Senin, 22 November 2010

Puisi di Suara Merdeka, 12 Desember 2010

SAJAK-SAJAK S YOGA


MERAPI
:mbah marijan

selalu tak kuduga kedatanganmu
sunyi sepi oleh retaknya waktu
tak kurasakan sesayat apa atas perihmu
yang merintih di bawah pohon rumpang

kedalamanmu tak mungkin kuukur
hanya sedepa rindu yang memuntahkan dahagaku
ingin kupeluk namun kau selalu menghindar
dari rengkuhan malam dan tangan-tangan kelam

wahai, kau yang bersamadi dalam rahim waktu
berikan aku petunjuk untuk menghadapmu
untuk menghadangmu agar raga ini lebih sempurna
dari kematian yang panjang

bukan arang, batu, kerikil, debu dan api yang kuminta
namun sebuah bujuk rayu agar doa-doa kelelawar
menjadi pembawa berkah, nikmat dalam sekejab sebab
namun kau selalu murka dalam tatapan rindu

oleh sebab apa dan sebab siapa, jalan-jalan menjadi
neraka bagi surga dibumi, ingin kumuntahkan saja
rinduku padamu yang bertumpuk-tumpuk menjadi batu nisan
agar semua yang mendugamu dan memandangmu

menjadi sadar bahwa firmanmu
telah tertulis di kalam waktu
tertanda di batu-batu, pohon-pohon
dan rumah-rumah yang terbakar

seperti apimu yang membawa doa-doa surga
membawa kambing, ayam, sapi dan kuda-kudamu
ke arah magrib raib dan senja yang terbakar
dan di sana, nun, bahasa-bahasa telah dibangkitkan

Purworejo, 2010


ISYARAT

hanya jejak dan pertanda
yang terurai sepanjang jalan
serupa bayang-bayang
sebelum kejatuhan yang pertama

kau tahu matahari sebentar lagi
tenggelam ke dasar ufuk
kau tahu udara hampir busuk
di antara kita
dalam perjalanan panjang tak betepi

asin garam telah kutaklukan
di rawa-rawa
ombak lautan telah kujinakan
di keluasan samudera
cangkang mati telah kugunakan
dalam penyamaran ini

di mana kuharus mencarimu
di pintumu aku mengetuk
tak ada isyarat dan jejak
seolah lubang rasa tak bertepi

Ngawi, 2010


CACING

tak ingin diduga dan dicerca
ia lahir dari rahim malam masa lalu
segelap dan sehitam batu matahari

serupa benang yang menyusup
diam-diam disebalik baju
yang berjalan di dalam kelam

tak ingin melihat cahaya terang
hanya jejak dan tanda sebagai isyarat
yang membuatnya lebih tabah dari hujan

hujan yang benar-benar turun dari langit
langit yang membuatnya lebih miris
dari jurang rahim waktu yang berdetak

yang tak pernah lelah menghitung
langkah-langkahnya sendiri
sebelum musnah dalam apimu

Ngawi, 2010


TELAGA

dalam kebeningan telaga
kusaksikan pusat yang meluruh
ruang terbuka bagi burung-burung
yang menghuni hutan dan lembah

dalam keheningan hujan pagi
paras buga menawarkan kepahitan
disebujur tanggul sawah yang dingin
embun telah menyusupkan firmannya
pada batu-batu hitam yang bersamadi

senja yang terguling dalam gelap
duka daun mahoni pun telah tersaji
belum sempat terucap kata
belum sempat membilang nama
engkau telah sirna dalam doaku

Sarangan, 2010


LARON

sayap-sayap matahari
menerbangkanmu

dari gelap-gelap gua purbani

kebebasan apa yang dicari
jika setelah itu mati

Ngawi, 2010

Pusi Dimuat Kompas, 21 November dan 4 Juli 2010

GENDERUWO

obor-obor menyala berarak ke kampung
hutan, pantai, sawah, lembah dan gunung
ember, panci, sendok, piring seng
wajan, cutil, kompor, garpu, dandang

diseret berdencing dan dipukul bertalu-talu
bising dan memercikkan api masa lalu
blek blek ting tong, blek blek ting tong
berirama tak genah hingga memusingkan

membangunkan para penguasa malam
yang sembunyi di pohon-pohon waktu
bertahta di kursi megah kegelapan
yang telah mencuri malam-malamku

kelak kusumpah tujuh turunan
akan kupanggil raja kegelapan dari istana
untuk menghukummu dan membakarmu
dengan sembilan puluh sembilan cahaya

semua kegelapan telah kuterangi
dari sudut sempit, lebar, tinggi
rendah, pendek dan yang maha luas
dengan nyala obor dan doa-doa

namun tak kujumpai kau
yang menyita seluruh hidupku

Purworejo, 2010
Kompas, 21 November 2010


BARONGSAI

barongsai
cahaya keperakan, merah, kuning
hijau giok adalah pernak pernik kesunyian
terbang ke atas, ke puncak cahaya
meledakkan malam yang buta
malam lampion yang bercahaya
karnaval perayaan musim tanam
malam menjulang bertabur bintang
kembang api menyembur
di kegelapan malam yang memanjang
mercon meledak di udara
tambur dimainkan, gemerencing genta
dan keras genderang yang menggema
di persimpangan jalan kau ragu
arah mana yang dituju
menari-nari di malam gemerlap
warna-warni merah api
bergantungan di udara
di sisimu seekor naga raksasa
meliukkan ekor hitamnya
dengan sisik kuning emas
penuh kenangan
dan derita yang memanjang
dari sejarah gelap yang terlupa
berlengak-lengok dalam tarian liong
dengan tubuh telanjang
ekor masa lalumu yang melumut
melingkar-lingkar di dasar angan
meliuk dan menyemburkan api
membelit tubuhmu yang mulai bersisik

Ngawi, 2010
Kompas, 21 November 2010


NGIBING

hutan yang sunyi
seharum tubuh terlupa
hanya jejak-jejak yang tertinggal
di mana akar pertama ditanam
malam telah bertabur bintang dan kunang

kau mulai ngibing
sambil telanjang dada
kaki menghentak pada irama kendang
selendang kuning terkalung di leher
lelaki legam sebentar lagi tambah kelam

kau buka sarung yang melingkar di bahu
kau kembangkan ke udara memanas
kau sarungkan ke tubuh penari takjub
kau menari dalam balutan ciu kedelapan
kau menari dalam sarung yang sama
kau mencari dalam jiwa yang samar

tanganmu masuk ke rusuk sebelah kiri
menemukan tulang yang selama ini dicari
penari bergelinjang ke sebelah kanan
mencari yang lebih sepi dari api

Ngawi, 2009
Kompas, 4 Juli 2010

PALGUNADI

aku belajar dengan damar di belukar
hingga fajar pada sesosok tubuh samar
untuk mengejar semua pusat dan pusar amar
yang tak pernah kudengar

kudirikan sebuah patung buntung memegang jemparing
dengan punggung melengkung serupa dirimu yang agung
dari lempung gunung menghadap gerbang kampung
agar sabdamu selalu dapat kutangkap dan kukenang

kubentangkan panah cakrawala dari busurku
ingin kubidikan pada musuh-musuh malamku
namun kau meminta agar aku tak memanah rembulan
simpan semua kesabaran pada datangnya firman

Ngawi, 2009
Kompas, 4 Juli 2010

Puisi di Jurnal Nasional, 14 November 2010

GAJAH

di way kambas
mari bercermin pada alam dan dunia nyata
tempat burung-burung bersarang
di hutan-hutan dalam kepurbaan
yang selalu terjaga
tak mau tercermar dari dunia luar
tempat gajah-gajah menemukan jati diri
dan melebihi akal manusia
yang sering berniat jahat terhadap sesama

lihat gajah-gajah hidup rukun dan saling melindungi
lihat kulit gajah yang kasar dan kotor
namun dalam kalbu tersimpan cermin bening
sesuci danau ranau
mata yang sipit melindungi dari ketamakan dunia
belalai yang panjang adalah malaikat penolong
dan bukan tukang petolan pencuri uang rakyat
atau seseorang yang tak bertanggungjawab melempar api
kekerumunan massa yang hidup damai dan tenang
karena gajah adalah kemanusiaan yang mestinya
hidup dalam diri kita

***

PANTAI

di pantaimu kusaksikan gerimis bisu
embun di dahan meluruhkan hening
pada pepohonan yang berjajar di pasir putih
ketika burung-burung laut mengajak pergi

di pagi hari sebelum para nelayan datang
rupanya ia telah menerima nasib lautan
dan mempersilakan gerombolan burung menjauh
dari tubuhnya yang telah tabah dalam waktu

menghadapi pergantian musim
telah menerima warna bumi di pesisir
pantai hanyalah muara yang selalu tertinggal
karena deburan ombak selalu menghapus jejak usia

***

JANTUNG

ingin kusulap detak menjadi ledakan besar
agar sempurna tugas yang tak pernah selesai
kupahami hidup hanyalah mesin waktu
darah pernah kuminta agar memasok warna gelap

agar kelam segera datang menjemput
dan cahaya tak pernah sempurna
sisik-sisik waktu pernah kuhentikan sejenak
namun denyut darah terus meminta arus

dan gelombang yang pernah kutakdirkan
terlepas di lautan dan berjanji kepada angin
agar badaimu mengombak dan menggulung daratan
karena sujud waktu telah terlupakan

agar kenangan dapat kuraih dan kusempurnakan
maka kujaring pengalaman hitam bernoda
yang selalu membawa ke jurang luka
akan kutawarkan pada muara hati yang bening

apakah akan kuampuni
atau kupanggang dalam api
agar cahaya yang kugali mau kembali
ke dalam bilik kalbu

***

BISIKAN ULAR

kau hampir terjebak dan tercekik
pada gemebyar sisik-sisik dan lengkingan hutan sunyi
kau hampir tergoda pada bisik-bisik dan lidah ular berduri
menghuni gendang telinga dan sembunyi dibalik kata-kata

ingin kau kalahkan musuh yang semayam dalam diri
ular merah bermata darah dan suara yang tak terdengar
ketika terdesak di tepi jurang dan ekormu hampir jatuh
kau ayunkan pedang bermata doa dan bersayap langit

hingga sinarnya menebas-nebas pohon rindumu
agar langkah kaki semakin cepat menuju senja yang murung
kau mengeluh tak ada tempat singgah dan sekejab istirah
sedang jalan kembali ke asal sudah berkabut

***


TELAH AKU SEMPURNAKAN KESUNYIAN

sebenarnya telah aku sempurnakaan kesunyian
batu-batu telah aku tanam di lubuk rumah
agar tak mengganggu tidurmu
di tengah malam

pohon-pohon telah aku simpan di alir sungai
semuanya bisu diam abadi
tubuhnya semakin jadi
dan tabah menghadapi mati

namun hijau perjalanan
menjadi arca di lereng lembah
kusempurnakan saja topeng malammu
sebelum senja menjemput

***

SELAMANYA PERNAH KUBAYANGKAN

selamanya pernah kubayangkan
akan kenangan
bau tanah di sawah
bau tanah di ladang
bau tanah di pekuburan
waktu itu kita selalu bermain bersama
seolah hari hari menjadi kebahagiaan
yang abadi
kita ambil permainan petak umpet
kita ambil permainan perang perangan
kita ambil permainan mayat mayatan
kau kuburkan aku di halaman rumah
selamanya pernah kubayangkan
akan kenangan
rupa wajahmu yang menghitam
rupa rumah kita yang kosong
rupa bayang bayang botol yang suram
waktu itu kita masih remaja
seolah hari hari menjadi kesunyian
yang abadi

***

BERDIRI MENGHADAPMU
: borobudur

malam purnama yang senyap
angin mencubiti dinding candi
bayanganku mengisut dibebatu andesit
memprawani kesunyian purbani

berdiri menghadapmu
relief-relief candika memanggil
amsal asal mula
cinta kasih sang budha

tergiring derit seruling derita
sang sidharta
tergerak hatinya
mencampakkan istana

mencampakkan
kemewahan dunia
mengembara dalam pertapaan
menuai kesempurnaan

malam makin larut memahat sepi
kutinggalkan dirimu membatu
kini derit derita kaum papa
menjerit lengking dalam hati purbaku

***

AKU BANYAK BERDIAM

akhir akhir ini
aku banyak berdiam
menyepi
kumatikan radio dan tv
kututup jendela
dan pintu rapat-rapat
kututup kuping pendengaranku

biar
tak ada suara
melambung lambung
kering
ditelinga

aku ingin berteman sunyi
berkarib dengan hening
bersamadi pikiran

***

LAUT

di atas gelombang lautmu
aku mulai berjalan
sejak dilahirkan
aku bersahabat dengan asin garam
dan kasim kuda laut hingga birahi dunia hilang
para kelasi yang berbaju kotor karena gemuk
dan bertubuh tegar karena matahari
adalah kawan yang pemberani
rumput dan karang laut pun berjamaah bersamaku
bersama angin dan badai yang tunduk pada gelombang laut
aku pun rindu pada ikan-ikan yang berenang begitu jauh
ke palung-palung tak terjaga dan jurang-jurang laut yang kemilau
dari atas permukaan laut
gelap ke arah dalam
aku ingin mereka pulang dan bermain kecipak air
dengan cahaya-cahaya langit yang selalu menyinari
menjaga perjalanan kami
ke dalam dasar laut terdalam
hingga kami sampai ke altar laut
tempat kami bersujud

***


SEBUAH RUMAH

sebuah rumah adalah keranda hidup
kelak tergusur dalam lubang kubur
sebuah rumah mestinya bersih
ketika fajar tiba dan senja menjemput

sebuah rumah yang ada di kaki bukit
dengan rumbia dan kayu lapuk
serta lantai tanah membasah
adalah sama wadak dengan rumah
gedung bertingkat tujuh
dengan marmar dan ac menyala

sebuah rumah adalah tanda kehidupan
memiliki dua pintu
di kanan dan di kiri
di muka atau belakang
untuk keluar masuk
para penghuni
atau tamu istimewa yang suatu saat
akan datang meski tak diundang
dan kau persilakan masuk
dan kau jamu sebaik hati

sebuah rumah akan nampak sehat
bila jendela-jendela terbuka
dengan ventilasi bervariasi
angin dan udara berhembus silih berganti
tetangga-tetangga datang dan pergi

saling memberi dan menerima
tanpa rasa curiga
dan cemas mencekam
karena sebuah rumah adalah
tempat ibadah
terbaik untuk mati

***

NEGERI TROPIS

negeri tropis yang rekah
sungai-sungai menjauh dan membentang
negeri mengapung bagai kapas-kapas air yang lepas
aku teringat jalan berat yang panjang
semacam sejarah masa silam
kutempuh dalam usia renta

negeri tropis yang gerah
waktu-waktu berlalu bagai api yang mengamuk
cahaya merah menghanguskan rumah-rumah
sebuah kisah di musim kerontang
orang-orang haus dan lapar segala
mengilas kehidupan kulit sawo matang

negeri tropis yang panas
cahaya-cahaya berjajar-jajar dengan tubuhku
semacam nafsu yang ganas dan sulit dikendalikan
berkelebat debu menjamah air mata
dan di tanah-tanah tandus gembala mengais
samudera di hatinya yang kosong

negeri tropis yang berair
aku berdiam bagai patung jerami
mendayung sampan musim hujan
dari dingin sampai dingin yang kekal
membangkitkan nafsu-nafsu perairan gila
menumpahkan hujan api kefanaan
dari api sampai api yang dendam
ingin membakar segala

***

LUMPUR I

kau merasa tubuhmu sudah rapuh
tidak seperti dulu lagi saat remaja
sudah saatnya menjadi tanah
menjadi lumpur yang menyuburkan

hidup telah kau habiskan dalam kesunyian
waktu terus membimbing ke jalan berat
kau tinggal di alir sungai penuh lumpur
kau nikmati lumpur pertama sebelum kejatuhan

orang-orang berlarian menghindar dari lumpur panas
kau diam dan berdoa agar menjadi air
mendinginkan panas hidup yang menerjang
jangan lawan api dengan api, bisikmu

setelelah sekian tahun hidup dalam lumpur
kau merasa ada yang berubah dalam diri
kau merasa hatimu telah berlumpur
padahal telah kau sucikan dalam seribu sujud

***

LUMPUR II

setiap saat kau kenang peristiwa itu
kau merasa berada di dalam kubangan lumpur
susah untuk bergerak, susah untuk bernafas
tinggal doa-doa yang bisa kau lantunkan

lumpur memang telah padam panasnya
tapi lukanya tak pernah bisa terobati dalam hati
kau merasa tercabik oleh masa lalu yang mengerikan
oleh kenangan yang selalu merisaukan

kini kau masih bersama lumpur kenangan
tinggal dalam kesunyian dan penantian
lupakan saja lumpur kita yang menggenang
yang tak mungkin dibersihkan lagi

tinggal hikmah menuju rumah berikutnya
lumpur hidup hanyalah sepenggal perjalanan kelam
namun kau masih terjebak dalam lumpur kenangan
yang terus menyembur dalam hidupmu

***

LUMPUR III

kau tahu dari dulu
kalau kesetiaan itu akan pudar
sudah berulang kali kau coba hentikan
semburan lumpur hidup kita

tapi hasilnya sia-sia
airnya terus meluber ke jalan-jalan
ke tempat-tempat sepi dan nyeri
ke rawa-rawa hati

hingga setiap hari kita minum
dari air yang keruh dan beracun
tapi hidup kita tetap bertahan
lambung kita hampir robek dan cacat

adakah waktu seperti telaga yang dulu
hening dan ditumbuhi bunga teratai
tanpa kasak-kusuk membersihkan rumah kita
yang sebentar lagi akan tenggelam

***

LUMPUR IV

percayalah kalau lumpur tetap lumpur
meski kau saring dan suling berulang kali
meski kau tasbihkan dengan kata-kata mutiara
lumpur hidup akan tetap menjadi lumpur selamanya

ketika kau teguk pertama kali lumpur kenangan
rasanya pahit, berbau dan melumpuhkan
seperti peristiwa saat terjebur ke dalam lumpur
sebelum kesucian terenggut

adakah lumpur halal atau haram
kau tafsirkan tiap malam dan doamu terlepas
tinggal arus penyesalan yang tak terbendung
hanya kuman-kuman yang menjadi saksi

atas kebenaran dan keadilan yang akan berlangsung
kau minta seluruh riwayat hidupmu dikembalikan
tanpa cacat dan ternoda apalagi digenangi lumpur
namun lumpur telah merasuk ke dalam darahmu

***
Jurnal Nasional, 14 November 2010

Realisme dan Sastra Multikultur, Dimuat di Jawa Pos 31 Oktober 2010

REALISME DAN SASTRA MULTIKULTUR
MASA DEPAN SASTRA KITA
Oleh : S Yoga

Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau angkatan 45, yang digemai oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang mengejala di sastra dunia hingga kini.

Realita Sosial
Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realita sosial. Yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Fenomena ini bisa kita jelaskan, dari perkembangan sastra koran dan majalah, yang berkembang sejak lahirnya kesusastraan modern tahun 20 hingga sekarang ini.
Karenanya kehidupan sastra kita lebih banyak didominasi oleh sastra yang bersifat realis, relevan dengan berita atau isi koran dan majalah yang juga menyuarakan realita yang terkini. Sastra dimasa depan, kiranya juga masih akan didominasi oleh sastra realita sosial. Meski bisa jadi media akan berubah menjadi dan berada dalam dunia maya, tapi watak-watak jurnalismenya akan tetap sama, apalagi dalam dunia maya, kepedulian sosial akan semakin tinggi, dimana facebook dan sejenisnya akan memainkan peran penting dan cepat.
Belum lagi problem sosial-politik-ekonomi-hukum di Indonesia yang juga belum beres-beres, sehingga akan memunculkan realita-realita yang dengan mudah bisa menjadi bahan para sastrawan kita. Karena perkembangan sastra pada umumnya, bergandeng tangan dengan perkembangan kebangsaan, pemikiran, dan filsafat pada zamannya. Dalam dinamika realita sosial seringkali sastra realis ini jatuh sebagai dokumen sosial bila benar-benar tidak cermat, sehingga kritik sastra pun bicara tentang intertekstual secara sosial, berkecenderungan untuk bicara hal-hal yang berada diluar karya sastra. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarginalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, masih bergetayangannya para teroris. Maka problem-problem sosial ini masih banyak akan mewarnai kehidupan sastra kita dimasa depan, meski bagaimanapun bentuk bahasa dan media sastra nantinya.
Sementara itu dalam kehidupan yang semakin pragmatis ini dan nantinya, maka kehidupan sastra pun akan mengalami pergeseran-pergeseran, dimana sastra yang bersifat serius akan terus digempur oleh kehidupan sastra pop, karena orang secara fisik sudah lelah dan capai oleh kesibukkan dan rutinitas. Ingin mencari sesuatu yang pragmatis dan mendapatkan kenimataan sesaat dan budaya poplah jawabannya, termasuk juga sastra pop yang akan memberikan jawaban.

Sastra Multikultur
Dan dimasa depan mungkinkah migrasi bahasa akan benar-benar terjadi, beralih mengunakan bahas Inggris. Jika hal itu terjadi resikonya, para pengarang akan dianggap, hanya meneruskan, hypogram dari karya-karya pengarang Inggris. Ketika bahasa Inggris yang digunakan tidak mampu melakukan resistensi terhadap bahasa Inggris yang sudah ada. Seperti yang dikatakan Ngugi Wa Thiongo, seorang novelis Kenya yang tinggal di New York, yang juga menulis dalam bahasa Inggris, bahwa para penulis Afrika yang menulis dalam bahasa Inggris tidak akan pernah memproduksi sastra Afrika tapi hanya memproduksi sastra Inggris. Baginya bahasa bukanlah sekedar alat, tapi merupakan pandangan dunia si pengarang. Dan pada akhirnya Ngugi Wa Thiongo, kini menulis dalam bahasa ibu-sukunya, Kikuyu, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ini artinya bahwa pengarang itu lebih nyaman, sreg, mengunakan bahasa ibu dalam menghasilkan karya sastranya, dalam mengungkapkan-cara pandang dunia-jagad batinnya. Yang bisa jadi akan kehilangan unity-nya, kesatuannya, bila diungkapkan dalam bahasa lain. Sehingga bila kita cermati para penulis sendiri selalu mengalami ketegangan dalam memilih bahasa.
Namun bila mampu melakukan pewarnaan dalam karya sastra yang berbahasa Inggris, dengan melakukan percampuran atau penyerapan-penyerapan. Hingga corak karya sastra yang dihasilkan memiliki citra rasa yang berbeda dengan karya sastra berbahasa Inggris yang sudah ada. Dan karya sastra yang demikian sebenarnya sudah terjadi, dan sudah banyak dilakukan oleh para pengarang keturunan India, Cina dan yang lainnya, misalnya, seperti apa yang dilakukan Bharati Mukherjee, Vikram Seth, John Updike, Joyce Carol Oates, Maxine Hong Kingston, Salman Rushdie, Kazuo Ishiguro, yang pengucapan karya sastranya, mencerminkan situasi kontemporer. Termasuk juga V.S. Naipaul-Trinidad-Tobago, Ben Okri-Nigeria, Michael Ondaatje-Kanada, Derek Walcott, Caryl Philips-Karibia, Keri Hulme-Selandia Baru, Timothy Mo, Rohinton Mistery, Chinua Achebe. Bukan hanya kualitas karyanya, namun adanya kontribusi terhadap perbendaharaan kosa kata dan tata bahasa Inggris. Dengan tema tarik ulur antar identitas, tradisi-modern, dan silang sengkarut kultur yang mereka jelajahi. Sehingga terjadi kerumitan identitas dalam merumuskan jati diri, polibudaya, muncul impresi India, Cina, Jepang dalam khazanah sastra Inggris. Lewat bahasa maupun tema-temanya, sehingga bentuk sastranya menjadi berbeda dari kanon sastra Inggris yang selama ini ada.
Dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra Amerika Latin, Inggris, Rusia, Amerika, Perancis, Afrika, India dan Jepang misalnya, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern. Sehingga kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, sehingga setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari, budaya baru, ungkapan baru dan karya sastra baru. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan.
Dari perkembangan sastra kita dari zaman ke zaman menunjukkan gejala yang hampir sama. Diantaranya terjadi tarik menarik antara yang tradisi, modern, sinkretisme keduanya atau postmodernisme. Hal ini bisa kita lihat dari perdebatan-perdebatan yang ada dan karya sastra yang dihasilkan. Dimana watak karya yang mewarisi, mempertimbangkan tradisi selalu hadir semenjak para pengarang melayu lama, Amir Hamzah, Ajip Rosidi, WS Rendra, Sutardji Cazlom Bacri, Linus Suyadi, Korrie Layun Rampan dll, hingga kini. Yang pada hakikatnya mereka mencercap spirit lokal dan hendak disintesakan dengan sastra nasional, bahkan dunia. Karena itu sastrawan Subagiyo Sastrowadoyo, menyatakan, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan dan Goenawan Mohamad, memandang, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang. Ini artinya kita selalu berada dalam perbatasan dan perjumpaan, saling hilir mudik mempengaruhi, bahkan mungkin tanpa kita sadari.
Kedepan dapat kita lihat sastra multikultur akan makin marak. Sedang yang selama ini kita lihat, masih digandoli subkebudayaan-etnis yang terlalu berat. Contoh beberapa karya dari, Linus Suryadi, Umar Kayam, Korrie Layun Rampan, Wisran Hadi dan Chairul Harun. Pada sastra masa depan tentunya akan kita jumpai sastra multikultur yang mampu melakukan sintesa kultur-etnis yang lebih baik. Sehingga menghasilkan sastra hibrida yang memiliki jati diri sendiri, baik itu sastra multikultur yang berbahasa Indonesia atau yang mengunakan bahasa Inggris, bahkan bahasa Inggris bercitra rasa Indonesia.
Namun pada pertengahan Oktober 2010, Kanselir Jerman, Angela Merkel, membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia menegaskan, usaha membangun multikulturalisme di Jerman telah mengalami kegagalan total. Bahkan dua partai Uni Demokrat Kristen dan Uni Sosial Kristen, berkomitmen mewujudkan kultur Jerman yang dominan dan menentang bentuk multikulturalisme. Dan pernyataan ini diucapkan dimana neoliberalisme dan global modial sedemikian dahsyatnya. Komitmen itu memiliki arti penting, bahwa identitas nasional menjadi sebuah wilayah yang paling vital dan menentukan. Di Perancis juga sedang membentengi indentitas nasionalnya, dimana bahasa Perancis menjadi hal yang utama, sebagai jati diri bangsa. Ini artinya multikulturalisme yang terjadi hanya semu belaka, basa-basai, sebuah bayang-bayang dari keragaman. Apakah kesemu-semuan itu juga terjadi dalam kehidupan karya sastra. Sastra multikulturalisme yang ada dan akan berkembang hanyalah bayang-bayang kesusastraan yang sesungguhnya. Untuk menjawabnya tentu kita memerlukan telaah yang mendalam. Dan biarlah masa depan sastra sendiri yang membuktikannya.
***
Penyair dan Anggota Biro Sastra DK-Jatim