Rabu, 12 November 2008

Ludruk, Kemerdekaan dan Perlawanan


Surabaya Post, 21 September 2008
LUDRUK, KEMERDEKAAN DAN PERLAWANAN
Oleh : S Yoga

“Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.
Begitulah kidungan Cak Durasim, pendiri Ludruk Organizatie (LO) di zaman perjuangan, yang berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang, hingga masuk bui, disiksa tentara Jepang, dan akhirnya meninggal di penjara. Dari fenomena ini, kita tahu bahwa ludruk, sebenarnya merupakan kesenian perlawanan di masa penjajahan, baik itu di masa kolonial Belanda maupun Jepang. Kontribusi ludruk di masa perjuangan kemerdekaan tak bisa diremehkan. Ludruk efektif menghibur masyarakat yang tertekan, tertindas dan lapar, yang dikebiri hak sosial, ekonomi dan politiknya. Sehingga masyarakat ketika menyaksikan pertunjukan ludruk, sekejab bisa terbebas dari segala tekanan hidup dan merasa merdeka. Dan di dalam peristiwa ludruk, yang biasanya terbagi dalam nyanyian, tari remo, kidungan, lawakan dan lakon utama. Para pemain bisa memasukan kidungan atau dialog sambil menyampaikan kritik sosial, yang disebut pasemon, semonan. Di mana kritik tersebut harusnya tidak membuat marah penguasa yang dikritik.

Paranoid
Namun bagi penguasa yang paranoid, ketakutan tanpa sebab, ludruk dipandang membahayakan kekuasaan sehingga hal itu dianggap kegiatan yang subversif. Perlawanan budaya ludruk juga bisa dilihat dari sejarah terbentuknya. Memang ada dua versi dari mana ludruk berasal, yang satu berpendapat ludruk lahir dari Jombang dan yang kedua ludruk berasal dari Surabaya. Ada yang menyatakan pada tahun 1890, ludruk sudah ada, yang serupa badut yang ngamen, mbarang dari rumah ke rumah, dengan tarian yang kakinya menghentak-hetak (gedruk-gedruk) tanah yang kemudian disebut ludruk. Yang disertai nyanyian, dialog dan lawakan dengan cerita yang sederhana atau kisah-kisah kepahlawanan lokal, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso. Yang biasanya dipentaskan di pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.
Sebagai teater rakyat atau jalanan, baik jenis ludruk besut, lerok dan ludruk, secara nyata membuat pengisahan sendiri, yang umumnya cerita berpusat pada kebenaran istana atau penguasa. Kini rakyat diberi alternatif pengisahan lewat lakon di dalam ludruk. Pengisahan ini pun tidak mengambil kisah agung-besar, ludruk memberikan spirit perlawanan dengan kisah-kisah lokal, bahkan keseharian. Di sinilah ludruk menemukan jati dirinya sebagai teater rakyat dan agen perubahan, baik di masa kolonial maupun revolusi. Tidak seperti wayang, tari bedaya atau kethoprak yang muncul dari kalangan istana atau kaum elite, yang komunikasinya benar-benar mempertahankan tata bahasa Jawa. Ludruk memakai bahasa rakyat jelata yang cenderung kasar, egaliter, tanpa ungah-unguh. Selain dari sejarah, bahasa dan pengisahan, ludruk juga menunjukkan perlawanan budaya dengan kostum, yang umumnya memakai kaos merah putih dan ini merupakan semangat nasionalisme yang mensimbolkan bendera merah putih. Juga dengan karakter perempuan yang dimainkan oleh laki-laki, hal ini bisa diartikan ejekan pada rakyat yang tidak mau berjuang sebagai seorang banci atau perempuan.
Di zaman kemerdekaan ludruk masih memiliki fungsi kritik sosial, perlawanan, namun di era Orde Baru ludruk benar-benar dibungkam kreatifitasnya, dan dikenakan kaca mata kuda yang hanya boleh melihat dan bersuara satu arah, yakni kebijakan pemerintah versi Orde Baru. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya grup ludruk yang bergabung dengan instansi dan militer. Sebelumnya ludruk juga telah dimanfaatkan oleh partai politik pada tahun 1945-1965, di mana pada masa itu ludruk yang paling populer adalah “Ludruk Marhaen”, yang sempat main di istana negara 16 kali, milik Partai Komunis Indonesia. Saat itu kedudukan ludruk sangat vital dalam mempengaruhi rakyat. Sehingga PKI mengambil kebijakan untuk merekrut ludruk lewat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) guna menyuarakan partai, tak heran waktu itu banyak orang yang terpengaruh dan bergabung denga PKI, tanpa tahu subtansi visi dan misi yang sebenarnya. Yang akhirnya memunculkan prahara dan kudeta berdarah pada tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta.

Badut Politik
Waktu itu hampir semua partai politik memiliki grup ludruk sebagai corong partai untuk mempengaruhi dan mencari pengikut, khususnya di Jawa Timur, baik yang berbahasa Jawa maupun Madura. Ludruk menjadi primadona partai guna memenangkan pemilu. Di mana para seniman ludruk pun banyak yang akhirnya menjadi anggota partai. Dan fenomena tersebut dalam tataran politik modern saat ini, seniman atau artis menjadi primadona baru untuk mendulang suara partai atau diajukan untuk menjadi bupati, walikota dan gubernur, bahkan dari kalangan artis ada yang berani mencalonkan diri sebagai presiden. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan ternyata juga berpengaruh penting terhadap perjalanan sebuah bangsa, lewat partai politik atau independen. Namun bila tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki maka hanya akan menjadi badut politik.
Setelah era ludruk ditunggangi partai politik, di zaman Orde Baru nasib ludruk secara politis juga masih sama tragisnya, tidak merdeka dan independen. Ibaratnya keluar dari mulut ular masuk mulut harimau. Maka orientasi ludruk sebagai suara rakyat, aspirasi kaum bawah dengan kritik sosial dan mencoba mempengaruhi kebijakan pemenrintah, lagi-lagi menjadi terbungkam. Karena ludruk dikangkangi militer dan pemerintahan Orde Baru, di mana bermunculan nama-nama ludruk sesuai kesatuan militer; misal Ludruk Wijaya Kusuma yang terbagai hingga 5 unit (grup), di mana grup ludruk tersebut leburan dari Ludruk Marhaen-Surabaya, Anogara-Malang, Uril A-Malang, Tresna Enggal-Surabaya dan Kartika-Kediri. Ketika itu semua ludruk yang ada dibina oleh militer sehingga semua konsep pementasan haruslah sesuai atau mendapat ijin dari militer. Kebebasan berekspresi dan kreatifitas ludruk pun terberangus. Yang ada hanyalah satu suara-arah kebijakan yang sesuai dengan pesanan, sehingga dikenal juga sebagai ludruk pesanan, misal untuk klompecapir. Sebenarnya tidak ada salahnya ludruk menyuarakan pesan kebijakan pemerintah, namun seringkali ketika akan memberikan kritikan hal ini dilarang, yang boleh hanya pujian. Masyarakat pun akhirnya tidak memiliki kepedulian karena bahasa yang digunakan, abstrak, jauh dari kenyataan yang ada, sehingga kaku, tidak seperti aslinya dengan bahasa yang ceplas-ceplos, kasar dan familier.
Ludruk dapat menjadi kitab lupa dan gelak tawa bagi rakyat pada umumnya karena ia menyimpan tradisi dan memori hidup yang tak akan terhapus oleh sejarah apa pun, meski sejarah itu telah direkayasa. Karena ingatan pendukungnya lebih kuat lewat cerita dan humor hitam yang didedahkan. Ia menjadi saksi bagi perjalanan bangsa, ia menjadi ekspresi resistensi bagi rakyat jelata terhadap para penguasa. Karena hakikat ludruk adalah perlawanan yang menyuarakan cita-cita kaum lemah, ia simbol perjuangan mereka yang tertindas dan lahir dari kondisi sosial yang represif. Baik itu secara politis maupun ekonomi, di mana ludruk biasanya mengajarkan kearifan lokal dan ini merupakan perlawanan terhadap kapitalisme. Selain secara tradisi lisan menciptakan identitas lokal para pendukungnya. Secara politik ludruk telah menunjukkan jati dirinya sebagai bentuk subversif dari kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Sehingga bila kini banyak grup ludruk yang kehilangan orientasi perjuangan tersebut, dengan pasemon dan lawakan yang getir, pahit maka ia sedang menggali kuburnya sendiri. Karena secara perlahan rakyat pastilah akan meninggalkannya. Karena itu spirit ludruk sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa yang tiran haruslah terus dihidupkan, tentu saja dengan lawakan yang elegan,dan selalu menyerap aspirasi kaum bawah.
Namun kini nasib ludruk sama tidak menentunya dengan nasib rakyat penerima BLT, yang hidup secara subsistensi. Di mana kehidupan ludruk seakan-akan tergantung kepada belas kasihan para pendukungnya. Kadang pentas kadang nganggur, peran pemerintah untuk menghidupkan ludruk pun tidak sungguh-sungguh. Hal ini karena kebijakan pemerintah yang selalu memandang kebudayaan sebagai objek dan dagangan semata. Bukan sebagai ekspresi dan spirit rakyat yang tertekan, di mana roh kearifan lokal bisa memberikan siraman terhadap beban hidup yang mereka alami. Mungkin kalau Cak Durasim saat ini masih hidup, ia akan berkidung: “Bekupon Omahe Doro, Nasib Ludruk Soyo Sengsoro”.
***
Yoga Penyair dan Anggota Komite Sastra DK-Jatim

Selasa, 11 November 2008

Puisi di Kompas 23 Maret 2008


PELANCONG

mereka turun dari kapal di gelap malam
membawa senter, oncor dan peta masa lalu
dan gerimis senja mengantarnya pada hutan belukar
di sebuah tempat yang tak terduga
sebuah semenanjung di sebuah pulau
tempat budak-budak diternak

terdengar lolong serigala di perbukitan
tubuhnya bercahaya di antara bayangan bulan
dan hutan yang terbakar
rupanya bayang-bayang lebih gaib dari pikiran
karena ia selalu lepas dari genggaman

beri aku senapan, beri aku peluru teriakmu
ketika mendengar suara-suara binatang malam
kubisikkan kata-kata muram sebelum matanya lebih jalang
tunggu semua burung-burung pulang ke sarang
agar kau jumpai pikiran lepas dengan badai ingatan

ah kau inlander tahu apa tentang masa lalu
aku pun diam di bawah pohon besar
dekat sebuah makam purba bernisan batu
aku pun tahu sebentar akan sampai pada batas

di pantai ini hanya nasib yang mempertemukan
sebelum esok pagi kita pergi ke besuki
panarukan, panji dan asembagus
melihat pabrik-pabrik dan bising mesin
meminta kita untuk kembali ke masa-masa silam
ketika senjata menjadi panglima
dan pikiran-pikiran berputar-putar pada hasrat dunia
pejamkan matamu dan kau akan melayari semua impian
yang pernah terlupakan, sebelum tergadaikan

di pagi hari di pelabuhan jangkar sebelum gempa
kau memandang kapal-kapal yang berkabut
terdampar di pelupuk matamu yang biru
asap dan bayang-bayang masih menyelimuti
sebuah pulau, nun jauh di sana yang tak terjangkau
seolah diterjunkan dari bukit-bukit tandus
kebun-kebun tebu, sawah dan ladang hangus

dan di pabrik gula, mesin-mesin terus bekerja
memeras keringat dari madu kemurnian
dan sungai-sungai dipenuhi kegelapan
mengalir dari hulu menuju muaramu
sebelum kau layarkan ke pulau-pulau asing
tempat terjauh yang tak pernah kukenal

sebuah gudang tua milik tuan tanah
menyimpan sejarah gelap perbudakan
di ladang tebu, tembakau dan perkebunan
tubuh yang hitam berdiri memandang senja
di antara sihluet patung raksasa berambut gimbal
kau duduk di antara pohon-pohon tua
di pelabuhan kau berteriak, ini juga tanah airku
kau ambil peta dan kau bubuhi tanda
dulu aku juga dilahirkan di sini

aku tenggelam dalam kenangan
bunga harum yang kuharap telah jadi bangkai
ah kau hanya merayu untuk sesuatu yang sesat
ini bukan birahiku di antara sepi dan api
tapi hanyalah lelaki jalang yang mengembara
di antara pulau-pulau yang masih perawan
dan tanah-tanah yang minta diberkahi
aku beri tanda dan kau hanya bisa tengadah
nyalakan obor di kandang dan gubuk sebagai tawanan
hambamu hanyalah hamba yang tunduk pada takdir
kau hanya boleh memainkan kincir di batas mimpi

bau kemarau masih menyimpan tubuhmu dari seberang
di tanah ini telah kau tandai waktu dan sejarah
dengan pabrik, lori, tebu, tembakau dan kapal-kapal
agar masa lalu bisa terulang dan aku terkenang pada noni-noni
ah wajahnya putih susu dan betisnya seharum bunga leli
sedang bau keringatku seapek tembakau di gudang tua
kini kami mainkan tambur dan genderang di ladang-ladang
agar semangat kerja menjadi doa dan pahala

Situbondo, 2008
Kompas, 23 Maret 2008

LAYANG -LAYANG

layang-layang adalah masa kecil yang hilang
ia terbang ke atas dan turun menukik
dan sesekali menyambar-nyambar angin
ketika putus kau terperanggah dan menangis

lalu bangkit dan mengejar-ngejar bayangan
melintasi sawah, ladang, rumah dan menara
ke arah susuh angin yang tak kutahu di mana rimbanya
yang begitu sempurna mempermainkan sayap sihirnya

dalam pengejaran ini aku semakin tercekam
ketika memasuki senja dengan cahaya suram
yang kulihat hanya bayang-bayang gelap
yang mengejar-ngejar dan mempermaikan waktu

Ngawi, 2008
Kompas, 23 Maret 2008

ASMARALAYA

di antara pohon-pohon kamboja
dan rerontokan bunga kenanga
ilalang panjang dan nyanyian rembang

kusaksikan sebuah isyarat senja
di epitat reruntuhan makam
kekasih adalah batu yang dipahat waktu

Ngawi, 2008
Kompas, 23 Maret 2008

Puisi Kompas 14 September 08

PENYAIR LAPAR

ia lupa bila seharian belum makan
ia hanya mengunyah ribuan kata
yang tak bisa membuatnya kenyang
ia singkap makna agar memperoleh terang

agar akar rahasia kata terkuak menjadi tanda
namun makna sembunyi dalam kesunyian
ia selesaikan sebuah puisi
namun hanya deretan bangkai kata

dengan dekoratif imitasi yang menghiasi
ia tahan semua laparnya hingga larut malam
seharian tak mandi dan tak makan
sedang secangkir kopi dan rokok inspirasi

hanya bualan belaka
dan laparnya semakin menjadi
ia lihat komputer menjadi kabur
seolah berada di dalam kabut

kini ia merasa kata-kata mulai berloncatan
berakrobat ria membentuk sebuah puisi
memakai topeng kata untuk merengkuh isi
ketika tersadar dari halusinasi

laparnya semakin menggila
ia lapar rahasia perut
ia lapar rahasia kata
ia lapar rahasia hidup

hingga ia bicara tentang maut
yang hampir menjemput
pada layar komputer
yang kosong

Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008

GERIMIS

mungkin aku tak pernah
menulis puisi cinta untukmu
seperti sekuncup bunga mekar
di musim hujan
tak mengenal pagi yang cerah
namun tiba-tiba wajahmu
tertunduk memandang senja
yang hampir tenggelam
wajahmu bagai mimpi dalam kesepian
dan bukan kebahagiaan yang pernah kukenal
kusemayamkan kenangan di ruang dalam
tempat keris dan tombak tertidur
kutulis gerimis di alis matamu
yang melengkung bagai bianglala
bukan hujan kemarin yang menggugurkan bunga
namun hanya gerimis lewat
yang menanam jejak dan biji-biji mawar
yang kau cari sepanjang malam
karena ia menyimpan birahi
sepanjang hari
ini bukan puisi cinta tentunya
ketika matamu berkilat-kilat bagai clurit
ingin menebas jantungku yang berdetak
bagai tunas cahaya milikmu
yang kucari dan kupetik dari sinar bulan
seperti wajah ibu yang dulu kukenal
sebelum lenyap ditelan malam
mungkin ia jadi ular
atau perigi tempatku mandi
pagi ini kupetik rasa takut
agar kecemasan umur
tak membuatmu surut
dan membuat kita hanyut
ini hanya jalan kecil
sebelum menuju rumah

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

RINDU

ia putih seperti butiran salju
tapi bukan kapas yang mudah diterbangkan angin
ia tahu dirinya tipis bagaikan kertas
tapi bukan tempat mencatat jejak, kisah dan sejarah

ia hanya menampung luka yang tak pernah sembuh
ia lebih lapar dari ular yang sedang puasa
ia ingin menjadi sepiring daging
agar semua bisa merasakan nyeri

ia lebih mirip darah yang memiliki urat nadi
yang melintasi lorong kegelapan di dalam tubuh
ia pun selalu merindukan sebuah danau
di tengah hutan yang setiap saat bisa ia temui

di mana semua rupa menjadi semu di dalam air
ia ingin menjadi cermin bagi semesta burung-burung
karena ia tahu hanya bayangan yang menipu kenyataan
ia ikhlas akan rasa sakit yang selalu datang setiap saat

ia bukan sosok yang bisa dikenali
ia hanya ingin menjadi api selamanya
agar tabah ia menahan dingin dan sepi
agar tak terasa sakit bila terbakar nanti

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

LUDRUK

ia rias wajahnya agar lebih cantik
ia menjadi sang putri malam ini
bukan sebagai lelaki yang biasa ia lakoni
yang datang dari rasa birahi

di panggung penonton masih sepi
ia ingat bedak terakhir yang tersimpan di laci
agar wajahnya tambah putih bunga leli
menyempurnakan penyamaran hari ini

atas riwayat hidup yang ingin dilupakan
dulu ia pernah menjadi tokoh yang gagal
kini ingin berganti peran dan nasib
agar semua rahasia bisa tersingkap

agar kenangan masa lalu bisa terkubur
dan bayangan sunyi sehabis subuh bisa berganti
ia mondar-mandir di tengah panggung
seperti hendak menanti eksekusi

ia berkidung agar semangat tidak luntur
sementara penabuh gamelan masih tertidur
tukang parkir sudah seminggu libur
ia ke tengah tobong menghitung kursi kosong

ia memandang panggung dan menyaksikan
permainan yang sesungguhnya sedang dimulai
ia lihat bayang-bayang dirinya di jendela kamar
bergincu tebal sambil melambaikan tangan

tanjung perak mas
kapale kobong
monggo mampir mas
kamare kosong

Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008

KOLAM

di kolam ini
tak kutemukan apa-apa
kecuali suara angin berbisik
airnya dingin seperti tubuhmu

dedaunan rontok di atas air
berayun-ayun ingin kembali ke pinggir

kau nampak hilir mudik
dengan wajah pucat
disaksikan remang bulan di malam hari

kadang-kadang kau terpekur di tepi kolam
sambil memandang kedalaman wajahmu

yang samar terbayang
dihanyutkan gelombang

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

Selasa, 27 Mei 2008

BAU BUSUK DI KAMAR MANDI

BAU BUSUK DI KAMAR MANDI

Naskah Monolog: S. Yoga


LELAKI SETENGAH BAYA :

(Setting di ruang kamar mandi yang cukup besar, di dalamnya ada wastafel, handuk, pisau cukur, kloset, bak mandi, kran dari atas, korden, cermin dengan perlengkapan rias, ada bedak, sisir, sikat wc. Seorang lelaki setegah baya masuk, berpakaian lengkap, necis, pakai dasi dan membawa tas. Meletakkan tas. Memandang lama ke arah cermin besar, mengamat-amati, nampak curiga pada wajahnya sendiri). Aku kira tak ada yang berubah sejak aku dilahirkan. Wajahku tetap sama bersih.

(Melihat jam, lalu mondar-madir). Apakah aku harus berangkat. Istri sudah berangkat kerja sejak dini hari, tempat kerjanya jauh, anak-anak berangkat sekolah, pembantu ke pasar, tinggal diriku yang kesepian. (Menciumi tubuhnya sendiri). Apakah aku harus mandi lagi. Kenapa tubuh ini akhir-akhir ini baunya tidak enak. (Membau tangannya yang sudah ia uapi dengan bau mulutnya, lalu menutup mulutnya yang berbau tidak enak). Ah kenapa mulutku baunya tidak enak sekali. Aku harus mandi. Aku harus mandi lagi. Aku tak peduli pertemuan di kantor terlambat.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Lelaki itu mulai membuka dasi, jas, baju, sepatu, kaos kaki, celana panjang, hingga hanya mengenakan celana kolor dan kaos dalam putihnya. Ia segera mengambil pasta gigi dan sikat gigi. Segera mengosok gigi. Berkumur. Membau bau mulutnya lagi dan mengulangi gosok gigi lagi). Kenapa? Kenapa? Kenapa ini semua terjadi padaku. Bau mulut saja tak mau hilang.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Jalan mondar-mandir). Terkutuk. Terkutuk bau mulut ini. Apalagi nanti ada pertemuan. Busuk. Busuk. Busuk mulut ini. (Kaget dengan reaksi perutnya). Aduh perutku. Bebaskan aku dari penyakit ini. Bebaskan aku dari kutukan ini.

(Berlari, memelorotkan celana dan duduk di toilet, berak, telepon berdering tapi dibiarkan saja). Aduh! Aduh! Oh lega sekali. Lega sekali. Semua ini baunya minta ampun. Benar-benar bangkai. Apa benar yang dikatakan dokter. Ini semua perihal pencernaan. Aku harus cari obat alternatif lain, orang-orang pintar yang aku datangi semuanya tak membawakan hasil. Mereka hanya mengingatkan bahwa semua yang dimakan manusia ada sebab akibatnya. Kalau yang dimakan halal keluarnya ya halal. Kalau yang dimakan haram keluarnya ya haram. Kalau kita dapat uang dengan cara yang tidak jujur, dibelikan apa pun juga tidak berguna bahkan bisa mencelakakan kita. Orang pintar itu justru menuduhku orang yang tidak baik.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Kini ia buka semua pakaiannya, telanjang, lalu duduk di pinggir bak mandi, membuka kran yang hangat, sambil sesekali membau badannya). Masih bau juga. Darah apa yang aku kandung selama ini. Darah keluargaku. Darah nenek moyangku. Oh sejarah yang kelam. Darah dari darah yang berbau. Kotor dan busuk.

(Terdiam, berjalan berkeliling). Sejarah manusia memang selalu kelam. Sejarah manusia memang selalu terluka. Terluka oleh orang lain. Oleh perasaan kita sendiri. Oleh nasib kita yang selalu tidak mujur. Oleh orang-orang yang dekat dengan diri kita. Oleh orang-orang yang kita cintai. Terluka oleh anak-anak kita. Terluka oleh istri tercinta kita. Oleh orangtua kita. Oleh mertua kita. Oleh atasan kita. Oleh nafsu kita. Semua ini bermula dari ayah mertua. Sudah aku katakan bahwa aku tidak mau bekerja sebagai pegawai keuangan. Itu semua bukan keinginanku. Rasanya aku malu dengan diriku sediri.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Ia mulai memasukkan shampo busa, perlahan badannya direndam dalam bak mandi, dan sesekali berdiri menikmati guyuran air dari kran bagian atas). Semua ini karena istriku. Ya istriku. Aku tahu siapa yang berlaku tidak baik di rumah ini. Sudah tidak beres keluarga ini. Dulu kelihatan baik. Tapi akhirnya semuanya terbongkar sudah. Aku harus belikan gelang. Aku harus belikan cincin. Aku harus belikan mobil. Akhirnya aku harus pandai-pandai menyiasati pembukuan. Tapi hari ini aku harus berhadapan dengan petugas pemeriksa keuangan. Aku takut ketahuan. Aku takut. (Telepon berdering tapi dibiarkan). Aduh! Aduh!.

LELAKI SETEGAH BAYA :

(Duduk di pinggir bak mandi sambil bermain air). Kapal ini sudah karam. Untuk apa dipertahankan. Tidak jelas siapa nahkoda di rumah ini. Rasanya aku hanya boneka.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Telepon berdering lagi tapi dibiarkan. Ketakutan). Sekarang saatnya aku harus mempertanggungjawabkan semuanya. Aku harus menghadapi pemeriksa keuangan. Mereka tidak mau diajak kerjasama sama sekali. Aku bingung. (Merasa ketakutan sekali dan kecewa, hilir mudik tak karuan).

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Lelaki setengah baya duduk di atas kloset setelah mengambil pisau pencukur jenggot). Kalau hidup begini terus. Dikejar-kejar rasa bersalah yang tak habis-habisnya. Alangkah baiknya kalau aku bunuh diri saja. (Mempermainkan pisau). Rasanya masalah akan selesai. Tapi ini tindakan bodoh.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Bercermin dan mulai meracau dengan lamunan pikiran-pikirannya). Wajahku rupanya tidak seperti yang dulu lagi. Aku tahu ini bukan wajahku yang asli. Rasanya aku sedang memakai topeng. Semua orang di kantor juga memakai topeng. Mereka baik sama semua orang namun ada maksudnya. Sering aku melihat pegawai kantor bila menghadap atasan memakai topeng mereka bicara manis. Aku melihat di kantor-kantor lain juga orang-orang memakai topeng. Aku melihat orang-orang di televisi juga memakai topeng. Aku melihat orang-orang di atas podium sambil berpidato berapi-api juga memakai topeng. Aku melihat para tentara yang katanya menegakkan keamanan dan kebenaran juga memakai topeng. Aku melihat para polisi yang menjaga ketertiban juga memakai topeng. Aku melihat para hakim dan jaksa di pengadilan juga memakai topeng. Aku melihat wajah-wajah para anggota dewan juga memakai topeng meski berwarna-warni namun tujuannya sama. Apalagi kalau bukan uang. Memang topeng salah satu alat untuk menghibur dan mendatangkan uang. Para badut-badut itu gentayangan di kantor-kantor. Aku juga melihat para menteri memakai topeng dan berganti kostum. Aku seringkali melihat presiden memakai topeng saat berpidato dan wawancara. Dan aku melihat para wartawan yang mewanwancarai juga memakai topeng. Jadi semua orang kini sudah memakai topeng. Oh negeri badut yang malang. (Telepon berdering tapi dibiarkan saja).

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Tersadar dari lamunan yang membuat dirinya meracau). Oh, Tuhan maafkan pikiran-pikiran kacauku ini. Semoga mereka tidak bersalah. Semoga pikiran-pikiran tidak waras ini tidak terbukti. Semua orang di negeri ini baik-baik saja. Bersih-bersih saja. Hanya dirikulah yang paling terkutuk. Maafkanlah aku. Maafkan.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Telepon berdering. Berjalan hilir mudik bingung bukan main). Apakah aku akan hadir dalam pertemuan nanti. Apakah aku tetap di sini hingga pertemuan usai. Kalau aku hadir semua akan terbongkar. Rasanya yang paling tepat aku harus hadir. Berani berbuat harus berani bertanggungjawab. Inilah hidup. Rasanya lebih baik aku mengikuti semua petunjuk atasan. Biarlah kalau ketahuan atasanku juga akan kena. Apalagi atasanku tentu sudah punya jalur khusus, punya backing. Jadi kenapa aku harus takut dengan petugas keuangan. Ya aku putuskan untuk berangkat sekarang juga waktu masih cukup. Lima menit ke kantor sudah sampai. Aku harus berangkat. Aku harus berani.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Segera memakai baju dan celana, jas, dasi dan sepatu, bercermin, mematut matut diri, siap berangkat). Tapi bau apa ini yang keluar. Bau apa ini. Busuk sekali. Busuk sekali. Pasti kloset itu. (Membuka kloset). Bukan ternyata. Lalu bau apa. Pastilah bak mandi itu. Tapi nggak ada apa-apa. Tidak ada bangkai. Ini pasti bangkai tikus. Pastilah tikus itu mati di saluran pipa. (Memeriksa saluran pipa). Bukan dari saluran pipa. Kalau dari sini pastilah baunya busuk sekali di sekitarnya. Lalu bau apa. Apa kaos kaki ini. Tapi barusan dicuci. (Bercermin lalu mencium baju dan tubuhnya). Ya, Tuhan bau busuk itu datang dari tubuhku. Ya tubuhku yang berbau busuk. Tubuhku yang kotor. Jiwaku yang kotor. Hatiku yang tercela. Tentu saja dengan bau yang sebusuk ini aku tidak berani menghadap pemeriksa keuangan. Aku tahu mereka pasti akan mencium bauku. Bau yang sangat busuk. Aku tak akan pergi ke kantor. Aku tak berani menghadap. Bau busuk ini. Harus aku tutupi dengan apa. Dengan apa.

LELAKI SETENGAH BAYA :

(Telepon berdering. Mengambil bedak di tempat rias dekat cermin). Dengan bedak ini baunya akan hilang. (Menaburkan bedak ke wajah dan seluruh tubuhnya yang sudah berpakaian rapi). Baunya hilang. (Teriak-teriak sambil berlari-lari). Bau busuk hilang. Oh masih bau. Masih bau busuk. Seolah bau busuk datang dari neraka. Kotoran terbusuk di dunia. Aku harus bersih menghadap petugas penyidik. Aku harus bersih. Tidak sebusuk ini. Memang baunya luar biasa. Siapa pun pasti akan mencium. Pasti tercium. Sepandai-pandai tupai meloncat suatu saat akan jatuh juga. Sepandai-pandai menyimpan bangkai suatu saat akan tercium juga. Ya hidupku penuh dengan kebusukan. Penuh dengan orang-orang busuk yang berada di sekitarku. Ya semuanya karena uang. Uang dan goadaan materilah yang membuat semua bau busuk ini. Aku menjadi gila sekarang. Aku harus bagaimana. Kalau aku menghadap …… (Telepon berdering. Berdiri di pinggir bak mandi). Ah kacau semua hidup ini. Lebih baik aku mandi lagi biar bersih. (Telepon berdering. Masuk bak mandi). Ya Tuhan ampunilah aku. Ampuni dosa-dosaku. Aku kapok. Aku tak akan mengulangi lagi. (Telepon berdering. Ia ambil kopor dan ia buka, isinya uang semua, ia hambur-hamburkan) Ini semua karena ini. Karena uang (Sambil kepalanya ditimbul-tenggelamkan dalam air). Bau busuk. Busuk sekali. Busuk. Busuk. Busuk. Busuk …….(Telepon terus berdering). Busuk…… Busuk…. Busuk….. (Lama-lama wajah lelaki setengah baya tenggelam dalam bak mandi, telepon terung berdering dalam kesunyian dan kegelapan).

SELESAI.

***

Madiun, 10 September 2003



Puisi di Suara Merdeka



JERAMI

kenapa tubuh selalu layu dalam tatapanmu
teronggok di tengah langit kesunyian
meski matahari selalu menyinari
hingga kesempurnaan tak pernah kudapat

hanya embun yang selalu menyelimuti
dan jubah malam yang menemani
pernah kupercaya rindumu akan datang tepat waktu
namun bertahun kutunggu kau tak pernah datang

hanya asap yang kau kirim sebagai isyarat sebab
tubuh menggigil dalam penderitaan tak berkesudahaan
pernah kupinjam tubuh baru dengan warna cerah
jiwa menolak dan ingin kembali padamu jua

warna warna telah kutuangkan ke dalam tubuh
kucat seluruh permukaan, dalam dan ketinggiannya
namun ruangku tak pernah puas dan terjamah
hingga dahaga selalu datang terlambat

dahan dahan muda pernah kusihir menjadi diri
namu wajah tetap sayu tak bisa ditipu dan ditiru
meski tetap tegak berjalan ke arah senja
ketika aku bertanya dengan apa aku dibuat

hanya seekor cacing yang terus menggemburkan tanah
ketika aku bertanya ke mana semua akan berakhir
tak seorang pun mau menjawab dan semua menjauh
hanya cerlang embun yang mengirimkan isyarat langit

ketika aku merenungi semua jawaban
tak kusadari perlahan api dalam diri telah membakar
hingga asap hidup yang bisa kuhirup
sebelum tubuhku membusuk

***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008

LUMUT

untuk apa aku melawan cahaya
bila semua yang kuperlukan tersedia
kesunyian bukan duka yang harus ditangisi
dingin batu maut yang tumbuh di tubuhku

adalah teman abadi yang mengajak samadi
air telah mendinginkan hati yang mulai mendidih
untuk apa kusuntukkan doa hingga pagi
bila hanya kesementaraan yang kutemui

bila keremangan terus menghayuti bagai malam
itulah hakikat hidup yang kelak kau maknai
sebagai tanda bahwa kau bukan yang abadi
kesempurnaan hanya ada dalam angan

dan hatimu akan luka bila kau terus meminta
agar cahaya membuatmu lebih dari pualam
karena kesepian akan lebih abadi dari kelahiran
angin telah mengabarkan ada yang lebih sesat

daripada memaknai dan menandai jejak perjalanan
bila kau sudi tubuhmu kuminta kembali
agar asin garam, kerikil dan pasir tak melukai lagi
karena cahaya bukan tempatku bertahta

***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008

LINTAH

permainan permainan cahaya yang kau perankan
dalam air yang bening hanyalah kemilau permukaan
sedang lautan akan selalu meminta hening yang dalam
sedalam lubuk hati yang tak pernah mendesah

telah kucegah darah yang keluar dari kulit ari
agar kau bisa mengembalikan tafsirmu
seperti yang selalu diminta lautan
hanya akan menerima kesetian yang tak cacat

hidupmu penuh perlambang tak terjamah
namun cermin yang selalu kau bawa dalam kegelapan
hanyalah samar menunju satu jalan
hingga kau selalu terjatuh dan tersesat

setiap akan memasuki lobang cahaya
demikian juga aku yang gagal menerjemahkan malam
darah telah kau kumpulkan dalam perjalanan panjang
agar sampai jasadmu ke haribaan

namun darah mudamu diminta untuk disucikan
sedang gelap datang dan menyerbu lubukmu
mataku telah kupinjamkan
agar tajam awasmu dapat menerka

waktu yang terus berputar
seolah warna senja akan segera tiba
sudah kuduga kau tak akan bisa
menjinakkan jentera malam

kupinjami lagi tubuh ini agar bisa menghias diri
agar tubuhmu tidak berledir lagi
hanya satu permintaanku sudikah kau kiranya
memimjamkan nafsumu itu

***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008

Puisi di Kompas, 6 November 2005



SAPI SONOK


cermin di bumi

cermin di langit

datanglah padaku


irigan irigan sesajen

musik saronen, arak arakan payung purba

terompet, siter, tetabuhan

gamelan dan gong bertalu talu

membuka rahasia hidup


langkah sepasang sapi jantan dan betina

menari nari dengan pakaian kemanten

dihiasi pernik pernik, gelang, kalung, perak

tembaga dan alis mata tegak

mata berbinar menuju pelaminan

menuju duka dan nestapa

menuju kebahagiaan dan keabadian


satu langit dan satu bumi

didandani bersepakat satu rumah

kandang sapi, bau apek, tai terbakar

dan pesing air kencing, lumpur basah

adalah lantai lantai kehidupan

yang harus dijalani

di depan ada cermin

maha luas

cermin siapakah itu

tak ada yang tahu

hanya ekor sapi yang kebat kebit

mengusir lalat hijau sebesar jempol tangan

yang menghisap pantat coklat


sepasang kemanten terus menari nari

diiringi musik bertalu talu

dalam rimba kata kata yang terdengar

cempreng di pengeras suara yang hampir pecah

kaki kiri dan kaki kanan bersijingkat seirama saronen

kepala berlengak lengok dengan gemerincing genta

yang terpasang di leher

seperti orang berdzikir

dengan pakaian warna warni

hijau pupus, merah lembayung dan kuning langsat

bagai keberanian sedang dipertaruhkan

dengan doa sekerabat dekat

dan puja puji dari nyanyian ilahi


orang orang bertepuk tangan

sambil melambai lambaikan masa lalu

dengan kaki yang gemetar terkena busung lapar

melepas upacara yang sedang dihelat

apakah akan lulus memasuki kehidupan


dua cermin yang terpasang

di kanan kiri gapura

memantulkan bayang bayang hitam

diselingi cahaya cahaya yang kemilau

dua sapi saling berebut simpati

dalam tarian purba yang wingit

di depan cahaya mereka berdua

berlutut dan memberi sembah

dengan dua kaki tertekuk

sujud kehidupan dan sujud maut

kepada ilahi

musik mengalun kembali

dalam seruling yang meninggi

seolah suara terompet dari

yang maha jauh


di balik kelambu

sepasang kemanten sedang bercengkrama

menghitung keuntungan

dengan baju baju baru

perhiasan baru

hadiah baru

sambil ekornya

mengibas ngibas

kiri kanan

mengusir

kesunyian

dan saling

berbelit

lit


*Sapi Sonok, sapi Madura yang dilombakan keindahan dan kepandaiannya menari diiringgi musik.


Gapura-Sumenep 2005

(Kompas 6 November 2005)



CEMARA UDANG

buat d zawawi imron


kau telah renta

dengan suara parau

lukisan lukisan di dinding

semua berbentuk abstrak

yang kulihat hanya sebaris

huruf alif


saban hari kau hanya mengikat diri sendiri

tak jauh dan tak dekat

tak tinggi dan tak pendek

duniamu kini hanya ada di sekitar

bonsai kata kata

kata kata yang kau ambil

dari alam dan semesta

kau bayangkan kata kata

adalah rumahmu sendiri

yang penuh dengan cemara udang

yang kau tanam dalam pot porselin

kau sirami, kau rawat dan kau potong

daun daun kata kata tumbuh ke segala arah

namun kau luruskan lagi ke arah kiblatmu

yang indah dan bersahaja

seindah suara gadis remaja

mengaji di surau senja hari

ayat ayatmu mengalun dari

lembah ke lembah

hati ke hati


di pagi hari cemara udang yang kau bonsai

tumbuh dengan dahan dahan yang lebat dan liar

seperti berkelebatannya kata kata dalam pikiranmu

yang tak tertuang dalam alifmu

kini saban pagi kau tunggui daun kata katamu

yang berguguran ke bumi


*Cemara yang berbentuk seperti udang terbalik, banyak tumbuh di Pantai Lobang, Sumenep.


Gapura-Sumenep 2005

(Kompas 6 November 2005)



ASTA TINGGI


kuburan itu seperti pasar

karnaval para pesiarah

pelancong dan kaum muda yang pacaran

tak kutemukan tempat keramat

yang dulu ada

hanya ada pohon mengkudu

tak berharga

kecuali pohon nangger

dengan kalong bergelantungan

seolah mayat yang terbungkus

kain hitam digantung di bumbungan

jejakmu kini tinggal fosil cerita lama

yang tak dipercaya

begitu pula aku yang ragu akan

kenangan kesempurnaan hidup

yang terbayang hanya selir selir

dan dayang dayang cantik yang

selalu kau keloni sebelum berperang

di mana kini rohmu berada

hanya kekosong warna senja

dan lelawar berterbangan dari

gua hidupmu

gua malammu

gua pohonmu

tempat para malaikat mengintip hidupmu di malam gelap

bagiku malam adalah maut yang menjemput

sebelum neraka pagi meminta untuk

berkorban pada nafsu duniawi

kerja kerja kerja dan kerja

jadi hidup membosankan bukan

lebih baik menghafal kitab

dan menunggu mati

berbaring bersamamu


*Makam para Adipati Sumenep


Gapura-Sumenep 2005

(Kompas 6 November 2005)




Sabtu, 24 Mei 2008

Puisi di Jurnal Nasional


LILIN

telah kumusnahkan tubuh yang dulu
hingga dapat kuciptakan bayangan baru
dengan api yang selalu menghabiskan
kepercayaan kepercayaanku telah jatuh

ke dalam jurang jurang malam
pada langit yang tak pernah kujangkau
kuharap kau merunduk dan menciumku
karena hanya ruang yang dapat kupahami

dengan waktu pun aku telah menjauh
karena hanya akan mengekalkan kesunyian
yang selalu kumusuhi dalam mencari terang
aku hanya bertamsil pada angin yang membisu

di atas meja berplitur yang menggoda
debu debu telah bersetubuh dengan waktu
mengincarku dengan bidikan lumpur
agar aku runtuh dalam lobang yang sama

lobang yang pernah kugali saat kejatuhan dulu
saat aku membenci warna yang menyilaukan
ketika aku menyihir bayang bayang
dari kenikmatan kenikmatan dunia

di atas penderitaanmu
memang kebahagiaan yang selalu kucari
dengan api yang menerangi kegelapan
sebelum tubuh habis dilalapnya

***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008

IKAN

bukan aku yang ingin mendustai
sisik sisik ini bukti keremajaanku
meski telah kutempuh berpuluh lautan
jurang, palung dan kapal karam

yang selalu menggoda adalah waktu
yang tak pernah mau menunjukkan arah
hingga cahaya lautan tak dapat kutaklukkan
maka terimalah aku sebagai kepunyaanmu

bila belum dengan apa aku harus datang padamu
akan kuberikan jika kau minta seluruh harta di laut
namun kau hanya mengirimkan isyarat ombak
yang kuterjemahkan dalam ibadah

bahwa keikhlasanku belum sampai batas
kugali lagi darah air agar dapat menjadi bukti
bahwa aku pernah sampai di palung terdalam
untaian untaian mutiara ini buktinya

yang telah kuraih dari mulut tiram yang karam
istana dan kerajaan lautan pun pernah kusinggahi
namun tak kutemukan kau di singgasana
hanya ada jerangkong kosong bermahkota lumut

telah kusihir beribu kuda laut agar takluk
namun desirmu telah menggagalkan semua rencana
padahal pasir pasir telah berjamaah bersamaku
agar selalu setia menemani dalam kesepian

agar selalu setia menemani dalam kegelapan
akan kutunggu dan kujebak kedatanganmu
kusiapkan perangkat doa agar kau menerimaku
sebelum matahari mengeringkan lautan

***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008

TULANG

telah kuterima nasihatmu wahai sang malam
agar aku tabah menerima semua ini
menerima kepurbaan yang terus melapuk
menerima lumpur yang terus menyembur

darah atau lumpur tak pernah kuingat benar
ke dalam pori pori yang tak pernah berkuasa
bukan aku menolak tapi isyarat malam terus menatap
karena matahati telah terkubur di jantung nafsu

dan sumsum hidup telah terhisap ke dalam lambung
aku tak ingin melukai hatimu yang rapuh
dan tak ingin menyempurnakan kefanaanmu
setiap hari aku hanya bercermin pada labirin waktu

yang kuterjemahkan sebagai tugu kesunyian
sebelum kebangkitan cahaya yang pertama
arwahmu telah memintaku untuk kembali
namun aku masih sabar menghadapi kegelapan

***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008

AKIK

telah kuserap semua cahaya yang kukenal
ke dalam diri yang gelap gulita
agar raga dapat kau lihat dengan kemilau
agar kesempurnaan bukan lagi kemustahilan

apa gunanya bertapa di dalam gua
bila batu batu tetap menyertai
tubuh begitu berat sebelum terbasuh dalam air
rasa yang tak pernah kujumpa sebelum kejatuhan

langkah besarku menjadi begitu bebal dan gagal
bila kusidik dari jemari tangan yang hening
gerinda telah membuatku mahir memainkan peran
menggosok tubuh hingga mengilap

jasad yang sebentar tampak indah
lumpur lumpur telah kutaklukkan dalam air bening
telah kusuling menjadi kristal kristal cahaya
sebelum musuh musuhku membuatku lebih berharga

batu mulia kau sebut ragaku yang baru
namun aku undur dalam kata kata mutiara
sebelum para aulia
mempercayai

***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008

MATA

kubenamkan matahati di air hening
ketika subuh mengutusku ke dalam sepi
kubuka jendela dan matahari menghampiri
sisiknya bergelantungan di janggut pepohonan

berkilauan diiringi cericit burung pipit
dengan api pagi kuambil jaketku yang lusuh
siap berangkat bertarung dengan waktu
mataku kini memang sunyi di bawah tatapanmu

tapi percayalah dendam telah kusimpan rapi
di almari hati yang luka oleh kenangan
sebenarnya enggan aku menatap sebening telaga
karena cahaya hanya memantul di permukaan air

ingin aku tenggelam selamanya di dasar kolam
agar raga berlumut dan menebal dalam warna kelam
agar diri terhindar dari gelombang cahaya
telah kusidik luas dan panjang palungmu

dengan mata yang hampir buta karena luasmu
tak mampu kujangkau dan kuukur kekufuran ini
sedang jejak jejak yang pernah tertinggal
hanya samar dan hampir terhapus kitab waktu

batu dan ilalang telah kujinakkan
dalam rumah doa dan savana
agar ia tabah dalam mencari mata sejati
yang berwajah kesunyian

***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008

Mati Suri Teater Jawa Timur


MATI SURI TEATER JAWA TIMUR
Oleh S Yoga

Pada dekade terakhir ini dunia teater Jawa Timur, bahkan Indonesia, benar-benar mengalami kemerosotan. Tidak tampak kelompok teater yang kuat muncul. Kalaupun ada, hanyalah teater-teater dan aktor-aktor lama yang bangkit dan berpentas, misal Teater Koma.

Noorca M.Massardi bahkan meminta Festival Teater Jakarta dibubarkan saja (Kompas,7/1) karena kualitas pesertanya makin merosot jauh. Demikian juga Festival Teater Remaja Jatim yang tak kedengaran gaungnya, meski setiap tahun diadakan.
Ada apa sebenarnya dengan dunia teater kita hingga kini tak memunculkan kekuatan yang dapat dibicarakan di tingkat provinsi atau nasional. Jangan-jangan para pekerja teater belum dapat menyadari bahwa kerja teater sebenarnya bagaikan ilmuwan yang sedang melakukan riset.
Sering saya melihat pementasan teater, baik di daerah maupun di Surabaya, menampilkan naskah yang cenderung tidak memiliki karakter antartokohnya sehingga pementasan seolah suara dari satu karakter. Artinya, kelemahan yang pertama adalah naskah yang sering dibuat sendiri.
Coba kita hitung di antara pementasan yang pernah ada, sangat minim kelompok teater yang berani menampilkan naskah standar. Pada tahun lalu saya mencatat naskah standar ditampilkan ditampilkan dengan cukup bagus oleh kelompok Teater Unisma Malang di Festival Seni Surabaya dengan naskah Aduh (Putu Wijaya), yang berani mengimajinasikan seting dalam sebuah lingkungan pabrik dengan mesin-mesinnya. Sebuah penemuan dan kerja kreatif yang patut diacungi jempol.
Kemudian kelompok Tombo Ati dari Jombang yang menampilkan Kapai-Kapai (Arifin C.Noor) di Cak Durasim. Akan tetapi, kelompok ini agak lemah dalam penyutradaraan karena waktu yang terlalu lama, sedangkan greget pementasan mulai kedodoran. Pilihan naskah standar inilah yang patut ditiru oleh kelompok-kelompok lain kalau benar-benar ingin bermain seni peran, keaktoran.
Pementasan-pementasan yang ada di beberapa kota umumnya menampilkan sebuah pementasan yang mirip-mirip gaya bermainnya Teater Sae, dengan naskah yang serupa ditulis oleh Afrizal Malna. Jangan lupa, sebelum Teater Sae berkecimpung dalam naskah-naskah semacam itu, mereka pernah merajai Festival Teater Jakarta dengan naskah-naskah standar . Ibarat seorang pelukis, mereka ini sudah menguasai lukisan realis terlebih dahulu sebelum melukis surealis atau yang lain.
Namun, yang saya temui dalam pementasan di beberapa kota menampakkan bahwa kelompok teater ini tidak menguasai lukisan realis, tetapi langsung melukis surealis atau absurditas. Ketika diminta untuk melukis realis yang muncul lukisan-lukisan yang lucu dan tak berwatak. Inilah wajah teater kita hari ini, menempuh jalan pintas yang metodologinya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Sebuah kelompok msetinya memiliki jati diri dan bukan jati diri orang lain, kecuali mereka mampu melakukan terobosan kreativitas yang radikal dari pendahulunya. WS Rendra pun pernah melakukan pementasan mini kata, namun ia kembali lagi kepada hakikat teater, yakni seni peran. Bahkan ia mengatakan pementasan semacam itu hanya merupakan eksplorasi dalam metode pelatihan.
Ada beberapa catatan menarik dari pementasan teater di jatim selama ini.
Pertama, merupakan manifestasi dari budaya massa. Banyak pementasan yang menyiratkan adegan sinetron, misteri, detektif, serta banyolan ala Srimulat dan film aksi yang mengharu-biru penonton dengan realitas diangan-angan. Bisa jadi tanpa sadar para pelaku pementasan yang bernapas budaya massa, bersifat menyenangkan, wishful thingking, adalah produk yang gilang-gemilang rekayasa budaya saat ini. Akhirnya yang muncul dipentas tak lain konflik kata-kata, karakter tunggal: flat character. Bentuk seninya masih dicari-cari sehingga kesadaran sosial dan kemasyarakatan menjadi terabaikan.
Kedua, meski pertunjukan dikemas rapi dan baik, berlubang besar kejiwaan tokoh-tokohnya. Kelompok seperti ini sebenarnya cukup menguasai teknik teater, tetapi begitu tergoda dengan hasrat pemberontakannya, tidak sabar dan tidak jeli dalam teknik penyampaian. Rupanya kredo dari kelompok-kelompok ini memang sudah mengkhususkan diri pada teater kesadaran yang didaktis. Jika kelompok-kelompok ini bisa keluar dari rasa “amarah” yang berlebihan, tentu hasilnya akan merupakan bentuk seni yang menarik, berupa suatu gerakan kesadaran. Seni bukan suatu entitas mati. Ia dinamis sejalan dengan kesadaran manusia.
Ketiga, memilih naskah yang sublim, namun ekspresi seninya kurang mendapat porsi yang optimal. Sebenarnya dengan menggarapa dengan lebih jeli lagi mengerahkan segala daya kreativitas untuk mewujudkan kompleksitas karakter: round character. Pementasan mereka akan lebih memberi siraman rohani, batin kita yang merupakan roh dari gerak budaya. Mereka akan mampu menyebarkan gagasan, tematik yang penting guna pencerahan masyarakat yang telah dikepung oleh segala silang-sengkarut kenyataan yang bertambah kompleks dan membingungkan.
Mereka akan mampu merefleksikan daya cipta yang secara sublim dari ruang batin masyarakat yang tengah dibungkam. Bila kelompok-kelompok semacam ini dapat mengoptimalkan bentuk seninya, ia adalah potensi besar.
Keempat, pertunjukan yang penuh dengan konflik kata-kata, konflik fisik, konflik adegan, terampil beratraksi, kayak sirkus, pandai beretorika, mecomot sana-sini istilah yang lagi keren di periklanan, digabungkan dengan teknologi, politik, dan dihampirkan pada agama, jadilah pementasan teater. Ditambah penguasaan medium lewat trik-trik adegan, fragmentasi, jadilah pertunjukan yang menakjubkan inderawi, bagai film futuris atau sirkus. Urusan peran dan jiwa untuk sementara dilupakan.
Dari berbagai kelemahan-kelemahan yang ada, baik kurang optimalnya daya ekspresi,bentuk dan isi, maupun wawasan sastranya, diharapkan pada kesempatan mendatang para pekerja teater dapat membenahinya. Bukan hanya katarsis inderawi semata. Keseimbangan antarkeduanya akan memunculkan kebenaran dalam berkesenian yang bisa menerobos melampaui batas-batas moral, yakni gambaran-gambaran keadaan yang humanis.
Memang karya sastra yang baik juga haruslah menyuarakan semangat zaman, zetgeist. Atau lebih dalam lagi, ia tak akan lekang oleh waktu. Namun, semangat zaman yang temporer dan membabi buta, tak lebih sebagai sebuah propaganda, yang nilainya sesaat. Tak ada kedalaman renungan hidup dan hanyalah merupakan usaha penumpulan kecerdasan dan kehalusan budi kita, tidak memberi keaktifan, pertanyaan, dan kegelisan hidup. Padahal, kerja kebudayaan adalah sebaliknya.
Disinilah letak dilematis ekspresi seni. Di sini pula letak pentingnya kedudukan seni di dalam kehidupan. Ia bukan lokomotif demokrasi, tetapi ia adalah gerak roh budaya demokrasi itu sendiri.

(S Yoga, Penyair dan Pemerhati Teater. Tinggal di Sumenep, Madura).
Pernah dimuat di harian Kompas Edisi Jawa Timur, Sabtu, 3 Februari 2007.

Kamis, 22 Mei 2008

FSS dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional


Kompas Jatim, 21 Mei 2008
FSS DAN 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh : S Yoga

Dari tanggal 1-15 Juni nanti, kita akan disuguhi hajatan kebudayaan yang bernama Festival Seni Surabaya (FSS) 2008, dengan mengambil tema “Seratus Tahun Kebangkitan Nasional: Tribute to Surabaya” sebuah tema besar sebenarnya. Namun memang demikian sebuah hajatan sudah umum mengambil tema yang gagah dan mentereng. Dan bila kita cermati kelakuan ini sudah berlangsung sejak zaman kolinial Belanda, yang oleh Clifford Gertz disebut sebagai Negara Panggung. Sebuah negara yang lebih suka mementingkan gebyar atau penampilannya saja.

Tentu saja kita berharap FFS kali ini bisa memaknai kebudayaan secara subtansial. Sehingga relevansi antara kebangkitan nasional dan kontribusi kebudayaan akan kita dapatkan. Khusunya dengan perkembangan dan dinamika kesenian di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Yang mana semangat nasionalisme, berupa pencarian jati diri dan identitas lokal yang merupakan spirit penciptaan karya dapat mewarnai dan ditampilkan sebagai kebanggaan Jawa Timur. Baik oleh pementasan teater, tari, seni rupa, musik atau sastra. Yang akhirnya akan memberikan simpati dan semangat para generasi muda untuk berkarya lebih baik lagi.
Bila kita tengok kembali kelahiran Kebangkitan Nasional, yang dipelopori oleh Dr. Boedhi Oetomo, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr Wahidin Sudiro Husodo, yang ketika itu merupakan mahasiswa kedokteran STOVIA, Jakarta. Sehingga kelahiran organisasi Boedhi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908, dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Yang tahun ini merupakan peringatan yang ke-100 tahun (seabad), sebuah angka yang keramat dan spesial bagi bangsa Indonesia.
Namun demikian seringkali masih terjadi perdebatan, siapa sebenarnya yang layak disebut sebagai tonggak kebangkitan nasional. Karena ada yang berpendapat Syarikat Islamlah (SI) yang merupakan cikal bakalnya karena terlebih dahulu dilahirkan sebelum BO. Yakni pada tanggal 16 Oktober 1905, di Solo dengan tokoh pendirinya Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Yang justru menentang kolonial Belanda, keanggotannya bersifat kerakyatan dan terbuka. Dalam novel Jejak Langkah-nya Pramoedya Ananta Toer hal itu digambarkan dengan baik.
Sedangkan BO lebih bersifat elitis, banyak dipimpin oleh para ambtennar, pegawai negeri, dan digaji oleh Belanda. Misal BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam VIII Yogyakarta. Anggota BO juga merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen). Dan pada akhirnya Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, pun keluar dari BO, mungkin karena arah perjuangannya sudah tidak sesuai lagi dengan cita-citanya.
Tentu kita tidak perlu memperdebatkan hal itu lagi, yang lebih penting kita mengetahui sejarahnya dan mengambil hikmah dari cita-cita yang hendak mereka perjuangkan, yakni kebangkitan nasional. Namun apakah kebangkitan nasional atau nasionalisme itu memiliki arti yang subtansial bagi kita semua. Sementara korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di sekitar kita, bahkan yang banyak melakukan adalah para pejabat atau birokrat. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan bila dikaitkan dengan cita-cita BO, yang ingin mengangkat nilai-nilai luhur, semangat kebangsaan dan kesadaran terhadap pembangunan. Rupanya cita-cita itu banyak dikhiananti oleh para pejabat sendiri. Dan hal inilah pula yang perlu direspon oleh para penyaji kebudayaan dalam FSS kali ini, sehingga bisa merefleksikan apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam masyarakat. Bila tidak yang terjadi hanya nasionalsimse semu yang romantis dan formal, tidak kritis dan konstruktif.

Penyeimbang Kebudayaan
Karena menilik sejarah yang ada sejak zaman kolonial Belanda sebenarnya kebangsaan kita telah dicerai berai dengan politik devide et impera, memecah belah. Dan ada pepatah juga yang menyatakan, Wong Jawa mati dipangku walanda. Hal ini bisa dipahami karena selama penjajahan telah terjadi involusi dibidang ide, cita-cita dan pandangan dunia. Konsep magis religius dan elite birokrasi dari negara panggung pada masa kerajaan macet. Ia harus menyesuaikan diri pada konsep negara birokrasi (beambtenstaat) Belanda. Maka munculah neo priyayi-neo priyayi baru yang lebih patuh kepada Belanda daripada negara. Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam pengarang kelahiran Ngawi, hal itu dijelaskan dengan segala akibat dan resikonya hingga pada masa Orde Baru.
Rupanya masalah kebangkitan nasional juga merupakan tema utama dalam karya sastra, antara lain Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Y.B. Mangunwijaya, Idrus dengan cerpen Surabayanya (yang mengkritisi arti perjuangan). Dan generasi muda sekarang diharapkan dalam FSS kali ini juga dapat memberikan kontribsui yang berarti tentang makna kebangsaan atau nasionalisme sehingga dapat memberikan kontribusi atau penyeimbangan kebudayaan yang ada. Karena selain rasa kebangsaan yang digerogoti oleh dekadensi moral pribadi masing-masing individu, juga dalam era globalisasi ini, kita telah digempur habis-habisan oleh budaya massa yang bersifat profan dan kapitalis. Di mana di depan ruang tamu kita, sudah siap menyerang budaya barat lewat layar kaca. Sehingga pola hidup kita tiba-tiba telah berubah dari nilai-nilai ketimuran dan kearifan lokal yang ada.
Lalu bagaimana selama ini, semenjak Orde Lama dan Orde Baru kebangkitan nasional dimaknai. Bila kita cermati ada hal yang keliru sehingga masyarakat kita mendapatkan dampaknya, kerapuhan mental, sosial dan ekonomi. Karena semenjak Orde Lama apa yang dikamsud dengan nasionalisme adalah memperkuat negara, terlebih pada masa Orde Baru, sehingga negara merupakan idealisme dari rasa kebangsaan. Yang akhirnya terus-menerus memperkuat birokrasi yang ada. Negara mengontrol konsep jati diri bangsa lewat struktur kekuasaannya. Yang ada adalah nasionalisme negara buka nasionalisme kerakyatan, padahal nasionalisme mestinya milik masyarakat. Sementara semangat kerakyataan; semangat solidaritas sosial dan demokrasi dihindari, dan yang muncul demokrasi seolah-olah. Memperkuat negara dan melemahkan rakyat. Akibatnya ketika terjadi krisis, rakyat tidak dapat mengatasi dirinya sendiri. Terjadilah amuk masa karena krisis ekonomi. Maka jatuhlah Soekarno dan Soeharto lewat cara yang sama.
Untuk itu pentinglah konsep kebudayaan dan nasionalisme yang kritis, kita tengok kembali. Dan lewat FSS kali ini meski dengan tema megah, semua persoalan bangsa dapat dicerna, direfleksikan, dan diambil hikmah untuk mencari jalan keluarnya. Karena pada saat ini, kita juga sedang dihadapkan pada krisis, baik itu krisis pangan, krisis moral dan krisis kepemimpinan yang benar-benar memahami isi hati rakyatnya. Karena yang ada seringkali justru ketika menjabat mereka lupa akan kebutuhan rakyat dan hanya mempertahkan status quo saja.
Tentu kita berharap FSS kali ini bisa berjalan dengan baik, dan para penyajinya pun bisa memberikan susuatu yang dapat menambah wawasan kebangsaan kita dalam arti yang lebih luas. Sehingga terjadi transformasi budaya. Dan di sini pula letak pentingnya kedudukan seni di dalam kehidupan. Ia bukan lokomotif demokrasi tapi ia gerak roh budaya demokrasi itu sendiri. Yang akan membimbing manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya secara lebih manusiawi.
***
Penyair tinggal di Situbondo,
Anggota Komite Sastra DK-Jatim.

Selasa, 13 Mei 2008

Puisi di Suara Pembaharuan


MANTRA

bukan maksudku untuk membuka tabir
atau mempertanyakan takdir
kasihmu seberapa jauh harus kuukur

ketika duka dan kesedihan tak bisa dihitung

lenyaplah segala sesuatu yang tak berwujud
kembalilah kepada batu hitam yang tenggelam di dasar kali
berserakan bersama pasir dan hanyut dibawa gelombang

Situbondo, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

DI MEJA MAKAN

kita berdua duduk di meja makan
kau minta hidangan yang paling istimewa
sambil menatap mataku tajam-tajam
seolah ada sesuatu yang kurahasiakan

di meja makan kita selalu berharap pada usia
agar tertata sendok dan garpu di tempatnya
angin berhembus seperti ada suara yang hilang
kita diam terpaku sambil mencicipi hidangan terakhir

Ngawi, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

NEGERI KABUT

di negeri kabut
aku berjalan menyusuri lembah merah
rumput-rumput menyapaku dengan air mata
kupu-kupu berterbangan mengitari jalanku
pohon-pohon menjulang melambaikan tangan kelamnya

Situbondo, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

CAHAYA

hitam malam menjelmakan bayanganku
seolah karang tua di pantaimu
di atas pasir aku karam dalam gelombang lautmu
namun aku menjadi api di dalam diri
yang akan membakar semua cahaya

Situbondo, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

TAMU

di antara lonceng gereja dan dentang jam duabelas
tamu-tamu telah pulang dengan jaket tebal dan senapan
di antara jalan penuh api dan dentuman meriam
aku lebih lihai dari bidik dan tatapanmu, bisikmu

Situbondo, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

ISYARAT

bunyi genting diterpa hujan
bunyi air menetes dari ledeng
di tengah malam yang suwung
hanyalah isyarat waktu yang kau tunggu

Ngawi, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

TANGAN

ingin kusempurnakan saja dalam kekosongan waktu
hati telah pedih memikirkan semua ini
pikiran telah perih menerjemahkan kegelapan
jantung telah letih berdetak terus menerus

kini setiap hari
aku berjalan-jalan dengan tanganku
pikiran ada di dalam genggaman tangan
aku ingin tanganku menjadi pemimpin selamanya

Situbondo, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

DI HUTAN

di bawah sinar bulan purnama
nampak bayang-bayang menari-nari
di dalam hutan serigala melolong-lolong
kaki-kakinya gemeresik menginjak dahan kering

pohon-pohon menari-nari bersama sepoi angin
bunga-bunga bermekaran di antara embun
belalang mengerat rakus daun-daun
fajar hari suasana sepi hanya burung berkicau

Situbondo, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

RUMAH

di rumah ini mimpiku terbang bersama sayap-sayap langit
kuikuti lelawar terbang ke gua-gua gelap tak bertepi
dan menantimu di malam-malam yang sepi

aku menjadi pengelana dalam mencari rindu
ketika kau dendangkan lagu malam
dan tuangkan anggur merah kesenyapan

batu-batu tumbuh di dalam dada
luka-luka telah menua dan memfosil
kerinduan apa yang tak bisa menyatu

Ngawi, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008

LAMUNAN MALAM

sebotol minuman tua dan lamunan malam
telah kutuangkan dalam pikiran
kenangan mulai terkuak timbul tenggelam

hujan telah reda teriakmu
kau terbahak pada mabuk yang pertama
pada sebentang jalan utara

utara yang tak pernah kau tahu
mana selatan dan arah ke rumah
rumah tua yang tak pernah kau singgahi

aku datang teriakmu
namun kembali lagi ke tempat asal
bunyi kentongan bertalu-talu kau merasa ada yang tercuri

atau mungkin ia pergi meninggalkan dirimu
aku ingin pulang, aku ingin pulang, teriaknya
namun kau tak pernah mendengar

Situbondo, 2008
Suara Pembaharuan, Minggu, 4 Mei 2008