Minggu, 29 Agustus 2010

S Yoga Baca Puisi di FSS (Festival Seni Surabaya) 2007








Pusaran Lima Penyair

MANTERAKU terbang bersama malam bernafsu. Adakah yang tak akan goyah karena goda dan nafsu? Telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu.

Sepenggal puisi bernada guna-guna itu meluncur dari bibir S. Yoga di Gedung Utama Balai Pemuda tadi malam (13/6). Puisi bertajuk Jaran Goyang tersebut merupakan salah satu di antara beberapa puisi yang dilantunkan lima penyair pada panggung Festival Seni Surabaya (FSS) 2007.

Yoga, penyair asal Sumenep tersebut, tampil bersama empat penyair lain. Yaitu, Zen Hae (Jakarta), Iswadi Pratama (Bandar Lampung), Gunawan Mariyanto (Jogjakarta), dan Sindu Putra (Mataram). Masing-masing membawakan beberapa puisi.

Yoga menampilkan puisi berciri keunikan berbagai daerah yang pernah dia kunjungi. "Dia selalu membawa puisi sepulang dari tempat lain. Puisi yang dia buat memasukkan unsur etnologi. Jadinya seperti dunia lain," kata Project Officer (PO) Sastra Mardiluhung.

Zen Hae menampilkan puisi beraroma imajinasi. Misalnya, yang berjudul Paus Merah Jambu. Dalam karya itu, dia berkisah tentang sang paus hidup dan menyelami kehidupan. Sindu Putra, penyair asal Bali yang bermukim di Mataram, menampilkan puisi dengan tipografi (bait ditulis atau diketik menjadi bentuk-bentuk tertentu).

Malam itu, pertunjukan sastra ditutup Teater Mozaik asal Malang. Mereka membawakan Hubbu, novel pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006. Novel tersebut karya Mashuri, sastrawan asli Lamongan. Berkat kemenangan itu, Mashuri disebut-sebut menyamai fenomena Ayu Utami yang juga mengawali langkah dari sayembara novel DKJ.

"Hubbu menceritakan tentang pemberontakan anak muda terhadap kemajuan zaman. Ceritanya, seorang ahli waris pesantren digadang-gadang sebagai penerus tradisi. Namun, dia berontak dan memilih kuliah di perguruan tinggi kota besar. Akhirnya, dia gagap dengan kultur kehidupan kota," ungkap Mashuri.

Kemarin, panitia FSS 2007 juga mengeluarkan buku Lima Pusaran. Buku itu merupakan kumpulan puisi dari lima penyair yang tampil tadi malam. Editor buku tersebut adalah Nirwan Dewanto, kurator sastra FSS 2007.

Nanti malam (14/6), Guangzhou Art Ensemble hadir menyajikan suguhan terbaik yang ditampilkan seniman terbaik dari Negeri Tiongkok. Kemarin, kelompok yang terdiri atas 24 orang itu mampir ke Jawa Pos bersama panitia FSS 2007. Dalam kunjungan tersebut, mereka tersanjung atas sambutan yang diberikan untuk penampilannya di FSS 2007.

"Kami datang sudah disambut panitia hingga konjen Tiongkok. Kami mengucapkan terima kasih," ujar Cui Ri Sou, vice director of the People’s Government of Guangzhou Municipality. "Misi kami, selain menyebarluaskan budaya Tiongkok, juga ingin mempererat persahabatan Tiongkok-Indonesia," ungkapnya.

Soal penampilan malam nanti, Mr Cui menjanjikan pertunjukan luar biasa. Sebab, hampir semua pemain Guangzhou Art Ensemble adalah pemain terbaik di Negeri Tiongkok. Mulai penyanyi, penari, hingga pemain musik adalah yang terbaik.

Kelompok tersebut akan mengolaborasikan berbagai jenis kesenian. Misalnya, musik, tari, bahkan sedikit akrobatik. Pertunjukan itu memang sebagian besar berupa teater tari. Namun, nuansa yang dibawakan akan berbeda setiap penggalan. Mereka akan memainkan kesenian tersebut menjadi enam sesi. (ode)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 14 Juni 2007

(Dibawah ini adalah 3 buah puisi yang dibacakan dalam acara FSS 2007)


JARAN GOYANG*


mantraku terbang bersama malam bernafsu

adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu

telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu


bunga mawar, kenanga dan kantil

agar engkau selalu terpikat dan kintil

wahai kekasih berelok rupa di singgasana kekal


apakah artinya cahaya wajahmu

bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu

hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu


bila tak kutemukan sukmamu dalam diri

hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai

tak terwujud kesejatian hidup yang abadi


telah lama kugiring agar semua arwah merayumu

yang tak sudi kupinang karena membenciku

kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku


yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu

agar harum tubuh menakjubkan rohmu

hingga hati luluh melihat doa malamku


bunga bunga yang mekar dalam hati

pernah kukhidmati di bening telaga mati

wajahmu menjadi murka tanpa cahaya berseri


ingin kugoyang rindang pohon malam para penyamun

yang memayungi semua kegelapan

agar runtuh dan menciptakan cahaya bulan


kau pulang dengan perasaan cemas dan gamang

karena rindu di rumah ada yang hilang

burung hantu telah menyingkir ke kali kuning


anjing malam tak menyalak tunduk ke semak

melihatku dalam ujud buruk merangkak rangkak

menebar benih rajah kesumat di hati yang berjarak


demi cintaku yang purba dan berkabut

apalah artinya kesesatan sesaat yang pucat

bila kebahagiaan yang akan kujumpa lebih nikmat


apalah artinya kegelapan yang menyekap aurat

bila titik terang yang kuduga mudah kudapat

agar jasadmu dapat kuharap dan kujerat


dengan lidi lanang dari surga

yang besarnya tak seberapa

buat kenangan dan kesenangan selamanya


yang abadi di dalam hati dan tak mungkin luput

telah kupilih buah pinang yang kuning langsat

mengingatkanku pada buah kuldi keramat


dengan mayang muda yang mekar dan merak ati

agar tempatmu bertahta menjadi marak keindahan abadi

karena telah kukirim bunga aneka warna nan suci


namun rajah menyerpih kembali bersama kabut

berduyun duyun mengetok pintu hati yang kusut

agar aku tunduk padamu wahai kabut yang kalut


padahal asap dapur telah kumatikan agar tak lewat

tinggal nyala damar di sentong yang mulai larut

doa doa dan ajimat pun kembali tanpa kalimat


dibawa kabar goyah dan kemaruk

dibawa hasrat bergejolak yang remuk

membuat hati luka dan duka berkecamuk


adakah kebahagiaan datang bila selalu dipaksa

ataukah kebahagiaan datang tanpa diminta

bersabarlah demi rasa kalbu nan murni berlaksa


duhai dzat yang agung yang bertahta di altar

datanglah tanpa diundang pergi tanpa diantar

karena kasihmu lebih tinggi dari kasihku yang samar


Sumenep-Ngawi, 2007

*Mantra untuk memikat kekasih.

Kompas, Minggu, 20 Mei 2007



KEONG


perjalanan hanyalah mencari jejak lambang

lambat sebelum ke arah cahaya terang

sungut pun hanya mampu meraba permukaan

tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening

bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir

namun selalu kembali ke dalam lumpur

biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam

agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak

agar matahari tak menolak ketika kupinang

rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah

burung burung hanya menunjukkan jalan

jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang

namun burung burung hanya dapat terbang di terang

sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh

lewat lorong lorong gelap berlumut

akhirnya hanya kelelawar yang menemani

ia pun hanya memberi baju malam yang kelam

ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya

yang akan terbakar esok hari

kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam

ke dasar lumpur yang terdalam

agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri

kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan

kuminum sebanyak mungkin air keruh

kumuntahkan dalam setiap doa

kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal

agar aku nampak telanjang di hadapanmu


Sumenep, 2006

Kompas, 17 September 2006


ASMARAGAMA


kau adalah rumah

tak terjamah sebelum dosa

seolah gua purba tengah hutan

di antara semak dan ular menjalar

dan gunung kembar yang memancar

hawa panas yang samar


kau berbisik

pada malam berisik

pada hujan gemericik

aku bukan hiasan cawan permata

guna wibawa, kata dan kuasa


di bawah bulan purnama

di pagedongan yang dingin

kau tancapkan keris yang pertama

pada sebatang pisang di hatimu

yang sunyi tak tersentuh

merangsek

airnya mengalir

pada kalbu yang kering

agar benih dapat ditanam


pergilah api panas kesesatan

datanglah air hujan ketabahan

kuterima sebagai berkah di bumi

malam ini hanya ada kera dalam diri

keluarlah dari istana ruh yang suci

bukan tempatmu bertahta


keluarlah air hidup dari penderitaan

hiduplah dalam air perjalanan lambang

telah kusiapkan kolam dalam bagai jiwa yang tenang

ditumbuhi lumut dan gangang masa lalu

akarnya menjerat dan memeluk kesunyian

tempat terbaik untuk samadi

agar nurani tetap pada tujuan


janganlah menang sendiri

pada rasa di kalbu sebelum mati

kecuali raja diraja bertahta cahaya

di singasana kebenaran dan keabadian

kuusap kau merintih dan doa terlepas

kutindih kau meronta dan jiwa lepas tak terkendali

minta darah segar sepanjang hayat

agar rasa hidup tak tawar lagi


malam ini kau welas asih padaku

merayu dan berjanji akan merawat rasa sakit itu

serupa dan sewarna, lahir dan batin

agar benih yang kau pilih sebelum penyesalan

tidak salah asal dan tujuan

agar semua jasad ini sampai padamu


telah kusiapkan dalam bokor, akar kakas

mrica sunti, cabe wungkul, garam lanang

yang telah kutumbuk di dalam hati

demi sang kamajaya dan dewi ratih

yang semayam di lingga dan yoni


besar dan panjang dalam doa

keras dan hangat dalam ihktiar

hangat yang menyaran setiap waktu

empuk yang menyerah pada cahaya

kau pilihkan tempat istirah untukku

agar mencapai kebenaran yang agung

sebelum sampai batas yang membekas

batas yang tak pernah kau tahu

kapan kereta kencana menjemput


Sumenep, 2006

(Kompas, 25 Juni 2006)




Tidak ada komentar: