Sabtu, 24 Oktober 2009

Cerpen Kisah Prajurit Gidal dan Tuan Cuak Kuak

Suara Merdeka, 13 April 2009

Cerpen S Yoga
Kisah Prajurit Gidal dan Tuan Cuak Kuak

SUATU ketika datang seorang prajurit yang ditugaskan di kampung kami. Prajurit Gidal namanya. Pada hari pertama tanpa ba bi bu ia mengumumkan, penduduk kampung harus mematuhi peraturan pemerintah. Selebaran-selebaran ia bagi-bagikan. Di selebaran terpampang kami tidak boleh main judi, sabung ayam, mabuk-mabukan, minum tuak, main hakim sendiri bila ada maling yang tertangkap. Kami tidak boleh lagi mengikat tangannya ke belakang dan melemparkan ke sungai. Tidak boleh ada pembunuhan tanpa alasan jelas. Tidak boleh ada pembakaran orang tak bersalah di lapangan. Tidak boleh bersikap sewenang-wenang kepada siapa pun. Semua orang harus dihormati sebagaimana martabat kemanusiaan. Petugas pemerintah harus diperhatikan dan dilindungi. Siapa yang menentang aturan akan ditindak tegas.

Setelah mendengar pengumuman, keesokan pagi kemudian Ayah menemui Prajurit Gidal yang tinggal di rumah penduduk di tepi sungai.

‘’Kenapa kedatangan Ki Sanak tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan alias tidak melapor kepada kami?’’

‘’Ha ha ha ha! Yang berhak memerintah dan bertanya mestinya saya. Sayalah petugas yang sah,’’ jawab Prajurit Gidal.

Tanpa ba bi bu pula Prajurit Gidal yang sedang tiduran di amben teras rumah diseret Ayah tanpa perlawanan. Mungkin karena tubuh Ayah lebih besar dua kali lipat. Prajurit Gidal diseret ke lapangan kampung. Tangannya diringkus dan diikat ke belakang, tubuhnya diangkat ke bahu kanan, kakinya digenggam erat dengan tangan kiri, sambil jalan ke arah sungai. Tubuhnya dicampakkan di Sungai Kalimas pinggir kampung. Tak seorang pun berani melarang, bahkan mereka beramai-ramai mengikuti eksekusi dari belakang sambil menyanyi-nyanyi dan menari-nari kegirangan. Namun sore harinya Ayah didatangi tiga orang berjubah putih. Entah mengatakan apa, yang jelas Ayah manggut-manggut saja. Sementara itu tiga orang berjubah putih seolah malaikat yang sedang membimbing Ayah. Namun aku berlari ke arah tempat jemuran, aku pakai selendang Ibu sebagai jubah kebesaran dan aku menasihati kambing-kambingku yang diam memandangku, seolah ada setan yang sedang lewat.

Jalan menuju kampung masih berpasir dan berkapur. Jalan berkelok tajam sebelum semenanjung adalah tanda memasuki wilayah kampung. Begitu memasuki kampung, anjing-anjing mulai menyambut dengan gonggongan, badannya kurus kering, matanya tajam mengancam lawan, giginya siap membetot daging mentah dan akan dikunyah dalam sekejap. Karena banyak anjing sering kampung kami juga disebut Kampung Anjing. Anjing-anjing kami adalah anjing penjaga yang baik dan berbudi luhur, hingga kampung aman dari segala maling yang datang dari luar. Namun kalau ada maling yang datang dari dalam dan memanfaatkan kesempatan, tak ada yang bisa menjamin pelakunya bisa tertangkap. Maling itu hapal dan lihai di daerah sendiri yang begitu dikenal dan akrabi saban hari. Lama kelamaan anjing-anjing kampung hilang dengan sendirinya, seolah ada yang mengusir. Padahal anjing-anjing itu juga tidak mati karena tak ada seekor pun yang terlihat bangkainya. Menurut penduduk itu semua karena kehadiran tiga orang berjubah putih. Orang-orang misterius dengan mata tajam yang bersinar.

Di gerbang masuk tampak bangunan gapura menjulang berornamen buaya seolah berhala dari masa lalu. Entah kenapa buaya menjadi simbol kampung. Padahal di daerah kami tidak ada buaya. Mungkin diambil dari dongeng nenek moyang yang berkembang. Dipercaya orang-orang kampung berasal dari buaya. Dulu hamparan tanah kami yang membentang dari Semenanjung Perak Laut adalah rawa-rawa yang banyak dihuni para buaya, ikan suro dan burung cucak rawa.

Kisah legenda buaya itu sendiri bermula ketika suatu hari ada seorang gadis cantik sedang mandi di tepi rawa. Sepak terjang gadis yang sedang mandi terlihat jelas oleh seorang perjaka yang sedang berburu buaya. Dengan perlahan dan pasti sang perjaka mulai mendekati gadis yang sedang mandi. Sampannya ia kayuh perlahan sekali sehingga air rawa tidak beriak dan angin enggan berbisik. Sejarak sepuluh kayuh dayung, gadis yang sedang mandi tersadar dari incaran mata perjaka tampan, menjerit-melolong minta tolong, saat itu juga muncul buaya putih yang mengadang gerak langkah sampan sang perjaka. Terjadilah perkelahian hebat. Karena buaya putih bukan buaya sembarangan dan sang perjaka juga bukan perjaka sembarangan, perkelahian memakan waktu tujuh hari tujuh malam. Tak seorang pun yang memenangkan, bahkan ketika sang perjaka telah dibantu oleh sahabat lamanya, seorang manusia yang menjelma menjadi ikan suro. Maka ketika sang perjaka istirahat, ikan suro menggantikan kedudukan sang perjaka melawan buaya putih.

Perkelahian tak seimbang karena tenaga buaya putih terus terkuras sedang ikan suro dan sang perjaka saling bergantian menyerang. Terdesaklah buaya putih ke arah sungai di Semenanjung Galuh, perkelahian terus berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, antara ikan suro dan buaya putih. Maka muncul pendapat dari para ahli mitologi bahwa salah satu takdir kami adalah saling bertikai dan saling membunuh, hingga keturunan kami musnah.

Adapun sang perjaka karena melihat musuh tidak lagi melindungi gadis cantik, secepat kilat dia terkam gadis itu di semak-semak sehingga sembilan bulan kemudian lahirlah jabang bayi. Jabang bayi itu ketika dewasa tak lain adalah Ayah. Pantas Ayah ketika melihat buaya sering memaki-maki. Begitu kisah itu dipercaya, namun aku merasa sang buaya, tak lain adalah si perjaka yang bermata jalang.

Di pinggir pantai ada mercusuar yang dibangun penduduk untuk sinyal kapal, perahu yang akan melintas di wilayah perairan. Di tengah kampung dibangun pilar menjulang untuk dipasang jam dinding mahabesar, yang didatangkan langsung dari Swiss oleh Gubernur Distrik sebagai penunjuk waktu. Waktu memang akhirnya menjadi bukti bahwa segala yang hidup di dunia terbatasi, fana dan sebentar. Mungkin kalau waktu tak pernah ada dunia akan menjadi surga dan manusia akan bahagia.

Setiap senja datang dan matahari membakar lautan di ufuk barat, seperti mata iblis yang dipercaya penduduk sedang berangkat tidur, tak seorang pun nelayan berani berlayar. Para nelayan akan segera pulang atau menghentikan menangkap ikan. Anak-anak berlarian di pinggir pantai menyaksikan mata iblis mengedip sambil melarungkan sesaji: kembang mawar, kenanga, kamboja, daun siwalan, tuak, ikan busuk, kemenyan —begitu yang kami percaya dalam imajinasi kanak-kanak, yang kami persembahkan buat iblis laut agar segera terlelap tidur, tidak murka dan membawa malapetaka.

Pada saat itu para orangtua hanya duduk-duduk di beranda memandang kosong seakan ada yang hilang terbawa senja, mungkin masa lalu yang mereka sesali, wajahnya bersedih seolah tak mau beranjak tua yang sebentar lagi akan mati. Sungguh kasihan. Sesekali tangan kanannya menuangkan tuak ke gelas bambu. Tuak adalah kebanggaan minuman kami. Tak ada yang lebih terkenal dari arak tuak buatan kampung kami, tuak dari mancung pohon siwalan.

Kampung kami memang sangat terasing dari dunia luar meski terletak di pinggir laut, tepatnya di sebuah semenanjung. Umumnya kampung-kampung di pinggir laut yang telah banyak mengalami perjumpaan dengan orang lain yang datang dan pergi. Sebagaimana biasanya kampung nelayan terbuka dan bersahabat. Namun kampung kami justru sebaliknya tertutup rapat seperti perempuan pinangan, hingga orang-orang dengan gampang bertindak kasar. Bila sedikit saja mendengar kasak-kusuk yang merugikan, tindakan brutal dan kejam saat itu juga akan terlaksana.

Pernah suatu kali Ayah melabrak Tuan Cuak Kuak yang wajahnya mirip luak dikabarkan menjahili Ibu ketika Ibu berkunjung ke tempatnya. Waktu itu Ibu ingin pinjam panci, piring, sendok dan garpu untuk masak dan makan malam. Karena tiba-tiba entah hilang atau dicuri orang, panci, piring, sendok dan garpu di rumah lenyap semua seolah menguap. Oh, sungguh kejadian yang menakjubkan. Suatu ketika pernah terjadi sebuah rumah tiba-tiba muncul di kerumunan semak belukar dengan seluruh isi dan perabotannya. Tapi seminggu kemudian rumah itu lenyap pula tak berbekas. Kata orang rumah itu rumah hantu. Apa mungkin saat itu Ibu sempat masuk ke rumah hantu dan mengambil panci, piring, sendok dan garpu, yang akhirnya lenyap pula.

Waktu aku tanyakan pada Ayah, apa benar barang-barang itu milik para hantu, karena suatu ketika aku lihat, panci, piring, sendok dan garpu saat malam hari terbang melayang-layang di kamar makan, gemerincing sendiri. Seakan memanggil tuan-tuannya agar segera makan malam, hidangan telah siap sedia. Ayah hanya melotot sambil menarik napas berat. Akhirnya aku tak berani menanyakan hal itu lagi. Apalagi pada Ibu. Cuma bisik-bisik tetangga mengatakan aku keturunan genderuwo, namun Ayah menyangkal dan marah besar ketika mendengar selentingan itu. Mana yang benar? Menurut Ibu saat akan meminjam peralatan, Tuan Cuak Kuak tinggal sendirian di rumah, rumah sepi, lalu merayu Ibu di dapur, mencoba menjahili Ibu, dengan nafsu gila yang meledak, hendak melepas seluruh baju Ibu, seolah menguliti pisang dan ingin menelannya bulat-bulat. Ibu memberontak-gertak dan menendang kemaluan Tuan Cuak Kuak. Lari keluar. Sampai di rumah Ibu menangis sambil menunjukkan baju robek di dekat pusar. Ayah gusar dan marah, keluar, menenteng parang, membuka baju, ototnya saling berpacu ingin meledak, berderit-derit seperti gelembung air mendidih.

Sewaktu dicari di dalam rumah Tuan Cuak Kuak tidak ada, ditemukan sedang berak di kakus belakang, dua puluh langkah dari dapur. Tuan Cuak Kuak cuek saja atas permintaan Ayah agar cepat keluar. Ia berak. Dengan tenang Ayah mendekati kakus, dari belakang mengayunkan parang ke leher Tuan Cuak Kuak yang sedang asyik jongkok. Tuan Cuak Kuak terjerembab ke dalam liang kakus dan tak bangun lagi untuk selamanya. Selamat tinggal. Sampai jumpa di surga. Mayatnya berlepotan kotoran, seminggu dirubung belatung, kutis, dan kalajengking. Akhirnya dikubur di kakus karena pihak keluarga tak mau mengambil, bahkan untuk melihat pun tak berani, takut terkena imbas, mereka tahu sepak terjang si pembunuh. Ayah tak diberi sanksi apa pun. Ayah kepala kampung, punya kuasa, wilayah dan aturan. Orang kampung percaya, Ayah saat itu sedang mempertahankan martabat keluarga, harga diri, yang akan memengaruhi kelangsungan hidup selanjutnya. Kami percaya siapa yang makin kuat merekalah yang akan menang dan bertahan. Yang lemah lebih baik disingkirkan. Tak ada tempat bagi mereka, lebih baik tetap menegakkan hukum rimba. Siapa kalah tamat dan lewat.

Namun malam ketujuh setelah kematian Tuan Cuak Kuak, Ayah bermimpi didatangi bayangan perempuan dan mempertanyakan kekejaman Ayah. Bayangan perempuan berpesan agar Ayah selalu mengedepankan hati nurani dalam bertindak. Saat itu pula Ayah curiga jangan-jangan yang mampir dalam mimpinya adalah Ibu Mertua, yang ketika masih hidup sering wanti-wanti agar Ayah selalu menjaga tingkah laku.

***



Minggu, 04 Oktober 2009

Puisi di Kompas, 4 Oktober 2009


SAJAK-SAJAK S YOGA
NAIK SEPEDA FONGERS

kulewati jalan kampung penuh debu
bagai asap menyelimuti diri ini
kubunyikan bel ting tong
agar kambing-kambing menyingkir
agar aku segera tiba di kuburan
di senja hari yang sunyi

fongers tua dengan rem botol
membawaku ke tempat keramat
lampu kupadamkan agar perjalanan
malam (karena senja telah sirna) ini
tambah seram
tiba di tempat istimewa
segera kuparkir fongers bb-60-ku
sambil berbaring semalaman
aku menanti bintang jatuh
sambil bersiul-siul
semoga ada burung hantu
yang menyahut

agar kita tahu
betapa isyarat menjadi
tanda yang berarti
seperti roda sepeda
yang berputar mencari waktu
pemberhentian

Ngawi-Madiun, 2009
Kompas, 4 Oktober 2009

ARLOJI

ia berdetak saja
tak mengenal waktu
di tangan ia melingkar
meski terlepas
ia telah menorehkan
sebuah isyarat
yang tak bisa terhapus

ketika tidur
ia membisikiku
dengan zikir detik
yang khidmat
di keheningan

apakah aku
masih bisa bangun
esok pagi

segera kuhempaskan
pikiran buruk
aku tak ingin
malam-malamku
dihantui kecemasan

kadang aku merasa
arloji adalah
berhala yang dipuja
agar kita selalu ingat
dan terikat pada janji
perih memang bila
janji tak bisa ditepati

di keramaian pun
aku tak bisa lepas dari detik
yang selalu mengintai
sehingga hidup ini
rasanya selalu diawasi

waktu berjalan begitu lambat
sedang usia meloncat-loncat
persis uban di kepala
hingga tak bisa kuhitung lagi

kadang aku merasa damai
bila arloji ini tiba-tiba rusak
dan masuk reparasi

namun hanya sebentar
karena detaknya
terus ada di dada
ia tak pernah henti
selalu mengikuti

kapan berhenti berdetak
agar kecemasan ini
tidak berlebih

Ngawi-Madiun, 2009
Kompas, 4 Oktober 2009

Sabtu, 12 September 2009

ELANG HITAM (ELANG JAWA)







Koleksi Pribadi

DIASPORA KEGELAPAN

DIASPORA KEGELAPAN

Naskah Monolog : S Yoga

(Setting di halaman rumah Kalebun (Kepala Desa) bernama Maman di sebuah desa di Madura, ketika itu listrik mati berbulan-bulan. Di sudut panggung kanan-kiri ada lampu/ting, di tengah ada meja dan kursi. Maman memakai sarung, baju biasa dan berpeci)

(Di panggung lampu gelap, Maman menyalakan korek api, menyalakan lampu ting).

Nah, begini kan agak terang! Susah juga ketika hidup terus-terusan dalam kegelapan.

(Ia menyalakan lampu di sudut yang lain)

Listrik sendiri baru akan nyala 5 bulan lagi. Setelah listrik mati, tiap malam benar-benar gelap gulita, agak terang bila bulan purnama, ada cahaya temaran, di halaman duduk-duduk beramai-ramai sambil melihat anak-anak bermain, dan kalau mau bisa ngitip gadis-gadis mandi di kali. Apa benar ya listrik putus karena kabel di Selat Madura tersangkut jangkar kapal. Itu memang berita resminya, berita tak resminya yang terus beredar di masyarakat; pasti sabotase guna persiapan pemilu, kalau listrik mau nyala harus pilih sebuah partai, provokasi agar waduk di seberang disetujui masyarakat dibangun PLTA, meski ganti rugi tak beres, agar jembatan Suramadu lekas dibangun, lantas Madura jadi lahan industri, para investor asing berbondong-bondong datang, rupanya negara pandai juga memperdagangkan potensi alamnya. Sebagai Kepala Desa saya sama sekali tidak mampu membungkam bisik-bisik yang terus berkembang.

(Maman perlahan duduk di kursi)

Masak Kepala Desa dilempar batu. Ini keterlaluan. Ini buktinya, mata saya bengkak. Waktu itu saya menuju rumah Roji.

(Berdiri dan berjalan ke sudut)

Rumah Roji masih jauh tapi tiba-tiba perutku sakit sekali, saya sudah tidak kuat untung ada semak ilalang. Saya mendekam di situ. Terdengar langkah sepatu berderap, memberat dan mendekat. Semoga dia tidak melihat, malu kan berak di sembarang tempat. Saat yang paling menentukan dan pas akan keluar tiba-tiba ada batu sebesar kepalan tangan melayang.

(Keluar dari semak-semak)

Kurang ajar! Cong, siapa yang melempar batu. Mataku kena, bengkak ini. Tak ada siapa-siapa, hanya kelepak kelelawar di kegelapan. Saya jadi takut. Jangan-jangan ada hantu? Apalagi saya berak dekat kuburan. Tapi masak hantu. Kalau tak ada hantu, pasti manusia. Kurang ajar, baru kali ini ada orang lempar batu sembunyi tangan di sini.

(Duduk di meja)

Sampai di rumah Roji, saya ceritakan kejadian yang saya alami, dilempar batu. Rupanya Roji juga mengalami nasib naas; RX King-nya hilang. Katanya sehabis Magrib di Masjid, kebetulan rumah Roji kosong ditinggal ayah-ibu dan adik-adiknya ke Surabaya menghadiri pernikahan sepupu.

(Megambarkan adegan Roji, peci dipakai melintang)

Ketika Roji membuka pintu, ternyata sepeda motornya sudah amblas tak berbekas. Padahal sepeda baru dibeli seminggu yang lalu, dari hasil panen tembakau, tiap pagi, tiap sore dikeluarkan, seminggu itu baru dia lap-lap hingga mengkilap, sesekali dibawa putar-putar kampung, pamer, dibleyer-bleyer agar orang-orang melihat kalau ia sudah punya sepeda motor. Ketika melihat sepeda motornya raib, Roji menangis meraung-raung, seluruh tetangganya jadi ikut sibuk mencari. Namun ke mana mau dicari kalau barangnya sudah raib. Setelah pura-pura mencari ke sana ke mari, tetangga-tetangganya matanya saling menyidik, saling curiga dan sontak berhamburan ke rumah masing-masing, takut barangnya jadi ikut hilang. Ha ha ha ha mau nolong tapi takut kecolong.

(Berjalan mondar-mandir)

Ketika saya pulang dari rumah Roji. Tiba-tiba, Tohir tetangga sebelah Roji menjerit-jerit keras sekali seperti orang kesurupan.

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Pis….pis….. pistol! Siapa ini. Hee…he…. Aaada piss…. pipissss…. siapa ini!? Pissstol siapa ini tertinggal di rumah!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Benar ada pistol berlumur darah di depan pintu.

(Bingung mencari-cari seseorang entah siapa yang dicurigai)

Apa kamu tidak lihat siapa yang meletakkan pistol!?

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Tidak lihat, Pak Kalebun!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Sudah benar-benar kamu cari di sekitar rumah?

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Sudah, Pak Kalebun, ini aku bawa clurit, hampir saya tebas batang lehernya bila ketemu, untung tak ada.

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Kamu punya saudara yang jadi tentara?

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Tak punya Pak Kalebun, polisi juga tak punya, Si Rofiq itu hanya satpam tak punya pistol, cuma punya pentungan yang selalu ia bawa, yang satu besar dan satunya kecil!

(Perlahan ia duduk di kursi, kembali memerankan Maman, kembali ke peristiwa listrik mati)

Kami jadi kesal, gara-gara listrik padam, banyak peristiwa aneh-aneh. Jangan-jangan di desa-desa lain, kota-kota lain, juga ada peristiwa seperti ini. Jangan-jangan sudah ada yang jadi korban, ada yang tertembak, bukankah di rumah Tohir sudah ditemukan pistol. Lalu pistol siapa? Darah siapa? Siapa yang masih suka main-main dengan pistol. Ndak masalah kalau hanya pistol mainan sendiri. Jelas ada darah pasti sudah makan korban.

(Lengang)

Kejadian itu saya kira merupakan kejadian yang paling aneh tapi nyatanya tidak karena ketika saya pulang dari rumah Tohir, Matrawi tetangga sebelah rumah teriak-teriak di halaman.

(Menjadi Matrawi, peci dipakai hingga jidat dan rambut bagian depan terlihat)

Pak Kalebun! Pak Kalebun! Bajingan dia! Dasar tak tahu diri! Masak kepala orang dibuat mainan. Kepala ini Pak Kalebun, memar semua, lihat ini, waktu saya berjalan kepalaku dipukul dari belakang, saya tengok tak ada orang, kupingku dijewer keras, saya tengok lagi tak ada siapa-siapa. Masak ada tangan tapi tak ada orang. Ada korban tapi tak ada tersangka. Kurang ajar mereka yang bertangan panjang, sesuka hati memeprmainkan nasib orang lain. Dia benar-benar sialan! Saya tidak terima kepalaku dibuat mainan. Kepala itu harga diri bagi kita dan harga diri adalah segalanya. Daripada berputih tulang lebih baik berputih mata, Pak Kalebun. Ayo Pak Kalebun, kita carok. Ayo, kita ambil clurit kita tebas batang lehernya

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Kalau kita sudah ambil clurit, lalu mau bacok siapa?

(Menjadi Matrawi, peci dipakai hingga jidat dan rambut bagian depan terlihat)

Ya, dia yang mempermainkan dari belakang Pak Kalebun?!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Ya, dia siapa? Kamu tahu orangnya?

(Menjadi Matrawi, peci dipakai hingga jidat dan rambut bagian depan terlihat)

Iya, ya. Siapa dia ya. Bayangannya juga tak terlihat. Habis gelap, Pak Kalebun!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Makanya jangan bertindak grusah-grusuh, jangan mudah terpancing. Akhir-akhir ini memang banyak kejadian aneh-aneh.

(Naik ke menja melihat-lihat kalau-kalau ada yang datang)

Saya jadi ingat kata-kata Pak Kyai dulu, waktu saya masih kecil, tentang zaman Jahiliyah, zaman kegelapan, yang ditandai dengan orang-orang yang saling bertikai sendiri, saling rampok, saling bunuh, agama tak dipedulikan, tak ada kedamainan, hidup rasanya was-was, kejahatan merajalela. Saya takut jagan-jangan tanda-tanda itu benar-benar sedang berlangsung di sini.

(Turun dari meja dan duduk di kursi)

Memang setelah listrik padam kami tak tahu keadaan di luar kampung. Kalau benar keadaan di luar Madura juga gelap gulita, ini benar-benar bahaya. Bagaimana dengan pusat pemerintahan, bagaimana dengan Jakarta.

(Bunyi sirene)

Pasti ada bahaya. Tedengar suara sirene bernguing-nguing, diiringi suara mengaphone keras di mana-mana. Bila semua gelap?! Bila semua ini dibiarkan!? Benar-benar keadaan akan menjadi kacau!?

(Mengambil mengaphone, merespon situasi)

Halo-halo, halo-halo, di sini kegelapan! Halo-halo, hubungkan dengan dunia luar. Hubungkan dengan internasional!? Halo-halo, tolong sambungkan dengan dunia manapun!? Halo-halo, tolong-tolong, kami dalam kegelapan. Tolong-tolong Madura gelap, Surabaya gelap, Banyuwangi gelap, Papua gelap, Aceh gelap, Nias gelap, Sambas gelap, Ambon gelap, Poso gelap, Kalimatan gelap, Sulawesi gelap, Sumatera gelap, Yogyakarta gelap, Sidoarjo gelap. Halo-halo, halo-halo apa Jakarta gelap. Apa Jakarta sumber kegelapan. Halao-halo mohon bantuan siapa pun, Indonesia dalam kegelapan. Dalam kegelapan. Dalam gelap akan banyak kejahatan. Kegelapan ada di mana-mana di rumah, di jalan, di toko, di pabrik, di plaza, di hotel, di kantor-kantor.

(Membagi-bagikan selebaran tentang kegelapan)

Bapak rt, bapak rw, bapak lurah, bapak camat, bapak bupati, bapak gubernur, bapak menteri, bapak presiden tolong kami. Bapak hansip, bapak polisi, bapak tentara, bapak jenderal, bapak hakim, bapak jaksa tolong kami. Tolong kami. Tolong kami. Yang selalu jadi korban kegelapan.

(Berdiri di atas meja, ketakutan, sirene makin mendekat, perlahan lampu satu persatu mati)

Kegelapan semakin menjadi-jadi. Kegelapan semakin meraja lela. Awas kegelapan!? Awas kegelapan!? Kegelapan di sekitar kita! Menghidar!? Ayo menghindar!? Ahhh ahhh!? Gelap! Gelap!? Aku dalam kegeeeeelapaaaaaaann!? Tooooloooong!?

(Bunyi sirene semakin keras, ketika memuncak sontak mati sendiri, panggung gelap total)

- S E L E S A I -

Surabaya 1999

Kamis, 13 Agustus 2009

RUMAH DI TUBIR JURANG

Naskah drama, Rumah di Tubir Jurang menjadi nominator lomba cipta Naskah Drama Remaja TBJ 2005 dan menjadi salah satu pilihan dari lima naskah drama lainnya untuk dipentaskan oleh peserta dalam Festival Teater Remaja se-Jawa Timur 2005-Taman Budaya Jawa Timur.

RUMAH DI TUBIR JURANG

NASKAH DRAMA

Oleh : S YOGA

Para Tokoh

Eyang Kakung : Usia 80

Tuan Sunan : Setengah Baya

Nyonya Sumirah : Setangah Baya

Papa (Umar) : 23 tahun

Mama (Lastri) : 23 tahun

Mawar : 21 tahun

Noki : 21 tahun

Ijah : Pembantu Rumah Tangga 17 tahun

Dikisahkan di sebuah rumah dihuni oleh Eyang Kakung (pelupa dan sering mengigau sendiri), Tuan – Nyonya ( suami yang tak mampu mengendalikan rumah tangga dan istri yang pencuriga dan egois ), Papa – Mama ( menikah dalam usia muda karena “kecelakaan” dan hidup berfoya-foya ), Mawar dan Noki ( pacarnya ) yang terseret dalam pergaulan bebas dan nikah siri tanpa diketahui orangtuanya. Dan Ijah pembantu rumah tangga yang genit. Orang-orang inilah yang akan berjuang keluar dari permasalahan hidup dan menyelamatkan citra keluarga besarnya dari kehancuran. Ibarat negara, akan hancur kalau masing-masing daerah ( orang ) ingin bebas ( merdeka ) sendiri-sendiri tanpa mempertahankan aturan dan norma-norma moral yang berlaku.

1

( Rumah putih dengan perabotan antik, senapan angin di sisi kanan tembok, dua orang laki-laki dan perempuan setengah baya, duduk menghadap dua buah layar tv, asyik menyaksikan dunia lain, sebuah dunia maya. Masing-masing menonton acara tv kesukaan sendiri. Menghadap penonton. Di belakang nampak meja dan kursi lain, almari tempat menyimpan perkakas. Dari belakang, tepatnya dari atas seorang pencuri meluncur turun dari atap dengan tali, mukanya dibalut kain hitam, persis ninja di film-film. Pencuri dengan tenang dan kehati-hatian yang penuh, turun perlahan, mengambili perhiasan yang mudah didapat, masuk ke dalam kamar tempat perhiasan lain disimpan. Kemudian naik lagi ke atas keluar dengan aman ).

TUAN SUNAN

Maafkan. Selama ini aku hanya diam saja. Habis bagaimana. Semua sudah kau atasi sendiri. ( Sambil mengecilkan suara tv ).

NYONYA SUMIRAH :

Hhhmmmmmmm. ( Batuk-batuk dan semakin mengeraskan suara tv ).

( TV dikecilkan NYONYA SUMIRAH, berdiri lalu mencari obat. Membuka-buka lemari, obat yang dicari tidak ada. Mendekat TUAN SUNAN, kesal dan memandang penuh kebencian. Kembali lagi ke almari mencari-cari. Kesal. Ke meja dan mengambil air minum setelah batuk rejannya hebat menghantam tubuh kurusnya ).

NYONYA SUMIRAH

( Batuk ). Tak ada yang beres di rumah ini. Semuanya maling. ( Batuk ). Sampai obat saja hilang. ( Bicara sambil membawa minuman ke tempat duduk di depan tv ).

TUAN SUNAN

Kau kira aku yang mengambil. ( Sambil berdiri. Menyulut pipa rokok tapi tidak berhasil ). Kita sudah tua, masak dari pernikahan dulu kita terus-menerus bertengkar. Kapan hidup damai. Sebentar-sebentar protes. Ngambek. Memangnya masalah hidup akan selesai dengan cara seperti itu.

NYONYA SUMIRAH

Kau kira ada yang mendengarkan dan mempercayai kata-katamu. Dasar mata keranjang. ( Sambil berdiri, nampak mengingat sesuatu dan emosial ). Kau masih saja punya perasaan sama tetangga sebelah kan. Ya aku tahu dia lebih bahenol dan lebih muda dariku. Kau kira aku tidak tahu tiap pagi kau pura-pura memberi makan ayam-ayam di belakang rumah, sambil bertukar pandang dengan dia. Iya kan. Mengaku saja. ( TUAN SUNAN nampak salah tingkah ). Tiap hari pula aku perhatikan tingkah polahmu dan aku mencoba bersabar. Tapi sekali lagi kau berbuat begitu, hari itu pula kau harus angkat kaki dari rumah ini. Banyak saksi mata yang melihat kau sering bertemu dengan Rukiah, di terminal, di pasar sayur. Pantas suka pura-pura membantu aku belikan sayur. Ternyata ada udang di balik batu. Dan berapa kali kau tua bangka berboncengan dengan dia. Aku tidak bisa ditipu. Semuanya aku ketahui dengan persis. ( Ketika TUAN SUNAN hendak mendekat, NYONYA SUMIRAH menjauh, nampak benci ). Jangan sentuh aku lagi. Semuanya telah berakhir. Sudah berakhir. ( Berkemas, masuk kamar ). Aku benci. Aku benci. Aku benci.

( TUAN SUNAN hanya bisa menatap kosong ruang tamu yang sunyi. Mematikan semua tv, duduk di sofa panjang. Berdiri, berjalan memandangi potret, kenangan pengantin, nampak tersenyum, membersihkan foto yang sudah berdebu, kembali memasangnya, dengan kebahagiaan kecil. Berjalan ke almari, mencari-cari pipa gadingnya di dalam almari, ternyata sudah tidak ada. Mencari lagi ke sana ke mari, namun tidak menemukan. Melihat kamar NYONYA SUMIRAH dengan kesal, rasanya ingin membalas dendam ).

TUAN SUNAN :

Aku tahu siapa yang mencuri di rumah ini. Aku sudah merasa sejak dulu. Dulu kelihatan baik. Tapi akhirnya semuanya terbongkar sudah. Dia pencuriga. Sama tetangga saja dia tidak bisa akur. Apa dia tidak sadar sebentar lagi akan mati. Mestinya ia berbaik-baik dengan semua orang. Tidak justru penyakit dengki dan curiganya bertambah parah. Aku sebagai kepala keluarga rupanya tidak pernah dihormati. Sikap egoisnya telah menguasai seluruh hidupnya. Keberadaanku sebagai suaminya rasanya tidak diakui lagi. Diremehkan. Tapi biarlah, suatu saat, ia pasti akan sadar.

2

( Dari arah kamar belakang muncul seorang kakek, rambut putih semua. Membawa pipa gading dan merokok, pakai baju jas lengkap dengan sepatu mengkilap. Membawa tas kerja dan tongkat keramat. Berjalan penuh wibawa meski jalannya sempoyongan. Duduk di depan meja dan segera mengeluarkan kaca mata minusnya, mengeluarkan arsip-arsip yang ada di dalam tas, memeriksa dan sesekali membaca kertas kerjanya. Sebelum dilanda kepikunan yang menumpuk, ia seorang manajer di sebuah perusahaan roti miliknya sendiri. Dulu begitu dihormati. Namun setelah kepikunannya kumat ia bagai sampah, tak ada gunanya, diremehkan anak buahnya dan semua orang, bahkan dianggap meresahkan dan membuat repot keluarga, hampir ia akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa, tapi ditolak oleh pihak rumah sakit, pernah di panti wreda, sebulan kemudian pihak panti keberatan. Keluarga TUAN SUNAN tidak bisa berbuat banyak, mereka harus mengurusnya. TUAN SUNAN kemudian mendekati dan mengamat-ngamati pipa gading yang dibawa EYANG KAKUNG, yang diletakkan di asbak. Pipa gading itu diambil TUAN SUNAN, diamat-amati dengan seksama, sebelum pipa dikembalikan lagi sudah direbut kembali oleh EYANG KAKUNG ).

TUAN SUNAN

Kakung, ini sudah malam.

EYANG KAKUNG

( Sambil memeriksa berkas-berkas ). Semua pekerja memang brengsek semua. Tidak becus kerja. Semua salah. Pembukuan macam apa ini. Kapan perusahaan akan maju. ( Memandang sekeliling ). Sepagi ini juga belum ada yang masuk. Hanya seorang jongos kantor. Disiplinmu boleh. Kamu memang pekerja yang baik, pagi-pagi sudah buka kantor. Apakah sudah dipel dan dibersihan semua meja kursi.

TUAN SUNAN

Sudah. ( Menjawab sambil tidak enak ).

EYANG KAKUNG

Bagus. Bagus. Rencananya hari ini akan ada rapat perusahaan. Kamu tahu tidak rasa-rasanya perusahaan ini sudah menggaji para buruh lebih dari cukup. Bandingkan dengan perusahaan lain. Silahkan. Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua yang hadir dalam rapat perusahaan hari ini. Tentunya semua yang hadir sudah memegang laporan perusahaan akhir-akhir ini. Dan silahkan dibaca. Silahkan. Pertanyaannya. Bagaimana mungkin perusahaan ini sudah mengalami kemerosotan yang begitu dratis. Pemasaran tidak jalan. Sehingga di sana sini tidak ada pemasukan keuntungan sama sekali, kalau begini terus, perusahaan akan bangkrut. Bangkrut. Kalau bangkrut aku akan keluar dan kalian tidak akan aku beri pesangon sama sekali. Aku akan jual perusahaan dan kemudian akan aku inveskan pada perkebunan durian. Di sana aku akan hidup lebih sederhana lagi dan akan bahagia sekali melihat kebun-kebunku. Aku akan membuat pondok rumah yang indah. Dan cucu-cucuku akan aku bawa ke sana semua setiap bulan sekali. Aku akan bahagia. Aku akan beli beberapa kuda terbaik yang ada, akan aku gunakan untuk tunggangan pribadi. Karena istriku sudah meninggal aku akan memohon kepada anak-anak untuk mencarikan istri lagi yang lebih cantik dan sempurna. Ah rasanya hidup akan membahagiakan.

TUAN SUNAN

Betul sekali Kung. Dan sekarang calon istri Kakung sudah ada di sini.

EYANG KAKUNG

Apakah kamu tidak bohong.

TUAN SUNAN

Tidak. Sekarang Tuan Putri sudah ada di kamar Kakung. Sudah menunggu sejak tadi. Sebaiknya Kakung lekas tidur. ( Sambil membimbing EYANG KAKUNG ). Ijah ! Ijah !

IJAH

( Dari dalam ). Iya Tuan. Ya Tuan. Sebentar !

TUAN SUNAN

Tolong Kakung di antar ke kamar Tuan Putri. Kung Tuan Putri sudah menunggu. Kakung nanti langsung tidur duluan saja. Iya. Iya Tuan Putri yang cantik jelita sudah menunggu.

EYANG KAKUNG

Ah betapa bahagianya hidup ini. Tuan Putri yang cantik jelita tunggu aku sebentar. Tunggu jangan tidur duluan. Ah Tuan Putri. Terima kasih anakku. Kamu memang anak yang berbudi luhur sama orang tua. Aku doakan kamu mendapatkan istri yang paling cantik sedunia. Seperti Cleopatra. Seperti Ken Dedes. Aha jangan mereka kan gila kekuasaan. Perempuan kalau gila kuasa apa pun akan ia lakukan. Menghalalkan segala cara. Kecantikan dan tubuhnya akan ia manfaatkan. Lebih baik cari perempuan cantik yang alamiah. Aha kenangan masa lalu. Kenangan yang indah. ( Bernyanyi sambi menari-nari, merayu-rayu IJAH, sesekali mencubit pipi IJAH ).

Abang-abang gendero londo

Wetan sitik kuburan mayit

Klambi abang nggo tondo moto

Wedak pupur nggo golek dhuwit

TUAN SUNAN

Iya Kung. Iya. Tuan Putri ada di dalam. Sudah tidur. Jangan brisik. Nanti Tuan Putri terbangun. Kakung nyusul tidur ya. Kasihan Tuan Putri sendirian. Silahkan masuk. ( Setelah EYANG KAKUNG dan IJAH masuk, TUAN SUNAN nampak pikirannya lelah, duduk di sofa ). Hancur semua. Hancur semua. ( Masuk kamar. Eksit ).

3

( Dua orang pasangan muda masuk, habis berbelanja, membawa bawaan barang-barang. Meletakkan barang-barang di atas meja. Duduk di sofa nampak capai. Yang laki-laki tinggi kurus berwajah oval, yang perempuan berwajah bundar, pupurnya agak pudar. Pasangan keluarga muda ini nampak dengan lagak gaya sok modern ).

MAMA

( Sambil memeriksa barang ). Papa tadi ada barang yang lupa kita beli. Baju itu. Kosmetik itu. Kenapa kita lupa. Papa lupa kan beli piyama. Kenapa kita menjadi pelupa. Jangan-jangan penyakit Kakung sudah menular pada kita. ( Berdiri nampak kesal. Berjalan modar-mandir ). Semua nampaknya sudah tidur. ( Melihat jam ).

PAPA

Panggil saja Ijah. Untuk membereskan ini. Suruh buatkan Papa kopi.

MAMA

Ijah ! Ijah !

IJAH

Iya ! Sebentar ! ( IJAH muncul ). Iya.

MAMA

Masukkan barang-barang ini.

PAPA

Ijah. ( Dengan suara mesra, dan terus memandangi IJAH ). Jangan lupa buatkan kopi kesukaan Papa. ( Nampak MAMA tidak suka akan sikap PAPA, cemburu ). Cepat ya, Ijaaahh. Apa si kecil sudah tidur.

IJAH

Iya. Sudah Tuan. ( Segera pergi sambil membawa barang-barang. Genit ).

PAPA

Begitu saja cemburu. Tidak apa kan sekali-sekali bersikap mesra sama pembantu. Agar mereka merasa kita hargai. Begitu sayang. Jagan cemberut. Nah begitu kan manis. Lho masih masam. Kalau gitu aku hitung tiga kali. Pasti tersenyum. Satu. Ha bibirnya mulai tersungging. Dua. Sudah mulai tersenyum. Oh senyumnya baru sedikit. Senyumnya dikulum. Dua setengah. Mulai merekah. ( MAMA lantas terseyum dan marah-marah ).

MAMA :

Aku tidak suka Papa menggoda begitu. Sudah. Sudah jangan bercanda. ( PAPA terus menggoda. Terjadi kejar-kejaran di ruang. Sesekali PAPA tertangkap namun dapat meloloskan diri. Terus bercanda. Mereka hampir berpelukan. Lalu MAMA meloloskan diri kembali ke sofa, menghempaskan tubuh, mengambil buah jeruk, mengupas ).

IJAH

( Sambil menghidangkan kopi ). Ini kopinya, Tuan. ( PAPA hanya mengangguk, matanya tetap nakal ).

PAPA

Ngomong-ngomong kapan kita bisa punya rumah sendiri. Masak terus-terusan numpang di mertua. Malu kan.

MAMA

Ayah Ibu saja tidak keberatan kita tinggal di sini.

PAPA

Bukan masalah itu. Tapi bagaimana tanggung jawab seorang suami. Di samping itu tidak enak kan sama tetangga. Penilaian tetangga itulah yang paling berat. Mereka sama sekali tidak mau tahu kondisi kita yang sebenarnya. Mereka hanya tahu kalau kita numpang di mertua. Itu saja. Karena tidak tahu itulah, omongan mereka tidak bersumber pada kebenaran. Jadinya yang diomongkan yang jelek-jelek saja. Kata pepatah lebih baik menunjukkan sedikit kebaikan kepada mertua dan jangan tinggal bersamanya. Daripada menunjukkan kebaikan yang banyak tapi tinggal bersamanya. Karena jika tinggal bersamanya kalau ada kejelekan sedikit saja maka semua kebaikan kita akan hilang. Seumur hidup yang dikenang dan dibicarakan hanya kejelekan-kejelekan kita saja.

MAMA

Maunya Papa bagaimana. Papa mau beli rumah. Memangnya kita punya uang.

PAPA

Ya itu masalahnya. ( Mereka terdiam cukup lama. Berpikir. PAPA minum kopi, berdiri dan berjalan hilir mudik ).

MAMA

Selama ini kita tidak pernah nabung. Kerjaan Papa juga tidak mesti. Kalau ada proyek baru kerja.

PAPA

Bagaimana kalau kita minta warisan terlebih dahulu. Tanah warisan itu bisa kita jual untuk beli rumah.

MAMA

Papa nggak salah ngomong toh. Orang tuaku masih hidup. Masak kita minta warisan terlebih dahulu.

PAPA

Sama saja toh nantinya kita juga akan menerima. Papa kira Ayah Ibu akan setuju melihat kondisi kita seperti ini.

MAMA

Tapi Mama tidak berani ngomong.

PAPA

Ya harus Mama yang ngomong. Mama yang bisa merayu. Pasti mau. Kalau Papa pasti sulit. Ibumu sih keras sekali. Kaku.

MAMA

Tidak mau ! Tidak mau !

PAPA

( Terdiam sejenak ). Begini saja yang menghadap kita berdua.

MAMA

Tapi yang ngomong Papa.

PAPA

Ya berdua.

MAMA

Berdua.

PAPA

( Sambil dinyanyikan ). Selamanya kita selalu berdua. Selamanya kita selalu satu. Dalam sukadan duka. Selamanya kita bahagia. Selamanya kita berdua. Berdua selamanya.

( Mereka nampak gembira. Berdansa sambil masuk kamar. Eksit ).

4

( Pagi hari, di teras rumah yang nampak luas, bercat putih, di pinggir teras depan ada tulisan Jl. Tubir 275. Di teras ada satu meja, dua kursi, dan EYANG KAKUNG tidur di kursi panjang, ada beberapa pot bunga, tempat menyiram air, suasana nampak asri. PAPA dan MAMA masuk dari luar sehabis kerja. Nampak wajahnya tegang. Seolah habis bertengkar. Mereka duduk dikursi saling tak peduli ).

PAPA

Papa kan sudah bilang keluar saja dari pekerjaan itu. Kenapa harus ngoyo-ngoyo kerja keras sedang gajinya kecil. Enak perusahaan. Kita hanya diperas. Dijadikan sapi perahan. Dasar kapitalis.

MAMA

Papa kira, Papa sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Kerja tidak tetap gitu.

PAPA

Papa memang kerja tidak tetap tapi sekali kerja gajinya kan besar tidak seperti Mama. Papa kerja di proyek jadi kalau ada proyek pasti untungnya besar. Itu sudah bisa dipastikan. Tapi memang tahun ini. Proyek apa pun seret. Negara kacau. Investor takut menanam modal. Ini salah siapa. Mereka takut dibakar. Mereka takut didemo. Mereka takut nggak untung. Negara nggak stabil. Pemerintah disangsikan bisa ngatasi.

MAMA

Mereka kan juga kapitalis. Gitu mencemooh pekerjaan Mama.

PAPA

Papa tidak mencemooh. Papa mengingatkan kalau kita kerja sama kapitalis siap-siap tenaga kita diperas habis-habisan. Papa menyalahkan kapitalis itu kenapa menghargai tenaga kerja kita sangat rendah. Ya sedikit manusiawi gitu lho.

MAMA

Kapitalis kok manusiawi. Nggak laku. Nggak untung. Nggak kapitalis namanya.

PAPA

Ya sedikit sosialislah.

MAMA

Jadi kapitalis yang sosialis. Masak ada. Kapitalis kok sosialis. Kapitalis ya kapitalis. Titik. Tidak sosialis dan tidak manusiawi.

PAPA

( Mereka terdiam sejenak. PAPA melihat EYANG KAKUNG ). Kenapa lagi Kakung tiduran di lantai. Bangunkan, Ma. Suruh tidur di dalam.

MAMA

Mama yakin, Kakung terkenang lagi masa lalunya. Masa lalu yang membahagiakan. ( Mengambil senapan ). Pasti Kakung terkenang saat waktu perjuangan dulu. Mama juga nggak habis pikir, kenapa seseorang bisa jadi pelupa dan hanya ingat masa lalu saja. Tanpa sedikit pun bisa diajak bicara masa kini. Apalagi masa depan. Hidup hanya untuk masa lalu. Masa-masa kejayaan dulu. Apa itu yang dinamakan post power syndrom.

PAPA

Sok tahu ! Memangnya Kakung punya kedudukan, punya jabatan, punya kuasa.

( Dari arah dalam masuk Tuan Sunan dan Nyonya Sumirah ).

TUAN SUNAN

( Duduk di kursi ). Kalian habis kerja kok malah di sini. Apa sudah makan. ( MAMA dan PAPA nampak saling celingukan, seolah ada yang ingin dibicarakan dengan Ayahnya ).

NYONYA SUMIRAH

Sebenarnya ada apa sih. ( Duduk di samping TUAN SUNAN ). Kelihatannya ada yang ingin dikatakan.

MAMA

Papa saja yang ngomong.

PAPA

Lebih baik Mama.

MAMA

Papa !

PAPA

Mama !

MAMA

Papa !

PAPA

Mama !

TUAN SUNAN

Kalian berdua seperti anak kecil. Ada apa sebenarnya. Memang kalian menikah terlalu muda, bahkan kuliah kalian nggak kalian selesaikan, mungkin itu yang menyebabkan kalian sering tengkar. Tapi sekarang kalian harus lebih dewasa.

MAMA

Begini lho, Yah. Papa kan ingin punya rumah.

PAPA

Mama yang pingin.

NYONYA SUMIRAH

Sudah ! Sudah ! Kalian tak pernah dewasa.

MAMA

Jadi kami pingin beli rumah.

NYONYA SUMIRAH

Ya sudah kalau pinginnya begitu. Ibu dan Ayah juga tidak keberatan, mungkin itu akan menjadi lebih baik bagi kalian, agar bisa membangun keluarga secara mandiri. Rencananya mau beli rumah di mana ?

MAMA

Masalahnya kami tidak punya uang. Uang kami tidak cukup untuk beli rumah itu. Karenanya kami sepakat ingin meminta hak kami pada Ayah Ibu.

TUAN SUNAN

Hak apa ?

MAMA

Kami ingin warisan yang nantinya akan diberikan, kami minta dulu.

PAPA

Iya, Yah. Kami sangat membutuhkan. Toh nanti juga warisan itu akan diberikan pada kami juga.

NYONYA SUMIRAH

Tidak bisa. T i d a k b i s a ! ( Mereka terdiam sejenak ). Kalian tahu apa artinya warisan. Kami masih segar bugar begini kalian menuntut warisan. Permintaan kalian itu tidak wajar. Toh kalian masih bisa tinggal di rumah ini. Mestinya kalian sedikit-sedikit bisa menabung untuk masa depan. Jangan bisanya cuma foya-foya, beli barang-barang yang mahal, barang yang belum perlu. Tidak usah gengsi. Gaya hidup kalian harus diubah.

PAPA

Tapi kami ingin mandiri dan terpisah Ayah dan Ibu.

NYONYA SUMIRAH

Itu bagus. Silahkan.

PAPA

Tapi kami perlu uang. Perlu warisan itu.

NYONYA SUMIRAH

T i d a k b i s a. T i d a k !!!! Kalian dengar.

( MAMA dan PAPA wajahnya nampak sangat kecewa, lekas masuk rumah. Suasana kemudian senyap. TUAN SUNAN dan NYONYA SUMIRAH saling menarik nafas dalam-dalam ).

5

( Dua orang remaja membawa tas, sangat modis, yang perempuan sedikit menor, yang laki-laki sedikit macho. Masuk ke halaman, ke teras rumah ).

MAWAR

Assalamualaikum.

NYONYA SUMIRAH

Walaikumsalam. ( Mereka saling bersalam-salaman, nampak NYONYA SUMIRAH tidak suka dengan NOKI ).

MAWAR

Bagaimana keadaan Ayah Ibu.

NYONYA SUMIRAH

Baik-baik.

MAWAR

Kakung bagaimana.

TUAN SUNAN

Baik-baik saja. Masih seperti biasanya.

NYONYA SUMIRAH

Suratmu barusan tadi pagi sampai. (Mengambil surat yang ada di meja). Ini belum Ibu baca. Apa isinya sih.

MAWAR

Gimana Pak Pos sih, ini udah dua minggu aku kirim. (Mengambil surat). Cap kantor pos di sini saja tanggal 10, berarti sudah seminggu yang lalu. Dasar Pak Pos males.

NYONYA SUMIRAH

Padahal dia hampir saban hari mampir ke sini. Apa dia lupa. Apa surat itu ketlinsut di kantor pos.

TUAN SUNAN

Sudahlah. Pokoknya anak kita sudah sampai rumah dengan selamat.

MAWAR

Sebenarnya surat ini hanya ingin memberi tahu Ayah dan Ibu. ( Memasukkan surat ke tas ). Sudahlah nanti akan kami beritahu, jadi surat ini dianggap saja tidak pernah ada.

NYONYA SUMIRAH

Ini bagaimana, surat sudah sampai kok ditarik kembali. Sebenarnya ada apa sih. Bagaimana kuliahmu. Jangan terlalu banyak pacaran. ( Menyindir mereka berdua ). Ingat kuliahmu.

MAWAR

Terus terang kami sengaja menghadap Ayah Ibu karena ingin membicarakan perihal hubungan kami. Saya harap Ibu sudilah kiranya menganggap kami berdua sudah dewasa. Tidak seperti selama ini Ayah Ibu merasa bahwa kami masih anak-anak sehingga tidak diperkenankan berpendapat dan memutuskan segala sesuatu secara mandiri. Mawar percaya segala sesuatu keputusan Ibu sebenarnya ingin membahagiakan diri Mawar, namun harus Ibu ketahui bahwa tidak setiap keputusan Ibu yang berkaitan dengan Mawar selalu baik buat Mawar. Seperti hubungan Mawar dengan Noki, memang Ibulah yang paling tidak setuju karena berbagai pertimbangan……..

NYONYA SUMIRAH

Cukup ! Sekali Ibu tidak setuju selamanya tidak setuju. Bisa dimengerti. Ibu tidak ingin mengulang yang kedua kalinya. Lihat kehidupan kakakmu sekarang. Ini semua gara-gara menikah terlalu muda. Seandainya tidak terjadi “kecelakaan” itu tentu Ibu tidak mau menikahkan. Dan sekarang lihatlah siapa yang membelikan susu dan keperluan ponakanmu yang masih bayi itu. Bukan dia kan ?

MAWAR

Bagaimana Ayah ?

NYONYA SUMIRAH

( Begitu TUAN SUNAN hendak menjawab NYONYA SUMIRAH memotong ). Semua masalah anak-anak Ibulah yang bertanggung jawab. Semua yang memutuskan Ibu. Tidak boleh ada yang membantah keputusan Ibu. Kalau Ibu sudah memutuskan, tentu demi kebahagiaan anak-anak. Kebaikan Ibu dan masa depan kalian. Demi nama baik keluarga.

NOKI

Maaf Ibu. Mengenai hubungan kami. Rasanya tidak sesederhana yang Ibu bayangkan. Permasalahan kami pelik. Dan kami tidak mau putus hanya karena paksaan orangtua.

NYONYA SUMIRAH

Di sini Anda tamu. Harap itu dimengerti.

MAWAR

Ibu harus mengerti permasalahan kami. Terus terang selama ini kami merahasiakan hubungan kami yang sebenarnya. Sekarang saatnyalah kami harus berterus terang. Sebelumnya kami minta maaf sama Ayah dan Ibu. Sebenarnya kami telah menikah.

NYONYA SUMIRAH

Apa ! Nggak salah Ibu dengar !

MAWAR

Tidak Ibu. Sejak di semester satu, saat itu pula kami sepakat untuk menikah secara siri, tanpa memberitahu Ayah Ibu.

NYONYA SUMIRAH

Itu tidak sah. Kami tak ada yang dilibatkan. Itu tidak sah.

NOKI

Masalahnya bukannya sah atau tidak sah menurut Ibu. Tapi kami telah berjanji di hadapan Allah, terlebih ada saksinya pula.

NYONYA SUMIRAH

Ibu tidak meminta pendapatmu.

MAWAR

Noki benar Ibu. Ibu tidak boleh keras seperti ini. Ini menyangkut masa depan Mawar.

NYONYA SUMIRAH

Ibu tahu apa yang terbaik untuk anak-anakku.

MAWAR

Lalu Ibu tetap ingin menjodohkan Mawar dengan Ajiz. Apa Ibu tahu apakah Ajiz bisa menerima apa adanya diriku. Mawar sudah tidak seperti dulu lagi. Ibu harus paham itu.

NYONYA SUMIRAH

Maksudmu ? ( MAWAR mulai terisak ).

NOKI

Kami kira Ibu sudah dapat memahaminya apa artinya pernikahan. Kami adalah suami istri.

NYONYA SUMIRAH

Jadi kalian telah melakukan ………….

NOKI

Ya. Karena kami suami istri dan hal itu sudah sah.

NYONYA SUMIRAH

Kurang ajar kamu Noki. Berani-beraninya menjamah anakku.

NOKI

Kami sudah suami istri Ibu.

NYONYA SUMIRAH

Meski begitu kalian tetap putus. Putus. Berani-beraninya kau menodai anakku. Pastilah semua itu karena akal muslihatmu saja. Akal bulusmu saja. Kau menipu anakku dengan bujuk rayu gombalmu itu. Kau kira aku tidak tahu sejarah keluargamu. Kau kira siapa sebenarnya Ibumu. Siapa Ayahmu. Makanya sejak dulu aku tidak setuju hubungan kalian. Jadi benar kan kata pepatah anak tidak jauh dari orang tua. Tabiat orangtua akan menurun ke anaknya.

NOKI

Ibu bicara apa. Sebagai orangtua bicaralah yang baik.

TUAN SUNAN

Sebaiknya kita bicarakan nanti saja. Biar mereka istirahat dulu. Biar pikiran tenang. Semua masalah dapat dipecahkan dengan jernih.

NYONYA SUMIRAH

Tidak bisa. Sudah tidak usah ikut campur urusan ini. Biar aku atasi sendiri. Ketahuilah anak muda, Ibumu dulu seorang pelacur, aku tahu persis. Dan Ayahmu seorang mantan preman yang kerjanya merampok. Seorang bajingan. Kalian berasal dari keluarga rusak.

NOKI

Ketahuilah Ibu, bahwa sebelum Mawar berhubungan dengan diriku, dia pernah diperkosa, siapa yang memperkosa, tak lain dan tak bukan menantu Ibu sendiri, Umar. Bagaimana mungkin kakak ipar memperkosa adik istri sendiri. Jadi dalam keluarga Ibu juga mengalir darah bajingan bukan.

NYONYA SUMIRAH

Bicaramu yang benar. ( Terdiam sejenak ). Mawar, apa benar cerita Noki. ( MAWAR mengangguk dan kembali menangis lagi ). Rusak semuanya. ( Marah pada TUAN SUNAN ). Ini gara-gara kamu tidak bisa memimpin keluarga. Peran apa sebenarnya yang sedang kau lakukan. Kepala keluarga, bukan.

TUAN SUNAN

Katanya kamu sudah bisa mengatasi semuanya. Jangan salahkan aku. Salahkan dirimu sendiri yang keras kepala. Suka memaksakan kehendak.

NYONYA SUMIRAH

Mawar ! Katakan semua cerita ini tidak benar. Mawar ! Katakan semua ini tidak benar. Tidak benar kan !

MAWAR

( Menangis tersedu-sedu ). Maafkan Mawar. Maafkan Ibu. Maafkan Ayah. Maafkan. Semua itu benar. Semua itu benar.

TUAN SUNAN

Sebaiknya sekarang kita cari jalan keluar terbaik bagi mereka berdua. Jangan sampai merusak masa depan mereka.

NYONYA SUMIRAH

Jalan terbaik adalah Mawar putus dengan Noki. Titik.

MAWAR

Ibu mau membunuh diriku perlahan.

NYONYA SUMIRAH

Rusak semuanya ! Rusak ! Siapa yang kamu anut selama ini. Siapa Mawar. Sehingga dirimu begitu hina. Semua ini pastilah gara-gara kamu Noki. Sekarang keluar dari rumahku. Aku tidak sudi punya menantu sepertimu.

NOKI

Baik Ibu. Tapi ketahuilah semua masalah ini yang menyebabkan Ibu sendiri. Kalau Ibu benar bisa mendidik anak-anak Ibu tak mungkin akan terjadi seperti ini. Kekakuan pikiran Ibu dan mau menangnya sendirilah yang menyebabkan ini semua. Benar kata Ayah, semua ini karena kehendak berkuasa Ibu yang berlebihan terhadap semua isi rumah ini.

NYONYA SUMIRAH

Keluar dari rumah ini ! Tahu apa kamu tentang kehidupan. Keluar ! Keluar !

NOKI

Baiklah ! Ketahui bahwa Mawar kini tengah mengandung anakku.

NYONYA SUMIRAH

Kurang ajar ! Keluar ! Keluar !

( NOKI eksit. Lampu perlahan meredup hingga gelap, diiringi kesedihan yang menusuk-nusuk. Mereka terdiam seperti patung hendak runtuh ).

6

(Di ruang makan, meja makan memanjang. NYONYA SUMIRAH duduk di kursi yang mengesankan bahwa dia pemimpin keluarga. Di kelilingi MAMA, PAPA, MAWAR, EYANG KAKUNG dan TUAN SUNAN. IJAH sibuk menyiapkan hidangan makan malam. Suasana agak tegang saling curiga dengan pandangan mata yang ganjil dan mengancam. Sambil mulai makan).

NYONYA SUMIRAH

Di rumah ini aku rasa sudah tidak tentram lagi. Tingkah laku kalian sudah keterlaluan. Ibu juga tidak tahu siapa yang mencuri perhiasan Ibu. Ibu sudah mencarinya tidak ketemu juga. Berarti ada maling di rumah ini. Apa mungkin Ijah yang mengambil. ( Terdiam semua ). Umar ! Jadi benar kau telah melakukan pada Mawar ? ( PAPA hanya diam saja, menunduk ).

MAMA

Kau benar-benar tak tahu malu. Kau berani melakukan pada adiku sendiri. Kau mengkhianati perkawinan kita. Dasar mata keranjang.

EYANG KAKUNG

Oh gadisku. Baju merah, wajah cerah. ( Pada MAWAR ). Kekasihku pujaan hatiku. ( Pada PAPA yang duduk di sebelahnya ). Tolong sampaikan salamku padanya. Tolong. Nanti tak kasih hadiah. Sampaikan salamku padanya ya. Ini namanya cinta pada pandangan pertama. Siapa namanya ? Aku belum kenal. Baru hari ini aku melihatnya. (PAPA hanya diam saja dan sesekali menganggukkan kepala. EYANG KAKUNG kemudian menyanyi dan mendekati MAWAR).

Abang-abang gendero londo.

Klambi abang nggo tondo moto.

MAWAR

Kung ! Ingat ! Aku Mawar, Kung. Cucu Kakung. Kung ! Ingat ! (EYANG KAKUNG terus merayu).

NYONYA SUMIRAH

Kakung ingat Kung. Maemnya dihabiskan dulu. Ijah ! Ijah !

EYANG KAKUNG

Oh gendero londoku. Oh klambi abangku. Oh matahariku. Oh kekasihku. Oh menor-menorku.

IJAH

Kung ! Klambi abang Kakung di dalam kamar. Ayo kita ambil. Di dalam kamar. Ayo ke sana. Ada di dalam. Menunggu Kakung. ( EYANG KAKUNG menurut sambil ngomel klambi abang ).

NYONYA SUMIRAH

Jadi Ibu tidak tahu bagaimana lagi kita harus menegakkan martabat keluarga. Apa dari dulu hingga kini keluarga kita harus menjadi jelaga dalam sejarah. Tidak bisa menampilkan trah keluarga yang bisa dibanggakan. Dua anakku rasanya juga mengalami nasib yang tidak enak juga. Lastri, rupanya terlalu dini menikah, kau salah memilih suami, memang dulu, Umar, kelihatan baik, tapi apa yang diperbuat pada Mawar adalah malapetaka keluarga, noda hitam yang tak akan terhapus. Dan kau Mawar juga mengambil langkah yang salah dalam cara bergaul, kau ulangi kesalahan yang dilakukan kakakmu, dan kini kau hamil. Ayahmu sendiri tidak mampu memimpin keluarga. Justru mata keranjangnya makin menjadi-jadi. Hidup di rumah ini rasanya asing. Semua penghuni tidak ada yang saling mempercayai. Semua asing.

TUAN SUNAN

Tentu saja karena ingin saling menang sendiri.

MAWAR

Ada yang ingin memaksakan kehendak sendiri.

MAMA

Kapal ini sudah karam. Nama keluarga sudah tercoreng. Untuk apa dipertahankan.

NYONYA SUMIRAH

Ibu melakukan itu semua karena ingin menyelamatkan keluarga.

TUAN SUNAN

Tabiatmu itulah yang menghancurkan semua ini. Kehendak berkuasa berlebihan itulah sumber malapetaka. Mulanya tidak dirasakan tapi dampak dari kepemimpinanmu yang otoriter, anak-anak jadi korban. Biduk keluarga pecah. Ingin bebas sendiri-sendiri. Sesuai keinginan masing-masing. Tanpa tahu jalan yang ditempuh benar apa salah. Semua salah kaprah. Tak ada kebaikan yang muncul dari jiwa yang bersih, karena dalam diri dan kalbu kita sudah dikotori perasaan-perasaan tidak senang dan ingin menang sendiri. Ingin berkuasa sendiri.

NYONYA SUMIRAH

Apa yang kau tahu dengan kepemimpinan.

TUAN SUNAN

Pikiranmu itulah yang menyesatkan dirimu. Tidak mau mendegarkan pendapat orang lain. Tidak mau mempercayai orang lain. Seolah dirimu adalah pusat kebenaran. Padahal kebenaran jauh dari jangkauan tanganmu. Karena kebenaran dalam hidup hanyalah mengarah pada kebaikan kita semua. Kebaikan yang bersumber pada moral dan agama. Kebaikan yang membuat diri kita tidak berdaya di hadapan Allah. Tidak sebaliknya, membuat diri kita angkuh, keras, tidak mau dikritik dan sewenang-wenang. Itu semua hanya membuat diri kita rendah di mata Allah. Rendah di mata keluarga. Rendah di mata masyarakat. Tunjukkan kebaikan dirimu dengan bercermin dengan luka-luka masa lalu. Masa lalu adalah cermin untuk masa depan. Semua ini salah kita. Karena kita tidak saling percaya pada anggota keluarga sendiri. Sekarang terserah. Kalau Ibu masih ingin memimpin keluarga ini. Atau ingin mundur. Silahkan. Yang penting ciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Jangan hanya mempertahankan keinginan-keinginan yang semu saja. Hadapi kenyataan dengan lapang dada. Dan ambil jalan keluar yang tepat. Kalau Mawar kini sudah hamil sama Noki apa mungkin kita biarkan bayi itu tidak berayah.

EYANG KAKUNG

( Keluar membawa senapan ). Angkat tangan semua. Buka topi. Topinya dibuka. ( Semua angkat tangan karena kaget ). Ha ha ha ha ha. Si Penguasa akhirnya menyerah juga. Aku menang. Aku menang. Aku menang. ( Pada IJAH ). Siap grak. Lapor komandan. Pasukan sudah menyerah. Mereka mengaku kalah. Mereka membuka topi. Tanda kalah. Kalah komandan. Kita menang. Kita menang. Mereka kalah. Hidup perjuangan. Hidup perjuangan. Merdeka. Merdeka. Hidup kita menang. Hidup kita menang. Hidup mereka kalah. Hidup mereka kalah. Mereka kalah. Mereka kalah. Mereka menyerah. Mereka menyerah dalam hidup. Kita menang dalam hidup.

IJAH

Pasukan !

EYANG KAKUNG

Siap !

IJAH

Balik kanan ! Grak ! Maju jalan. Satu. Dua. Tiga. Satu. Dua. Tiga. Belok kiri. Grak. Satu. Dua. Tiga.

( EYANG KAKUNG dan IJAH masuk kamar. Eksit. Yang lagi terdiam dalam kebisuan yang memuncak, terpikirkan atas nasib hidupnya masing-masing. Merefleksi diri. Jalan apa yang harus ditempuh ).

7

( Seperti adegan pertama. NYONYA SUMIRAH dan TUAN SUNAN menghadap layar kaca masing-masing, menghadap penonton, sementara meja dan kursi sofa ada di belakang. Larut malam. Ada suara kentongan bertalu-talu. Mereka asyik menonton tv sendiri-sendiri, sesekali berganti ke chanel lain. Wajah mereka dingin, diam, seolah sedang memikirkan sesuatu, sorot matanya kosong, tak peduli pada sekitar, tak peduli pada yang lain. Seorang pencuri masuk dengan baju ninja, turun dari atas dengan tali yang mengelantung, turun perlahan dengan tenang, membuka almari, mengambil barang, masuk kamar NYONYA SUMIRAH, mengambil barang, perhiasan dan uang, kembali, tertarik pada jam tangan yang tergeletak di meja dekat sofa ).

EYANG KAKUNG

( Dari pintu ). Angkat tangan. ( Maling kaget bukan main, mengangkat tangan, meletakkan barang curian ). Buka topi ! Buka topi ! ( Maling membuka kerudung, wajahnya terlihat. Sementara itu TUAN SUNAN dan NYONYA SUMIRAH cuek saja pada apa yang terjadi. Mereka sudah muak dengan kelakuan EYANG KAKUNG yang selalu mengganggu hidup mereka ). Jangan bergerak ! Aku tembak ! Angkat tangan !

PAPA

( Menyanyi Tul Jaenak, disambut EYANG KAKUNG yang gembira bukan main mendengar lagu kesukaannya. Mereka sambil menari berputar-putar dengan kebahagiaan tersendiri. PAPA melepaskan semua baju hitamnya. Tiba-tiba muncul IJAH dengan pakaian minim, seronok, mengundang birahi. Ikut menari, mula-mula menari bersama EYANG KAKUNG. Kemudian menari bersama PAPA. Saling bergandeng tangan. PAPA dan IJAH menari mesra sekali. PAPA memberikan kantung berisi perhiasan, hasil curian, lalu membelai rambut IJAH. IJAH senang dengan pemberian itu, lalu mencium tangan PAPA ).

Tul jaenak

Jare jatul jaeji

Kuntul jare banyak

Ndoke bajul kari siji

Abang-abang gendero londo

Wetan sitik kuburan mayit

Klambi abang nggo tondo moto

Wedak pupur nggo golek dhuwit

( NYONYA SUMIRAH dan TUAN SUNAN cuek bukan main. Perlahan dan pasti mereka mengeraskan suara tv, sehingga suara nyanyian EYANG KAKUNG, PAPA dan IJAH perlahan hilang, tak terdengar meski penampakan mereka masih menari-nari. Seolah menggoda kehidupan. Lampu mulai meredup perlahan hingga hitam kelam. Tinggal suara televisi yang makin mengeras, berisik tak terusik, silih berganti, tak jelas suara apa yang terdengar, sahut menyahut, melambung-lambung, kering di telinga. Sampai puncaknya, tiba-tiba suara itu mati, seolah ada chanel yang terputus ).

***

S E L E S A I