Rabu, 21 Januari 2009

Puisi S Yoga Kompas 18-1-2009

ACINTYAPADA

pernah kumasuki gua tua
sumur kelam, candi purba
dan karang terjal menuju lorongmu
yang perawan dan asing dari dunia

tak kujumpa apa yang kucari selama ini
hanya kesunyian yang merobek hati
kusaksikan pula bayang-bayang berlarian berbalik arah
hilang dalam lobang kegelapan yang marak

Ngawi, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

JEJAKMU

di pohon-pohon purba tepi jalan
kuikuti jejakmu hingga ilalang panjang
kulukis wajahmu pada pasir putih
yang hanyut dibawa gelombang

Situbondo, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

RAJUNGAN

telah kusempurnakan kesunyian
pada laut lepas yang menanti
luka-luka telah kukuburkan
pada asin garam lautan

kini merayap di bawah lautan
tanpa cahaya dan matahari
hanya kuserap hidup dari pohon laut
sebelum pelayaran berakhir

Situbondo, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

DAUN JATI

sebuah senja telah dilafalkan hujan
dengan matahari yang muram
sebelum musnah ditelan malam

daun-daun jati berguguran
berserakan di antara akar mati
di hutan sepi

Ngawi, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

MALAM BERKACA PADA REMBULAN

malam berkaca pada rembulan
kesunyian kita di rawa-rawa
seruling kesedihan memanjang di tanjung
malam sempurna menjadi bayang-bayang

Ngawi, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

POHON KEPUH

pohon yang menjulang
dengan keheningan yang lengang
di puncaknya angin menghempas
ada yang mengerang dan terlepas

Purworejo, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

KEPOMPONG

di pohon johar yang istirah
di musim penghujan yang basah
aku tumbuh dari rasa sakit masa lalu
menyulam rumah berkabut

Purworejo, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

WAYANG

hanya bayang-bayang
yang tersihir dari kesunyian
hanya gemerlap lampu malam hari
yang memuaskan kehampaan

Ngawi, 2008
Kompas, Minggu 18 Januari 2009

Cerpen Bapakku Telah Pergi


Suara Merdeka, 14 Desember 2008
BAPAKKU TELAH PERGI*
Cerpen : S. Yoga

Bapakku telah pergi. Menemui pembakaran. Ruang suci tempat selesaian. Apa yang harus aku ingat dan kenang dari semua itu. Tak ada. Tak ada yang ingin kuingat. Namun apakah mungkin, aku bisa melupakan, karena begitu kuat kenangan terhadap Bapak mencengkeram pikiran. Padahal abunya telah kularung di lautan, tempat yang paling ia senangi ketika masih hidup. Bapak senang plesir hingga lautan terjauh dan pulau-pulau terpencil. Membawa pancing dan jaring. Bila kesabarannya tak terbendung untuk memperoleh ikan dengan memancing. Maka Bapak akan menjaringnya, hingga ikan-ikan kecil dan besar dapat diciduk dan bergeleparan di dalam jala. Ia merasa puas dan tertawa terbahak-bahak. “Tak ada seni memancing yang kudapat bila berprinsip kesabaran,” begitu kata Bapak sambil memasukkan ikan-ikan ke dalam bak penampungan.
Ah kenangan ini, begitu menyengsarakan, Bapak telah pergi, namun kenangan terus menyeret-nyeret. Dengan apa harus kuputuskan tali sejarah Bapak yang membelitku. Oh kenangan, ia meringkuk di dasar hati yang paling dalam. Seperti batu yang berserakan di dasar kali. Ia akan mengganggu arus air, bahkan bisa merubah jalur utama. Bisa membuat langkahku tersendat-sendat, bahkan membelokkan arah tujuan dari hidupku. Atau justru hidupku selama ini sudah ditentukan Bapak? Tanpa aku sadari.
“Itulah hidup,” kata Bapak suatu saat, sambil duduk di kursi goyang.
“Tapi Bapak, apakah hidup harus seperti ini. Bukankah masih ada jalan yang lebih baik?” tanyaku sambil kuperhatikan wajah Bapak yang mulai keriput.
“Anakku, kau benar-benar masih hijau, belum banyak makan asam garam kehidupan, jadi jalan pikiranmu masih lempeng-lempeng saja, kaya rel kereta api. Lalu kalau kau sudah berkeluarga nanti, anak dan istrimu mau dikasih makan apa. Kalau sikapmu masih kekanak-kanakan. Dunia sudah berubah, saingan tambah berat, musuh tambah banyak, karena itu bila ada kesempatan dan peluang sikat hingga tujuan tercapai.”
Bapak benar-benar raja tega, bila kupikir-pikir, karena semua anak-anaknya diajari bagaimana cara menjalani hidup dengan menghalalkan segala cara. Bila melanggar tak segan-segan tangan Bapak begitu ringannya menghajar tubuh kami. Tapi entah kenapa kami hanya bisa diam saja, dan mengamini semua petunjuk Bapak. Petunjuk Bapak seolah sabda, tak bisa dibantah lagi, maka jadilah ia hantu, yang selalu menghantui pikiran dan jalan hidup anak-anaknya. Seolah seekor ular, yang bisanya tak mungkin dihindari. Dan ekor-ekornya terus membelit tubuh kami yang rapuh ini. Dan Ibu hanyalah bidadari manis, yang selalu menyembuhkan luka-luka memar kami, tapi luka dalam hati terus menumpuk hingga membusuk.
“Ular itu pintar anak-anakku. Contohlah ia,” begitu petunjuk Bapak ketika kami duduk bersama di meja makan.
“Ular itu berbisa, Bapak, jadi tak baik untuk anak perempuan, sepertiku,” begitu jawab kakak perempuanku.
“Karena itu kau harus memahami filosofi ular, nantinya kau akan bisa menaklukan dunia, sekaligus lelaki yang kau idam-idamkan. Karena sifat lelaki juga seperti ular,” kata Bapak dengan mata berbinar-binar, seolah menemukan sebuah ladang oase di tengah gurun.
“Tapi aku phobia ular, lho, Pak!” sahut kakak perempuanku sambil tangannya didekapkan ke dadanya, ketakutan.
“Ha ha ha ha. Anak-anak, sekali lagi Bapak katakan bahwa kalian benar-benar tak pernah beranjak dewasa. Dan Bapak tekankan bahwa kalian harus jadi ular. Tentu saja ular yang cerdik dan pintar. Ular itu memiliki senjata yang mematikan, baik itu gigi-giginya, bisa yang beracun, tubuhnya untuk membelit, juga mulut dan perutnya yang bisa menelan musuh meski tubuhnya jauh lebih besar. Belum lagi dalam situasi tertentu ia bisa merubah kulitnya menjadi baju baru yang lebih baik. Tubuhnya juga licin dan lincah dalam keadaan apa pun, jadi benar-benar sulit ditangkap dan cepat menyembunyikan diri bila ada bahaya.”
“Tapi Bapak, ular bukan manusia, sehingga ia tak tahu rasa belas kasihan, semua mangsanya akan dilumat habis,” sergah kakak lelakiku sambil membetulkan kaca matanya.
“Itulah kelemahan kalian semua, memandang manusia dengan cara yang sederhana. Tentu saja kita masih memiliki rasa kemanusiaan. Bukankan di perusahaan-perusahaan yang kita miliki, kita telah memperkerjakan orang-orang yang kurang beruntung,” jelas Bapak.
“Yang aku maksud adalah cara kita mendapatkan perusahaan itu, Pak?” tanya kakak lelakiku dengan nada agak tinggi.
“Bukankan dengan uang kita. Dan menurut hukum dan udang-undang negara, siapa pun yang memiliki uang dapat saja membuat perusahaan, siapa yang melarang. Kita punya uang siapa yang melarang. Dan uang itu kita dapatkan dari kerja keras, keringat kita!” terang Bapak dengan nada tinggi.
Makan malam pun diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus bergejolak dalam pikiran kami semua. Apa makna hidup sebenarnya bila semua diukur dengan cara keduniawian. Hidangan makam malam pun tak bisa kami nikmati dengan memuaskan, bahkan kami hampir lupa apa tadi yang kami santap dan minum. Karena pikiran-pikiran kami terus bergentayangan saling berkejaran dengan pikiran-pikiran Bapak yang begitu menenggelamkan masa lalu dan masa depan kami. Sedang Ibu hanya diam saja seolah pikirannya ada di luar sana, mengembara bersama para bidadari. Mungkin juga Ibu, sudah tidak mau berurusan dengan Bapak, karena bila salah, tamparanlah yang akan didapat. Ah begitu kejamnnya Bapak, bila kupikir-pikir. Namun di sisi lain ia begitu mencintai keluraga. Apakah ini perpaduan malaikat dan iblis sekaligus, aku tak tahu dan aku tak peduli lagi.
Suatu kali aku bersenang-senang dengan teman-teman semalam suntuk, dan ketika pulang, aku merasa kesepian di kamar, dunia ini seakan tak peduli lagi. Apakah sebenarnya yang kau tanamakan dalam jiwa kami, Bapak. Kemegahan atau kesepian.
“Kau bertanya tentang jiwa, anakku. Ia tak lain hanyalah sebuah ilusi dari impian kita. Bila impian kita tergapai maka sebagian jiwa kita akan terisi, demikian seterusnya. Sehingga bila impian-impian kita belum tercapai, maka sebenarnya jiwa kita belum penuh,” begitu kata Bapak, suatu ketika sambil membersihkan senapan buruan.
“Bapak, apakah seluruh jiwa nantinya akan kita bawa mati? Termasuk juga impian-impian kita?” tanyaku sambil mengambil ransel berburu.
“Ha ha ha ha ha ha! Bicaramu seperti seorang pendakwah saja. Cepat siapkan senapanmu dan kita akan berburu. Kau harus ikut, biar aku tunjukkan bagaimana cara berburu yang baik. Melacak jejak babi hutan di belantara.”
Kami rupanya telah menyiapkan bekal perburuan dengan sangat baik. Entah kenapa Ibu yang biasanya enggan ikut dalam perburuan, kali ini sangat bersemangat dan ingin menyaksikan kami berburu. Dalam perjalanan sang sopir entah kenapa selalu menabrakan ban mobil ke dalam sebuah lobang, atau memang jalan kini banyak yang sudah berlobang. Sehingga tubuh kami seringkali tergoncang-goncang. Dan entah kenapa pula Ibu selalu memandang ke atas dan melihat burung-burung berterbangan. Bapak hanya diam dan waspada memandang ke depan.
Perjalanan pun sampai tempat perburuan yang dituju. Kami turun dan membuat kemah di tepi jalan. Biar Ibu dan sopir menjaga mobil dan menyiapkan makan siang. Bapak memintaku agar cepat mempersiapakan senapan dan perlengkapan lainnya. Kami pun mulai memasuki hutan. Hutan nampak sunyi, hanya ada suara belalang dan cericit burung. Tak ada tanda-tanda babi hutan atau menjangan berlalu-lalang. Tak terasa perjalanan hampir satu jam, namun tak selongsong peluru pun yang terlepas dari laras senapan kami. Benar-benar hari yang naas bagi perburuan ini.
Awan mulai menghitam, berarak-arakan melintas di atas kami. Sebentar pasti hujan lebat datang. Bapak pun mengajak agar segera kembali. Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bapak, hanya isyarat mata dan gelengan kepala yang membuat kami akhirnya membatalkan perburuan selanjutnya. Kami pun bergegas untuk segera sampai di mobil, agar hujan tidak membasahi. Namun setengah jam dari perjalanan, arak-arakan awan hitam bergelimpangan ke arah barat, menjauh dari hutan perburuan, dan berganti menjadi awan cerah, putih bagaikan gumpalan kapas. Di puncak pohon pinus nampak bertenger puluhan burug gagak yang berkaokan. Tak lama kemudia ia berterbangan dan berputar-putar di atas hutan. Suaranya benar-benar menakutkan seolah mereka sedang berkabung. Kami terus saja menlanjutkan perjalanan pulang, tak ada gunanya kembali ke tengah hutan lagi. Benar-benar hari yang sial.
“Hentikan langkahmu, ada jejak babi hutan, jangan menembak” sahut Bapak.
Memang gerakan-gerakan binatang melintasi semak-semak dan dahan-dahan sangat terlihat di depan mata kami. Benar kata Bapak jarak masih cukup jauh, percuma melepaskan tembakan, karena pasti akan meleset. Kami terus berjalan perlahan dan kini hampir merangkak. Terdengar di atas kami, burung-burung gagak terus menerus berkaokan dan berkelayapan. Sedang rombongan babi hutan nampak tidak terpengaruh. Namun suara burung gagak kini mulai bercampur dengan suara-suara mobil yang melintas tak jauh dari tempat kami mengendap-endap. Berarti lokasi ini sudah dekat dengan jalan raya. Lantas apa maunya babi hutan ini, apakah ia akan melintasi jalan raya, menuju hutan sebelah. Tentu saja ini akan lebih menyulitkan, karena bisa jadi begitu dekat jalan raya, mereka akan berlari secepat mungkin untuk menyebrang, lalu masuk hutan kembali. Nampak Bapak memberi isyarat agar aku bersiap-siap. Biasanya Bapak akan menembak duluan, bila masih ada gerakan maka giliranku yang harus membidik. Jika ada gerakan lagi maka Bapak yang harus membidik, demikian juga selanjutnya giliranku lagi. Namun bila tak ada gerakan, maka perlahan kami akan melihat buruan yang terkapar. Tiba-tiba rombongan babi hutan bergerak-gerak tak tentu arah. Dan Bapak menembaki secara membabi buta. Entah kenapa aku terpaku dan tak sanggup berbuat apa-apa.
“Dasar anak tolol!!! Tak tahu situasi! Apa yang bisa diharapkan dari anak seperti kamu!!” dan telapak tangan kanan Bapak mendarat di mukaku. Bapak benar-benar marah. Namun aku diam saja, karena aku merasa bersalah. Meski bibirku mulai berdarah.
Terdengar suara teriakan seseorang dari jalan raya. Dan kami pun segera berlari ke arah suara. Sayup-sayup suara minta tolong begitu dekat, berasal dari perkemahan. Begitu sampai di tempat, Bapak begitu shock, demikian juga aku, melihat Ibu yang terbaring bersimbah darah. Ibu dibopong sang sopir, dan segera dimasukan ke dalam mobil. Kami pun cepat meluncur ke rumah sakit terdekat. Namun mau apa dikata, nyawa Ibu tak bisa ditolong lagi.
Hari-hari berkabung bagi Bapak adalah sepanjang hari setelah kematian Ibu. Perasaan Bapak tak bisa dilukiskan lagi, ia hanya diam dan diam saja. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dan hari-harinya dihabiskan dengan mengurung diri di dalam kamar, hingga tubuhnya membeku, terbujur di pembaringan, menyusul Ibu.
Bapakku telah pergi, memang. Tapi semua jalan pikirannya telah menjadi hantu, demikian kuat, demikian mendesak. Membelit tubuh dan pikiran kami.
***

*Judul puisi Mardi Luhung, kalimat miring bagian dari puisi tersebut.

Cerpen Dalam Gelap Tanpa Cahaya Bulan dan Bintang


Gb Tamar Saraseh
Sumber Jurnal Cerpen Indonesia Nomor 2, Juni 2002
DALAM GELAP TANPA CAHAYA BULAN DAN BINTANG
Cerpen : S. Yoga

Senja itu, seperti senja-senja yang lain; senja di masa lalu dan mungkin senja di masa depan, temaram merah dengan ufuk-ufuk pancaran langit yang cerah cerlang di sisi atasnya, di sisi bawahnya seperti bara api yang tersulut dari kegelapan bumi, seakan ada tangan-tangan jahat yang menarik dalam gelap. Mengingatkanku akan tungku perapian di dapur nenek, seiring terbayang kaki nenek yang telanjang di dekatkan di perapian, seolah denyut darah tak mau lagi memanasi sekujur tubuh, sehingga perlu penopang dari energi panas yang lain. Tentu karena seorang nenek pasti sudah tua dan perlu penopang untuk hidup. Bara api di senja itu benar-benar mirip mata raksasa yang rakus akan nafsu dunia dan telah malang melintang di dunia angkara murka, dunia yang penuh arak, perempuan jahat memamerkan betis di pinggir jalan, yang puting susunya menyembul dari balik sweter merah, sambil bergincu di setiap waktu, dunia di bawah tanah yang gelap dan lembab, yang jalannya berliku-liku, berserak dan bercecabang, dipenuhi lorong-lorong tanpa cahaya, menuju ke arah barat dunia yang gaib. Dari arah senja nampak kerumunan burung kuntul melambai pulang, berarak melintasi senja ke arah utara, menuju carang di gerumbul pohon bambu tutul, seakan gerombolan gagak yang berkaok-kaok, melintasi cahaya merah, menandakan adanya kematian. Sebentar lagi warna merah temaran akan dikerek diganti kelir gelap oleh tangan-tangan gaib di bawah bumi, atau dari dalam lautan, gelap yang teramat gelap, tanpa lampu dan lilin, sehingga jalan-jalan kampung hanya akan terlihat oleh mata yang berakal sehat dan bermata waras. Gelap akan membentang sepanjang malam, tanpa cahaya bulan dan bintang, langit diselimuti mendung hitam pekat, gelap malam akan memaparkan kisah perjalanan siang yang telah ia tempuh, di mana, ke mana, bagaimana, mengapa, ia bisa bertahan di siang hari yang panas dan gerah, mungkin sembunyi di ketiak bumi. Tentu. Di malam hari dalam gelap tanpa cahaya bulan dan bintang, hanya ditemani dahan-dahan dan batang-batang bergesekan menimbulkan suara derit purbani yang lirih namun memilukan, seolah suara dari jiwa yang kelam muncul dari dasar kematian, dibarengi suara burung hantu yang berkukuk ditiming waktu yang tepat dan mengejutkan, suara jangkerik mengkili telinga, desir ular meraba kulit ari, dan cicak yang menghitung detik menanti hari dan menelusup dalam kesunyian malam.
Seekor kelelawar tiba-tiba menuntun mataku ke arah setangkup benda yang teramat besar dan hitam seperti gundukan tanah atau timbunan sampah di tengah jalan, yang rupanya tidak terlalu besar namun di mataku benda itu rupanya cukup membelalakkan mata dan kuanggap sebuah benda yang besar dan magis hingga akan membawa bencana. Dalam perjalanan sebelumnya jelas-jelas tak ada benda apa pun yang mampu menghalangi mata siapa pun yang berjalan melewati jalan ini. Jalan yang lengang dan lapang. Aku mulai mendekati benda magis, mataku menyelidik dari jarak lima tombak, sebuah keajaiban gelap yang menumpuk di tengah jalan. Pikiranku bekerja perlahan-lahan dan mengendap-endap menyibak sebuah batu yang terbujur kaku dan abadi namun terasa lunak seolah seonggok lempung yang mudah hancur terbujur di bawah cakrawala langit senja. Apa mungkin batu dari langit yang dilempar malaikat yang usil. Atau batu dari jalanan. Siapa yang melempar batu sebesar ini, mungkin orang kuat sehingga serupa batu apa pun mampu ia lempar dan buang. Atau tubuh raksasa yang terbujur di tengah jalan seperti yang dikisahkan nenek dalam dongeng malam, yang kini menjelma di hadapan mata cerlangku dan ingin menampakkan dirinya bahwa raksasa itu benar-benar ada dan nyata di dunia, raksasa yang rakus dan serakah, yang mati di tangan pahlawan rupawan, sebuah pemahaman baru, karena dalam diriku hanya ada cerita bahwa kisah raksasa bisa dijumpai dalam negeri dongeng, namun kenapa nenek di setiap akhir cerinta selalu mengatakan; “maka kamu, bocah bagus, bermata lebar, jangan suka main-main di dekat sungai, nanti dibawa raksasa wewe gombel dengan tangan sebesar batang bambu petung, jari-jari sebesar pisang kepok, payudara panjang dan besar, berayun-ayun hitam kemilau kekanan-kekiri, berkeriput dan bersisik ular, giginya bersiung dan matanya merah menyala, rambut gimbal dan kaki bengkok sebesar kaki gajah yang terserang tumor, dan siap membopongmu ke atas pohon randu alas. Menculik siapa pun yang ia senangi.” Berarti bila nenek mengatakan begitu, maka raksasa itu benar-benar ada. Buktinya banyak orang hilang tak pernah kembali, siapa lagi yang menculik kalau bukan raksasa wewe gombel atau gederuwo yang suka bertindak sewenang-wenang.
Sedikit demi sedikit mata kecilku mulai menemukan titik terang di remang hari akan teka-teki yang sedang kuhadapi, diwarnai cahaya kemerahan yang hampir gelap seluruhnya dan geluduk mulai menguntur dengan kilat menyambar bagai lidah langit yang menjilat tubuh bumi, benda itu menampakkan kekudusan dan kesihiran, sehingga mataku begitu takjub dan menderita karena tak juga mengetahui kebenaran yang nyata dihadapanku, kebenaran yang masih maya dan belum tuntas tergali hingga ke akar-akarnya. Dalam kekhusukan menyelidik, kaki yang bersijingkat perlahan-lahan seperti hendak mencuri sesuatu barang sedangkan jiwanya sebenarnya menolak keras-keras akan perbuatan yang merugikan orang lain, tiba-tiba aku dikejutkan kukuk burung hantu menghentak dari pohon mahoni yang tumbuh menyembul di pinggir jalan, mata hatiku kecut dan mulutku reflek memaki:
“Burung terkutuk! Jatungku hampir copot.”
“Kuk-kuk-kuk-kuk.”
“Diamlah penguasa malam.”
Untuk sementara perjalanan petualangan dalam membuka tabir rahasia akan benda terpuruk menjadi bunyar, dan harus kembali dari titik nol lagi, sehingga pada akhirnya mampu menyusun kronologis dan ujud benda yang sebenarnya. Kikuk mata hatiku segera terobati oleh kejelasan yang sedikit terbuka dari kesamaran maya mata kecilku, sebuah bangkai kerbau terbujur kaku, kakinya menjuntai hitam pekat seolah berminyak. Bukan. Bukan. Bukan bangkai kerbau, namun sesosok lelaki yang terkapar, jelas kontolnya terkulai, dengan luka-luka parah dan melembam di sekujur tubuh. Aku lihat dengan teliti dari jarak satu tombak, mataku berusaha menelanjangi sosok tubuh yang tergeletak, namun aku tak menemukan apa-apa kecuali lelaki yang terluka. Kuberanikan lagi mendekat lebih akrab, hingga kakiku menyentuh, betapa terkejut, ketika menyadari tubuh itu begitu lunak, bukan sesosok tubuh yang biasa kita jumpai, namun sesosok mayat yang terbaring dan hampir membusuk, namun tak ada bau busuk yang menyembul, hanya bau tanah dan bau keringat yang hampir mirip bau minyak menyengat. Tentu bukan mayat yang membusuk, masih bagus keadaannya, hanya tubuhnya jadi lunak dan membengkak. Jelaslah luka-luka yang pernah ia alami tak bisa dikenali lagi dari luka apa ia berasal. Sulit ditebak apakah dari benda tumpul atau dari benda tajam; apa dari selongsong peluru yang merajam, pisau dapur, pisau cukur, sangkur, atau martil dan batu, tak bisa di duga, semuanya membiru dan menampakkan dari kedua jenis benda itu luka lelaki berasal, yang menyatu haru atau tidak dari benda apa pun, namun dari jenis sengatan atau patukan binatang yang berbisa atau dari dalam tubuhnya luka itu berasal, apa mungkin dari racun yang ia teguk, karena juga nampak melepuh, mungkin juga dari cairan panas yang mematikan, semacam air raksa, atau air panas yang disiramkan disekujur tubuh. Tak bisa dicandra dengan persis dan meyakinkan, semuanya membayang penuh keragu-raguan yang abadi, hanya si mayatlah yang tahu mengapa dan bagaimana luka rajam yang sempurna itu berasal, yang akhirnya menghacurkan seluruh tubuh indahnya serta memutuskan satu-satunya nyawa kebanggaannya.
Cahaya merah hampir menghilang. Gelap hampir sempurna. Geluduk terus mengema. Kilatan petir seperti lidah ular menjulur siap menerkam sang mangsa. Namun hujan tak turun. Malam sebentar lagi benar-benar baka. Suara belalang bersautan menemani kesepian. Kesepian yang akut.
Mayat misterius rupanya dipenuhi lalat yang merubung, berdegung-dengung bagai lebah siap menyengat siapa pun yang mendekat. Dengungan-dengungan itu seolah suara-suara dari masa lalu, atau mungkin dari neraka yang membuatku bertambah ketakutan dan undur diri selangkah ke belakang, terbayang dalam khayalan tentang dunia para raksasa dengan binatang-binatang purba menjijikkan. Setelah sejenak aku tersadar pada apa yang tengah kuhadapi, keberanianku kembali bangkit untuk menguak kebenaraan yang harus aku tuntaskan, memahami sedetailnya siapa dan mengapa mayat ini berada di sini. Aku melangkah lagi mendekati mayat yang terbujur melintang di tengah jalan. Kuamati wajahnya yang menghitam dengan cukuran gundul atau memang berkepala plotos yang terbenam dalam lumpur, sehingga sekujur tubuh berwarna hitam, tentu mayat ini pernah tercebur ke dalam kubangan lumpur. Kucermati lagi tubuh mayat nampak telentang di atas tanah, tangan kanan memegang batu sekuat mungkin, seakan ia melawan sebelum ajal menjemput tamat. Sebuah perlawanan yang agung namun tak berdaya melawan musuh-musuh mautnya yang lebih perkasa dan berkuasa atas nasib dirinya, sebuah ajal yang tak diundang, matanya terpejam dan mulutnya tersenyum bangga, seakan mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang pernah ia singgahi dan sangat membahagiakan atau mengucapkan selamat tinggal pada anak-anaknya yang jumlahnya belasan, juga pada istri-istrinya yang ditinggal pergi tanpa dapat lagi memberikan nafkah baik lahir maupun batin dan nampak merelakan bila anak-anak dan istri-istrinya kawin lagi dan beranak pinak sebanyak-banyaknya seolah ia bangga akan keturunan-keturunannya, karena ia sangat mempercayai para keturunannya nanti atau yang pernah berhubungan dengan dirinya akan memiliki watak-watak dan kepribadian seperti dirinya, gagah berani melawan kebengisan yang mengacam kehidupan, melawan musuh-musuh hidupnya, melawan siapa pun yang ingin melukai dan mencelakakan jalan hidup keluarga, melawan kebenaran yang selalu ia pegang dan jalankan. Mati satu tumbuh seribu begitu mungkin arti senyum kematian yang telah ia berikan dan menampakkan dalam ujud terakhirnya sebagai manusia, sebelum berubah jadi tanah, sebelum melalang dalam dunia gaib dan lain. Dan ia akan bangga dengan senyum yang dikulum melihat keturunannya melawan musuh-musuh dirinya, musuh-musuh yang berhati jahat. Tentu senyum itu sebagai doa juga atas penyiksaan dirinya yang sama sekali tidak ia restui, sehingga ia mengalami hal yang paling menyakitkan di dunia, dan sebagai doa pula akan keselamatan anak cucu Sulaiman, -begitu mungkin namanya, serta istri-istrinya dalam menegakkan kebenaran.
Aku terus mencandra bagaimana mungkin mayat bisa berada di tengah jalan, mayat yang begitu besar dan berat, siapa yang kuat mengangkat, siapa yang menaruh, bila memakai kendaraan tentu bekas ban akan nampak di jalan tanah, bila digotong beramai-ramai, akan nampak jejak kaki dan sepatu para pengusung, bila digeledek dengan gerobak, akan terlihat kaki-kaki kuda atau sapi, namun di sekitar mayat tidak tampak jejak apa pun, kecuali jejak-jejak kaki kecil mungil tak bersepatu, milikku. Apa mungkin mayat ini sudah ada sejak beberapa hari yang lalu, sehingga jejak-jejaknya sudah terhapus, namun pikiranku segera menyangkal keras akan dugaan tersebut, karena dengan jelas dan yakin, aku telah mengingat-ingat sedalam-dalamnya, dan demi jagad raya yang menyaksikan, aku tidak berdusta, perjalanan sore ketika melintas di jalan ini, ketika menengok nenek di tepi sungai, tak ada mayat satu pun dan benda apa pun yang mencurigakan, bahkan aku ingat di bawah pohon asam aku berhenti sebentar untuk memunguti buah asam yang jatuh berserakan di semak-semak dan ilalang, karena terhempas angin, apa mungkin buah asam berubah jadi mayat. Apa mungkin mayat itu barusan tiba, sebelum aku pulang dari rumah nenek, yang segera setelah mayat diletakkan beramai-ramai, segera jejak-jejak kaki mereka dilenyapkan dengan dahan atau sapu dan dikipasi agar jalan tanah sempurna seperti sedia kala dan terakhir ditaburi daun-daun yang rontok dihembus angin, sambil mereka berjalan mundur ke arah matahari terbenam, tempat gelap akan menjemput, karena pintu hari segera ditutup dan dibukalah pintu malam yang kelam, mereka bisa lenyap di telan malam, tempat sembunyi paling aman sedunia, sehingga tak satu pun orang yang mengira mayat itu barusan diletakkan, dan tak satu pun yang mengira kalau mayat itu mereka yang meletakkan, dan tak satu pun yang dapat melacak siapa yang melakukan, dan tak satu pun yang dapat melacak kenapa mayat itu dibunuh, sebuah taktik yang sempurna untuk menghilangkan jejak, apa pun kejahatan yang ada di dunia, sebuah labirin gila, seakan kelenyapan jejak akan mampu menghapus segala kejahatan yang telah ia lakukan, dan tak akan tercatat dalam ingatan dan sejarah siapa pun, kecuali sejarah dan ingatan si pelaku dan si korban, yang tak mengerti tak akan mengingat selamanya, ingatan hanya akan muncul adanya mayat misterius yang terbujur di tengah jalan, jalan menuju rumahku. Jalan menuju desa perbukitan yang sepi dan jauh dari kepintaran karena kebodohan selalu memayungi dan merestui desaku, sebuah tempat yang strategis untuk melenyapkan jejak kejahatan dan memendam kebenaran dalam gelap malam dan warga desa yang tak satu pun peduli dengan hal usut mengusut. Aku hanya menduga-duga dalam kebingungan yang menampakkan puncaknya pada dahiku yang berkeringat dan mata yang terpejam-pejam dan kaki yang gemetaran serta tangan yang mengaruk-garuk kepala, padahal tak ada yang terasa gatal di kepala dan rambut tak dihuni seekor serangga pun, namun rasa gatal mencabik-cabik dalam otak dan kalbu yang terus mempertanyakan keberadaan diriku dan mayat yang ada di tengah jalan. Kenapa hari ini aku terlibat dalam peristiwa yang misterius, kenapa aku yang harus mengalami bukanya orang lain, kenapa mayat itu ada di tengah jalan, kenapa aku tadi pulang dari rumah nenek harus di sore hari ketika remang senja akan tiba, kenapa aku harus melewati jalan yang sunyi, kenapa tak ada seorang pun kecuali diriku, kenapa ketika pulang dari rumah nenek mataku terlalu cermat melihat apa pun yang ada di sekitar. Andaikan aku terus berlari di tepi jalan tanpa menoleh kanan-kiri tentu sudah sampai rumah dan sekarang pasti sedang bermain-main petak umpet, kuda lumping, jamuran, dengan teman-teman, tak bertemu dengan seonggok mayat misterius.
Aku bertambah heran karena bau mayat tak sebusuk ujud asli, nampak membusuk dengan lalat merubungi dan air mulai mengalir dari tubuh, membengkak dan gembur. Dan apakah mayat ini akan terus membengkak lebih panjang dan lebih besar lagi, tiga kali lipat dari tubuh asli, sehingga seolah-olah ada tiga mayat yang terbujur kaku sebelum membengkak. Tentu tak gampang mengangkat mayat, mungkin tak ada seorang pun di dunia yang mampu mengangkat sendirian, dibutuhkan tak kurang lima belas orang, itu pun harus dipilih dari laki-laki kekar yang terbiasa kerja kasar di pelabuhan, memiliki otot-otot sempurna, tiap hari makan sepuluh piring nasi, lima belas telur angsa sehingga memiliki energi yang cukup besar, hampir seimbang dengan tenaga kuda, atau bahkan harus dibutuhkan jumlah orang lebih banyak lagi, karena selain mengangkat daging busuk, mereka harus mengangkat berliter-liter cairan dalam tubuh mayat, ditambah binatang-binatang yang selalu sigap berkembang biak di dalamnya, mereka akan berjalan lamban, perlahan-lahan seperti semut mengotong mangsa ke liang dalam, tempat semut bersemayam, sebuah lorong gelap tanpa cahaya, dan mereka akan membawa mayat itu ke penguburan di lereng bukit, seperti kereta api menuju senja yang berjalan lamban karena kehabisan batu bara, berapa kali mereka harus berhenti, karena kehabisan energi, karena begitu berat si mayat, semakin lama tentu berat mayat akan bertambah, mungkin binatang di dalam tubuh mayat semakin bertambah banyak, belatung-belatung yang getayangan dan berjibun ribuan jumlahnya siap berkembang dengan hitungan detik, dan air semakin berlimpah berliter-liter dalam tubuh mayat, sehingga mengelembung seperti balon, siap meledak kapan pun ketika titik kulminasi dari tekanan maksimal sudah diambang kritis, dampaknya akan luar biasa, mengagetkan orang di sekitar, dan melukai sebagian orang yang menonton, namun bila yang meledak mayat yang mengelembung, karena batas maksimal sudah tercapai, apa yang akan terjadi, mungkin juga bekas-bekas ledakan yang terdiri dari serpihan daging dan lelehan air busuk, serta belatung-belatung yang bertaburan, akan membuat orang mual dan pusing, lebih parahnya akan menimbulkan penyakit dan bencana yang menakutkan yang membuat seluruh desa terjangkiti penyakit yang akut yang disebabkan oleh penyakit yang ada dalam tubuh si mayat. Di mana paginya sakit sorenya mati, sorenya sakit paginya mati, sebuah pageblug yang ditakuti warga desa, seperti yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu, di mana mayat-mayat bergelimpangan, besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan. Sebuah pagebluk tentang mayat-mayat yang tak bernama.
Malam benar-benar sempurna. Petir menyambar-nyambar. Hujan mulai turun. Di dalam gelap tanpa cahaya bulan dan bintang aku masih terus tekun memecahkan misteri. Siapa yang melakukan pembunuhan. Dan untuk apa harus membunuh.
***
Ponorogo, 7 Desember 2001

5

Cerpen Kenangan


Sumber Jurnal Cerpen Indonesia Nomor 2, Juni 2002
KENANGAN
Cerpen : S. Yoga
I
Aku benar-benar bahagia hidup di kampung. Aku ingat betul bagaimana bentuk kampung, seluruh kampung seperti barak-barak yang dibangun kaum gelandangan, agak kumuh, tak teratur, dengan bangkai-bangkai perahu di samping rumah, jala membentang di pelataran, seolah kampung kami diselimuti labirin-labirin putih. Sebuah kepompong membungkus kampung. Semua rumah membelakangi laut dan menghadap matahari terbit, setiap pagi seakan ada fajar baru yang menyongsong kehidupan. Rumah-rumah dibangun dari gedek -anyaman bambu, kayu jati, tanah liat, kapur, atau semen merah, dengan atap dahan-dahan kelapa, rumbia, ijuk, hanya sedikit yang mengunakan genting. Semua nampak panas dan menjengkelkan, meski di luar nampak semilir dihembus angin laut. Angin hanya terbang membawa debu, pasir, aroma amis ikan di kerajang, bau busuk bangkai ikan yang terbuang, butiran lembut garam menyelimuti tubuh, terasa pliket dan asin. Hanya pohon-pohon mangga, kepuh, kelapa, kaktus dan siwalan yang tumbuh. Di mana-mana nampak bentangan-bentangan jala, nampan besar dipenuhi ikan tongkol, layur, pe, dorang, tuna, pindang, sardin, bau tai terbakar untuk mengasap ikan, perahu-perahu di pinggir pantai bergoyangan seperti nasib kami, disapu ombak, naik turun berulang kali tak bosan-bosan. Juga, bau arus keringkat orang-orang menyebar di segenap penjuru. Kulit kami hitam legam-lengas, berminyak, rahang menonjol, mata cekung, badan kekar, rambut ikal, dan bertelapak kaki lebar bagai manusia purba.
Jalan menuju kampung masih berpasir dan berkapur, jalan berkelok tajam sebelum Bukit Matahari adalah tanda memasuki wilayah kampung. Begitu memasuki kampung, anjing-anjing mulai menyambut dengan gonggongan, badannya kurus kering, matanya tajam mengancam lawan, giginya siap membetot daging mentah yang akan dikunyah dalam sekejab. Karena banyaknya anjing seringkali kampung kami juga disebut kampung anjing. Anjing-anjing kami adalah anjing penjaga-anjing penjaga yang baik dan berbudi luhur, hingga kampung aman dari segala maling yang datang dari luar. Namun kalau ada maling yang datang dari dalam dan memanfaatkan kesempatan, tak ada yang bisa menjamin pelakunya dapat tertangkap, maling itu hapal dan lihai di daerah sendiri yang begitu ia kenal dan akrabi saban hari. Di gerbang masuk nampak bangunan gapura menjulang berornamen buaya seolah berhala dari masa lalu, entah kenapa buaya menjadi simbol kampung. Padahal di daerah kami tidak ada buaya. Mungkin diambil dari dongeng nenek moyang yang berkembang, dipercaya orang-orang kampung berasal dari buaya. Dulu hamparan tanah kami yang membentang dari semenanjung Perak Laut adalah rawa-rawa yang banyak dihuni para buaya, ikan suro dan burung cucak rawa. Pada suatu hari ada seorang gadis cantik sedang mandi di tepi rawa, sepak terjang gadis yang sedang mandi terlihat jelas oleh seorang perjaka yang sedang berburu buaya, dengan perlahan dan pasti sang perjaka mulai mendekati gadis yang sedang mandi, sampannya ia kayuh perlahan sekali sehingga air rawa tidak beriak dan angin enggan berbisik. Sejarak sepuluh kayuh dayung, gadis yang sedang mandi tersadar dari incaran mata jalang perjaka tampan, dan menjerit-melolong minta tolong, saat itu juga muncul buaya putih yang menghadang gelak langkah sampan sang perjaka, terjadilah perkelahaian hebat, karena buaya putih bukan buaya sembarangan dan sang perjaka juga bukan perjaka sembarangan, perkelahian memakan waktu tujuh hari tujuh malam, tak seorang pun yang memenangkan, bahkan ketika sang perjaka telah dibantu oleh sabahat lamanya, seorang manusia yang menjelma menjadi ikan suro, maka ketika sang perjaka istirahat, ikan suro menggantikan kedudukan sang perjaka melawan buaya putih, perkelahian tak seimbang karena tenaga buaya putih terus terkuras sedang ikan suro dan sang perjaka saling bergantian menyerang, sehingga terdesaklah buaya putih ke arah sungai di semenanjung Galuh, perkelahaian terus berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, antara ikan suro dan buaya putih, -sehingga muncul pendapat dari para ahli mitologi bahwa salah satu takdir kami adalah saling bertikai dan saling membunuh hingga keturunan kami musnah, sedang sang perjaka karena melihat musuhnya tidak lagi melindungi gadis cantik maka gadis cantik itu diterkamnya, hingga beberapa bulan kemudian lahirlah jabang bayi, dan tahun bertambah tahun gadis cantik itu semakin banyak melahirkan anak, maka keturunan dari keturunan dari keturunan dari keturunan mereka adalah para sesepuh kampung kami, begitu cerita kuno itu, namun aku merasa yang buaya, tak lain dan tak bukan adalah sang perjaka, jadi sangat masuk akal monumen buaya itu didirikan dan bukan seekor anjing. Di pinggir pantai ada mercu suar yang dibangun penduduk untuk sinyal kapal dan perahu yang akan melintas di wilayah perairan. Dan ditengah kampung dibangun pilar menjulang untuk dipasang jam dinding maha besar -konon jam ini didatangkan langsung dari Swiss oleh Gubernur Distrik Kota Raja, sebagai penunjuk waktu. Waktu memang akhirnya menjadi bukti bahwa segala yang hidup di dunia terbatasi, fana dan sebentar. Mungkin kalau waktu tak pernah ada dunia akan menjadi surga dan manusia akan bahagia.
Setiap senja datang dan matahari membakar lautan di ufuk barat, seperti mata iblis yang dipercaya penduduk sedang berangkat tidur, tak seorang pun nelayan berani berlayar; para nelayan akan segera pulang atau menghentikan menangkap ikan. Anak-anak berlarian di pinggir pantai menyaksikan mata iblis mengedip sambil melarungkan sesaji: kembang mawar, kenanga, kamboja, daun siwalan, tuak, ikan busuk, kemenyan -begitu yang kami percaya dalam imajinasi kanak-kanak, kami persembahkan buat iblis laut agar segera terlelap tidur tidak murka dan membawa malapetaka. Di saat itu para orangtua hanya duduk-duduk diberanda memandang kosong seakan ada yang hilang terbawa senja, mungkin masa lalu yang mereka sesali, wajahnya bersedih seolah tak mau beranjak tua yang sebentar lagi akan mati. Sungguh kasihan. Sambil sesekali tangan kanannya menuangkan tuak ke gelas bambu, di mana tuak adalah kebanggaan minuman kami, tak ada yang lebih terkenal dari arak tuak buatan kampung kami, tuak dari mancung pohon siwalan dideres hingga mengeluarkan air, diendapkan dan disimpan berminggu-minggu di dalam tanah, uapnya beralkohol tinggi baunya sedap dan tidak lekas bacin.
Kampung kami memang sangat terasing dari dunia luar meski letak kampung berada di pinggir laut, tepatnya di sebuah semenanjung. Umumnya kampung-kampung di pinggir laut yang telah banyak mengalami perjumpaan dengan orang lain yang datang dan pergi, sebagaimana biasanya kampung nelayan terbuka dan bersahabat, namun kampungku justru sebaliknya tertutup rapat seperti perempuan pinangan, hingga orang-orang dengan gampang bertindak kasar bila sedikit saja mendengar kasak-kusuk yang merugikan mereka, tindakan brutal dan kejam saat itu juga akan terlaksana. Pernah suatu kali ayah melabrak Tuan Cuak Kuak yang wajahnya mirip luak dikabarkan menjahili ibu ketika ibu berkunjung ketempatnya. Waktu itu ibu ingin pinjam panci, piring, sendok dan garpu untuk masak dan makan malam, karena tiba-tiba entah hilang atau dicuri orang, panci, piring, sendok dan garpu di rumah lenyap semua seolah menguap. Oh, sungguh kejadian yang menakjubkan. Suatu ketika pernah terjadi sebuah rumah tiba-tiba muncul di kerumunan semak belukar dengan seluruh isi dan perabotnya. Tapi seminggu kemudian rumah itu lenyap pula tak berbekas. Kata orang rumah itu rumah hantu. Apa mungkin saat itu ibu sempat masuk ke rumah hantu dan mengambil panci, piring, sendok dan garpu, yang akhirnya lenyap pula. Waktu aku tanyakan pada ayah, apa benar barang-barang itu milik para hantu, karena suatu ketika aku lihat, panci, piring, sendok dan garpu saat malam hari terbang melayang-layang di kamar makan, gemerincing sendiri seakan memanggil tuan-tuannya agar segera makan malam, hidangan telah siap sedia. Ayah hanya melotot sambil menarik nafas berat, akhirnya aku tak berani menanyakan hal itu lagi, apalagi sama ibu. Menurut ibu saat akan meminjam peralatan, Tuan Cuak Kuak tinggal sendirian di rumah, rumah sepi, merayu ibu di dapur, mencoba meraba paksa payudara ibu, meremas-rempon dengan nafsu gila yang meledak, hendak melepas seluruh baju ibu seolah menguliti pisang dan ingin menelannya bulat-bulat. Ibu memberontak-gertak dan menendang kontol Tuan Cuak Kuak. Lari keluar. Sampai di rumah ibu menangis sambil menunjukkan baju robek di dekat pusar. Ayah gusar dan marah, keluar, menenteng parang, membuka baju, ototnya saling berpacu ingin meledak, berderit-derit seperti gelembung air mendidih. Sewaktu dicari di dalam rumah Tuan Cuak Kuak tidak ada, ditemukan sedang berak di kakus belakang, dua puluh langkah dari dapur. Tuan Cuak Kuak cuek saja atas permintaan ayah agar cepat keluar. Ia berak. Dengan tenang ayah mendekati kakus, dari belakang mengayunkan parang ke leher Tuan Cuak Kuak yang sedang asyik jongkok. Tuan Cuak Kuak terjerembab ke dalam liang kakus dan tak bangun lagi untuk selamanya. Selamat tinggal. Mayatnya bergelepotan tai, seminggu dirubung belatung, kutis dan kalajengking. Akhirnya dikubur di kakus karena pihak keluarga tak mau mengambil, bahkan untuk melihat pun tak berani, takut terkena imbas, mereka tahu sepak terjang si pembunuh. Ayah tak diberi sangsi apa pun, ayah kepala kampung, punya kuasa, wilayah dan aturan. Orang kampung percaya, ayah saat itu sedang mempertahkan martabat keluarga, harga diri, yang akan mempengarhui kelangsungan hidup selanjutnya. Kami percaya siapa yang makin kuat merekalah yang akan menang dan bertahan, yang lemah lebih baik disingkirkan, tak ada tempat bagi mereka, karena tak mampu mengarungi kehidupan, karena sesudahnya hidup akan lebih berat dan keras lagi, hanya akan membebani keluarga, dan akhirnya orang kampung juga yang harus memikirkan, lebih baik tetap menegakkan hukum rimba. Siapa kalah tamat dan lewat.
Suatu hari, kami bertiga: aku, Roh Cicem, dan kakakku, suatu hari pernah memburu kura-kura di tepi pantai. Waktu itu gerimis datang perlahan, kami membawa tombak pohon ara. Kami telah berjanji banyak-banyakan membunuh kura-kura. Kami berlarian kecil sambil hujan-hujanan, menulusri pematang sawah yang kilatan-kilatan petir saling menghujam bumi di kaki langit sebelah selatan dan terlihat gunung-gunung yang menyala terang terkena kilatan petir. Dan sesekali kami menjumputi kepiting gembur di pinggir tanggul sawah yang kulitnya hendak berganti sehingga seluruh tubuhnya lunak-muda dan enak, segera setelah kami bersihkan kami makan perlahan dengan terlebih dahulu membuang kaki-kakinya, sebuah makanan enak yang sudah tersedia di alam, sering kali pula ikan-ikan sawah mentah pun kami lahap demi kesehatan dan mukjijat yang tak terkira. Kami terus berlari menelusuri rawa-rawa dan sampailah pada pantai terakhir yang ada dihadapan. Kami berjalan perlahan ketika hendak memasuki sarang kura-kura. Sampai di sarang kura-kura, hari telah menjelang sore. Suasana remang-remang menyelimuti pesisir. Kami perlahan memasuki hutan dekat pantai. Di situlah kura-kura berada, berserakan di bawah pohon-pohon bakau yang berada di daratan, pohon-pohon kepuh, beringin, dan di bawah rumpun bambu. Tiba-tiba kakiku menginjak binatang sebesar kucing yang bersisik ular dan dengan kecepatan kilat menggulung kedua kakiku sehingga aku terjatuh berguling masuk ke semak belukar, dengan kecepatan kilat pula mengingat datangnya marabahaya segera aku keluarkan pisau yang terselip di dalam celana dalam, bintang itu segera aku hujani pisau berkali-kali sehingga cengkeraman kuatnya terlepas dengan mengeluarkan simbahan darah, rupanya setelah aku perhatikan dengan seksama binatang itu tidak lain dan tidak bukan adalah trenggiling. Kami masuki medan perburuan dengan kehati-hatian penuh. Karena malam segera datang, kami semakin tertantang, bagaimana harus membunuhi kura-kura dalam kegelapan. Dengan melawan malam gelap gulita dan bulan entah sembunyi di mana, yang bisa kami lakukan adalah jurus membabi buta menombaki kura-kura yang berseliweran di sekitar kaki. Hanya mengandalkan insting berburu dan membunuh saja yang terus kami asah. Dengan ketepatan yang luar bisa satu persatu kura-kura yang merayap perlahan dekat kaki kami terhujani tombak tajam. Ketika tak ada getaran kura-kura berjalan segera kami rebahkan telinga ke tanah maka terdengarlah gerak langkah kura-kura yang mendekat maupun menjauh. Kami lalu bangkit dan menuju sasaran masing-masing. Betapa bahagianya kami waktu itu. Pulang kami menyeret berpuluh kura-kura yang kami ikat memanjang ke belakang, hingga nampak kura-kura masih hidup dan berjalan berbaris di belakang kami seperti deretan gerbong kereta api hitam meliuk-liku di sepanjang rel kereta. Karena gelap malam, Roh mengalami luka tombak di lambung. Entah tombak siapa yang menghujam. Sebuah kecelakaan yang tak disengaja. Dan hal ini sudah biasa bagi hidup kami. Hal itu pun tak pernah menyurutkan kebahagiaan kami seolah kecelakaan tak pernah terjadi, Roh juga tak mengalami luka berarti. Lambungnya hanya berlubang sedalam jari telunjuk.
Kisah lain yang membuat kami bertiga bagai tiga sekawan di masa lalu, adalah berlayar dengan rakit berhari-hari. Rakit kami susun dari batang-batang bambu yang kami tebangi dari ladang kakek Roh yang terpencil di ujung kampung. Seluruh rencana telah kami susun dengan matang. Kami berlayar di pagi hari. Sengaja pula tidak membawa bekal makanan. Kami sudah sepakat mencari makan dengan cara memancing. Berhari-hari kami terkatung-katung di tengah samudra luas. Kedinginan. Kepanasan. Kami makan ikan mentah dan minum air asin yang terasa akan mencekik pekik leher. Di tengah samudra luas kami merasa terpencil. Di siang hari aku lihat kedalaman laut sangat jauh dan sunyi. Di malam hari kami memandang bintang di langit, begitu tinggi dan tak mungkin teraih. Begitu luas jagad raya. Tubuhku berdesir memikirkan semua itu. Pada akhirnya kami tidak tahu sendiri kenapa tiba-tiba pelayaran kami berakhir juga di kampung halaman. Tepatnya seminggu setelah kami berlayar. Padahal kami merasa tak pernah membalikkan arah kemudi untuk kembali. Tiba-tiba seluruh keluarga sudah menyambut di tepi pantai. Apakah artinya semua ini. Kami benar-benar tidak tahu, seolah dalam mimpi saja. Apakah pepatah lama: sejauh-jauh bangau terbang akhirnya kekubangan juga. Dan apakah kampung kami adalah kubangan hidup yang paling kotor di dunia? Yang membuat kami dalam silang sengkarut kehidupan yang tak beraturan dan tak pasti. Seolah nyawa tak berarti dan anak-anak jadah terus lahir dari perut perempuan-perempuan sundal yang kelaminnya dijangkiti penyakit menahun, yang tak pernah cebok sehabis berak di tengah ladang. Entahlah. Namun kami selalu percaya akan adanya keajaiban dan kekuatan yang tak terpahami dari kampung kami. Kami percaya kampung kamilah yang menyedot kami kembali. Seolah pusat pusaran hidup ada di tanah kami. Sebuah tanah harapan. Tak heran begitu fanatiknya orang-orang di daerah kami akan kampung halaman. Bagaimanapun caranya tanah kelahiran harus dibela hingga mati, hingga tumpah darah penghabisan meski dengan cara yang paling naïf sekali pun.
Aku masih ingat pula satu hal yang paling mengasyikan. Sebuah perbuatan konyol dan bengal, pernah aku lakukan ketika usiaku sepuluh tahun. Bagaimana tidak, sebuah tindakan sangat berani telah aku lakukan sendiri. Waktu itu ayah sehari penuh telah bekerja menjemur ikan hasil tangkapan, ibu mengasap ikan-ikan agar awet, aku hanya bermain-main dengan camar, dan gagak yang melayap tenang di perairan mencari mangsa. Entah kenapa gagak juga ikut-ikutan berkeliaran di pinggir pantai, apa sudah tidak ada bangkai lagi di daratan. Sejak itu pula aku begitu jatuh cinta pada gagak hitam-kelam berparuh kelam yang begitu agung dan mengagumkan. Betapa jinak ia padaku. Kami berkejaran di tepi pantai setiap senja datang. Kami berlarian sambil saling menggoda. Sering gagak hitam tiba-tiba menyerang dari belakang, dengan sigap aku menghindar dengan jalan merebahkan diri di atas pasir, bangkit, lalu aku lempar gagak yang terbang merendah dengan gumpalan pasir yang segera berhamburan tertiup angin yang datang dari arah laut dengan hembusan kecang dan menjadi butiran-butiran pasir kembali. Dari pasir kembali ke pasir. Dari debu kembali ke debu. Sedang angin pun tak bisa menjaring. Matahari juga hanya bisa menatap dengan mata merah-sipit dari ufuk barat, yang sebentar lagi akan tenggelam dan esok pagi akan terbit lagi. Begitu seluruh kehidupan berulang. Rutinitas yang membosankan. Kesia-siaan yang abadi.
Melihat perbuatanku yang setiap hari hanya bermain-main dengan gagak, rupanya menjadi begitu asing bagi ayah. Suatu senja segera ayah mengambil parang dan mendekat. Aku sedang asyik memberi makan dengan sisa nasi dan bangkai ayam. Ayah makin mendekat dan dengan satu sabetan yang begitu kebat-cepat-tepat, parang menghujam leher burung gagak di sampingku, kepalanya mencelat menancap di atas pasir. Saat itu pula aku tendang pantat ayah. Aku ngamuk membabi buta, tidak terima atas perlakuan keji ayah terhadap sahabat baruku. Hari itu aku benar-benar murka. Dunia seakan kiamat. Ingin aku lari ke surga. Tanpa rasa dengki dan dendam. Malam-malam, aku mengendap-endap mendekati ayah yang tertidur di dipan depan pintu. Dengan kehati-hatian luar biasa, segera aku keluarkan sebuah pisau lipat yang telah terasah begitu tajam. Dengan perlahan namun pasti, segera aku gunduli kepala ayah hingga mengkilap. Sebenarnya pekerjaanku sangat sempurna sekali, seandainya saja tangan ini tidak begitu bernafsu untuk membuktikan bahwa darah bisa mengucur seperti air mancur dari kepala gundul ayah, yang begitu mengiurkan untuk segera dibacok agar darahnya muncrat, dan menampilkan keindahan tersendiri, maka dengan tekanan yang agak sembrono, pisau lipat serta-merta mengaruki, dan melukai beberapa bagian kepala ayah. Tentu saja karena kepedihan yang luar biasa ayah terbangun. Mendapati kepalanya telah gundul, ayah langsung menggampari seluruh tubuhku hingga memar-memar. Dan akhirnya aku dilempar ke luar rumah, semalaman tidak dibukakan pintu, terpaksa tidur di gudang pengasapan ikan, asin, gatal, apak dan baunya sangat memusingkan. Tapi aku bahagia bisa mencelakai ayah, tega mempermalukan di hadapan nasib hidupnya. Maka mulai hari itu pula, ayah adalah musuh besarku, kebencianku tak akan menguap sebelum melihat ayah terkubur di dalam tanah.
Satu lagi kejadian yang menarik. Kejadiannya sebenarnya ingin aku lupakan seumur hidup, tapi bila mengingat kakek, bagaimanapun juga aku tak mungkin melepaskan kejadian-kejadian yang menyertai kehidupannya. Memang siapa yang tidak jengkel melihat orang tua yang bisanya cuma minta bantuan dan sama sekali tidak bisa hidup mandiri. Apalagi segala tingkah-laku kakek bukannya malah membuat sebuah keluarga menjadi baik, membantu keluarga, tapi justru membuat kehidupan keluarga menjadi berantakan, kacau, hancur, dan menimbulkan amarah pada diri kita. Dan kakeklah yang berbuat semua itu. Karena kakek selama akhir hidupnya terjebak dalam kenangan masa lalu. Mengalami kepikunan bertumpuk-tumpuk. Setiap hari dia hanya membayangkan hidup di daerah pengunungan, sehingga segala tingkah laku justru berlawanan dengan kehidupan yang seharusnya ia lakukan di kampung nelayan. Siang malam ia pakai jaket tebal. Siang hari seharian di kebun merawat buah apel. Padahal bukan buah apel yang ditanam namun buah cerme. Tapi kakek tetap bersikeras bahwa itu buah apel. "Suatu hari buahnya akan besar-besar dan kamu akan terheran-heran," begitu kata kakek suatu pagi. Kakek tak pernah putus asa, setiap hari ia selalu berharap dan menanti kapan buah itu menjadi besar. Sebuah tindakan yang tak berguna dan buang-buang waktu. Betapa bebal ia kalau aku pikir-pikir. Belum lagi, setiap sehabis makan, ia selalu minta makan lagi, katanya, belum diberi makan dan teriak-teriak minta disuapi.
Tengah malam aku mendengar suara gemericik air dari kamar mandi dengan diselingi dehem-dehem dan nyanyian asing yang tak pernah aku dengar, aku tahu pasti kakek sedang mandi. Aku lekas beranjak dari tidur dan mengintip kakek mandi, ia masih membersihkan badan dengan handuk yang tersedia di kamar mandi, namun aku lihat batal guling yang mestinya ada di kamar kakek kini ada di bak mandi. Aku bergegas semunyi ke balik almari tengah tempat barang-barang pecah belah disimpan, kakek segera keluar dengan bertelanjang, semua kulit telah keriput, berjalan ke keranjang tempat pakaian kotor, waktu itu ibu dan ayah belum pulang dari menghadiri perkawinan anak sahabatnya yang ada di balik bukit, sedang kakak masih keluyuran, dengan kepikunan yang abadi kakek memakai celana dalam milik ibu berwana merah jambu yang belum dicuci, sebelumnya sempat kakek kenakan di kepala sebagai penutup, seolah ia seorang koki ahli masak dan menari-nari di depan cermin, dengan enteng pula ia mencomot rok dan baju ibu yang semalam telah dipakai, warnanya putih kotak-kotak hitam seperti medan permainan catur, kakek terus bernyanyi dan nampak begitu bahagia malam itu. Aku tertawa tertahan dan segera kembali masuk kamar sebelum ayah-ibu pulang.
Aku tahu sesudah itu di tengah malam kakek akan berangkat kerja, padahal hanya duduk-duduk di teras, seolah ruang kerja. Kakek akan selalu duduk di kusri goyang yang ada di pojok teras, lalu dengan geram, gaya otoriter memerintah bawahan, supaya mengambilkan beberapa arsip yang harus ia tanda tangani. Tak seorang pun yang berani duduk di kursi goyang kakek, karena kakek akan marah tidak kepalang dan menghancurkan seisi rumah bahkan pernah kakek hampir membakar rumah bila saja ayah tidak cepat menangkap tangan kakek yang memegang kain yang sudah terbakar dan hendak dilemparkan ke atas genting. Maka kursi goyang kakek sangat keramat tak seorang pun diperbolehkan mendekati apalagi menduduki. Arsip-arsip yang diperintahkan kakek, ibulah yang selalu menjadi kacung, ibulah yang mondar-mandir melayani, seolah sekertarisnya. Tubuh ibu menjadi lebih tua dari usianya, kulit mulai berkeriput, tangan halusnya menjadi amplas yang bisa menggores wajahku, namun wajah ibu masih menampakkan kecantikan, hal ini bisa dilihat dari garis-garis raut mukanya, dan raut wajah ibu tak beda jauh dari wajah ayah. Mungkin benar juga kata orang bahwa bila ada orang yang berpacaran dan memiliki wajah hampir sama, sudah bisa dipastikan bahwa mereka memang sudah dijodohkan sejak di dalam rahim. Kelakuan kakek yang suka aneh-aneh, jelas menunjukkan ia terkena sebuah sidrom masa lalu akan kekuasaan dan tak mungkin ia hapus karena di situlah ia mendapatkan puncak kejayaan. Padahal dulu kakek hanyalah seorang kepala kampung dan bekas prajurit rendahan.
Suatu saat ketika kami sedang makam malam, kami berenam duduk melingkari meja, tiba-tiba kakek menghampiri, menanyakan perempuan yang duduk di ujung meja.
“Ah, kamu tahu siapa yang duduk di ujung meja, dengan baju merah dengan garis-garis putih yang direnda. Betapa cantik ia. Siapa namanya. Tolong sampaikan samputangan ini untuknya. Salam hangat dariku. Dan jangan lupa tanyakan di mana rumahnya. Bolehkah malam minggu aku datang. Tolong ke sana anak ganteng nanti aku belikan gula-gula paling manis.”
Aku pun ke sana menghampiri gadis pujaan kakek. Seisi rumah karena tahu keadaan kakek selalu mengikuti saja apa keinginan kakek. Belum sempat aku medekati kursi nenek, tiba-tiba nenek berdiri dan sangat marah.
“Hentikan sandiwara ini. Tua bangka tak tahu diri. Ngaca. Nyebut. Sebentar lagi masuk liang kubur.”
“Oh , maafkan nona, memang itu semua salahku. Tapi sesungguhnya aku telah jantuh cinta kepadamu, sejak pandangan peertama,” begitu rayu kakek.
“Terkutuk kau kakek tua. Ayo kembali makan. Atau makan malammu akan bersama anjing kudisan di luar sana!” bentak nenek sambil menyuruhku memapah kakek kembali ke kursi.
Suatu kali ketika kakek teringat masa muda saat menjadi prajurit, memang kakek dulu pernah jadi parjurit namun hanya lima tahun, dipecat dengan tidak hormat karena berbaku tembak dengan teman sejawat, ketika mabuk di kedai kopi sehabis upacara bendera. Malam itu tak ada yang bisa tidur. Sejak sore kakek sudah berseragam selempang senjata, untuk itu di rumah ada satu stel pakaian seragam prajurit, seperangkat mainan perang-perangan untuk persiapan bila kakek kumat. Kakek memberi hormat pada siapa pun yang lewat di ruang tamu. Dan bernyanyi sendiri sambil menghentak-hentakkan kaki di lantai seperti sedang baris-berbaris. Diselingi dengan teriakan angkat senjata, tembak, dan tiarap. Ayah, ibu, nenek, kakak, dan aku tak mampu membuat kakek menghentikan kegilaan. Terpaksa kami tidur semua dan membiarkan kakek berbuat sesuka hati di ruang tamu. Ketika pukul duabelas malam kakek berteriak-teriak sambil menggedor-gedor kamar, meminta kami segera bangun dan menyiapkan senjata, karena pasukan akan segera berangkat ke medan laga. Siapa yang belum keluar, pintu kamar akan terus digedor-gedor dan dimaki-maki. Saat itu pula ayah marah dan membawa kakek ke dalam kamar mandi, menyiram dan memandikan. Karena kedinginan kakek mulai meluruhkan perilaku aneh dan sebentar kemudian tertidur di lantai kamar. Seperti mati dalam hidup.
Tingkah laku ibu yang selalu memperhatikan kakek seringkali menjadi malapetakan bagi hubungan ayah dan ibu, ayah merasa hidupnya hanya dibiarkan saja, tidak diurus, maka ayah-ibu diam seribu bahasa tidak saling menyapa tanpa alas an yang jelas dan tidur selalu berpisah, bahkan membuat kopi saja ibu tak mau, dan ayah juga memasak sendiri, sikap saling diam seperti bias berlangsung berbulan-bulan, meski mereka duduk di satu ruang mereka tak mau menyapa maupun saling menatap mata, tanpa sebab yang jelas pula tiba-tiba mereka sudah tidur satu ranjang dan saling bicara, mereka nampak rukun, tanpa sebab yang jelas lagi, mereka akan saling diam dan saling ancam, saling intai, pernah berhari-hari ayah terus memata-matai ibu, saat ibu di kebun belekang ayah mengitip dari jendela, saat ibu keluar rumah, ayah mengikuti dari belakang dengan jarak yang sangat terjaga, meperhatikan tindak tanduk ibu sedetail-detailnya, sehingga seluruh hidup ibu seolah terus dimonitor, dijaga, sehingga tidak berkutik untuk berbuat apa pun, seolah kebebasan sebagai manusia telah terampas, semua memang gara-gara kakek, ayah rupanya sering cemburu atas perilaku ibu terhadap kakek yang sangat istimewa.
Pada suatu hari, ketika ayah sedang mengepaki ikan-ikan yang sudah digantang. Kakek duduk di gudang pengasapan sambil tangannya menunjuk-nunjuk ayah dan mulutnya berteriak-teriak memerintah sana-sini. Waktu itu aku masih ingat benar. Wajah kakek sudah keriput, matanya sangat cekung, sinar matanya kejam dengan bola mata besar, persis sinar mata ayah, giginya ompong, jalannya miring-miring karena kaki kanannya terkena reumatik, rambutnya putih, perutnya buncit, bicaranya keras seperti gelegar geludug. Dan ayah masih sangat muda, hitam, hidung besar agak merah, bulu rambut di sekujur tubuh sangat lebat mirip kera, dengan tangan kasar dan besar. Kakek terus-terusan bicara sambil marah-marah, dan betapa ketusnya kakek memerintah ayah. Katanya semua arsip-arsipnya harus segera dibawa ke meja kakek. Kalau tidak semua pegawai akan ia pecat semua. Kakek jelas sedang mengenang saat-saat ia sebagai kepala kampung. Waktu itu tengah hari, matahari begitu terik memancarkan sinar. Angin berhenti berhembus, memberi kesempatan kakek mengeluarkan semua sumpah serapah. Sumpah serapah dari orang tua yang kelewat pikun. Maka kakek dengan penuh semangat semakin mencaci maki ayah yang bekerja semakin salah tingkah. Pada saat tengah hari dan matahari memancarkan panasnya yang paling kejam, ayah bangkit lalu mencuci tangan kotor di jambang bening hingga air menjadi keruh. Aku melihat dengan pasti, karena aku duduk tidak begitu jauh dari tempat duduk kakek. Perlahan ayah mendekati kakek, mukanya tersenyum ramah. Meminta kakek segera turun dari kursi goyang yang selalu dibawa ke mana pun ia pergi. Kakek menurut, tapi mulutnya terus nerocos membentak-bentak dengan kata-kata kotor, "Anjing semua! Diancuk kalian! Babi ngepet! Bangsat! Dasar keluarga keparat!" Di dekat bara api pengasapan, ayah menghentikan kakek, lalu menelikung tangannya. Dengan sekejab pula yah menyeret kakek ke bawah pohon mangga, kedua kaki kakek lalu dipasung. Aku tidak ingat untuk berapa hari kaki kakek harus dipasung. Aku hanya ingat ketika kaki kakek dilepas, bicaranya sudah mendingan, tidak ngaltur lagi.
Juga menurut ibu, pertama kali penyakit kakek kambuh, kakek masih berusia 20 tahun. Waktu itu sepulang dari hutan kesadaran kakek hilang (kesurupan), ia merasa menjadi seekor anjing dan makan daging mentah. Melolong-lolong tiap malam. Kata orang pintar ia kemasukan roh jahat yang ingin menguasai jiwanya. Karena orang-orang pintar tak bisa mengobati, jalan satu-satunya ia harus dipasung. Maka ia dipasung berhari-hari dibawah pohon beringin, tanpa diberi makan apa pun. Hal itu dimaksudkan untuk mengusir kebiasaan roh jahat yang suka rakus makan apa saja. Berhari-hari kemudian kakek menunjukkan kejinakan. Tidak liar seperti saat pertama kerasukan. Oleh ibunya ia dilepaskan. Saat diberi makan ia menunjukkan kerakusan kembali. Seluruh makanan yang dihidangkan: nasi dua panci, sayur bening satu baskom, tempe goreng satu piring, krupuk udang satu blek, ia lahap hingga tandas. Satu ceret tuak ia gelontorkan ke dalam perut. Lantas ia teriak-teriak lagi, minta makanan yang lebih enak. Ia lari ke dapur. Ia kejar ayam yang sedang mengeram. Telor-telor ayam yang hampir menetas ia sikat langsung. Darah mengalir deras dari mulut. Belum puas. Ia mengejar-ngejar ayam. Sabit yang terselip di dinding ia sambar dengan cepat, ia ayunkan pada ayam yang sedang terbang rendah di hadapannya. Tubuh ayam terbelah. Dengan gegas ia mamah paha ayam dengan rakus. Ibunya menjerit-jerit minta tolong. Tetangga-tetangga datang membawa parang. Merasa terancam kakek nggeblas menjebol jendela. Memanjat pohon kelapa di halaman. Berhari-hari ia tak turun-turun. Bila ada yang mencoba untuk menolong, justru ia siap untuk terjun bebas. Akhirnya tak ada yang bisa membujuk. Ayah-ibunya hanya bisa membangun tumpukan jerami di bawah pohon kelapa. Khawatir anaknya terjun bebas dan tubuhnya hancur di tanah. Kakek sendiri masih dikuasai roh jahat yang membuatnya sangat kuat dan tak pernah merasa sakit. Berhari-hari ia tak makan. Pada suatu malam ibunya mendengar gedebum kelapa jatuh. Tak lain dan tak bukan adalah Kakek yang terjatuh dari pohon kelapa. Anehnya kesadaran sebagai orang waras muncul kembali. Dan tersiarlah keajaiban dan keampuhan kakek, penduduk percaya kakek mewarisi kekuatan luar biasa, dititiskan roh jahat yang pernah menguasai dirinya. Maka semua orang desa hormat, takut, segan, dan ketika kakek mencalonkan menjadi kepala kampung, tanpa kesulitan ia pun memenangkan.
Seingatku, kami bertiga juga pernah dihukum sebulan lamanya tidak diberi makan, hanya minum segelas air laut tiap hari; kami dimasukkan dalam gudang tertutup rapat beratap seng; kaki dan tangan kami diikat dengan rantai. Padahal kesalahan kami yang terakhir hanya sepele. Malam itu, kami berjalan dari rumah Roh hendak mancing di pantai. Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Aku dan Roh membawa oncor, sedang kakakku membawa pancing serta kepis -tempat ikan. Kami berjalan sambil beriangan, bersiul dan bernyanyi. Saat melewati rumah nenek sihir, aku lihat tak ada orang satu pun yang ada di dalam. Sunyi. Dan juga tak ada bunyi. Begitu merasa sunyi perasaanku blingsatan, tak karuan. Karena aku benci sepi maka tanpa ampun kubakar sepi. Aku lemparkan oncor ke atas atap yang terbuat dari rumbia. Api berkobar. Sepi terpanggang. Kami terus ngluyur. Tiba di pantai, kami lemparkan kail. Malam nampak gelap. Namun di kampung terasa terang. Kami lihat perkampungan riuh dan bercahaya. Orang-orang ramai di sekitar rumah nenek sihir. Aku lihat kobaran api terus membumbung ke langit, memecahkan kepekatan malam. Seakan ada cahaya menerangi kampung. Kami terus memancing. Tiba-tiba dari arah kampung berjajar puluhan oncor. Mendekat. Merapat. Mengepung. Menangkap. Kami ditelanjangi. Dipukul. Dikepruk. Kami diam. Digiring berkeliling menelusuri jalan kampung. Di balai kampung kami diinterogasi. Ayah sebagai kepala kampung tak bisa berbuat banyak. Karena penduduk sangat marah. Murka. Bahkan hendak menghajar siapa saja yang berani membela kami.
Ketika kami ditanyai, "Kenapa membakar surau?"
Kami semua bungkam. Mulut kami ditampar-tampar. Merah memar.
Aku bilang, “Karena rumah sepi, pasti dihuni roh jahat, dan aku percaya Tuhan tak akan pernah tinggal di tempat itu. Tak ada yang membakar surau, aku hanya benci nenek sihir. Kenapa kalian malah melindungi tukang santet, sudah sepantasnyalah ia dibakar hidup-hidup.”
“Kamu memang tolol anak durhaka rumah nenek kan berdekatan dengan surau!” bentak lelaki kekar bermata ular.
Mulut kami dihajar lagi, tapi tak terasa sakit. Kami malah tersenyum berpandangan. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya, tak ada yang mau menjawab. Kami bungkam. Serta merta mereka hendak membakar kami hidup-hidup. Tapi ayah mencegah dan mengusulkan agar kami diusir dari kampung.
Setelah dihukum satu bulan, kami diusir dari kampung. Kami bertiga dianggap biang keladi atas kekacuan-kekacuan yang terjadi. Ketika itu usiaku baru 15 tahun. Waktu itu pula tak seorang pun merasa sedih, bahkan orangtua kami merasa bersyukur atas diputuskannya tali ikatan sedarah. Begitu dalam pikiranku, meski aku tahu ayah dan ibu berlinangan air mata ketika melepas kami. Memang ayah-ibu, hanya punya anak kami berdua. Kami pun tak pernah merasa bersedih dan berhutang budi pada orangtua yang telah melahirkan. Kami percaya orangtua kami tidak bersungguh-sungguh ingin melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, begitu dalam hati kecil kami. Mereka hanya iseng saja ketika membuat kami, tanpa pernah merasa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sakral. Bila sedang ngentot mereka tak pernah mengucapkan mantra atau doa; begitu nafsu mereka meledak, istrinya segera diglebakkan di sembarang tempat. Suatu kali saat senja angslup dan kelelawar mulai berterbangan, aku dan kakakku melihat ayah-ibu ngentot di atas keranjang penuh ikan, kami melihat pelir ayah menggelantung bagai telor bebek dicelup dalam gemuk, jembutnya berkibaran bagai buntut celeng hitam pekat. Terlihat leleran pejuh hijau-keputihan mengalir dari turuk ibu ke silit hitamnya. Kontol ayah keluar dengan letih tak berdaya, seperti pohon tumbang. Kelakuan-kelakuan orangtua kami menjadi atraksi mendebarkan bagi batin kami, kami merasa ada surga di balik bokong ibu.

II
Di perjalanan, pikiranku berkecamuk pada Dedes dan keluarganya yang aku tinggalkan begitu saja. Aku bertemu dengan Dedes di jembatan yang menghubungkan Pidienda dengan wilayah Ceruk Hitam, jembatan itu bernama jembatan Merabu Merah, sebuah jembatan bercat merah dan memiliki lengkungan sangat menarik, melenting tinggi seolah bukit yang runcing, di sisi-sisi jembatan dihiasai ornamen-ornamen aneh: wajah kelelawar, burung gagak, harimau, buaya, dan di gapura masuk dihiasi dua patung raksasa berambut terbakar membawa senjata godam dan perisai besi. Waktu itu Dedes mengenakan baju warna-warni bermotif ular. Menurut pengakuannya ia hendak bunuh diri loncat dari jembatan, karena putus asa telah diperkosa sorang serdadu yang tak mau bertanggung jawab. Dan kini ia telah hamil tiga bulan. Aku katakan, tak ada alasannya kalau cuma diperkosa hingga tega bunuh diri. “Itu cara yang paling mudah untuk mati dan tak ada tantangan apa-apa kalau hal itu sebagai ujung kehidupan karena kehidupan masih panjang dan nasib orang bisa berubah secepat membalikkan telapak tangan bila ada kesempatan emas datang.” Aku tidak tahu pasti, kenapa Dedes tiba-tiba tercengang mendengar keteranganku yang sekenanya, dan perkataanku mampu meluruhkan hatinya yang hampir buta. Ia lantas memintaku untuk mengantarkan pulang.
Rumahnya cukup jauh dari jembatan. Setengah hari kami jalan kaki, baru sampai di rumahnya, dekat perbatasan Kota Raja. Rumahnya tidak begitu bagus, tapi cukup rapih, dindingnya terbuat dari kayu jati pilihan, lantainya masih semen kasar. Di halaman tersebar bunga melati, kamboja, mawar, flamboyan, kertas, dan pohon-pohon kersen berjajar menjadi pagar rumah. Dan di pekarangan nampak pohon kinetu, durian, rambutan, salak, diatur rapih. Betapa semaraknya harum bunga yang semerbak mengelayuti sekitar rumah. Aku menduga betapa romantisnya orang-orang yang tinggal di rumah ini. Di rumah hanya ada Dedes beserta ibu dan ayahnya yang sudah sakit bertahun-tahun tak tersembuhkan seperti sebuah penyakit yang diakibatkan dari karma keluarga. Kata ibunya, suaminya sakit karena terserang penyakit aneh yang tidak bisa dideteksi dokter maupun para dukun sakti mana pun. Menurut Dedes, ayahnya sakit karena diguna-gunai orang jahat yang tidak suka akan keberhasilan ayahnya menjadi pedagang tembakau yang sukses. Pada suatu hari, di pelataran rumah, ibunya menemukkan gundukan tanah baru, begitu dibongkar nampak bangkai ayam cemani dan burung hantu yang sudah terbakar. Mulai hari itu, ayahnya sakit hingga kini, seluruh tubuhnya lumpuh total hanya mata cekungnya yang mencoba bertahan dari rasa sakit yang tak terkira dan menampakkan kengerian yang dalam.
Sebenarnya aku tidak ingin tinggal lebih lama lagi seandainya tidak muncul debar-debar di dada dan desiran darah yang begitu mencekam dan menderas seakan ada yang memompa. Saat itu aku duduk di sebongkah batu hitam sebesar badak menunggu Dedes mandi di sungai yang mengalir tenang. Mataku sulit berpaling dari pualam hidup yang berkecibakan di air bening. Ketika senja meremang, aku datangi Dedes, aku memintanya berdiri di hadapanku. Dedes menurut dan hanya menutupi tubuhnya dengan selendang tipis sehingga puting susunya mencuat mencolok mataku yang rakus dan hampir buta. Aku pandangi matanya yang kelabu seperti mata ikan yang tengah terpanggang sinar panas. Tubuhku mendidih seperti bara api yang baru menyala, tak mungkin dapat di padamkan kecuali dengan air dingin. Ketika itu pula aku ingin memadamkan bara api di dalam tubuh, sekelebat itu pula aku lihat sekujur tubuh Dedes masih basah oleh air, maka kudekap dan kutumpahkan seluruh tubuh di atas tubuhku, biar api ini segera padam. Apiku segera padam setelah beberapa detik meluap pada tubuh Dedes yang basah lalu hangat. Kami pulang dengan mata jalang dan kenangan yang merasuk. Tak peduli pada apa yang telah terjadi.
Malamnya aku ikut menemani ibu Dedes menunggui suaminya yang hampir sekarat. Aku tahu nafasnya sudah tak beraturan, instingku mengatakan ia tak akan bertahan hingga fajar. Malam semakin dingin, aku tutupi tubuh ibu Dedes dengan jaket yang aku kenakan, wajahnya begitu haru melihatku berbuat baik padanya. Wajah ibu Dedes memang masih muda, aku tahu persis dari kulit tangannya ketika aku sentuh perlahan. Dedes, mungkin karena kecapaian, tertidur di kursi. Ibu Dedes segera memintaku untuk tidur di kamar sebelah. Aku katakan ingin menemani hingga pagi hari. Suaminya tertidur dengan nafas tersenggal-senggal. Entah kenapa dari sore aku hanya memandangi wajah ibu Dedes, tanpa merasa peduli dengan suaminya. Kembali lagi aku rasakan ada desir aneh merambat di pembulu darah mendesak menuju kepala dan mengetarkan seluruh tubuh, seakan semua organku hidup sendiri-sendiri. Kontolku ngaceng. Renjana menyerang. Terpaksa aku dekap erat tubuh ibu Dedes dengan cengkeraman tak beraturan dan kurum-rum payudaranya yang megah dan kenyal, ia menggelinjang-gelinjang tersenyum nakal dan menunggu perbuatanku selanjutnya. Aku tatap mata beningnya yang menatap begitu dalam ke mataku, seakan sudah begitu lama ia menanti saat-saat seperti ini. Kami rebahan perlahan di lantai, dan sesekali bergulingan dalam badai cakram tangan-kaki tak terkendali hingga lantai basah dan licin penuh kekudusan, tengah malam karena lelah kami teridur hingga pagi. Sebelum mereka bangun aku telah bangun duluan. Aku perhatikan ayah Dedes sudah tak bernafas lagi. Mati. Lantas aku bergegas pergi. Aku tidak ingin merusak perasaan hatinya dan merusak peristiwa yang begitu indah yang telah aku lakukan bersama keluaraga Dedes. Biarlah mereka mengenang kenangan dengan sesuatu yang indah-indah saja, tak perlu ada perpisahan yang akan mengharukan dan menyedihkan hati. Biarlah mereka ketika bangun pagi hari seolah malamnya telah bermipi indah. Biarlah mereka merasa hidup adalah tumpukan mimpi. Sebuah ilusi dari impian kita.

III
Kepergian kami dari kampung akhirnya memaksa kami untuk tinggal di sebuah kota. Kami bertiga bekerja di pabrik. Kota dikelilingi benteng-benteng setinggi tiga tombak, bangunan dari batu bata dan tanah liat, untuk menahan gempuran musuh. Pohon-pohon pinus yang ribuan jumlahnya mengelilingi benteng. Sehingga kota seperti di tengah hutan. Kota dalam hutan. Di tengah-tengah kota berdiri tugu kemerdekaan, begitu orang-orang menyebutnya. Sebuah lingga hitam dan kekar yang maha besar menghujam bumi, sebesar tubuh gajah dewasa. Entah kenapa patung kemerdekaan berupa lingga. Mungkin mengandung arti kekuasaan yang tak terbatas, mutlak dan abadi. Atau justru lambang kehidupan dimulai dan akan dilestarikan. Bukankah awal mula kehidupan adalah tertanamnya kelamin, lingga, -air kehidupan, ke dalam rahim.
Suatu malam aku merasa ingin bersenang-senang. Tanpa memikirkan apa yang harus aku pikirkan. Aku ingin menelusuri kehidupan malam. Sekali-sekali memang hidup perlu mampir sejenak ke pelacuran. Bukan untuk mencari dosa tapi hanya sekedar singgah dan membuktikan adanya kenikmatan surga di dunia. Malam hari aku berjalan di lorong-lorong kota. Sesekali berhenti untuk menulis puisi. Aku suka sekali membuat catatan harian dengan sebuah puisi. Karena kecapaian aku ingin sekali dipijit oleh seorang pelacur yang terampil dan menyenangkan. Aku masuk rumah bordil. Aku minta pelayanan yang paling istimewa. Aku ingin nginap semalam suntuk. Aku pilih kamar bagus. Memang terlihat rumah bordil ini sangat istimewa. Megah dan abadi sebagai lambang lembah hitam. Pasti banyak orang penting yang sesekali dalam hidupnya pernah mampir ke sini. Bau wewangian menyerbak di seluruh ruang. Gadis-gadis memandangku dengan ganjil. Mungkin karena melihat mukaku dipenuhi bopeng-bopeng dan bintik-bintik hitam, terserang cacar ganas yang tak terobati waktu kecil. Waktu itu ibu justru saban pagi mengencingi mukaku, katanya untuk obat cacar. Begitu aku bangun tidur, aku didudukkan di tanah, seweknya segera ia cincingkan, dan ia tarik mukaku ke selangkangan, ia kempit dengan kedua paha. Dunia begitu gelap. Tiba-tiba aku mendengar suara gemerojok. Air bah menerjang mukaku. Begitu asin dan pesing. Di sore hari ibu memandikan aku dengan rendaman daun johar, dicampur air bekas menjerang ayam yang hendak dicabuti bulunya setelah disembelih. Walhasil, kesemuanya justru memperparah cacarku, karena setelah dewasa aku tahu, penyakit cacar tidak boleh terkena air dan angin. Mukaku dan sekujur tubuhku inilah korbannya. Dan kini menjadi ejekan gadis-gadis bordil yang tersenyum pahit-getir tapi nakal dan jahil. Aku masuk kamar di tingkat dua. Aku tiduran di kasur empuk. Betapa nyamannya hidup dalam dunia seperti ini. Aku menanti wanita yang dijanjikan germo pemilik bordil. Aku lepas baju. Berbaring. Terdengar suara ribut di luar. Orang bertengkar tentang harga semalam yang terlalu mahal. Tiba-tiba pintu diketuk. Aku persilakan masuk. Ia masuk dan menutup pintu kembali. Betapa terkejutnya aku ketika aku tengok, rupanya Dedes, gadis yang aku tinggalkan beberapa waktu lalu. Kenapa kini ia memutuskan jadi pelacur. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku persilakan duduk. Dia pun diam. Aku lihat perutnya sudah kempes. Apa dia sudah melahirkan. Apa mungkin…….
“Ya, aku telah menggugurkan kandungan dibantu dukun bayi. Matamu tak usah meyelidik lagi!”
“Maafkan aku.”
“Tak apa. Apa sih yang bisa dipercaya dari laki-laki.”
“Maksudku……”
“Cangkemmu. Diam!”
“Maksudku……”
“Tak apa! Tak apa! Sekarang apa yang harus aku lakukan. Kita selesaikan tugas masing-masing, cepat. Kita terikat kontrak. Tak usah pakai perasaan lagi. Kamu pembelinya dan aku barangnya. Barang sudah siap silahkan lahap.”
“Aku hanya ingin ditemani.”
“Dasar pengecut!”
“Tidak. Benar-benar aku hanya ingin ditemani saja. Tidurlah. Aku ingin menyelesaikan tulisanku dulu.”
Lama aku termenung di hadapan meja yang seolah sedang mengadiliku atas perilakuku terhadap Dedes di masa lalu. Di luar hujan mulai turun. Aku keluarkan pensil dan selembar kertas. Rasanya aku ingin menulis sesuatu yang tak pernah aku bayangkan. Dengan sigap tanganku hendak menarikan pensil hitam di atas sehelai kertas putih yang belum pernah terjamah, namun tanganku hanya berhenti pada kertas kosong, benar-benar kosong perasaanku, mungkin juga jiwaku.
Tengah malam aku tinggalkan Dedes yang masih tertidur pulas. Aku masukkan uang yang menjadi haknya ke dalam saku secara perlahan. Aku merasa tak perlu mengucapkan kata perpisahan sedikit pun. Segalanya telah termaafkan kukira. Dan aku ingin melupakan segala perihal tentang masa lalu. Aku ingin menatap masa depan tanpa menengok ke belakang. Masa lalu adalah racun bagi perjalanan hidup.
Saat fajar tiba aku berjalan meninggalkan kota. Aku lemparkan mata pada datangnya fajar, fajar terakhir yang akan aku lihat di sini. Aku berjalan lamban menelusuri semak-semak, melewati taman jalan setapak bercecabang. Burung-burung berkicau menyambut pagi. Suara jangkrik di kejauhan masih mengerik dan perlahan-lahan hilang tertiup angin. Udara dingin. Butir embun masih berjuntaian di gigir dahan, berkilauan bagai berlian. Pagi masih basah. Sinar mataku meraup buas apa pun keindahan kota untuk terakhir kali. Ada kabut musim kemarau yang menyelimuti jalan-jalan, burung-burung kuntul melintasi perbukitan. Ada pilar-pilar kuil tua, masjid, candi berelief naga-naga, jembatan penuh ornamen kelelawar, puri, air mancur, villa, patung-patung raksasa dengan payung-payung purba, menara menantang langit, gerbang kota berukir para pahlawan yang mati di medan laga. Surga nampak nyata, neraka penuh siksaan, mendetail berlebihan memenuhi dinding-dinding gereja katedral, sebuah lukisan yang disentuh tangan-tangan terampil. Segalanya menjadi berlebihan. Semuanya nampak megah, indah, menjulang, vertikal, lancip, riuh, ramai, menyeruak bagai sulur-sulur akar pohon beringin yang membelit-belit. Sungai-sungai berbinar di tepi kota. Segalanya, ya segalanya bagai gerak alam menuju spiritual tertinggi, melingkar-lingkar, semburat, bercerlangan bagai mutiara tak beraturan, gemerlapan menuju satu titik keabadian yang entah di mana letaknya. Aku terus berjalan. Aku terus melamun. Tak terasa, di belakang, kota telah tertinggal jauh, tersaput kabut tebal. Kesunyian merasuk kalbu. Hampa.
***

Surabaya-Purworejo-Ponorogo
29 Juni 1999 – 10 September 2002

Taman Puisi Gelap Surabaya

Suara Karya, Sabtu, 13 Desember 2008
Taman Puisi Gelap Surabaya
Oleh S Yoga
Tak bisa dipungkiri, bahwasanya puisi gelap begitu marak perkembangannya di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Pengistilahan puisi gelap sendiri masih bisa diperdebatkan lagi, juga mutu puisi tidak terkait dengan istilah puisi gelap atau puisi terang. Istilah ini juga sudah biasa digunakan untuk menyebut kecenderungan puisi-puisi dari penyair komunitas Airlangga. Dengan para penyairnya di antaranya W Haryanto, Sihar Ramses Sakti, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal dan Puput Amiranti N, coba simak puisi-puisi mereka pada dekade 2000-an hingga sekarang, maka akan terasa kegelapan dan keremang-remangan. Tentu saja hal ini tidak kebetulan semata, karena mereka memang berkembang pada satu komunitas, bermarkas di lingkungan kampus Universitas Airlangga. Namun perlu juga diketahui bahwa meski berada dalam satu komunitas banyak juga penyair yang memilih jalan sendiri, karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab atau ideologi. Misal penyair Panji K Hadi, F Aziz Manna, S Yoga, M Anshor Syahroni, Kadirman, K Yudha Karnanta, St Fatimah, Luska Fitria dan M Aris.
Surealisme

Bila ditelusuri sejarahnya, sebenarnya kecederungan taman puisi gelap Surabaya mulai berkembang pada tahun 1995-an, saat itu mereka gandrung dengan aliran surealisme, super realis, "yang melampaui kenyataan", begitu menurut pencipta istilah tersebut; Guillaume Apollinaire, bagi mereka surealisme adalah jawaban dan gambaran yang tepat dari realitas sosial yang mencekam, represif dan informasi yang tak bisa dipegang kebenarannya. Puisi, Indra Tjahyadi, "Amsal Kekosongan dan Rindu" bisa menjadi petunjuk akan kata-kata atau bahasa yang tak bisa dipercaya, Seperti katamu bulan adalah hantu. Seteguk pekik terlepas/dari negeri raibmu, lebih nyata ketimbang perahu/Bahasa yang diciptakan geludhuk membisukan penglihatanku.
Maka mereka suntuk membaca dan mempelajari surealimse lewat tokohnya Andre Brenton dan penyair Kriapur (Solo) dengan apokaliptiknya. Kalau kita baca karya-karya Kriapur maka kita akan bisa menarik benang merah pada puisi-puisi gelap mereka. Menurut Abdul Hadi W.M dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia tahun 2004, ketika menelaah penyair Jawa Timur, di antaranya Indra Tjahyadi dan W Haryanto, ia menyatakan penyair Jawa Timur berkecenderungan apokalipsa, di mana hasrat untuk menunjukkan bahwa zaman kita hidup sekarang ini dipenuhi tanda-tanda buruk yang mengisyaratkan hancurnya tatanan kehidupan sosial dan kebudayaan. Kemudian Nirwan Dewanto dalam kata pengatar antologi puisi, Lima Pusaran, FSS 2007, menyatakan, sejumlah penyair dari Surabaya memang giat dalam sepuluh tahun terakhir. Di antaranya dengan mengusung puisi gelap yang bisa menjelma keajaiban atau keganjilan dengan kocokan maut kata-kata.
Karena kegandrungan penyair komunitas Airlangga akan surealisme maka ketika membuat antologi bersama, mereka beri judul Manifesto Surealisme, sebuah judul yang mengambil pernyataan, manifesto, Andre Brenton, karena pada tahun 1924, penyair Perancis ini, pernah mengeluarkan Manifesto Surealisme. Andre Breton menyerukan pembebasan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia, di alam bawah sadar, yang telah terkekang oleh rasio dan kebiasaan. Merayakan alam mimpi dan menekankan bawah sadar. Membiarkan imajinasi liar bekerja secara bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa. Mereka berharap menemukan paduan antar kata dalam sebuah metafor yang mengejutkan dan baru, tidak terpancang pada logika struktural dan konvensi umum sebuah puisi. Mereka mencoba menerapkan temuan psikoanalisis Sigmun Freud dari Austria. Yakni antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego).
Puisi gelap atau abstrak, tidak rasional, sebenarnya sudah marak pada tahun 1950-1960, di mana pada waktu itu banyak puisi yang susah dimengerti dan dinikmati. Kemudian muncul juga pada tahun 70 dan 80-an. Seolah gelombang yang secara siklus terus mengempur kesadaran rasional kita di zaman modern. Puisi-puisi gelap penyair koumintas Airlangga ini, seolah-olah melakukan pelarian kedalam keterasingan terhadap pikiran-pikiran pembaca, mengambil jarak, menjauhi akal sehat dan imajinasi pembacanya. Puisi-puisinya sangat subjektif, alienasi dirinya terhadap dunia sekitarnya. Sarat imajinasi, pembebasan imaji, dan metafor, kata-kata adalah imajinasi. Yang seringkali meloncat-loncat, tidak sinkron, retak-retak dari bangunan imaji sebelumnya. Puisi dipahami sebagai sebuah teks (writerlytext) yang cerai berai, retakan-retakan peristiwa. Dalam gelap rimba imajinasi. Kita berharap bisa mendapatkan sejumput kearifan dan keindahan.
Karena itu dalam menelaah puisi, penyair komunitas Airlangga, perlulah juga melihat struktural semiotik dan latar seting sosial budaya. Di mana kondisi sosial dan politik yang sedang berkembang, khususnya pada era Orde Baru, Soeharto, sangat berperan. Namun kegelisahan mereka dalam manifestasinya tidak muncul dalam karya sastra kritik sosial atau puisi protes. Mereka lebih memilih dalam gambaran dari bentuk pemerintahan yang reprensif itu sendiri. Dalam wadah sebuah ekspresi simbolik yang subyektif. Yang mencerminkan sebuah zaman kegelapan, di mana struktur kekuasaan yang otoriter dan militerisme berkembang, keterasingan masyarakat begitu mengedepan. Puisi Deny Tri Aryanti, "Tarian Sebuah Musim", merupakan gambaran dari keterasingan peradaban; Aku tak ingin menjadi abu/saat mayat-mayat menari gemulai/menorehkan darah pada tanah peradaban.
Sikap pejabat negara yang bukan pada batas kewenagannya namun sudah menjadi kesewenang-wenangan yang tak bisa ditoleransi lagi. Hingga puncaknya pada demonstrasi mahasiswa dan terjadilah peristiwa reformasi. Maka bentuk-bentuk puisi mereka benar-benar kelam, cemas, seram, gelap, erotis, liar, sebagai bentuk perlawanan realitas sosial yang ada, yang hinggar bingar dengan kekerasan, penembakan, pembunuhan, pengusuran dan ketidakadilan yang merajalela, di mana hukum menjadi barang dagangan. Puisi Mashuri, "Asu" bisa megambarkan betapa dahsyatnya perubahan sosial yang tak bisa terelakan, namun tak bisa disiasati sehingga mereka menjadi korban yang paling hina, yang digambarkan menjadi anjing, yang nasibnya ditedang kesana kemari tanpa keadilan. Begitu angin menderu, seluruh tubuhku berbulu, gigiku bertaring/ kuku-kukuku runcing. Aku telah menjelma anjing. Lalu aku menunggu/ isyarat, ketika malam telah lengser ke peraduan dan kokok ayam/ pertama menggantikannya untuk kembali bertahta. Ketakutan menebar di udara, seperti aromba busuk yang menusuk paru-paru.
Sehingga wajar bila judul antologi puisi mereka yang serba seram, menakutkan dan liar; Ekspedisi Waktu, Syair Pemanggul Mayat (Indra Tjahyadi), Pengantin Lumpur, Ngaceng (Mashuri), Labirin dari Mata Mayat (W Haryanto). Maupun judul-judul puisi mereka misal; Syair Pemabuk, Lembah Kabut Kematian, Kembali ke Neraka, Hantu Pasir, Hikayat Orang Bangkit dari Kubur, Kubur Panjang, Saksi Kematian, Karnaval Ajal. Kata-kata neraka, maut, labirin, mayat, hantu, kematian, kegelapan dan bayang-bayang seolah-olah menjadi kata-kata kunci dalam puisi-puisi mereka.
Dalam kondisi seperti ini, akhirnya mereka memilih sebuah paradigma atau ideologi dalam perjuangan literernya yakni surealisme yang cenderung kedalam kegelapan, di mana bentuk-bentuk strukturalisme mereka tentang. Hingga bila memahami puisi mereka dengan cara strukturalisme maka akan sia-sia, yang akan ditemui hanyalah kegelapan semata. Karena puisi mereka adalah retakan-retakan realitas yang tidak bisa atau terpahami lagi, karena kegelapan peristiwa yang ada, realitas yang ada bagai jaring-jaring labirin yang tak bisa diurai dan ditemukan siapa pelaku, bagaimana bisa terjadi, apa yang terjadi sebenarnya, dan bagaimana bisa keluar dari kenyataan yang ada. Mereka tak bisa memahami realita itu semua, karena yang ada hanya kabar burung tanpa ada sebuah kebenaran yang bisa diyakini. Bila hingga kini mereka masih tekun menulis dengan cara demikian, puisi gelap, berarti mereka masih meyakini bahwa pada zaman sekarang ini, yang kataya menjunjung demokratisasi dan keterbukaan ternyata masih menyimpan labirin kegelapan yang susah untuk dibongkar, semisal mafia peradilan dan korupsi rente dalam sebuah birokrasi. Di mana irasional kemanusiaan berlangsung.***
S Yoga, Alumnus Sosiologi FISIP Unair Penyair danpemerhati kebudayaan anggota Komite Sastra DK-Jatim.

Panorama Sastra Religius


Surabaya Post, Minggu 16 November 2008
PANORAMA SASTRA RELIGIUS
Oleh : S Yoga

Perkembangan sastra religius di Jawa Timur (Jatim) mungkin kurang menarik bagi generasi muda. Sehingga bila kita cermati, hingga kini jarang terlahir sastrawan muda yang kesadarannya terhadap religi cukup tinggi. Padahal sastra religius merupakan salah satu aset yang sangat penting. Hal ini dikarenakan dukungan secara kultural sudah sangat mencukupi, di mana basis-basis pesantren tersebar di Jatim. Sehingga hal yang pontensial ini hendaknya mampu melahirkan karya-karya religius yang mampu berbicara di tingkat nasional.
Apalagi kita tahu Sumenep merupakan gudangnya penyair religius, misal Abdul Hadi WM, D Zawawi Imron, Jamal D Rahman dan Ahmad Nurullah. Sedangkan dalam bidang prosa ada M Fudoli Zaini (Alm) dengan karya Arafah dan Batu-Batu Setan. Sementara di daerah lain kita mengenal Djamil Suherman (Alm), novelis kelahiran Surabaya, menghasilkan Perjalanan ke Akhirat dan Umi Kulsum, yang karyanya berlatar belakang pesantren. Muhammad Ali (Alm) juga kelahiran Surabaya dengan karya Di Bawah Naungan Al-Qur`an. Namun mereka umumnya malang melintang pada tahun 1960-1970 dan yang lebih muda tahun 1980-1990. Karena itu kita berharap kepada generasi muda, khususnya mereka yang berkomunitas di lingkungan pesantren. Yang jelas memiliki potensi yang lebih daripada mereka yang berada di luar. Karena ajaran dan kehidupan keagaam setiap hari mereka pelajari dan jalani
Pada masa kerajaan-kerajaan di Tanah Air, kita sudah mengenal sastra religi yang pada waktu itu dikenal dengan nama suluk maupun serat. Sehingga kita kenal Suluk Quthub, Suluk Berang-Berang, Suluk Wijil, Suluk Sukma Lelana, Suluk Seh Amongroga, sedangkan serat yang terkenal yang mencerminkan keagamaan adalah Wedhatama dan Wulangreh. Kita juga mengenal adanya lagu atau syair yang diciptakan Sunan Bonang, Tombo Ati dan Sunan Kalijaga, Ilir-ilir dan Kidung Rumeksa Ing Wengi. Tentu saja para sunan menciptakan syair demikian bukan tanpa maksud, karena mereka memahami masyarakat yang senang dengan nyanyian dan gamelan, maka diciptakanlah lagu-lagu yang berisi ajaran tasawuf bagi para pengikutnya. Bahkan hingga sekarang lagu tersebut masih banyak dinyanyikan oleh masayarakat desa dan disenangi oleh banyak orang, seakan-akan sudah menjadi milik masyarakat, guna menetramkan hati dan siar agama.
Ketika menyebut sastra religius, tentu saja yang terngiang dalam pikiran adalah sastra yang menyuarakan keagamaan. Hal ini tidaklah salah, demikian juga ada yang menyebutnya sastra sufi, sastra transendensi dan sastra profetik. Yang kesemuanya bermuara kepada pengertian kesadaran akan rasa ketuhanan, kebenaran yang bersumber pada Tuhan. Dan konsepsi ini bisa berlaku bagi semua agama. Yang di Islam biasanya terfokus pada amar mar’ruf, nahi munkar, tu’ minu billah. Menyuruh berbuat baik, mencegah kemungkaran dan bertaqwa pada Allah.

Pencerahan Rohani
Untuk bisa berbuat sesuai tiga hal tersebut, yang pasti rohani kita harus suci terlebih dahulu. Namun di sisi lain kehidupan kita sekarang ini seringkali tergoda oleh hal-hal duniawai. Karenanya bisa jadi posisi kita berada dalam krisis iman. Belum lagi gempuran materialisme dan sekularisme terus-terusan berada di sekitar kita. Lalu apa yang bisa diperbuat oleh para sastrawan guna menjawab tantangan zaman yang harus segera dibenahi ini. Bagaimana sastrawan Jatim telah mewarnai, memerangi hal-hal buruk yang bisa membuat moral kita terjun bebas menjadi nihil. Alias tak bermoral, yang akhirnya merajalela menjadi kejahatan, yang jauh dari harapan dan kaidah agama. Bahkan bila kita melihat penulis-penulis muda yang ada, seringkali malah berpaling dari sastra religius, dan lebih memilih menekuni sastra liberalisme atau sastra kelamin (mengeksploitasi seks). Dan hal ini akan semakin menjauhkan diri kita untuk mewujudkan kehidupan sastra religius yang lebih berkembang dan sanggup menjawab persoalan kehidupan. Karena krisis iman atau moral hanya bisa diatasi dengan cara meningkatkan transendensi. Sehingga kita semua dapat menemukan pencerahan rohani.
Sementara itu ada pendapat yang mengatakan bahwa karya sastra harus memberi pesan atau amanat yang jelas dan baik. Mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. Padahal dalam prakteknya sastra seringkali berlawanan dengan harapan tersebut, karena sastra membeberkan kebobrokan, kenistaan dan kepahitan hidup. Di mana dari kerusakan-kerusakan moral ini akan memuncak dalam sebuah katarsis, pesuncian jiwa. Sehingga dari pengalam membaca sastra, akan kita ambil hikmahnya. Jadi seringkali sastra memberikan pesan atau amanat hanya tersirat saja, tidak tersurat. Dan hal ini membutuhkan diri pembaca untuk aktif berpikir, tidak hanya menerima jadinya saja, yang justru akan membuat diri kita pasif.
Lalu bagaimana mewujudkan karya sastra religius yang bisa dikatakan berhasil, namun juga tidak lepas dari rasa taqwa terhadap Tuhan. Kita tahu pada awal mulanya puisi adalah mantra atau pun doa. Sehingga kehidupan sastra religi, meski pada zaman dulu belum dikenal, sebenarnya sudah ada, yakni dalam ritus-ritus. Sastra religius merupakan doa dalam bentuk ekspresi yang mampu mengetarkan jiwa.
Seringkali kita membaca bahwa sastra religius hanyalah semata-mata memindahkan atau mencomot kata-kata yang ada dalam kitab suci. Sehingga kita tidak menemukan kebaruan dan keunikan di dalamnya. Bahkan sama saja dengan kita mendengarkan rohaniwan berdakwah atau kita membaca buku-buku keagamaan. Padahal bagi seorang penyair yang benar-benar memahami estetika, ia akan dituntut lebih tinggi dalam kemahirannya menerjemahkan doa ke dalam pencitraan baru yang otentik dan kreatif. Kita ambil contoh sebuah puisi, Abdul Hadi WM, Tuhan/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/Tuhan/Kita begitu dekat/Seperti kain dengan kapas/aku kapas dalam kainmu/Tuhan/Kita begitu dekan/Seperti angin dan arahnya/Kita begitu dekat/Dalam gelap/kini aku nyala/pada lampu padammu.
Karya ini menunjukkan kedekatan yang sangat intim antara sang penyair dan Tuhannya. Penyair begitu dekat seperti api dan panas, kapas dan kain, angin dan arahnya. Wahdatul wujud begitu sebutanya dalam ilmu tasawuf, sedang dalam mistik Jawa disebut Manunggaling Kawulo Gusti. Menyatunya mahluk dengan Tuhannya. Puisi di atas tidak terjebak dalam konseptual, definitif dan normatif keagamaan. Sehingga justru mampu memberikan pencerahan rohani terhadap pembaca karena sifatnya yang personal, otentik dan sublim. Sehingga mengejutkan dan mampu menciptakan keindahan. Memberikan gambaran penghayatan si penyair akan rasa ketuhanan dengan intreprestasi yang intens dan unik.
Dan salah satu fungsi karya sastra adalah memperingatan sejak dini akan adanya dekadensi moral dan dehumanisasi. Karena itu, ia meruapakan salah satu oase pencerahan. Melihat betapa pentingnya peran sastra religius di masa mendatang, karena rohani kita selalu digempur habis oleh godaan duniawi. Maka kita berharap akan muncul generasi muda para sastrawan di Jatim, yang memiliki daya jelajah religiuitas yang tinggi dalam karya-karyanya. Sehingga dapat menjadi warna tersendiri dalam kehidupan sastra yang selama ini lebih banyak tergoda pada sastra liberal. Tentunya yang benar-benar menjelma menjadi karya sastra yang menyatu antara bentuk dan isi. Mengejutkan, otentik dan tidak normatif. Dan bukan hanya tempelan dogma-dogma agama belaka. Yang justru akan melunturkan nilai-nilai sastra.
***
S Yoga
Penyair dan anggota Komite Sastra DK-Jatim