Sabtu, 24 Oktober 2009

Cerpen Kisah Prajurit Gidal dan Tuan Cuak Kuak

Suara Merdeka, 13 April 2009

Cerpen S Yoga
Kisah Prajurit Gidal dan Tuan Cuak Kuak

SUATU ketika datang seorang prajurit yang ditugaskan di kampung kami. Prajurit Gidal namanya. Pada hari pertama tanpa ba bi bu ia mengumumkan, penduduk kampung harus mematuhi peraturan pemerintah. Selebaran-selebaran ia bagi-bagikan. Di selebaran terpampang kami tidak boleh main judi, sabung ayam, mabuk-mabukan, minum tuak, main hakim sendiri bila ada maling yang tertangkap. Kami tidak boleh lagi mengikat tangannya ke belakang dan melemparkan ke sungai. Tidak boleh ada pembunuhan tanpa alasan jelas. Tidak boleh ada pembakaran orang tak bersalah di lapangan. Tidak boleh bersikap sewenang-wenang kepada siapa pun. Semua orang harus dihormati sebagaimana martabat kemanusiaan. Petugas pemerintah harus diperhatikan dan dilindungi. Siapa yang menentang aturan akan ditindak tegas.

Setelah mendengar pengumuman, keesokan pagi kemudian Ayah menemui Prajurit Gidal yang tinggal di rumah penduduk di tepi sungai.

‘’Kenapa kedatangan Ki Sanak tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan alias tidak melapor kepada kami?’’

‘’Ha ha ha ha! Yang berhak memerintah dan bertanya mestinya saya. Sayalah petugas yang sah,’’ jawab Prajurit Gidal.

Tanpa ba bi bu pula Prajurit Gidal yang sedang tiduran di amben teras rumah diseret Ayah tanpa perlawanan. Mungkin karena tubuh Ayah lebih besar dua kali lipat. Prajurit Gidal diseret ke lapangan kampung. Tangannya diringkus dan diikat ke belakang, tubuhnya diangkat ke bahu kanan, kakinya digenggam erat dengan tangan kiri, sambil jalan ke arah sungai. Tubuhnya dicampakkan di Sungai Kalimas pinggir kampung. Tak seorang pun berani melarang, bahkan mereka beramai-ramai mengikuti eksekusi dari belakang sambil menyanyi-nyanyi dan menari-nari kegirangan. Namun sore harinya Ayah didatangi tiga orang berjubah putih. Entah mengatakan apa, yang jelas Ayah manggut-manggut saja. Sementara itu tiga orang berjubah putih seolah malaikat yang sedang membimbing Ayah. Namun aku berlari ke arah tempat jemuran, aku pakai selendang Ibu sebagai jubah kebesaran dan aku menasihati kambing-kambingku yang diam memandangku, seolah ada setan yang sedang lewat.

Jalan menuju kampung masih berpasir dan berkapur. Jalan berkelok tajam sebelum semenanjung adalah tanda memasuki wilayah kampung. Begitu memasuki kampung, anjing-anjing mulai menyambut dengan gonggongan, badannya kurus kering, matanya tajam mengancam lawan, giginya siap membetot daging mentah dan akan dikunyah dalam sekejap. Karena banyak anjing sering kampung kami juga disebut Kampung Anjing. Anjing-anjing kami adalah anjing penjaga yang baik dan berbudi luhur, hingga kampung aman dari segala maling yang datang dari luar. Namun kalau ada maling yang datang dari dalam dan memanfaatkan kesempatan, tak ada yang bisa menjamin pelakunya bisa tertangkap. Maling itu hapal dan lihai di daerah sendiri yang begitu dikenal dan akrabi saban hari. Lama kelamaan anjing-anjing kampung hilang dengan sendirinya, seolah ada yang mengusir. Padahal anjing-anjing itu juga tidak mati karena tak ada seekor pun yang terlihat bangkainya. Menurut penduduk itu semua karena kehadiran tiga orang berjubah putih. Orang-orang misterius dengan mata tajam yang bersinar.

Di gerbang masuk tampak bangunan gapura menjulang berornamen buaya seolah berhala dari masa lalu. Entah kenapa buaya menjadi simbol kampung. Padahal di daerah kami tidak ada buaya. Mungkin diambil dari dongeng nenek moyang yang berkembang. Dipercaya orang-orang kampung berasal dari buaya. Dulu hamparan tanah kami yang membentang dari Semenanjung Perak Laut adalah rawa-rawa yang banyak dihuni para buaya, ikan suro dan burung cucak rawa.

Kisah legenda buaya itu sendiri bermula ketika suatu hari ada seorang gadis cantik sedang mandi di tepi rawa. Sepak terjang gadis yang sedang mandi terlihat jelas oleh seorang perjaka yang sedang berburu buaya. Dengan perlahan dan pasti sang perjaka mulai mendekati gadis yang sedang mandi. Sampannya ia kayuh perlahan sekali sehingga air rawa tidak beriak dan angin enggan berbisik. Sejarak sepuluh kayuh dayung, gadis yang sedang mandi tersadar dari incaran mata perjaka tampan, menjerit-melolong minta tolong, saat itu juga muncul buaya putih yang mengadang gerak langkah sampan sang perjaka. Terjadilah perkelahian hebat. Karena buaya putih bukan buaya sembarangan dan sang perjaka juga bukan perjaka sembarangan, perkelahian memakan waktu tujuh hari tujuh malam. Tak seorang pun yang memenangkan, bahkan ketika sang perjaka telah dibantu oleh sahabat lamanya, seorang manusia yang menjelma menjadi ikan suro. Maka ketika sang perjaka istirahat, ikan suro menggantikan kedudukan sang perjaka melawan buaya putih.

Perkelahian tak seimbang karena tenaga buaya putih terus terkuras sedang ikan suro dan sang perjaka saling bergantian menyerang. Terdesaklah buaya putih ke arah sungai di Semenanjung Galuh, perkelahian terus berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, antara ikan suro dan buaya putih. Maka muncul pendapat dari para ahli mitologi bahwa salah satu takdir kami adalah saling bertikai dan saling membunuh, hingga keturunan kami musnah.

Adapun sang perjaka karena melihat musuh tidak lagi melindungi gadis cantik, secepat kilat dia terkam gadis itu di semak-semak sehingga sembilan bulan kemudian lahirlah jabang bayi. Jabang bayi itu ketika dewasa tak lain adalah Ayah. Pantas Ayah ketika melihat buaya sering memaki-maki. Begitu kisah itu dipercaya, namun aku merasa sang buaya, tak lain adalah si perjaka yang bermata jalang.

Di pinggir pantai ada mercusuar yang dibangun penduduk untuk sinyal kapal, perahu yang akan melintas di wilayah perairan. Di tengah kampung dibangun pilar menjulang untuk dipasang jam dinding mahabesar, yang didatangkan langsung dari Swiss oleh Gubernur Distrik sebagai penunjuk waktu. Waktu memang akhirnya menjadi bukti bahwa segala yang hidup di dunia terbatasi, fana dan sebentar. Mungkin kalau waktu tak pernah ada dunia akan menjadi surga dan manusia akan bahagia.

Setiap senja datang dan matahari membakar lautan di ufuk barat, seperti mata iblis yang dipercaya penduduk sedang berangkat tidur, tak seorang pun nelayan berani berlayar. Para nelayan akan segera pulang atau menghentikan menangkap ikan. Anak-anak berlarian di pinggir pantai menyaksikan mata iblis mengedip sambil melarungkan sesaji: kembang mawar, kenanga, kamboja, daun siwalan, tuak, ikan busuk, kemenyan —begitu yang kami percaya dalam imajinasi kanak-kanak, yang kami persembahkan buat iblis laut agar segera terlelap tidur, tidak murka dan membawa malapetaka.

Pada saat itu para orangtua hanya duduk-duduk di beranda memandang kosong seakan ada yang hilang terbawa senja, mungkin masa lalu yang mereka sesali, wajahnya bersedih seolah tak mau beranjak tua yang sebentar lagi akan mati. Sungguh kasihan. Sesekali tangan kanannya menuangkan tuak ke gelas bambu. Tuak adalah kebanggaan minuman kami. Tak ada yang lebih terkenal dari arak tuak buatan kampung kami, tuak dari mancung pohon siwalan.

Kampung kami memang sangat terasing dari dunia luar meski terletak di pinggir laut, tepatnya di sebuah semenanjung. Umumnya kampung-kampung di pinggir laut yang telah banyak mengalami perjumpaan dengan orang lain yang datang dan pergi. Sebagaimana biasanya kampung nelayan terbuka dan bersahabat. Namun kampung kami justru sebaliknya tertutup rapat seperti perempuan pinangan, hingga orang-orang dengan gampang bertindak kasar. Bila sedikit saja mendengar kasak-kusuk yang merugikan, tindakan brutal dan kejam saat itu juga akan terlaksana.

Pernah suatu kali Ayah melabrak Tuan Cuak Kuak yang wajahnya mirip luak dikabarkan menjahili Ibu ketika Ibu berkunjung ke tempatnya. Waktu itu Ibu ingin pinjam panci, piring, sendok dan garpu untuk masak dan makan malam. Karena tiba-tiba entah hilang atau dicuri orang, panci, piring, sendok dan garpu di rumah lenyap semua seolah menguap. Oh, sungguh kejadian yang menakjubkan. Suatu ketika pernah terjadi sebuah rumah tiba-tiba muncul di kerumunan semak belukar dengan seluruh isi dan perabotannya. Tapi seminggu kemudian rumah itu lenyap pula tak berbekas. Kata orang rumah itu rumah hantu. Apa mungkin saat itu Ibu sempat masuk ke rumah hantu dan mengambil panci, piring, sendok dan garpu, yang akhirnya lenyap pula.

Waktu aku tanyakan pada Ayah, apa benar barang-barang itu milik para hantu, karena suatu ketika aku lihat, panci, piring, sendok dan garpu saat malam hari terbang melayang-layang di kamar makan, gemerincing sendiri. Seakan memanggil tuan-tuannya agar segera makan malam, hidangan telah siap sedia. Ayah hanya melotot sambil menarik napas berat. Akhirnya aku tak berani menanyakan hal itu lagi. Apalagi pada Ibu. Cuma bisik-bisik tetangga mengatakan aku keturunan genderuwo, namun Ayah menyangkal dan marah besar ketika mendengar selentingan itu. Mana yang benar? Menurut Ibu saat akan meminjam peralatan, Tuan Cuak Kuak tinggal sendirian di rumah, rumah sepi, lalu merayu Ibu di dapur, mencoba menjahili Ibu, dengan nafsu gila yang meledak, hendak melepas seluruh baju Ibu, seolah menguliti pisang dan ingin menelannya bulat-bulat. Ibu memberontak-gertak dan menendang kemaluan Tuan Cuak Kuak. Lari keluar. Sampai di rumah Ibu menangis sambil menunjukkan baju robek di dekat pusar. Ayah gusar dan marah, keluar, menenteng parang, membuka baju, ototnya saling berpacu ingin meledak, berderit-derit seperti gelembung air mendidih.

Sewaktu dicari di dalam rumah Tuan Cuak Kuak tidak ada, ditemukan sedang berak di kakus belakang, dua puluh langkah dari dapur. Tuan Cuak Kuak cuek saja atas permintaan Ayah agar cepat keluar. Ia berak. Dengan tenang Ayah mendekati kakus, dari belakang mengayunkan parang ke leher Tuan Cuak Kuak yang sedang asyik jongkok. Tuan Cuak Kuak terjerembab ke dalam liang kakus dan tak bangun lagi untuk selamanya. Selamat tinggal. Sampai jumpa di surga. Mayatnya berlepotan kotoran, seminggu dirubung belatung, kutis, dan kalajengking. Akhirnya dikubur di kakus karena pihak keluarga tak mau mengambil, bahkan untuk melihat pun tak berani, takut terkena imbas, mereka tahu sepak terjang si pembunuh. Ayah tak diberi sanksi apa pun. Ayah kepala kampung, punya kuasa, wilayah dan aturan. Orang kampung percaya, Ayah saat itu sedang mempertahankan martabat keluarga, harga diri, yang akan memengaruhi kelangsungan hidup selanjutnya. Kami percaya siapa yang makin kuat merekalah yang akan menang dan bertahan. Yang lemah lebih baik disingkirkan. Tak ada tempat bagi mereka, lebih baik tetap menegakkan hukum rimba. Siapa kalah tamat dan lewat.

Namun malam ketujuh setelah kematian Tuan Cuak Kuak, Ayah bermimpi didatangi bayangan perempuan dan mempertanyakan kekejaman Ayah. Bayangan perempuan berpesan agar Ayah selalu mengedepankan hati nurani dalam bertindak. Saat itu pula Ayah curiga jangan-jangan yang mampir dalam mimpinya adalah Ibu Mertua, yang ketika masih hidup sering wanti-wanti agar Ayah selalu menjaga tingkah laku.

***



Minggu, 04 Oktober 2009

Puisi di Kompas, 4 Oktober 2009


SAJAK-SAJAK S YOGA
NAIK SEPEDA FONGERS

kulewati jalan kampung penuh debu
bagai asap menyelimuti diri ini
kubunyikan bel ting tong
agar kambing-kambing menyingkir
agar aku segera tiba di kuburan
di senja hari yang sunyi

fongers tua dengan rem botol
membawaku ke tempat keramat
lampu kupadamkan agar perjalanan
malam (karena senja telah sirna) ini
tambah seram
tiba di tempat istimewa
segera kuparkir fongers bb-60-ku
sambil berbaring semalaman
aku menanti bintang jatuh
sambil bersiul-siul
semoga ada burung hantu
yang menyahut

agar kita tahu
betapa isyarat menjadi
tanda yang berarti
seperti roda sepeda
yang berputar mencari waktu
pemberhentian

Ngawi-Madiun, 2009
Kompas, 4 Oktober 2009

ARLOJI

ia berdetak saja
tak mengenal waktu
di tangan ia melingkar
meski terlepas
ia telah menorehkan
sebuah isyarat
yang tak bisa terhapus

ketika tidur
ia membisikiku
dengan zikir detik
yang khidmat
di keheningan

apakah aku
masih bisa bangun
esok pagi

segera kuhempaskan
pikiran buruk
aku tak ingin
malam-malamku
dihantui kecemasan

kadang aku merasa
arloji adalah
berhala yang dipuja
agar kita selalu ingat
dan terikat pada janji
perih memang bila
janji tak bisa ditepati

di keramaian pun
aku tak bisa lepas dari detik
yang selalu mengintai
sehingga hidup ini
rasanya selalu diawasi

waktu berjalan begitu lambat
sedang usia meloncat-loncat
persis uban di kepala
hingga tak bisa kuhitung lagi

kadang aku merasa damai
bila arloji ini tiba-tiba rusak
dan masuk reparasi

namun hanya sebentar
karena detaknya
terus ada di dada
ia tak pernah henti
selalu mengikuti

kapan berhenti berdetak
agar kecemasan ini
tidak berlebih

Ngawi-Madiun, 2009
Kompas, 4 Oktober 2009