperti orang berzikir

dengan pakaian warna warni

hijau pupus, merah lembayung dan kuning langsat

bagai keberanian sedang dipertaruhkan

dengan doa sekerabat dekat

dan puja puji dari nyanyian ilahi


orang orang bertepuk tangan

sambil melambai lambaikan masa lalu

dengan kaki gemetar terkena busung lapar

melepas upacara yang sedang dihelat

apakah akan lulus memasuki kehidupan


dua cermin yang terpasang

di kanan kiri gapura

memantulkan bayang bayang hitam

diselingi cahaya cahaya yang kemilau

dua sapi saling berebut simpati

dalam tarian purba yang wingit

di depan cahaya

mereka berdua berlutut

memberi sembah

dengan dua kaki tertekuk

sujud kehidupan dan sujud maut

kepada ilahi

musik mengalun kembali

dalam seruling yang meninggi

seolah suara terompet dari

yang maha jauh


di balik kelambu

sepasang kemanten sedang bercengkrama

menghitung keuntungan

dengan baju baju baru

perhiasan baru

hadiah baru

sambil ekornya

mengibas ngibas

kiri kanan

mengusir

kesunyian

lalu

saling

berbelit

dalam

diri


*Sapi Sonok, sapi Madura yang dilombakan keindahan dan kepandaiannya menari diiringgi musik.

Gapura-Sumenep 2005

(Kompas 6 November 2005)



S Yoga Baca Puisi di FSS (Festival Seni Surabaya) 2007








Pusaran Lima Penyair

MANTERAKU terbang bersama malam bernafsu. Adakah yang tak akan goyah karena goda dan nafsu? Telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu.

Sepenggal puisi bernada guna-guna itu meluncur dari bibir S. Yoga di Gedung Utama Balai Pemuda tadi malam (13/6). Puisi bertajuk Jaran Goyang tersebut merupakan salah satu di antara beberapa puisi yang dilantunkan lima penyair pada panggung Festival Seni Surabaya (FSS) 2007.

Yoga, penyair asal Sumenep tersebut, tampil bersama empat penyair lain. Yaitu, Zen Hae (Jakarta), Iswadi Pratama (Bandar Lampung), Gunawan Mariyanto (Jogjakarta), dan Sindu Putra (Mataram). Masing-masing membawakan beberapa puisi.

Yoga menampilkan puisi berciri keunikan berbagai daerah yang pernah dia kunjungi. "Dia selalu membawa puisi sepulang dari tempat lain. Puisi yang dia buat memasukkan unsur etnologi. Jadinya seperti dunia lain," kata Project Officer (PO) Sastra Mardiluhung.

Zen Hae menampilkan puisi beraroma imajinasi. Misalnya, yang berjudul Paus Merah Jambu. Dalam karya itu, dia berkisah tentang sang paus hidup dan menyelami kehidupan. Sindu Putra, penyair asal Bali yang bermukim di Mataram, menampilkan puisi dengan tipografi (bait ditulis atau diketik menjadi bentuk-bentuk tertentu).

Malam itu, pertunjukan sastra ditutup Teater Mozaik asal Malang. Mereka membawakan Hubbu, novel pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006. Novel tersebut karya Mashuri, sastrawan asli Lamongan. Berkat kemenangan itu, Mashuri disebut-sebut menyamai fenomena Ayu Utami yang juga mengawali langkah dari sayembara novel DKJ.

"Hubbu menceritakan tentang pemberontakan anak muda terhadap kemajuan zaman. Ceritanya, seorang ahli waris pesantren digadang-gadang sebagai penerus tradisi. Namun, dia berontak dan memilih kuliah di perguruan tinggi kota besar. Akhirnya, dia gagap dengan kultur kehidupan kota," ungkap Mashuri.

Kemarin, panitia FSS 2007 juga mengeluarkan buku Lima Pusaran. Buku itu merupakan kumpulan puisi dari lima penyair yang tampil tadi malam. Editor buku tersebut adalah Nirwan Dewanto, kurator sastra FSS 2007.

Nanti malam (14/6), Guangzhou Art Ensemble hadir menyajikan suguhan terbaik yang ditampilkan seniman terbaik dari Negeri Tiongkok. Kemarin, kelompok yang terdiri atas 24 orang itu mampir ke Jawa Pos bersama panitia FSS 2007. Dalam kunjungan tersebut, mereka tersanjung atas sambutan yang diberikan untuk penampilannya di FSS 2007.

"Kami datang sudah disambut panitia hingga konjen Tiongkok. Kami mengucapkan terima kasih," ujar Cui Ri Sou, vice director of the People’s Government of Guangzhou Municipality. "Misi kami, selain menyebarluaskan budaya Tiongkok, juga ingin mempererat persahabatan Tiongkok-Indonesia," ungkapnya.

Soal penampilan malam nanti, Mr Cui menjanjikan pertunjukan luar biasa. Sebab, hampir semua pemain Guangzhou Art Ensemble adalah pemain terbaik di Negeri Tiongkok. Mulai penyanyi, penari, hingga pemain musik adalah yang terbaik.

Kelompok tersebut akan mengolaborasikan berbagai jenis kesenian. Misalnya, musik, tari, bahkan sedikit akrobatik. Pertunjukan itu memang sebagian besar berupa teater tari. Namun, nuansa yang dibawakan akan berbeda setiap penggalan. Mereka akan memainkan kesenian tersebut menjadi enam sesi. (ode)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 14 Juni 2007

(Dibawah ini adalah 3 buah puisi yang dibacakan dalam acara FSS 2007)


JARAN GOYANG*


mantraku terbang bersama malam bernafsu

adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu

telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu


bunga mawar, kenanga dan kantil

agar engkau selalu terpikat dan kintil

wahai kekasih berelok rupa di singgasana kekal


apakah artinya cahaya wajahmu

bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu

hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu


bila tak kutemukan sukmamu dalam diri

hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai

tak terwujud kesejatian hidup yang abadi


telah lama kugiring agar semua arwah merayumu

yang tak sudi kupinang karena membenciku

kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku


yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu

agar harum tubuh menakjubkan rohmu

hingga hati luluh melihat doa malamku


bunga bunga yang mekar dalam hati

pernah kukhidmati di bening telaga mati

wajahmu menjadi murka tanpa cahaya berseri


ingin kugoyang rindang pohon malam para penyamun

yang memayungi semua kegelapan

agar runtuh dan menciptakan cahaya bulan


kau pulang dengan perasaan cemas dan gamang

karena rindu di rumah ada yang hilang

burung hantu telah menyingkir ke kali kuning


anjing malam tak menyalak tunduk ke semak

melihatku dalam ujud buruk merangkak rangkak

menebar benih rajah kesumat di hati yang berjarak


demi cintaku yang purba dan berkabut

apalah artinya kesesatan sesaat yang pucat

bila kebahagiaan yang akan kujumpa lebih nikmat


apalah artinya kegelapan yang menyekap aurat

bila titik terang yang kuduga mudah kudapat

agar jasadmu dapat kuharap dan kujerat


dengan lidi lanang dari surga

yang besarnya tak seberapa

buat kenangan dan kesenangan selamanya


yang abadi di dalam hati dan tak mungkin luput

telah kupilih buah pinang yang kuning langsat

mengingatkanku pada buah kuldi keramat


dengan mayang muda yang mekar dan merak ati

agar tempatmu bertahta menjadi marak keindahan abadi

karena telah kukirim bunga aneka warna nan suci


namun rajah menyerpih kembali bersama kabut

berduyun duyun mengetok pintu hati yang kusut

agar aku tunduk padamu wahai kabut yang kalut


padahal asap dapur telah kumatikan agar tak lewat

tinggal nyala damar di sentong yang mulai larut

doa doa dan ajimat pun kembali tanpa kalimat


dibawa kabar goyah dan kemaruk

dibawa hasrat bergejolak yang remuk

membuat hati luka dan duka berkecamuk


adakah kebahagiaan datang bila selalu dipaksa

ataukah kebahagiaan datang tanpa diminta

bersabarlah demi rasa kalbu nan murni berlaksa


duhai dzat yang agung yang bertahta di altar

datanglah tanpa diundang pergi tanpa diantar

karena kasihmu lebih tinggi dari kasihku yang samar


Sumenep-Ngawi, 2007

*Mantra untuk memikat kekasih.

Kompas, Minggu, 20 Mei 2007



KEONG


perjalanan hanyalah mencari jejak lambang

lambat sebelum ke arah cahaya terang

sungut pun hanya mampu meraba permukaan

tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening

bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir

namun selalu kembali ke dalam lumpur

biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam

agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak

agar matahari tak menolak ketika kupinang

rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah

burung burung hanya menunjukkan jalan

jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang

namun burung burung hanya dapat terbang di terang

sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh

lewat lorong lorong gelap berlumut

akhirnya hanya kelelawar yang menemani

ia pun hanya memberi baju malam yang kelam

ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya

yang akan terbakar esok hari

kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam

ke dasar lumpur yang terdalam

agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri

kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan

kuminum sebanyak mungkin air keruh

kumuntahkan dalam setiap doa

kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal

agar aku nampak telanjang di hadapanmu


Sumenep, 2006

Kompas, 17 September 2006


ASMARAGAMA


kau adalah rumah

tak terjamah sebelum dosa

seolah gua purba tengah hutan

di antara semak dan ular menjalar

dan gunung kembar yang memancar

hawa panas yang samar


kau berbisik

pada malam berisik

pada hujan gemericik

aku bukan hiasan cawan permata

guna wibawa, kata dan kuasa


di bawah bulan purnama

di pagedongan yang dingin

kau tancapkan keris yang pertama

pada sebatang pisang di hatimu

yang sunyi tak tersentuh

merangsek

airnya mengalir

pada kalbu yang kering

agar benih dapat ditanam


pergilah api panas kesesatan

datanglah air hujan ketabahan

kuterima sebagai berkah di bumi

malam ini hanya ada kera dalam diri

keluarlah dari istana ruh yang suci

bukan tempatmu bertahta


keluarlah air hidup dari penderitaan

hiduplah dalam air perjalanan lambang

telah kusiapkan kolam dalam bagai jiwa yang tenang

ditumbuhi lumut dan gangang masa lalu

akarnya menjerat dan memeluk kesunyian

tempat terbaik untuk samadi

agar nurani tetap pada tujuan


janganlah menang sendiri

pada rasa di kalbu sebelum mati

kecuali raja diraja bertahta cahaya

di singasana kebenaran dan keabadian

kuusap kau merintih dan doa terlepas

kutindih kau meronta dan jiwa lepas tak terkendali

minta darah segar sepanjang hayat

agar rasa hidup tak tawar lagi


malam ini kau welas asih padaku

merayu dan berjanji akan merawat rasa sakit itu

serupa dan sewarna, lahir dan batin

agar benih yang kau pilih sebelum penyesalan

tidak salah asal dan tujuan

agar semua jasad ini sampai padamu


telah kusiapkan dalam bokor, akar kakas

mrica sunti, cabe wungkul, garam lanang

yang telah kutumbuk di dalam hati

demi sang kamajaya dan dewi ratih

yang semayam di lingga dan yoni


besar dan panjang dalam doa

keras dan hangat dalam ihktiar

hangat yang menyaran setiap waktu

empuk yang menyerah pada cahaya

kau pilihkan tempat istirah untukku

agar mencapai kebenaran yang agung

sebelum sampai batas yang membekas

batas yang tak pernah kau tahu

kapan kereta kencana menjemput


Sumenep, 2006

(Kompas, 25 Juni 2006)




Puisi S Yoga, Daun Jati, Digubah Musik Oleh Ananda Sukarlan















- Someone's stolen her heart (and I found it) , for viola & piano 3' - The Sleepers, for violin & piano 3' - Sweet Sorrow, for violin & piano - Funfair Fanfare, for trumpet & piano 3' - Nothing Gold can stay (Robert Frost), for soprano & piano 2' - Daun Jati (S. Yoga), for baritone (with falsetti) & piano 2' - The Pirates are Coming, for 1 pianist with only 2 fingers acc. by 1 pianist (both hands)

Ananda Sukarlan (lahir di Jakarta, 10 Juni 1968; umur 41 tahun) adalah pianis asal Indonesia yang menetap di Spanyol. Namanya lebih dikenal di kalangan musik klasik. Ia menjadi satu-satunya orang Indonesia dalam buku "The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century", yang berisikan riwayat hidup 2000 orang yang dianggap berdedikasi pada dunia musik.

Ananda kecil telah belajar bermain piano sejak kecil. Selulusnya dari SMA Kolese Kanisius Jakarta pada tahun 1986, ia belajar ke Amerika Serikat, dilanjutkan ke Den Haag, Belanda. Di tempat terakhir ini ia meraih master dengan predikat summa cum laude. kesempatan bersekolah di Eropa ini dipakainya untuk mengikuti berbagai kompetisi piano internasional.

Saat ini Andy, begitu ia disapa, sering diundang atau terlibat dalam konser simfoni orkestra di Eropa atau bermain tunggal. Ia menyebut dirinya bermain dengan genre "musik sastra", bukan musik klasik. Dalam setahun ia dapat mengadakan pertunjukan 60 - 80 kali (5-7 kali per bulan).

Putra pasangan Letkol. Sukarlan dan Poppy Kumudastuti ini menikah dengan Raquel Gómez asal Spanyol dan memiliki seorang putri.

Ia menyebut dirinya bermain dengan genre "musik sastra", bukan musik klasik. pianis muda itu memiliki sensibilitas tinggi terhadap puisi. "Puisi itu seperti sudah bernada dan berbunyi menjadi musik," katanya. Malam itu, di konser tunggalnya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yang bertajuk "Libertas", ia memusikalisasi puisi-puisi yang menyentuh hatinya.


DAUN JATI


sebuah senja telah dilafalkan hujan

dengan matahari yang muram

sebelum musnah ditelan malam


daun-daun jati berguguran

berserakan di antara akar mati

di hutan sepi


Ngawi, 2008

Kompas, Minggu 18 Januari 2009


Sabtu, 28 Agustus 2010

Di Kick Andy, Labiq baca puisi Laut karya S Yoga
























KICK ANDY
Kamis, 29 Maret 2007
Setitik Cahaya di Lorong Gelap

Lain lagi cerita Labiq, yang datang ke Kick Andy dari Batu, Malang. Gadis cilik berusia 5,5 tahun ini memang masih duduk di bangku TK. Tetapi, yang luar biasa, dia baru saja menyelesaikan pameran lukisan tunggal. Hampir semua dari 40 lukisannya langsung laku terjual dengan harga mulai Rp 500 ribu sampai Rp 950 ribu.

”Dia melukis sejak umur dua tahun,” ujar Diah, sang ibu. Maka penonton dibuat tergelak manakala sambil berbisik, Labiq mengatakan kepada ibunya ingin melukis Om Andy. Hasilnya? Penonton dibuat semakin tergelak. Selain berkacamata, rambut orang yang dilukis juga kribo!

Belum selesai terkesima, penonton di studio kembali dibuat terhenyak saat secara spontan Labiq membacakan sebuah puisi. Berjudul LAUT karya S Yoga. Puisi dengan syair yang panjang itu dibawakan dengan penjiwaan yang sungguh tidak disangka dapat dilakukan seorang anak seumur itu. (Foto Labiq sebelah kanan memakai Jaket)

LAUT


di atas gelombang lautmu

aku mulai berjalan

sejak dilahirkan

aku bersahabat dengan asin garam

dan kasim kuda laut hingga birahi dunia hilang

para kelasi yang berbaju kotor karena gemuk

dan bertubuh tegar karena matahari

adalah kawan yang pemberani

rumput dan karang laut pun berjamaah bersamaku

bersama angin dan badai yang tunduk pada gelombang laut

aku pun rindu pada ikan ikan yang berenang begitu jauh

ke palung palung tak terjaga dan jurang jurang laut yang kemilau

dari atas permukaan laut

gelap ke arah dalam

aku ingin mereka pulang dan bermain kecipak air

dengan cahaya cahaya langit yang selalu menyinari

menjaga perjalanan kami

ke dalam dasar laut terdalam

hingga kami sampai ke altar laut

tempat kami bersujud


2002

(Jurnal Puisi No 9 September 2002)



DIBUTUHKAN SASTRA MULTIKULTUR

Sumber Seputar Indonesia, 28 November 2010

DIBUTUHKAN SASTRA MULTIKULTUR

Oleh : S Yoga

Akhir-akhir ini kita begitu dibuai oleh apa yang disebut dengan nasionalisme dan bhineka tunggal ika sebagai slogan pembangunan. Namun demikian apa yang disebut dengan dua hal itu seringkali pada prakteknya hanyalah merupakan hal-hal yang bersifat permukaan, fisikal, semu belaka. Padahal apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan bhineka tunggal ika adalah sebuah mentalitas dalam pembangunan ini. Tentu saja mentalitas berkait erat dengan spiritualisme.

Bagaimana mungkin rasa nasionalisme dan bhineka tunggal ika terbagun bila mental-mental seperti fenomena Gayus dan antek-anteknya masih sering terjadi di negeri ini. Mafia hukum, korupsi masih begitu mengedepan. Pola pikir yang terkotak-kotak dalam kesukuan, partai politik, agama dan kepentingan ekonomi masih merajalela. Fenomena anarkisme atas nama kepentingan agama dan suku masih sering terjadi. Misal atas nama ormas, komunitas, suku atau agama tertentu menyerang orang-orang yang merayakan pluralisme, liberalisme, seksualitas dan rekonsilisasi antar isme, tanpa bisa ditangani oleh pihak yang berwajib. Demikian pula peristiwa pembantaian masyarakat Madura di Sambas tempo hari, juga rasa curiga masyarakat Aceh terhadap orang Jawa, yang merupakan imbas militerisme di NAD. Belum lagi rasa tidak aman agama-agama tertentu dalam menjalankan ibadah, hal ini menunjukan adanya keretakan-keretakan dalam makna nasionalisme dan kebhinekatunggalikaan.

Konflik Etnis

Karena itu dibutuhkan sastra multikultur, untuk menjembatani konflik-konflik etnis atau SARA, yang seringkali melanda negeri ini. Apalagi negara kita terdiri dari berbagai etnis dan agama, yang sangat mudah untuk disulut kemarahan dan anarkismenya, sebab merupakan sesuatu yang sangat sensitif, berkaiatan dengan harga diri dan kepercayaan atau keimanan. Karena itu sangat dibutuhkan adanya sastra multikultur yang mampu mengakui dan membincangkan masalah etnis, kelokalan yang dikadung oleh komunitas itu. Sehingga orang lain mampu memahami dan menyelami makna dari kearifan lokal yang dimunculkan oleh budaya tersebut. Terjadi sebuah dialog kebudayaan.

Ada beberapa contoh sastra multikultural, yang berkaitan konteks konflik pribumi dan orang Cina. Misal Pai Yin karya Lan Fang dan Miss Lu karya Naning Pranoto. Demikian juga karya-karya subkultur lain yang memungkinkan adanya dialog budaya, karya dari Wisran Hadi, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AD, Umar Kayam, YB Mangunwijaya misalnya.

Juga dalam dinamika sastranya akan dilakukan diskusi-diskusi, pembacaan yang berkaitan dengan muatan sastra multikultur tersebut, disini maka fungsi sastra akan melebar kedalam agen perubahan sosial, dan jaring-jaring budaya yang telah dibentangkan oleh sastra multikultur akan menemukan titik temu, dimana masing-masing puak akan saling bisa memahami akar tradisi, kebiasaan dan pola hidup masyarakat yang diangkat dalam sastra tersebut. Yang dimaksud dengan sastra multikultur ini, tidak hanya yang berkaitan dengan kultur namun juga spirit, mental dan cara padang masyarakatnya. Termasuk juga yang berkaitan dengan agama, masa lalu, sejarah dan politik yang dilakukan oleh masayakat tersebut.

Dalam posisi yang demikian, di samping sastra mampu mengembangkan dinamikan dan variannya, tentu saja tetap dengan memperhatikan mutu atau kualitas karyanya. Maka sastra multikultur akan menempatkan diri sebagai jembatan budaya bagi masyarakat yang ada. Dimana dalam sebuah wilayah baik itu kota atau provinsi, selama ini telah mengalami urbanisasi, dan percampuran masyarakat, yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, pola hidup dan ekonomi. Umunya yang menjadi pergesekan-pergesekan selain SARA adalah faktor ekonomi, dan penguasan-penguasan wilayah yang disebabkan oleh faktor politik atau kekuasaan.

Sastra Hibrida

Disinilah peranan sastra multikultur menjadi sangat penting. Syukur-syukur sastra multikultur yang dihasilkan mampu melahirkan sastra hibrida yang orisinil, dimana dalam karya sastra tersebut tidak digandoli oleh kultur tertentu namun menjadi kultur baru, dari persilangan budaya tersebut, hasil dari perkawinan dua atau lebih kultur yang mendukungnya.

Saat ini kita sadar, bahwa kita hidup dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, 60 tahun yang lalu. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra dunia maupun kelokalan, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern.

Kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan. Karena itu sastra multikultur yang ada nantinya akan memiliki multidimensi kultur dan identitas. Yang nantinya kita akan sadar bahwa kita semua disatukan oleh sebuah kultur yang bernama kemanusiaan.

***

Penyair dan Anggota Biro Sastra DK-Jatim

Senin, 23 Agustus 2010

Baca Puisi di Teater Utan Kayu (TUK) 9-10 November 2007



8 PENYAIR MUDA BACA KARYA' Di TUK

Publikasi acara dengan tajuk `8 Penyair Muda Baca Karya' yang
berlangsung selama dua hari (9-10 November 2007) di Teater Utan Kayu (TUK) cukup gencar. Tak hanya di milis-milis sastra tapi juga di media cetak. Mengundang rasa penasaran, apalagi nama Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Ngawi), dan Pranita Dewi (Bali) sudah tak asing lagi, karena karya
mereka bertebaran di media cetak dan dunia cyber.

Barangkali istilah `Penyair Muda' bisa diperdebatkan, apakah dari segi usia atau pada jam terbang di dunia perpuisian yang baru sekian tahun lamanya. Toh jika dari segi umur, Fadjroel Rachman sendiri merasa dan mengakui bukan masuk di situ, seperti dikatakannya sebelum tampil di hari pertama `Seharusnya disebut 7 Penyair Muda dan 1 Penyair Setengah
Tua'.

Tapi Sitok Srengenge sebagai wakil tuan rumah punya alasan tentang itu. "Tampilan para penyair pada November 2007 ini merupakan upaya TUK untuk melihat wajah perpuisian dengan tidak sekedar penampilan ramai-ramai dalam satu dua puisi masing-masing penyair, tapi adanya gambaran sejauh mana perkembangan mereka dalam tampilan selama 30 menit. Karena itu, lebih cepat jika disebut sebagai pengajian puisi."

Dan acara dimulai usai pidato singkat Sitok. Jumat malam yang dingin diisi dengan gelegar suara Hasan Aspahani, lembutnya suara Lupita Lukman, gaya orasi Fadjroel Rachaman dan cuek-nya Dina Octaviani. Sedang esoknya, saat sorenya air menggenang hampir selutut di depan TUK, tampil secara berurutan Pranita Dewi, S.Yoga, Inggit Putria Marga dan Binhad Nurohmat.

Penonton juga menyimak, sejauh mana perkembangan dari tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair itu. Dan Pranita Dewi dengan cerdiknya menyajikan 7 puisinya, yang empat merupakan puisi baru dan tiga dari bukunya `Pelacur Para Dewa'. Kesengajaan ini memberikan gambaran telah berkembangnya, dalam kedalaman isi dan kata, penyair
Bali yang bernama lengkap Ni Wayan Eka Pranita Dewi ini.

Hasan Aspahani yang konon Desember depan akan meluncurkan bukunya di Jakarta, membawakan beberapa sajaknya yang pernah dimuat di Kompas dan sering dibawakan dalam aksinya seperti `Bibirku Bersujud Di Bibirmu' dan `Kamus Empat Kata Berawal I'. Penampilannya dengan suara ngerock
ini sebagai pembuka langsung menghangatkan suasana. Tak beda dengan Fadjroel yang sempat meledek Binhad soal peluang mereka sebagai 10 besar finalis Khatulistiwa Literary Award 2007.

Sedang Lupita dan Dina memberi nuansa baru yang tak menggebu. Lupita tampil begitu kalem, Dina dengan gaya cuek tapi mampu menghadirkan sajaknya dengan emosi penuh. Hal serupa juga dari Pranita dan Inggit yang mampu menghadirkan ciri mereka masing-masing, meski Inggit seperti `keliru' memilih puisi terakhirnya yang terasa kurang bertenaga dibanding beberapa puisi yang telah dibawakannya.

Lain lagi dengan Binhad yang tampil paling akhir, dan banyak yang sudah menunggu puisi-puisi birahi dan orgasmenya. Gayanya yang jenaka dan sesekali meledek, membuat suasana meriah. Tapi terasa kurang maksimal pada pemilihan puisi-puisinya, setidaknya seperti yang pernah dimuat di Kompas atau media lainnya. Bisa jadi karena sakit perut yang
mendadak mendatanginya beberapa menit sebelum acara dimulai.

S. Yoga sendiri, seperti penampilannya yang kalem tampil memukau dengan penguasaannya pada larik puisi-puisinya dengan nyaris tanpa melihat lembaran yang dibawanya. Warna budaya Jawa, terutama Jawa Timur dan Madura, terasa kental dalam setiap puisinya.

Sayangnya gambaran `sejauh mana perkembangan mereka' seperti kurang tampak dalam tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair. Bisa jadi, tidak semua yang hadir punya pengenalan yang lengkap dengan para penyair itu, sehingga terasa sulit mencerna sejauh mana perkembangannya. Selain para penyair, yang larut dalam pertunjukan dua hari ini juga ada penggemar puisi, cerpenis dan lainnya. Mungkin akan lengkap referensinya jika disiapkan satu atau dua lembar foto kopi tentang perjalanan karier plus foto biar hitam putih saja dari 8 penyair muda yang tampil.

Setidaknya bisa mengurangi ketidaktahuan penonton, seperti dibisikkan oleh Donni Anggoro `Siapa dia', ketika para penyair di Sabtu kemarin satu per satu maju ke panggung. (Yo)



JARAN GOYANG*

mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu

bunga mawar, kenanga dan kantil
agar engkau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa di singgasana kekal

apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu

bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi

telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku

yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku

bunga bunga yang mekar dalam hati
pernah kukhidmati di bening telaga mati
wajahmu menjadi murka tanpa cahaya berseri

ingin kugoyang rindang pohon malam para penyamun
yang memayungi semua kegelapan
agar runtuh dan menciptakan cahaya bulan

kau pulang dengan perasaan cemas dan gamang
karena rindu di rumah ada yang hilang
burung hantu telah menyingkir ke kali kuning

anjing malam tak menyalak tunduk ke semak
melihatku dalam ujud buruk merangkak rangkak
menebar benih rajah kesumat di hati yang berjarak

demi cintaku yang purba dan berkabut
apalah artinya kesesatan sesaat yang pucat
bila kebahagiaan yang akan kujumpa lebih nikmat

apalah artinya kegelapan yang menyekap aurat
bila titik terang yang kuduga mudah kudapat
agar jasadmu dapat kuharap dan kujerat

dengan lidi lanang dari surga
yang besarnya tak seberapa
buat kenangan dan kesenangan selamanya

yang abadi di dalam hati dan tak mungkin luput
telah kupilih buah pinang yang kuning langsat
mengingatkanku pada buah kuldi keramat

dengan mayang muda yang mekar dan merak ati
agar tempatmu bertahta menjadi marak keindahan abadi
karena telah kukirim bunga aneka warna nan suci

namun rajah menyerpih kembali bersama kabut
berduyun duyun mengetok pintu hati yang kusut
agar aku tunduk padamu wahai kabut yang kalut

padahal asap dapur telah kumatikan agar tak lewat
tinggal nyala damar di sentong yang mulai larut
doa doa dan ajimat pun kembali tanpa kalimat

dibawa kabar goyah dan kemaruk
dibawa hasrat bergejolak yang remuk
membuat hati luka dan duka berkecamuk

adakah kebahagiaan datang bila selalu dipaksa
ataukah kebahagiaan datang tanpa diminta
bersabarlah demi rasa kalbu nan murni berlaksa

duhai dzat yang agung yang bertahta di altar
datanglah tanpa diundang pergi tanpa diantar
karena kasihmu lebih tinggi dari kasihku yang samar

Sumenep-Ngawi, 2007
*Mantra untuk memikat kekasih.
Kompas, Minggu, 20 Mei 2007

KEONG

perjalanan hanyalah mencari jejak lambang
lambat sebelum ke arah cahaya terang
sungut pun hanya mampu meraba permukaan
tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening
bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir
namun selalu kembali ke dalam lumpur
biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam
agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak
agar matahari tak menolak ketika kupinang
rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah
burung burung hanya menunjukkan jalan
jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang
namun burung burung hanya dapat terbang di terang
sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh
lewat lorong lorong gelap berlumut
akhirnya hanya kelelawar yang menemani
ia pun hanya memberi baju malam yang kelam
ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya
yang akan terbakar esok hari
kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam
ke dasar lumpur yang terdalam
agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri
kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan
kuminum sebanyak mungkin air keruh
kumuntahkan dalam setiap doa
kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal
agar aku nampak telanjang di hadapanmu

Sumenep, 2006
Kompas, Minggu, 17 September 2006

ASMARAGAMA

kau adalah rumah
tak terjamah sebelum dosa
seolah gua purba tengah hutan
di antara semak dan ular menjalar
dan gunung kembar yang memancar
hawa panas yang samar

kau berbisik
pada malam berisik
pada hujan gemericik
aku bukan hiasan cawan permata
guna wibawa, kata dan kuasa

di bawah bulan purnama
di pagedongan yang dingin
kau tancapkan keris yang pertama
pada sebatang pisang di hatimu
yang sunyi tak tersentuh
merangsek
airnya mengalir
pada kalbu yang kering
agar benih dapat ditanam

pergilah api panas kesesatan
datanglah air hujan ketabahan
kuterima sebagai berkah di bumi
malam ini hanya ada kera dalam diri
keluarlah dari istana ruh yang suci
bukan tempatmu bertahta

keluarlah air hidup dari penderitaan
hiduplah dalam air perjalanan lambang
telah kusiapkan kolam dalam bagai jiwa yang tenang
ditumbuhi lumut dan gangang masa lalu
akarnya menjerat dan memeluk kesunyian
tempat terbaik untuk samadi
agar nurani tetap pada tujuan

janganlah menang sendiri
pada rasa di kalbu sebelum mati
kecuali raja diraja bertahta cahaya
di singasana kebenaran dan keabadian
kuusap kau merintih dan doa terlepas
kutindih kau meronta dan jiwa lepas tak terkendali
minta darah segar sepanjang hayat
agar rasa hidup tak tawar lagi

malam ini kau welas asih padaku
merayu dan berjanji akan merawat rasa sakit itu
serupa dan sewarna, lahir dan batin
agar benih yang kau pilih sebelum penyesalan
tidak salah asal dan tujuan
agar semua jasad ini sampai padamu

telah kusiapkan dalam bokor, akar kakas
mrica sunti, cabe wungkul, garam lanang
yang telah kutumbuk di dalam hati
demi sang kamajaya dan dewi ratih
yang semayam di lingga dan yoni

besar dan panjang dalam doa
keras dan hangat dalam ihktiar
hangat yang menyaran setiap waktu
empuk yang menyerah pada cahaya
kau pilihkan tempat istirah untukku
agar mencapai kebenaran yang agung
sebelum sampai batas yang membekas
batas yang tak pernah kau tahu
kapan kereta kencana menjemput

Sumenep, 2006
Kompas, Minggu, 25 Juni 2006



CEMARA UDANG
buat d zawawi imron

kau telah renta
dengan suara parau
lukisan lukisan di dinding
semua berbentuk abstrak
yang kulihat hanya sebaris
huruf alif

saban hari kau hanya mengikat diri sendiri
tak jauh dan tak dekat
tak tinggi dan tak pendek
duniamu kini hanya ada di sekitar
bonsai kata kata
kata kata yang kau ambil
dari alam dan semesta
kau bayangkan kata kata
adalah rumahmu sendiri
yang penuh dengan cemara udang
yang kau tanam dalam pot porselin
kau sirami, kau rawat dan kau potong
daun daun kata kata tumbuh ke segala arah
namun kau luruskan lagi ke arah kiblatmu
yang indah dan bersahaja
seindah suara gadis remaja
mengaji di surau senja hari
ayat ayatmu mengalun dari
lembah ke lembah
hati ke hati

di pagi hari cemara udang yang kau bonsai
tumbuh dengan dahan dahan yang lebat dan liar
seperti berkelebatannya kata kata dalam pikiranmu
yang tak tertuang dalam alifmu
kini saban pagi kau tunggui daun kata katamu
yang berguguran ke bumi

Gapura-Sumenep 2005
*Cemara yang berbentuk seperti udang terbalik, banyak tumbuh di Pantai Lobang, Sumenep.
Kompas, Minggu, 6 November 2005