Senin, 23 Agustus 2010

Puisi di Kompas dan Koran Tempo


GANDRUNG*


kaukah mahkota antasena

terpacak di penari gandrung

dengan hiasan omprok di kepala

kulit kerbau disamak dengan warna merah

emas dan perak hingga wajah bulat telur

sayap burung, chundhuk mentul bunga

bungaan dan dupa menyempurnakan

langkah langkah hidupmu

yang bergetar hingga ekormu memanjang

jejakmu tertinggal di kesunyian

dengan baju beludru warna hitam

kau tiupkan ruh minakjingga pada yang diam

kaukah yang bersamadi di dalam diri

hingga aku patuh padamu

padahal hatiku enggan beranjak

dari hutan alas purwa

tempat keramat para jin dan jerangkong

kau getarkan jiwaku pada tembang gaib

kau bimbing langkahku ke tengah kalangan

obor obor telah menyala sejak malam pertama

sejak kegelapan bermula dari diri

sejak awal dimulai, jejer yang menari

menyanyi embat embat sendiri

orang orang melingkar di arena

dengan sarung terkerudung

dalam keterbisuan yang membius

namun api dalam diri mulai mendidih

melihat cahaya terang

memabukkan jiwa

musik kuntulan, gending bali dan angklung

menghentak dalam satu irama percampuran

hibrida yang tumbuh


kaukah naga itu

dengan sisik emas kecemasan

sang penari memancar api

gelora nafasmu memaksa

bintang jatuh ke arah kiblat

kau terpekur di lembah bumi

dibisiki lare osing yang minta sedekah

karena gizi buruk dalam diri

ruhani yang mengembara

seperti pengembala di padang pasir

mencari air suci pawitasari

kau kalah dalam pelarian ini

hanya ragamu yang lepas

jiwamu terikat hingga mati

di timur jawa dwipa

tak paham pada penderitaan sejati

ingat rajamu yang bertahan untuk mati

demi blambangan tanah tercinta

meski kepala terpenggal tebusannya

di tangan damarwulan

yang terbuai wanita dan kuasa


gemulai kau menari seolah gelombang

memuncak hingga pusat tahta

dan kau terjatuh ke dasar lubuk

saat suwelan menyebar ke dada paling dalam

liang yang hangat dihuni puting beliung

kegagalan adalah awal penciptaan

inikah penyatuan diri yang kau nanti

api, angin, air dan tanah bersatu dalam cahaya

ketika kau ngibing di tebing jurang

engkaulah pusatnya

di antara empat mata angin yang mengiring

menusuk, merasuk, menjawil dan mengharap

adalah nafsu nafsu peralihan musim

dari api ke air, dari air ke udara, musnah

tak bertepi hanya sinar yang terbersit

semacam rasa sakit yang selalu dirindu

terkena mantra jaran goyang


kau hanya menari untuk diri yang alpa

seblak ketak kentrung drung drung

kentrang kentrung kentrang kentrung

biola, rebana, saron, kendang, kempul

khetuk, kluncing bersatu dan berpadu

selendang merahmu melambai

ke rembulan ndadari, nawang wulan

dewi bumi dan kemakmuran

pinggulmu mengoyang diri yang ragu

pada permainan api yang tak terduga

menyala panas, hangat dan ganas hawa nafsu

kerling matamu mengajak ke arah dalam

dalam yang sempurna, seperti liang kubur

dengan sisik sisik naga sang penguasa bumi

kau berhias diri sebelum mati

ilat ilatan melilit di leher hingga dada

manik manik mengkilat

kerlap kerlip imitasi sang badan

kain batik gajah oling

tumbuh tumbuhan dan belalai gajah

yang mengoda

seolah kau ikhlas asyik masyuk

ke surga dunia


di subuh hari kau menari seblang

setelah malam yang tintrim

tibalah sumebyar dengan sekar jenar

baik buruk, pintar bodoh aku berguru padamu

dengan dua kipas kehidupan di kanan kiri

yang telah berlalu dan yang akan dimulai

kenangan dan angan saling berpagut

kau haturkan sembah pada bumi dan langit

kau mintakan diri karena akan pergi

tinggalkan sejarah, kenangan dan hasrat

seorang pengkhianat yang tak akan kembali

kau hanya berucap ini demi harga diri


Ngawi-Sumenep, 2006

*Berarti tergila-gila, kesenian khas Bayuwangi sejenis ronggeng.

(Kompas, 16 April 2006)



DI PELAMINAN


sudah kuduga bila tubuhku berbau seperti ini

padahal telah kukenakan reroncean bunga melati

padahal telah kumandikan dan kurendam di taman sari

kini kurapihkan tangan dan kaki di pelaminan abadi


kusalami tamu yang datang dan pergi dengan ragu

mereka mengucapkan selamat menempuh hidup baru

sampai bertemu di surga semoga bahagia selalu

kuterima semua hadiah dan kenangan yang haru


aku berbisik pada mempelai yang telah jadi jerangkong

duduk gagu di sebelahku dengan wajah berkerudung

simpan rahasia bila kita telah mati dalam hidup yang gamang

catat setiap tamu yang datang karena kita wajib berkunjung


di waktu nanti mereka akan meminta semua pemberian ini

di waktu nanti ada yang datang meminta kita untuk kembali

membawa undangan lengkap dengan tanggal kematian nan pasti

di sana kita bisa meninkah lagi untuk kedua kali dengan permaisuri


Sumenep, 2007

Kompas, 25 Februari 2007



AKIK


telah kuserap semua cahaya yang kukenal

ke dalam diri yang gelap gulita

agar raga dapat kau lihat dengan kemilau

agar kesempurnaan bukan lagi kemustahilan

apa gunanya bertapa di dalam gua

bila batu batu tetap menyertai

tubuh begitu berat sebelum terbasuh dalam air

rasa yang tak pernah kujumpa sebelum kejatuhan

langkah besarku menjadi begitu bebal dan gagal

bila kusidik dari jemari tangan yang hening

gerinda telah membuatku mahir memainkan peran

menggosok tubuh hingga mengilap

jasad yang sebentar tampak indah

lumpur lumpur telah kutaklukkan dalam air bening

telah kusuling menjadi kristal kristal cahaya

sebelum musuh musuhku membuatku lebih berharga

batu mulia kau sebut ragaku yang baru

namun aku undur dalam kata kata mutiara

sebelum para aulia mempercayai


Sumenep, 2006

Koran Tempo, 24 September 2006



LILIN


telah kumusnahkan tubuh yang dulu

hingga dapat kuciptakan bayangan baru

dengan api yang selalu menghabiskan

kepercayaan kepercayaanku telah jatuh

ke dalam jurang jurang malam

pada langit yang tak pernah kujangkau

kuharap kau merunduk dan menciumku

karena hanya ruang yang dapat kupahami

dengan waktu pun aku telah menjauh

karena hanya akan mengekalkan kesunyian

yang selalu kumusuhi dalam mencari terang

aku hanya bertamsil pada angin yang membisu

di atas meja berplitur yang menggoda

debu debu telah bersetubuh dengan waktu

mengincarku dengan bidikan lumpur

agar aku runtuh dalam lobang yang sama

lobang yang pernah kugali saat kejatuhan dulu

saat aku membenci warna yang menyilaukan

ketika aku menyihir bayang bayang

dari kenikmatan kenikmatan dunia

di atas penderitaanmu

memang kebahagiaan yang selalu kucari

dengan api yang menerangi kegelapan

sebelum tubuh habis dilalapnya


Sumenep, 2006

Koran Tempo, 24 September 2006



MATA


kubenamkan matahati di air hening

ketika subuh mengutusku ke dalam sepi

kubuka jendela dan matahari menghampiri

sisiknya bergelantungan di janggut pepohonan

berkilauan diiringi cericit burung pipit

dengan api pagi kuambil jaketku yang lusuh

siap berangkat bertarung dengan waktu

mataku kini memang sunyi di bawah tatapanmu

tapi percayalah dendam telah kusimpan rapi

di almari hati yang luka oleh kenangan

sebenarnya enggan aku menatap sebening telaga

karena cahaya hanya memantul di permukaan air

ingin aku tenggelam selamanya di dasar kolam

agar raga berlumut dan menebal dalam warna kelam

agar diri terhindar dari gelombang cahaya

telah kusidik luas dan panjang palungmu

dengan mata yang hampir buta karena luasmu

tak mampu kujangkau dan kuukur kekufuran ini

sedang jejak jejak yang pernah tertinggal

hanya samar dan hampir terhapus kitab waktu

batu dan ilalang telah kujinakkan dalam rumah doa

agar ia tabah dalam mencari mata sejati

yang berwajah kesunyian


Sumenep, 2006

Koran Tempo, 24 September 2006



JERAMI


kenapa tubuh selalu layu dalam tatapanmu

teronggok di tengah langit kesunyian

meski matahari selalu menyinari

hingga kesempurnaan tak pernah kudapat

hanya embun yang selalu menyelimuti

dan jubah malam yang menemani

pernah kupercaya rindumu akan datang tepat waktu

namun bertahun kutunggu kau tak pernah datang

hanya asap yang kau kirim sebagai isyarat sebab

tubuh menggigil dalam penderitaan tak berkesudahaan

pernah kupinjam tubuh baru dengan warna cerah

jiwa menolak dan ingin kembali padamu jua

warna warna telah kutuangkan ke dalam tubuh

kucat seluruh permukaan, dalam dan ketinggiannya

namun ruangku tak pernah puas dan terjamah

hingga dahaga selalu datang terlambat

dahan dahan muda pernah kusihir menjadi diri

namu wajah tetap sayu tak bisa ditipu dan ditiru

meski tetap tegak berjalan ke arah senja

ketika aku bertanya dengan apa aku dibuat

hanya seekor cacing yang terus menggemburkan tanah

ketika aku bertanya ke mana semua akan berakhir

tak seorang pun mau menjawab dan semua menjauh

hanya cerlang embun yang mengirimkan isyarat langit

ketika aku merenungi semua jawaban

tak kusadari perlahan api dalam diri telah membakar

hingga asap hidup yang bisa kuhirup

sebelum tubuhku membusuk


Sumenep, 2006

Koran Tempo, 24 September 2006



KOMET


bintang bintang telah menipuku

seolah gemerlap di atas singgasana

namun semua hanya semu

hanya pantulan cahaya permukaan

yang ia tampilkan dengan kebanggaan diri

bukan cahaya dari nur kesejatian

yang muncul dari kegelapan

akhirnya aku berkeliling mencari jalan pulang

berputar pada poros yang bimbang

dengan kabut yang selalu mengikuti

ekor yang membayang sepanjang hayat

dengan hitam yang menyelubungi

bagai jelaga sejarah diri yang kelam

dihuni makhluk purba kesunyian

bila ada cahaya terang di titik tengah

hanyalah lilin alit yang kupelihara hingga mati

yang selalu kunyalakan sebelum kegelapan datang

ekorku pernah kupotong untuk mengelabuhi

namun dengan sorot matahari kau kirimkan sinyal

agar aku menepi dan menyepi

sebagai hukuman atas syak wasangka yang kufur

aku dibakar dalam api pendiangan malam

mengitari matahari seumur hidup

dengan apa harus kutebus kesalahan diri

agar aku bebas dari takdirmu

baraku telah kusiapkan dalam menempuh jalan baru

dengan cermin yang kuabadikan dari mimpimu

kini aku ingin menelusuri rawa ragaku lagi

kujatuhkan diri di bumi luka

kubenamkan wajah di danau bening

kubakar keasingan tubuh di gunung gunung

kuhanyutkan diri di laut lepas

agar abuku sampai di muaramu


Sumenep, 2006

Koran Tempo, 24 September 2006



IKAN


bukan aku yang ingin mendustai

sisik sisik ini bukti keremajaanku

meski telah kutempuh berpuluh lautan

jurang, palung dan kapal karam

yang selalu menggodaku adalah waktu

yang tak pernah mau menunjukkan arah

hingga cahaya lautan tak dapat kutaklukkan

maka terimalah aku sebagai kepunyaanmu

bila belum dengan apa aku harus datang padamu

akan kuberikan jika kau minta seluruh harta di laut

namun kau hanya mengirimkan isyarat ombak

yang kuterjemahkan dalam ibadah

bahwa keikhlasanku belum sampai batas

kugali lagi darah air agar dapat menjadi bukti

bahwa aku pernah sampai di palung terdalam

untaian untaian mutiara ini buktinya

yang telah kuraih dari mulut tiram yang karam

istana dan kerajaan lautan pun pernah kusinggahi

namun tak kutemukan kau di singgasana

hanya ada jerangkong kosong bermahkota lumut

telah kusihir beribu kuda laut agar takluk

namun desirmu telah menggagalkan semua rencana

padahal pasir pasir telah berjamaah bersamaku

agar selalu setia menemani dalam kesepian

agar selalu setia menemani dalam kegelapan

akan kutunggu dan kujebak kedatanganmu

kusiapkan perangkat doa agar kau menerimaku

sebelum matahari mengeringkan lautan


Sumenep, 2006

Koran Tempo, 24 September 2006



LINTAH


permainan permainan cahaya yang kau perankan

dalam air yang bening hanyalah kemilau permukaan

sedang lautan akan selalu meminta hening yang dalam

sedalam lubuk hati yang tak pernah mendesah

telah kucegah darah yang keluar dari kulit ari

agar kau bisa mengembalikan tafsirmu

seperti yang selalu diminta lautan

hanya akan menerima kesetian yang tak cacat

hidupmu penuh perlambang tak terjamah

namun cermin yang selalu kau bawa dalam kegelapan

hanyalah samar menunju satu jalan

hingga kau selalu terjatuh dan tersesat

setiap akan memasuki lobang cahaya

demikian juga aku yang gagal menerjemahkan malam

darah telah kau kumpulkan dalam perjalanan panjang

agar sampai jasadmu ke haribaan

namun darah mudamu diminta untuk disucikan

sedang gelap datang dan menyerbu lubukmu

mataku telah kupinjamkan agar tajam awasmu dapat menerka

waktu yang terus berputar seolah warna senja akan segera tiba

sudah kuduga kau tak akan bisa menjinakkan jentera malam

kupinjami lagi tubuh ini agar bisa menghias diri

agar tubuhmu tidak berledir lagi

hanya satu permintaanku sudikah kau kiranya

memimjamkan nafsumu itu


Sumenep, 2006

Koran Tempo, 24 September 2006



KEONG


perjalanan hanyalah mencari jejak lambang

lambat sebelum ke arah cahaya terang

sungut pun hanya mampu meraba permukaan

tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening

bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir

namun selalu kembali ke dalam lumpur

biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam

agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak

agar matahari tak menolak ketika kupinang

rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah

burung burung hanya menunjukkan jalan

jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang

namun burung burung hanya dapat terbang di terang

sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh

lewat lorong lorong gelap berlumut

akhirnya hanya kelelawar yang menemani

ia pun hanya memberi baju malam yang kelam

ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya

yang akan terbakar esok hari

kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam

ke dasar lumpur yang terdalam

agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri

kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan

kuminum sebanyak mungkin air keruh

kumuntahkan dalam setiap doa

kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal

agar aku nampak telanjang di hadapanmu


Sumenep, 2006

Kompas, 17 September 2006



JARUM


bisikmu selalu didengar embun pagi

sebelum kau kembali dalam sepi

jerami hanya sebentar menghangatkan

sebelum jasadmu kembali ke haribaan

ketika bisik bisik sampai ke ujung yang jauh

kau hanya mendesah, lupakan semua api

yang pernah kutangkap dan kutawan

kembalikan semua pada yang purba

bebaskan diri dari rasa kuasa

karena tak akan beroleh rasa terang

kesempurnaan akan sirna setiap ditatap

hanya satu yang kuminta sebelum kepergian

agar kilau matamu tak menusuk lagi

dengan rasa sakit yang sama

yang pernah kutemukan dalam kedukaan

tusukan yang akan mengingatkan semua kenangan

yang pernah kukenakan sebelum kesunyian

menjadi benang yang panjang dalam hidup

sebelum kejatuhan ke dalam jerami

kau mudah dicari dan ditangkap

namun kini wujudmu pun tak bisa kuingat

seolah tak mau kusentuh dan kudekati

pernah kuhapus asap yang mendengus

dalam belukar perjalanan api

yang akan membakarmu hidup hidup

agar bayang bayang segera sempurna

namun kucegah karena nadimu telah kulukai

jantungmu telah kutusuk agar cahaya menerangi

tanpa terbakar api


Sumenep, 2006

Kompas, 17 September 2006



PESTA TOPENG


pesta topeng telah dimulai

menyambut hari yang fana

gugusan bintang dan kabut yang meluncur

telah menyertai dan merestui upacara

kau telah puasa menahan rasa sakit

dan rasa nikmat yang mestinya kau dapat

melupakan semua nama nama yang pernah kau kenal

membuat nama nama baru agar bisa dikenal

bukan dari topeng tapi dari makna dan tanda

meski telah seribu wajah pernah kau ukir

pernah kau perankan untuk menipuku

namun dari guratanmu hanya kukenal satu nama

yang tak pernah bisa kueja sebelum hari pertemuan

ketika kau berkaca pada gelas retak, pada bening telaga

pada cakrawala yang terbersit hanya wajah yang purba

dalam kesunyian lembah lembah

dalam ketabahan gunung gunung

dalam keberanian matahari

yang tak bertepi dan tak berujung

sebelum kau menepi pada akhirnya nanti

sebelum rumah hatimu berubah wujud

hingga kau dapat mendengar

gemuruh neraka dan semilir surga

sebelum pergi ke pesta dunia yang sesungguhnya

kau siram tubuh dengan air suci

di bawah rurung agung

berwarna putih, kuning dan merah

setelah bersih kau siap naik tangga berikutnya

menuju rumahmu


Sumenep, 2006

Kompas, 17 September 2006



DI CANDI SUKUH


bila hanya arca untuk apa aku kenang

tapi ketika kupetakan tubuh ini

angin masa lalu menjatuhkan mataku

pada batu batu purba yang gelap gulita

arah mana yang kutuju

akan kutelusuri dari jejakmu

yang rapat terkunci di andesit tua

kuminta cahayamu membebaskan

dari segala kutukan di bumi

karena selama ini telah kuabdikan hidup

pada lingga dan yoni

apakah itu kesuburan atau kemaksiatan

hanyalah kesunyian yang tahu

hingga wajahku selalu berubah

hingga wajahku kau tolak ketika menghadap

tubuhku melayang pada permukaan bumi

bersama hantu hantu dan burung malam

kapan akan sampai pada tujuan

tangan, lengan, kepala, pantat, paha, kaki

berjalan sendiri sendiri menuju pohon randu

tempat permohonan dari dunia nyata

pengetahuanku hampir hancur ketika melihat

kegelapan bergelayutan pada dahan malam

lalu pohon apa yang semayam dalam diri

ketika lambung pedih, hati perih, jantung sedih

telah kuselami lumpur masa lalu hingga tubuh ini

memberat seperti kapal selam karam di luas samudera

ingin kulepas jaket tebal lumut kehidupan

yang pernah kugores di kanvas masa lalu

setelah kulihat dewi durga

terbebas dari kutukan karena doa sudamala

setelah disabda jadi raksasa mengerikan

di tengah malam terdengar bunyi kentongan bertalu talu

orang orang berhamburan keluar rumah

ingin diriku bangkit dari kegelapan ini

namun tubuhku terus memberat

tak ada yang dapat digerakkan

di antara kunang kunang yang berterbangan

di antara bau kembang dan kemenyan


Karanganyar, 2005

(Kompas, 25 Juni 2006)



EKOR


sudah lama kubenci pakaian ini

padahal selalu di belakangku

bayang bayang yang tak terlihat

bayang bayang hitam di perjalanan

bayang bayang yang tak mungkin kukejar

waktu hanyalah benalu yang melekat di ujung kaki

ketika tubuhku kusiram air telaga nyatanya lumut hijau

menyertai ke mana pun langkah kakiku

aku benci pada kemapanan dan kemunduran

aku benci pada yang di depan dan yang di belakang

karena hidup selalu tertinggal, selalu tersingkir

pengalamanku hanyalah mengusir lalat dan nyamuk

duduk di belakang sambil berjaga dan menutup pintu

lalu dengan apa aku akan menghadapmu

bila semua jalan ternyata bau

bila semua jalan telah tertutup

bila semua langkah telah tercegat

ingin kuciptakan kepala sendiri dari ekorku

dengan kepala yang mengekor

bayang bayang menjadi sirna

apa gunanya hidup tanpa bayang bayang

karena bayang bayang adalah diri yang sejati

karena bayang bayang adalah anak kita tanpa ibu

karena tanpa bayang bayang

tak akan pernah ada cahaya


Madiun, 2004

(Kompas, 25 Juni 2006, Surabaya Post, 27 Agutus 2006)



DI MAKAM SUNAN GIRI

h u mardi luhung


kunaiki tangga tanggamu

yang sempit hingga melebar ke atas

di antara pohon pohon hidup

randu alas, sawo kecik dan jelantang tua

kupanjat undak undakan batu

yang sunyi di atasmu

kutemui sebuah bangunan kuno

itukah kubah dari hati yang berubah

jelaga jelaga telah kering di muka pintu

ada arang, tembakau, pudak, semangka

dan bau kutuk masa lalu

ketika kubuka makam tak kutemukan kau di sana

hanya jejak yang membekas di dinding waktu

hanya sarang lebah yang berdengung tak tentu arah

mengelilingi dan sesekali menyengat tubuh

sendiri, sambil menghisap sari madu hidupnya

adakah yang lebih suci dari sebuah makam

kubaca kitab kitabmu di antara para serangga

pohon mengkudu yang tunduk pada alam

hanya seekor burung bulbul dari masa lalu

yang menemuiku, mempersilahkan aku minum

dari sungaimu yang kerontang di musim hujan

dalam kekosongan waktu yang kureguk

mempersilahkan aku makan dari pohon hayatmu

yang tak berbuah, tinggal dahan dahan kering

yang bergelayutan dalam hatiku

bila ini hari kamis maka esok hari jumat

tujuh hari dalam seminggu dapat kuhafal

namun tak kukenal nama nama hari berikutnya

demikian juga aku tak pernah dapat

mengikuti jejakmu dengan pasti

hanya berdendanglah yang dapat kulakukan

sambil meninggalkanmu di siang yang resah


Gresik, 2006

(Kompas, 16 April 2006)



LORJU’*


kisahmu tak pernah usai kubaca

tubuhmu bersayap di pasir memancar

di dalam lautan kau mencair


pernah kujumpa kau duduk sendirian

di atas karang membaca kitab samudera

ada angin, asin garam, badai, hujan


perahu dan para bajak laut

kisah cintamu dengan perawan laut

sudah usai tinggal kenangan yang hanyut


di lubuk sungai, sedang kau tersesat

di lautan pengembaraan menuju pusat

menjadi diri yang alit


di dasar bumi, pasir tepi pantai

kau bertapa berhari hari

menjadi yang maha kecil


enak, gurih dan nikmat

untuk santapan kehidupan

di sisi nasi kejahatan


dan sayur asam penderitaan

di dasar samudera kenangan

tak pernah kutemukan


tubuhmu yang tenggelam

menjadi matahari laut

yang ada hanya gangang


gunung dan jurang laut

yang tersisa hanya jejakmu

terhapus waktu


terpahat di dinding dinding laut

palung dan gua gua gelap berlumut

tinggal tanda yang harus kumaknai


berulang kali

agar aku sampai

padamu


Pantai Slopeng-Sumenep, 2005

*Sejenis kerang kecil, hidup di dalam pasir, biasanya dibuat camilan.

(Kompas, 16 April 2006)



MATAHARI BUMI RENCONG


ketika senja angslup kedalam gelap

mataku hampir buta

hatiku sakit memandang kelam

malam telah berkawan lelawar

bintang jatuh kearah kiblat

tak kutemukan petaMu

kumasukkan mata kalbuku kedalam sunyi

menunggu cahaya datang

mencari matahari yang hilang

kelubuk yang lebih lubuk

keasal yang lebih asal

ketepi yang yang lebih tepi

kesepi yang lebih sepi

kuburu cahaya matahari

diantara gelombang mautMu

kau tahu tubuh ini alergi pada kelam

telah kulepas seluruh pakaian kumal

kukenakan selimut tebal ketabahan

namun pertemuan selalu tertunda

kucari matahari dihutan-kota-Mu

kutemu mayat dan mayat

memintaku menjadi saksi

atas arang peradaban

dari jelaga jati diri

kuteruskan perjalanan rohku

mencari matahari yang satu

karena kini beribu matahari

saling berebut simpati

dibumiMu

***

(Kompas, 27 Februari 2005, Surya, 20 Februari 2005)



SEBENARNYA APA YANG MASIH TERSISA


sebenarnya apa yang masih tersisa

bila ombak telah meluruhkan gairah purba

dan anak anak telah kehilangan langit yang menawan


hanya reruntuhan hidup

yang menyala terang seakan dunia kiamat

dan diri kita hanyalah debu di jalan


kau tahu pintu hari telah terluka pada fajar hari

dan doa doa telah kembali pada langit

membersihkan diri dari noda dunia


yang kuingat

hanya sepenggal kejahatanku yang meluap

menjadi berhala dan kendala dalam pahala


seakan mulutku penuh lumpur masa lalu

yang dijelmakan tangan tangan kelam

yang menjulur ingin menguasai dunia


sebenarnya apa yang masih tersisa

bila di depan mata kita hanya mayat dan mayat

surga nampak maya dan masam berwajah ganda

***

(Kompas, 27 Februari 2005, Surya, 20 Februari 2005)


TIRAM


cahaya cahaya mulai menyusut dalam tubuhmu

air laut meluruh menjadi lumpur hidup yang langu

pesta kemarin tinggal kenangan dalam keabadian abu

sampan sampan telah berpulang ke hulu

para penjaga telah melepas semua tenda biru


serta pakaian, perhiasan, pernik pernik, kalung, sarung dan kayu waru

barang sewaan telah dipulangkan kepada yang punya sebelum berdebu

kini kau tinggal sendiri dalam kenangan rindu

kemegahan cahaya lautan yang merayu

para pelaut telah kembali mencari ikan, kerang, rumput, garam dan batu batu


ombak bagai mainan tak berpeghuni sedangkan dalam lautmu tak bisa diduga

hanya ikan ikan yang menemani menyeberang dari selat ke selat hingga muara

mencarimu dalam cahaya remang senjakala

tubuhmu mencair menjadi ular laut tembus cahaya namun tak teraba dan terasa

tak bersenyawa namun terwujud dalam pertanda


ujudkan dalam cahaya terang pintamu dalam bisikan lembut ke arah samudera

lalu berjejalan cahaya laut mengepungmu seolah mustika

namun kau ragu dalam menangkap isyarat sabda

hanya lumpur yang kau reguk dalam dahaga semesta

dan asin garam yang mencekik leher tak terseka


nafasmu tersenggal dan terpana menatap cahaya

hingga tenggelam ke dasar laut kehidupan yang maya

cumi, kuda laut dan sekawanan mutiara hitam menantimu

di ujung kemarau hingga getahmu kerontang dalam rindu

suatu hari kau minta pohon hujan yang benar benar turun dari langit biru

tanpa petir, geludug dan badai yang menderu


tiba tiba air hidupmu meluap ke dalam bilik bilik sanubarimu

yang tak tertampung dalam doa alitmu

ayat ayat lautan berjatuhan di atas terumbu dan perdu kalbu

menyala menjadi rumput laut, cermin laut, topeng laut, gelombang berlalu

menjadi sarang laut, jurang laut, bulu air, patung air, gemerecik bertalu

palung cahaya dan hantu hantu

dalam lukisanMu


Sumenep, 2006

(Kompas, 5 Februari 2006)


TUKANG CUKUR


guting, silet, penjepit rambut dan belati

telah menantimu dalam bising hari

telah kau sempurnakan lagi baling kipas yang mati

berputar salah arah dalam diri


hatimu kini cemas pada pasien antri

tak pernah usai mencari akar sejati

selalu datang saban hari

padahal telah kau pangkas hingga ke hati


dengan doa doa yang selalu kau amini

sebelum pekerjaan dimulai

namun rambut malam begitu lebat dan abadi

tak pernah terpangkas hingga akar birahi


rambut hitam telah memanjang dalam mimpimu

hingga membuatmu repot berjalan ke arah surau

langkah kakimu terhambat dan kau hanya sedeku di pintu

hingga tak kau mengerti ke mana semua ini menuju


yang nampak hanya gemerlap tubuh merayu

seperti kenangan yang tersesat puluhan tahun lalu

kekal dalam balutan kesunyian hidup yang ragu

padahal telah kau silet jatung malam yang menyatu


Sumenep, 2006

(Kompas, 5 Februari 2006)


JOKO TOLE*


aku lahir tanpa ayah dan ibu

dari sepasang kekasih

bermesraan dalam mimpi

begitu sabda raja diserukan kaum brahamana

bisik bisik di luar keraton berkembang

aku anak jadah tak berguna

dilahirkan karena hubungan gelap

mesum dan zina

di gua payudan penuh lenguh dan desah

karena akar kekar pohon purba membucah

menghujam ke liang gelap bumi yang rekah

namun kenyataan dinistakan demi istana

diciptakanlah mitos kebohongan

menyesatkan sejarah


tak peduli kasak kusuk tak berujung

kini aku mencari bayangan

wajah ayah dan ibu

yang tak pernah kulihat

sejak aku mengenal dunia

yang melahirkan dan menciptakanku

aku datangi pasar, terminal, tambak, danau

para nelayan dan para bajingan

tak sorang pun tahu

mereka hanya membisu

pandangan mata mendelik dan ragu

menjauh dari bangkai hidup yang bau


di pertapaan para dukun mengisahkan

aku lahir dari bumi dan berayah langit

di mana aku berdiri

di situ aku dipangku ibu

di mana aku tengadah

di situ aku menghadap ayah

maka aku memandang gelap malam yang gawat

sebagai ayah sepanjang hayat


karena belum puas pada hakikat hidup

dalam kegelapam malam

aku bertanya pada rembulan

di mana ayah ibuku yang sebenar benarnya

dalam mimpi purbani

aku menemukan isyarat ayat

tancapkanlah sepotong kayu ruh

buat kamu berteduh


di bawah pohon gayam aku bersamadi

dengan lelawar merah menemani

bergantungan di rahang rahang pohon

berhari hari tubuhku seperti batu

lumut melumat habis ragaku

dari rasa dendam dan benci

pohon pohon tumbuh dalam darahku

buah buah merekah dan matang dalam jatungku

binatang binatang berumah dalam dagingku

lautan berdeburan dalam pikiranku

angin berhembusan dalam hatiku

bintang bintang gemerlapan dalam jiwaku

meski tanpa ayah dan ibu yang tersujud

rahasia hidup akan terwujud


*Lengenda masyarakat Madura yang konon lahir dari sebuah mimpi Putri Koneng dan Adipoday


Sumenep, 2005

(Kompas, 5 Februari 2006)



JIWA-JIWA MATI


jiwa-jiwa telah mati

dan sia-sia tubuhmu hanyut di sungai

dan hari pun merekah dengan seribu serbuk kabut

menyebarkan dingin pagi

dan udara yang bisu serta kebiruan


jiwa-jiwa telah mati

dan kehidupan telah sirna

yang hidup adalah mayat-mayat

yang dihidupi api dendam

yang membakar segala yang ada


jiwa-jiwa telah mati

dan jiwa suci terkapar di kubur

dan purnama padam di kegelapan malam

dan mayat-mayat menyalakan obor kemenangan

kemenangan dari jiwa-jiwa yang mati

1999


Sumber Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001, Kompas Juni 2001


DI BUKIT ITU


di bukit itu

gelap selalu datang

dan tanah-tanah membelah diri

mayat-mayat hidup dalam mati


bergembira

membayang dari dahan kedahan

berderai tawanya tapi tertekan

seperti kesedihan yang tersimpan


aku lihat wajahnya yang hitam

dan sekelebat lubang-lubang menganga

tembus dari tubuhnya

begitu sempurna dan ngilu


di tapal batas bukit itu

sekelompok truk melintas dalam jalur hitam

menuju puncak bukit menurunkan muatan

mayat-mayat yang hidup dan mati


ada suara adzan di surau

mengiringi truk-truk melintas pulang

ada suara dari dalam

tentang sopir yang kehilangan kepalanya


dan di balik bukit

mayat-mayat berdzikir

di dekat jenazah kawannya yang datang

berdoa tentang kemanusiaan manusia yang hilang


1999

Sumber Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001, Kompas Juni 2001

Tidak ada komentar: