Kamis, 19 Februari 2009

Jalan Masih Panjang, Nak, Jangan Bersedih


ORANG GILA DI ATAS BUKIT (MEMOAR SEORANG JENDERAL)

ORANG GILA DI ATAS BUKIT

(Memoar Seorang Jenderal)

Naskah Drama : S. Yoga

1

ORANG GILA :

Di sebuah ruangan, lampu perlahan memfokus ke seorang yang berdiri agak terbungkuk, usia sudah tua, rambut ubanan). Para hadirin terimakasih atas kehadirannya. (Senang). Memenuhi undangan kami. Maaf kalau ruang ini terlalu sempit. Persiapannya mendadak. Memang banyak kisah yang jelas-jelas menyudutkan kami. (Nampak serius dan bersemangat). Tapi itu semua bohong besar. Akan aku ceritakan pada kalian kebenaran kisahnya. Semua kenyataan ini benar-benar aku alami. Percayalah ini tidak bohong. (Meyakinkan). Lihat pakaian ini. Topi ini. Sepatu ini. Pangkat ini. Tanda jasa ini buktinya. Tongkat ini buktinya. Aku benar-benar seorang jenderal waktu itu. Aku tidak sedang berbohong. (Sedih). Seorang yang tidak gila tapi dianggap gila. Digilakan oleh situasi. (Tegang). Dan situasi itu disebut stabilitas keamanan dan penumpukan modal. Semua itu demi uang. Kekayaan pribadi. (Sunyi. Mengenang masa lalu). Di atas bukit itu seseorang lekaki tinggal sendirian. Berseragam bagai seorang jenderal. (Lampu padam).

2

ORANG GILA

(Lampu perlahan menyala. Tampak sebuah bukit, pepohonan, gua, jurang, lembah, beberapa kerangka dan tengokrak kepala manusia yang tergeletak. Seorang lelaki berseragam duduk termenung di bibir gua, kemudian keluar. Di bukit juga nampak beberapa lubang kubur. Lelaki gila itu mengambil sekop). Aku sendiri tidak tahu kapan aku menghuni bukit ini. (Turun perlahan ke dalam kubur, mengali kembali). Segalanya bagiku terasa gelap. Masa lalu tak dapat aku ingat dengan jelas. Ingatanku terpotong-potong. Pikiranku kacau. (Sesekali melempar tanah ke atas liang dengan sekop). Kini, tak bisa aku ingat dengan baik. Tiba-tiba aku merasa tubuhku dicampakkan di tanah basah. (Sepi).

ORANG GILA

(Perlahan naik dari liang kubur). Di sini teman-temanku hanya bangkai, mayat, tengkorak, ular, batu, tanah, bukit, pohon, kelabang, kalajengking, hujan, daun-daun, angin, embun, udara, bulan, matahari, tak ada satu pun manusia hidup kecuali diriku. (Mengambil sabit lalu membersihkan tanah liat yang menempel disekopnya). Memang kalau ada manusia, mereka akan segera pergi, menjauh, sambil teriak, “Orang gila-orang gila.” Biarlah mereka meneriakiku dengan kata-kata menyakitkan. Tapi aku merasa waras 100%, bahkan kecerdasanku meningkat pesat, aku mampu mengetahui pikiran orang sebelum mereka mengatakan. Aku mendengar gemuruh neraka dan semilir surga. Masak seorang jenderal dianggap gila. (Lengang, meletakkan sekop, berjalan dan berdiri di pinggir jurang, memandang kekejauhan).

RAKSASA HIJAU

(Dari panggung belakang, muncul PARA RAKSASA HIJAU dengan membawa senapan dan beberapa orang. Adegan ini memanfaatkan semaksimal mungkin layar putih sehingga gambarnya fantastis. Raksasa bisa diperankan orang atau wayang buatan, permainan lampu sangat berperan dalam memvisualisaikan. Lalu muncul ke panggung). Hai, anak manis. Ini aku bawakan boneka mainan. Nanti dirawat, ya. Tapi sebelumnya mereka tidak boleh bicara, kalau bisa bicara justru akan meyusahkan. Bicaranya adalah suaran setan yang akan menjerumuskan kita ke liang neraka. (PARA RAKSASA HIJAU lalu menjajarkan boneka-boneka mainan seperti mendirikan jajaran bambu, lalu merebahkan dengan suara senapan. Bagi ORANG GILA orang-orang yang dianggap boneka dan dibunuh oleh para tentara yang dianggap raksasa adalah boneka mainan). Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! (Telinga ORANG GILA hampir pecah. PARA RAKSASA HIJAU lalu pergi sambil tertawa terbahak-bahak. Gigi-giginya hitam tak terawat. Lumutan. Senapan mainannya bergelantungan di pundak. Mereka naik kapal, di atas kapal mereka melambaikan tangan, lalu kapal menuruni bukit).

3

(Adegan ini dengan permainan layar dan panggung. Fantastis. Suatu hari. ORANG GILA mengikuti kapal PARA RAKSASA HIJAU hingga lereng bukit, ia membawa beberapa tengkorak, ia sangat heran kenapa kapal bisa lewat darat dan punya roda besar. Tiba-tiba di lereng bukit terdengar suara-suara).

SUARA-SUARA

Awas truk!

SUARA-SUARA

Awas ada truk gambar gunting!

SUARA-SUARA

Cepat lari.

SUARA-SUARA

Nanti kita diculik, dibawa ke bukit.

SUARA-SUARA

Orang gila bawa tengkorak!

SUARA-SUARA

Ia bawa tengkorak!

SUARA-SUARA

Dasar orang gila!

SUARA-SUARA

Orang gila dari atas bukit tengkorak.

SUARA-SUARA

Orang gila di bukit tengkorak. (Lampu padam).

4

(Memanfaatkan layar dan panggung. Suatu hari ORANG GILA mengendap-endap mendatangi rumah-rumah para hantu, penduduk ia pikir hantu, di lereng bukit. Udara sangat dingin. Gerimis mulai turun. Ia lihat anak hantu perempuan sedang makan sendirian. Entah ia makan apa. Tentu hantu tak mungkin makan barang yang biasanya dimakan manusia. ORANG GILA tak mungkin merebutnya. Ia juga tak tahu persis kenapa hantu bisa berkata-kata seperti manusia).

ANAK KECIL

Bu, kenapa Bapak tak pernah pulang. Kata teman-teman Bapak sudah mati. Benar, ya, Bu?

IBU

Siapa yang bilang. Bapakmu masih cari uang di tanah seberang, besok pasti pulang.

ORANG GILA

(Agak perlahan). Aku tidak tahu, kenapa hantu bila menjawab pertanyaan sambil membalikkan badan. Seakan tak mau bersitatap pandang. Dan aku juga tidak tahu, kenapa harus menitikkan airmata menjawab pertanyaan seperti itu saja. Hantu bisa menangis. Hi hi hi hi hi hi. Ha ha ha ha……..

ANAK KECIL :

Bu, Bapak sudah mati, ya? Dibunuh para penculik dan dibuang di bukit.

IBU

Tidak ananku, Bapak masih hidup. Nafasnya bukankah terasa dalam hidup kita. Dalam nadi kita. Dalam darah kita. Besok kalau kamu sudah besar kita cari bersama-sama. Sudah dihabiskan makannya. (Lampu padam)

5

(ORANG GILA mengali kuburan dengan skop. Satu persatu ia masukkan ke dalam lubang galian. Namun yang terakhir ia merasa badanya cukup panas, tidak sedingin yang lain. Bisa bicara).

ORANG GILA

(Terdengar suara erangan. Agak takut). Ia mengerang kesakitan. Kata para raksasa kalau ada boneka yang masih bisa bicara itu tandanya ia telah jadi hantu. Maka harus segera aku bunuh supaya tidak mengganggu manusia. Tapi aku lihat hantu itu kesakitan, kepalanya berdarah, kakinya pincang, tubuhnya luka-luka. Aku harus bagaimana?

BONEKA MAINAN

Bawa aku ke rumah penduduk. Tolong aku. Tolong!

ORANG GILA

Apa yang harus aku lakukan. Hantu itu minta tolong. Apa harus aku bunuh saja. Ahh, sebaiknya nanti malam aku letakkan saja di rumah para hantu di lereng bukit. Biar mereka merawatnya. Aku yakin para hantu itu akan berterimakasih pada diriku. Kawannya aku tolong. (Ia seret tubuh yang mengerang ke luar panggung. Lampu padam).

6

ORANG GILA

(ORANG GILA duduk di atas bukit. Ingatannya sedikit berkelebat-kelebat. Meracau hilir mudik). Aku terkenang tubuhku diseret dari rumah yang kucintai di tepi pantai. (Marah). Aku ingat anakku digebuki orang bertopeng dan istriku diperkosa lalu ditembak kepalanya. Ingatanku mulai jelas. Aku diseret dan dimasukkan ke sebuah truk. Tanganku diikat. Aku dituduh pengacau keamanan. Aku ditendang. Aku dijambak. Aku dijebak. Aku dijebak. Aku dikhianati. (ORANG GILA pelahan ia ketawa-ketawa sendiri dan menari-nari di panggung sambil membopong tengkorak). Aku… Aku….. Aku…… Aku….. Aku ….. (Bernyanyi). Di mana anakku? Di mana istriku? (Masuk gua). Di mana anakku? Di mana istriku? Ha ha ha ha ha ha ha ha!

(Ingatannya kembali lumpuh. Perlahan ia melihat PARA RAKSASA HIJAU sudah berbaris rapih, di balik shiluet. Mereka diam). Hai kawan! Kawan-kawan yang baik. Mana bonekaku lagi? Ayo kawan raksasa hijau. Jangan diam saja. Kalian bego, ya. Kalian kini jadi kerbau. Apa kini kalian sudah jadi boneka. Jadi mainanku. Atau mainan orang lain. Kalau kalian benar-benar sudah jadi boneka betapa senangnya hatiku. Boneka hijauku. Boneka dorengku. Boneka-bonekaku nampak gagah tapi tolol. Kalian memang benar-benar tolol. Tak mau bicara. Senjata kalian tak mempan menembusku. Jangan kalian hadangkan begitu ke mukaku. Para boneka yang dungu. Boneka yang patuh pada perintah. Tak bisa punya pikiran sendiri. Boneka kosong. Boneka jeramiku. Otak jeramiku. Otak kosongku. Mari kita bermain kuda lumping. Letakkan senjata kawan. Anak-anak akan takut semua dengan mainan itu. Mari bermain rumah-rumahan. Kita hidup serumah tanpa membawa senjata. Tanpa kekerasan. Buang senjata jauh-jauh ke dalam jurang.

RAKSASA HIJAU

Diam orang gila! Kau telah melanggar perintah. Kenapa kau bawa mainanmu ke rumah para hantu itu?

ORANG GILA

(Di panggung depan). Mereka bukan mainanku kini. Bonekaku! Ha ha ha ha! Bonekaku kini kalian semua. Mainanmu kini boneka itu. Kalian semua yang memainkan nasib boneka-boneka itu hingga tak mampu bicara lagi. Dan menjadi hantu-hantu yang selalu akan menghantui di sepanjang hidup kalian. Kalian akan terteror oleh hantu para boneka yang kalian bunuh. Terteror oleh bayang-bayang pembunuhan. Oh, mainanku kini! Mainanku kini kalian semua, yang memegang senjata. Gagah dan bodoh!

RAKSASA HIJAU

Tutup bacotmu orang gila. Bersiaplah untuk diam selamanya?!

ORANG GILA

(Serius). Kalian yang akan diam selamanya. Mati ketakutan dikejar arwah mereka yang kalian bunuh. Arwah para boneka yang jadi hantu. Kalian kini akan mati segera. Mati. Matilah kalian semua. Mesin terkutuk. Mesin! Mesin! Kalian mesin hidup yang tak waras! Kalianlah mahkluk terkutuk di bumi ini. Kalian hanya menghamba pada mesin, pada uang dan kekuasaan yang korup, yang tega membunuhi saudaranya sendiri. Operasi militer hanyalah alasan untuk mencari uang, menghabiskan uang rakyat. Karena negara aman, militer kuat maka penumpukan modal akan mudah, uang mengalir dengan deras kepada penguasa dan militer tanpa henti dari kaum investor, pengusaha yang tak peduli pada demokrasi. Aku tak mau berkawan denganmu. Pergi. Pergi. (Senyap, meracau lagi). Di mana anakku? Di mana istriku?

RAKSASA HIJAU

Hentikan orang gila!

ORANG GILA

Demi kekuasaan kalian korbankan moral. (Diam). Ketahuilah, bahwa akulah jenderal terbersih yang pernah ada di negeri ini. Aku tak pernah mengambil uang rakyat. Aku tak pernah terlibat masalah HAM. Aku tak pernah memerintahkan membumihanguskan orang timur. Aku tak pernah memerintahkan memerangi bangsa sendiri. Aku tak pernah membubarkan demontrasi mahasiswa dengan peluru. Aku tak pernah menculik para aktivis. Aku tak pernah mengintimidasi partai dengan teror penyerbuan. Aku ingin semua masalah ditangani dengan hati nurani rakyat. Ingat suara rakyat adalah suara Tuhan. Siapa berani melanggar akan kualat. Ha ha ha ha ha ha ha. Di mana anakku? Di mana istriku?

RAKSASA HIJAU

Hentikan orang gila?!

ORANG GILA

Ha ha ha, orang gila. Siapa yang gila. Kalianlah yang gila. Kalian raksasa hijau yang gila. Serakah dan kejam. Kalian yang gila kuasa dan uang. Kalian yang gila, tega membunuhi kawan-kawanku. Tak ada makhluk di dunia ini yang segila kalian semua, membunuh dengan sadis. Membunuh dengan kejam.

RAKSASA HIJAU

Pasukan! Hentikan orang gila ini! Bawa ke atas truk. Kita buang di tengah kota. Tak ada gunanya kita bunuh. Peluru kita perlu kita hemat, masih banyak yang harus kita kerjakan.

RAKSASA HIJAU

Baik, Jenderal!

ORANG GILA

(Marah). Memang, tak ada gunanya kalian bunuh aku. Peluru kalian perlu kalian hemat, bukankah masih banyak yang harus kalian bunuh (Terbata-bata karena tangan para raksasa mulai meringkus)…….para mahasiswa itu……. para pejuang demokrasi itu……...para pemberontak itu……para santri itu………para teroris itu.............sampah masyarakat adalah kalian semua. (Dari balik layar tangan para raksasa meraih-raih tubuh yang berontak). Aku tidak bersalah! Aku tidak gila. Jangan! Jangan! Aaaahhh……… (Tangan-tangan para raksasa bergerak meringkus habis ke dalam layar. Lampu perlahan sirna).

SELESAI

***

Pononoro, 2002

Puisi S Yoga di Radio Jerman-Deutsche Welle.


Pada tahun 2003, puisinya Sihluet Negeri Tropis

pernah dibahas (oleh Acep Zamzam Noor) dan

dibacakan di Radio Jerman-Deutsche Welle.


SIHLUET NEGERI TROPIS


negeri tropis yang rekah

sungai-sungai menjauh dan membentang

negeri mengapung bagai kapas-kapas air yang lepas

aku teringat jalan berat yang panjang

semacam sejarah masa silam

kutempuh dalam usia renta

negeri tropis yang gerah

waktu-waktu berlalu bagai api yang mengamuk

cahaya merah menghanguskan rumah-rumah

sebuah kisah di musim kerontang

orang-orang haus dan lapar segala

mengilas kehidupan kulit sawo matang

negeri tropis yang panas

cahaya-cahaya berjajar-jajar dengan tubuhku

semacam nafsu yang ganas dan sulit dikendalikan

berkelebat debu menjamah air mata

dan di tanah-tanah tandus gembala mengais

samudera di hatinya yang kosong

negeri tropis yang berair

aku berdiam bagai patung jerami

mendayung sampan musim hujan

dari dingin sampai dingin yang kekal

membangkitkan nafsu-nafsu perairan gila

menumpahkan hujan api kefanaan

dari api sampai api yang dendam

ingin membakar segala


2003



Senin, 02 Februari 2009

Puisi, Surabaya dan Peradaban

Gb Tamar Saraseh
Surabaya Post, Minggu 1 Februari 2009
PUISI, SURABAYA DAN PERADABAN
Oleh : S Yoga

Peradaban kota merupakan perwakilan dunia modern. Di mana rasionalitas, efektifitas, efesiensi dan pembagian kerja nampak mengedepan. Dengan lapisan-lapisan masyarakat yang terbagi secara jelas, baik dalam bidang pekerjaan maupun kelas sosial. Dan kelas sosial inilah yang merupakan problem kota besar, di mana kaum yang terpinggirkan atau bagi pejabat yang telah kehilangan moralitasnya. Apakah kota menjadi surga bagi mereka atau sebaliknya menjadi neraka yang mengerikan bagi kehidupan selanjutnya. Memang kota diharapkan menjadi sebuah peradaban yang serba modern, serba praktis dan rasional. Di mana kota menjadi sentral kehidupan dan peradaban yang dijunjung warga kota, dengan teknologi dan kemudahannya. Sehingga warga kota seringkali disebut warga yang modern dan rasional, dibanding warga lainnya yang ada di luar kota, yang identik dengan tradisional dan terbelakang.
Namun kenyataannya kota seringkali tidak seperti yang diharapkan, oleh para pendatang yang berharap mendapat mimpi indah hidup di kota. Kota seolah menjadi lorong gelap dengan struktur sosial yang tidak memihak. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpinggirkan. Maka muncul hunian para kaum miskin, gelandangan, pelacuran dan kriminalitas. Kejahatan pun bukan hanya milik kaum terpinggirkan, namun para kaum terhormat kota tak ketinggalan ikut berperan, menjadi koruptor dan pengambil kebijakan yang salah. Inilah peradaban kota yang mengalami dehumanisme dan ketertinggalan budaya. Karena kebudayaan selalu bercita-cita dan merefleksikan dirinya dengan sesuatu yang bermoral dan memanusiakan manusia. Sedangkan peradaban kota cenderung menjauhi moralitas.

Fatamorgana
Tak kecuali kota Surabaya, yang menjadi sumber inspirasi bagi sebagian sastrawan, dengan menghayati kenyataan yang ada. Yang diolah menjadi estetika urban oleh para sastrawan-penyair. Di mana Surabaya dan peradabannya menjadi sebuah wilayah yang patut dimaknai sebagai tanda-tanda zaman. Sehingga banyak sastrawan yang telah menulis karya, baik prosa maupun puisi yang bersumber dari kota Surabaya. Sebut saja Idrus dengan cerpen Surabaya-nya yang terkenal itu, di mana menceritakan kebobrokan moral para pejuang, Pramudya Ananta Toer dengan Bumi Manusia, dengan perjuangan Nyai Ontosoroh yang berseting di wilayah Wonokromo dan sekitarnya, Budi Darma dengan Rafilus, tokoh aneh dan terasing dari peradaban kota sehingga nampak terpinggirkan, bahkan penyair Jerman Berthold Brecht juga pernah menulis puisi berjudul Surabaya Jhony.
Tak ketinggalan para penyair Jawa Timur juga memberikan perhatian khusus terhadap peradaban kota Surabaya dalam karya-karyanya. Dan umumnya karya-karya mereka selalu bernada murung ketika menatap peradaban Surabaya. Misal puisi “Montase Kota Mati”-F Aziz Manna, Di taman makam kota terbaca kisah/ribuan orang bergerak dalam perang/(antara impian dan dendam) payung-payung hitam/meninggalkan masa depan/waktu hanya hitungan, kota hanya sebutan. Sebuah kecemasan akan modernitas yang ternyata kurang membawa keberuntungan bagi kaum pendatang maupun kaum marginal. Sehingga kota hanya sebuah impian bagi para pendatang, yang kalah secara struktural dan hidup sebagai parasit kota. Mereka miskin dan termarginalkan secara struktural, kota tidak punya rasionalitas, bahkan birokrasi yang ada menjadi belenggu, bukannya mempermudah, namun justru memperlambat dan seringkali memunculkan sarang koruptor, dengan banyak pintu dan pungutan. Sehingga kota nampak irasional, penuh fatamorgana, kita tak punya/rasionalitas; kota/tua kita-hantu-hantu yang diledakkan//Di sepanjang/trotoar-pagar hanya fatamorgana, “Melawat ke Kota Tua”-Mashuri.
Kota memang merupkan meltingpot, tempat awal mula bertemu dengan segala silang sengkarut kehidupan kota besar. Di mana akhirnya kota menjadi hunian orang tersingkir semacam pencopet, pelacur, begundal dan buronan. Hal ini kita jumpai dalam puisi Akhudiat, Wonokromo adalah leher botol/Ke tembolok Surabaya melahap & muntahan apa & siapa saja/Tak perlu basa-basimu, sumpah serapahmu, protes atau acungan jempol/Bahkan sindiran atas jalan layang//Di sini kancah buangan & mimpi orang tersingkir/Pecopet, pelacur/begundal, buronan/Mengendap di kampung-kampung yang tumbuh sendiri/Atau Sembunyi di hutan lalang timur stasiun kereta api//Wonokromo adalah monumen/Pasar terbakar.

Diancuk Jaran
Sedang puisi-puisi Indra Tjahyadi yang terangkum dalam “Kitab Syair Diancuk Jaran” berisi 32 puisi, rupanya khusus diperuntukkan bagi kota Surabaya. Semua puisi bercerita tentang kehidupan Surabaya, dari zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan hingga kini. Di mana diceritakan baik kehidupan orang Cina, Arab maupun pribumi, dengan dialek yang berciri khas Suroboyoan, terus terang, kasar, liar dan menohok. Sehingga memunculkan sebuah identitas kota baik secara isi maupun bentuk ungkapnya. Inilah puisi yang menampilkan diri Surabaya secara lebih kompleks.
Baik yang remang-remang semacam pelacuran, tak ada setan/tapi mereka sebut aku begundal/;pejantan jalang yang terlahir/dari rahim danyang/kampung jarak gang makam. Tonggak kepahlawanan yang ironis macam puisi “Di Depan Tugu Pahlawanan”, “dulu kakekmu tewas di sini/setelah dikeroyok empat begal/sepulang ngemis di depan Pasar Turi”. Maupun percampuran ras, Madura, Arab dan pecinan, lek enti’ lu/ketemu be’ aku/tolong bho’ lu tanya’i/darimana asalku/ato sapa namaku//soale tinggaku/nde’ pinggiran kota//kota surabaya/dengan pesona/panorama sing kisruh/sing cuma diinapi/para pemabuk. Di mana identitas modern yang seharusnya dapat mempermudah manusia dalam mengarungi kehidupan, teryata menjadi malapetaka bagi sebagian besar penghuni kota yang mengalami ketertinggalan budaya.
Namun lain lagi dengan penyair Aming Aminoedhin dalam, “Surabaya Ajari Aku tentang Benar”, Surabaya, ajari aku bicara apa adanya/Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat/Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap/Ajari aku tidak angkuh/Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh/Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh. Yang mengisahkan tentang kecemasan kebijakan yang tidak memihak rakyat, baik dari pejabat maupun wakil rakyat, yang lebih banyak membutakan mata hatinya daripada kebijakan yang manusiawai bagai warga kota.
Inilah panorma kehidupan kota Surabaya dengan silang sengakrutnya di mata para penyair. Merupakan sebuah peringatan bagi pengambil kebijakan dan para warga kota yang harus siap-siap mengalami kehidupan yang bukanya tambah modern namun cenderung lebih primitif atau barbar dalam tatanan etika dan moralnya. Memang dalam struktur fisik kota, kita bisa melihat adanya kemajuan pesat, dengan banyaknya plaza, hotel, apartemen, realestat, cafe pub dan fisik lainnya yang mencerminkan kemeriahan peradaban. Namun kemajuan modernitas tersebut tidak diikuti dengan peningkatan rasionalitas dan moralitas para pejabat, wakil rakyat dan para penghuni kota lainnya, yang justru menyebabkan kebijakan-kebijakaan yang berlawanan dengan kemanusiaan dan moralitas. Sehingga secara struktural kaum bawah, selalu terpinggirkan di tengah kota yang menjanjikan mimpi indah.
***
S Yoga
Penyair, Anggota Komite Sastra DK-Jatim.