Rabu, 21 Januari 2009

Cerpen Kenangan


Sumber Jurnal Cerpen Indonesia Nomor 2, Juni 2002
KENANGAN
Cerpen : S. Yoga
I
Aku benar-benar bahagia hidup di kampung. Aku ingat betul bagaimana bentuk kampung, seluruh kampung seperti barak-barak yang dibangun kaum gelandangan, agak kumuh, tak teratur, dengan bangkai-bangkai perahu di samping rumah, jala membentang di pelataran, seolah kampung kami diselimuti labirin-labirin putih. Sebuah kepompong membungkus kampung. Semua rumah membelakangi laut dan menghadap matahari terbit, setiap pagi seakan ada fajar baru yang menyongsong kehidupan. Rumah-rumah dibangun dari gedek -anyaman bambu, kayu jati, tanah liat, kapur, atau semen merah, dengan atap dahan-dahan kelapa, rumbia, ijuk, hanya sedikit yang mengunakan genting. Semua nampak panas dan menjengkelkan, meski di luar nampak semilir dihembus angin laut. Angin hanya terbang membawa debu, pasir, aroma amis ikan di kerajang, bau busuk bangkai ikan yang terbuang, butiran lembut garam menyelimuti tubuh, terasa pliket dan asin. Hanya pohon-pohon mangga, kepuh, kelapa, kaktus dan siwalan yang tumbuh. Di mana-mana nampak bentangan-bentangan jala, nampan besar dipenuhi ikan tongkol, layur, pe, dorang, tuna, pindang, sardin, bau tai terbakar untuk mengasap ikan, perahu-perahu di pinggir pantai bergoyangan seperti nasib kami, disapu ombak, naik turun berulang kali tak bosan-bosan. Juga, bau arus keringkat orang-orang menyebar di segenap penjuru. Kulit kami hitam legam-lengas, berminyak, rahang menonjol, mata cekung, badan kekar, rambut ikal, dan bertelapak kaki lebar bagai manusia purba.
Jalan menuju kampung masih berpasir dan berkapur, jalan berkelok tajam sebelum Bukit Matahari adalah tanda memasuki wilayah kampung. Begitu memasuki kampung, anjing-anjing mulai menyambut dengan gonggongan, badannya kurus kering, matanya tajam mengancam lawan, giginya siap membetot daging mentah yang akan dikunyah dalam sekejab. Karena banyaknya anjing seringkali kampung kami juga disebut kampung anjing. Anjing-anjing kami adalah anjing penjaga-anjing penjaga yang baik dan berbudi luhur, hingga kampung aman dari segala maling yang datang dari luar. Namun kalau ada maling yang datang dari dalam dan memanfaatkan kesempatan, tak ada yang bisa menjamin pelakunya dapat tertangkap, maling itu hapal dan lihai di daerah sendiri yang begitu ia kenal dan akrabi saban hari. Di gerbang masuk nampak bangunan gapura menjulang berornamen buaya seolah berhala dari masa lalu, entah kenapa buaya menjadi simbol kampung. Padahal di daerah kami tidak ada buaya. Mungkin diambil dari dongeng nenek moyang yang berkembang, dipercaya orang-orang kampung berasal dari buaya. Dulu hamparan tanah kami yang membentang dari semenanjung Perak Laut adalah rawa-rawa yang banyak dihuni para buaya, ikan suro dan burung cucak rawa. Pada suatu hari ada seorang gadis cantik sedang mandi di tepi rawa, sepak terjang gadis yang sedang mandi terlihat jelas oleh seorang perjaka yang sedang berburu buaya, dengan perlahan dan pasti sang perjaka mulai mendekati gadis yang sedang mandi, sampannya ia kayuh perlahan sekali sehingga air rawa tidak beriak dan angin enggan berbisik. Sejarak sepuluh kayuh dayung, gadis yang sedang mandi tersadar dari incaran mata jalang perjaka tampan, dan menjerit-melolong minta tolong, saat itu juga muncul buaya putih yang menghadang gelak langkah sampan sang perjaka, terjadilah perkelahaian hebat, karena buaya putih bukan buaya sembarangan dan sang perjaka juga bukan perjaka sembarangan, perkelahian memakan waktu tujuh hari tujuh malam, tak seorang pun yang memenangkan, bahkan ketika sang perjaka telah dibantu oleh sabahat lamanya, seorang manusia yang menjelma menjadi ikan suro, maka ketika sang perjaka istirahat, ikan suro menggantikan kedudukan sang perjaka melawan buaya putih, perkelahian tak seimbang karena tenaga buaya putih terus terkuras sedang ikan suro dan sang perjaka saling bergantian menyerang, sehingga terdesaklah buaya putih ke arah sungai di semenanjung Galuh, perkelahaian terus berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, antara ikan suro dan buaya putih, -sehingga muncul pendapat dari para ahli mitologi bahwa salah satu takdir kami adalah saling bertikai dan saling membunuh hingga keturunan kami musnah, sedang sang perjaka karena melihat musuhnya tidak lagi melindungi gadis cantik maka gadis cantik itu diterkamnya, hingga beberapa bulan kemudian lahirlah jabang bayi, dan tahun bertambah tahun gadis cantik itu semakin banyak melahirkan anak, maka keturunan dari keturunan dari keturunan dari keturunan mereka adalah para sesepuh kampung kami, begitu cerita kuno itu, namun aku merasa yang buaya, tak lain dan tak bukan adalah sang perjaka, jadi sangat masuk akal monumen buaya itu didirikan dan bukan seekor anjing. Di pinggir pantai ada mercu suar yang dibangun penduduk untuk sinyal kapal dan perahu yang akan melintas di wilayah perairan. Dan ditengah kampung dibangun pilar menjulang untuk dipasang jam dinding maha besar -konon jam ini didatangkan langsung dari Swiss oleh Gubernur Distrik Kota Raja, sebagai penunjuk waktu. Waktu memang akhirnya menjadi bukti bahwa segala yang hidup di dunia terbatasi, fana dan sebentar. Mungkin kalau waktu tak pernah ada dunia akan menjadi surga dan manusia akan bahagia.
Setiap senja datang dan matahari membakar lautan di ufuk barat, seperti mata iblis yang dipercaya penduduk sedang berangkat tidur, tak seorang pun nelayan berani berlayar; para nelayan akan segera pulang atau menghentikan menangkap ikan. Anak-anak berlarian di pinggir pantai menyaksikan mata iblis mengedip sambil melarungkan sesaji: kembang mawar, kenanga, kamboja, daun siwalan, tuak, ikan busuk, kemenyan -begitu yang kami percaya dalam imajinasi kanak-kanak, kami persembahkan buat iblis laut agar segera terlelap tidur tidak murka dan membawa malapetaka. Di saat itu para orangtua hanya duduk-duduk diberanda memandang kosong seakan ada yang hilang terbawa senja, mungkin masa lalu yang mereka sesali, wajahnya bersedih seolah tak mau beranjak tua yang sebentar lagi akan mati. Sungguh kasihan. Sambil sesekali tangan kanannya menuangkan tuak ke gelas bambu, di mana tuak adalah kebanggaan minuman kami, tak ada yang lebih terkenal dari arak tuak buatan kampung kami, tuak dari mancung pohon siwalan dideres hingga mengeluarkan air, diendapkan dan disimpan berminggu-minggu di dalam tanah, uapnya beralkohol tinggi baunya sedap dan tidak lekas bacin.
Kampung kami memang sangat terasing dari dunia luar meski letak kampung berada di pinggir laut, tepatnya di sebuah semenanjung. Umumnya kampung-kampung di pinggir laut yang telah banyak mengalami perjumpaan dengan orang lain yang datang dan pergi, sebagaimana biasanya kampung nelayan terbuka dan bersahabat, namun kampungku justru sebaliknya tertutup rapat seperti perempuan pinangan, hingga orang-orang dengan gampang bertindak kasar bila sedikit saja mendengar kasak-kusuk yang merugikan mereka, tindakan brutal dan kejam saat itu juga akan terlaksana. Pernah suatu kali ayah melabrak Tuan Cuak Kuak yang wajahnya mirip luak dikabarkan menjahili ibu ketika ibu berkunjung ketempatnya. Waktu itu ibu ingin pinjam panci, piring, sendok dan garpu untuk masak dan makan malam, karena tiba-tiba entah hilang atau dicuri orang, panci, piring, sendok dan garpu di rumah lenyap semua seolah menguap. Oh, sungguh kejadian yang menakjubkan. Suatu ketika pernah terjadi sebuah rumah tiba-tiba muncul di kerumunan semak belukar dengan seluruh isi dan perabotnya. Tapi seminggu kemudian rumah itu lenyap pula tak berbekas. Kata orang rumah itu rumah hantu. Apa mungkin saat itu ibu sempat masuk ke rumah hantu dan mengambil panci, piring, sendok dan garpu, yang akhirnya lenyap pula. Waktu aku tanyakan pada ayah, apa benar barang-barang itu milik para hantu, karena suatu ketika aku lihat, panci, piring, sendok dan garpu saat malam hari terbang melayang-layang di kamar makan, gemerincing sendiri seakan memanggil tuan-tuannya agar segera makan malam, hidangan telah siap sedia. Ayah hanya melotot sambil menarik nafas berat, akhirnya aku tak berani menanyakan hal itu lagi, apalagi sama ibu. Menurut ibu saat akan meminjam peralatan, Tuan Cuak Kuak tinggal sendirian di rumah, rumah sepi, merayu ibu di dapur, mencoba meraba paksa payudara ibu, meremas-rempon dengan nafsu gila yang meledak, hendak melepas seluruh baju ibu seolah menguliti pisang dan ingin menelannya bulat-bulat. Ibu memberontak-gertak dan menendang kontol Tuan Cuak Kuak. Lari keluar. Sampai di rumah ibu menangis sambil menunjukkan baju robek di dekat pusar. Ayah gusar dan marah, keluar, menenteng parang, membuka baju, ototnya saling berpacu ingin meledak, berderit-derit seperti gelembung air mendidih. Sewaktu dicari di dalam rumah Tuan Cuak Kuak tidak ada, ditemukan sedang berak di kakus belakang, dua puluh langkah dari dapur. Tuan Cuak Kuak cuek saja atas permintaan ayah agar cepat keluar. Ia berak. Dengan tenang ayah mendekati kakus, dari belakang mengayunkan parang ke leher Tuan Cuak Kuak yang sedang asyik jongkok. Tuan Cuak Kuak terjerembab ke dalam liang kakus dan tak bangun lagi untuk selamanya. Selamat tinggal. Mayatnya bergelepotan tai, seminggu dirubung belatung, kutis dan kalajengking. Akhirnya dikubur di kakus karena pihak keluarga tak mau mengambil, bahkan untuk melihat pun tak berani, takut terkena imbas, mereka tahu sepak terjang si pembunuh. Ayah tak diberi sangsi apa pun, ayah kepala kampung, punya kuasa, wilayah dan aturan. Orang kampung percaya, ayah saat itu sedang mempertahkan martabat keluarga, harga diri, yang akan mempengarhui kelangsungan hidup selanjutnya. Kami percaya siapa yang makin kuat merekalah yang akan menang dan bertahan, yang lemah lebih baik disingkirkan, tak ada tempat bagi mereka, karena tak mampu mengarungi kehidupan, karena sesudahnya hidup akan lebih berat dan keras lagi, hanya akan membebani keluarga, dan akhirnya orang kampung juga yang harus memikirkan, lebih baik tetap menegakkan hukum rimba. Siapa kalah tamat dan lewat.
Suatu hari, kami bertiga: aku, Roh Cicem, dan kakakku, suatu hari pernah memburu kura-kura di tepi pantai. Waktu itu gerimis datang perlahan, kami membawa tombak pohon ara. Kami telah berjanji banyak-banyakan membunuh kura-kura. Kami berlarian kecil sambil hujan-hujanan, menulusri pematang sawah yang kilatan-kilatan petir saling menghujam bumi di kaki langit sebelah selatan dan terlihat gunung-gunung yang menyala terang terkena kilatan petir. Dan sesekali kami menjumputi kepiting gembur di pinggir tanggul sawah yang kulitnya hendak berganti sehingga seluruh tubuhnya lunak-muda dan enak, segera setelah kami bersihkan kami makan perlahan dengan terlebih dahulu membuang kaki-kakinya, sebuah makanan enak yang sudah tersedia di alam, sering kali pula ikan-ikan sawah mentah pun kami lahap demi kesehatan dan mukjijat yang tak terkira. Kami terus berlari menelusuri rawa-rawa dan sampailah pada pantai terakhir yang ada dihadapan. Kami berjalan perlahan ketika hendak memasuki sarang kura-kura. Sampai di sarang kura-kura, hari telah menjelang sore. Suasana remang-remang menyelimuti pesisir. Kami perlahan memasuki hutan dekat pantai. Di situlah kura-kura berada, berserakan di bawah pohon-pohon bakau yang berada di daratan, pohon-pohon kepuh, beringin, dan di bawah rumpun bambu. Tiba-tiba kakiku menginjak binatang sebesar kucing yang bersisik ular dan dengan kecepatan kilat menggulung kedua kakiku sehingga aku terjatuh berguling masuk ke semak belukar, dengan kecepatan kilat pula mengingat datangnya marabahaya segera aku keluarkan pisau yang terselip di dalam celana dalam, bintang itu segera aku hujani pisau berkali-kali sehingga cengkeraman kuatnya terlepas dengan mengeluarkan simbahan darah, rupanya setelah aku perhatikan dengan seksama binatang itu tidak lain dan tidak bukan adalah trenggiling. Kami masuki medan perburuan dengan kehati-hatian penuh. Karena malam segera datang, kami semakin tertantang, bagaimana harus membunuhi kura-kura dalam kegelapan. Dengan melawan malam gelap gulita dan bulan entah sembunyi di mana, yang bisa kami lakukan adalah jurus membabi buta menombaki kura-kura yang berseliweran di sekitar kaki. Hanya mengandalkan insting berburu dan membunuh saja yang terus kami asah. Dengan ketepatan yang luar bisa satu persatu kura-kura yang merayap perlahan dekat kaki kami terhujani tombak tajam. Ketika tak ada getaran kura-kura berjalan segera kami rebahkan telinga ke tanah maka terdengarlah gerak langkah kura-kura yang mendekat maupun menjauh. Kami lalu bangkit dan menuju sasaran masing-masing. Betapa bahagianya kami waktu itu. Pulang kami menyeret berpuluh kura-kura yang kami ikat memanjang ke belakang, hingga nampak kura-kura masih hidup dan berjalan berbaris di belakang kami seperti deretan gerbong kereta api hitam meliuk-liku di sepanjang rel kereta. Karena gelap malam, Roh mengalami luka tombak di lambung. Entah tombak siapa yang menghujam. Sebuah kecelakaan yang tak disengaja. Dan hal ini sudah biasa bagi hidup kami. Hal itu pun tak pernah menyurutkan kebahagiaan kami seolah kecelakaan tak pernah terjadi, Roh juga tak mengalami luka berarti. Lambungnya hanya berlubang sedalam jari telunjuk.
Kisah lain yang membuat kami bertiga bagai tiga sekawan di masa lalu, adalah berlayar dengan rakit berhari-hari. Rakit kami susun dari batang-batang bambu yang kami tebangi dari ladang kakek Roh yang terpencil di ujung kampung. Seluruh rencana telah kami susun dengan matang. Kami berlayar di pagi hari. Sengaja pula tidak membawa bekal makanan. Kami sudah sepakat mencari makan dengan cara memancing. Berhari-hari kami terkatung-katung di tengah samudra luas. Kedinginan. Kepanasan. Kami makan ikan mentah dan minum air asin yang terasa akan mencekik pekik leher. Di tengah samudra luas kami merasa terpencil. Di siang hari aku lihat kedalaman laut sangat jauh dan sunyi. Di malam hari kami memandang bintang di langit, begitu tinggi dan tak mungkin teraih. Begitu luas jagad raya. Tubuhku berdesir memikirkan semua itu. Pada akhirnya kami tidak tahu sendiri kenapa tiba-tiba pelayaran kami berakhir juga di kampung halaman. Tepatnya seminggu setelah kami berlayar. Padahal kami merasa tak pernah membalikkan arah kemudi untuk kembali. Tiba-tiba seluruh keluarga sudah menyambut di tepi pantai. Apakah artinya semua ini. Kami benar-benar tidak tahu, seolah dalam mimpi saja. Apakah pepatah lama: sejauh-jauh bangau terbang akhirnya kekubangan juga. Dan apakah kampung kami adalah kubangan hidup yang paling kotor di dunia? Yang membuat kami dalam silang sengkarut kehidupan yang tak beraturan dan tak pasti. Seolah nyawa tak berarti dan anak-anak jadah terus lahir dari perut perempuan-perempuan sundal yang kelaminnya dijangkiti penyakit menahun, yang tak pernah cebok sehabis berak di tengah ladang. Entahlah. Namun kami selalu percaya akan adanya keajaiban dan kekuatan yang tak terpahami dari kampung kami. Kami percaya kampung kamilah yang menyedot kami kembali. Seolah pusat pusaran hidup ada di tanah kami. Sebuah tanah harapan. Tak heran begitu fanatiknya orang-orang di daerah kami akan kampung halaman. Bagaimanapun caranya tanah kelahiran harus dibela hingga mati, hingga tumpah darah penghabisan meski dengan cara yang paling naïf sekali pun.
Aku masih ingat pula satu hal yang paling mengasyikan. Sebuah perbuatan konyol dan bengal, pernah aku lakukan ketika usiaku sepuluh tahun. Bagaimana tidak, sebuah tindakan sangat berani telah aku lakukan sendiri. Waktu itu ayah sehari penuh telah bekerja menjemur ikan hasil tangkapan, ibu mengasap ikan-ikan agar awet, aku hanya bermain-main dengan camar, dan gagak yang melayap tenang di perairan mencari mangsa. Entah kenapa gagak juga ikut-ikutan berkeliaran di pinggir pantai, apa sudah tidak ada bangkai lagi di daratan. Sejak itu pula aku begitu jatuh cinta pada gagak hitam-kelam berparuh kelam yang begitu agung dan mengagumkan. Betapa jinak ia padaku. Kami berkejaran di tepi pantai setiap senja datang. Kami berlarian sambil saling menggoda. Sering gagak hitam tiba-tiba menyerang dari belakang, dengan sigap aku menghindar dengan jalan merebahkan diri di atas pasir, bangkit, lalu aku lempar gagak yang terbang merendah dengan gumpalan pasir yang segera berhamburan tertiup angin yang datang dari arah laut dengan hembusan kecang dan menjadi butiran-butiran pasir kembali. Dari pasir kembali ke pasir. Dari debu kembali ke debu. Sedang angin pun tak bisa menjaring. Matahari juga hanya bisa menatap dengan mata merah-sipit dari ufuk barat, yang sebentar lagi akan tenggelam dan esok pagi akan terbit lagi. Begitu seluruh kehidupan berulang. Rutinitas yang membosankan. Kesia-siaan yang abadi.
Melihat perbuatanku yang setiap hari hanya bermain-main dengan gagak, rupanya menjadi begitu asing bagi ayah. Suatu senja segera ayah mengambil parang dan mendekat. Aku sedang asyik memberi makan dengan sisa nasi dan bangkai ayam. Ayah makin mendekat dan dengan satu sabetan yang begitu kebat-cepat-tepat, parang menghujam leher burung gagak di sampingku, kepalanya mencelat menancap di atas pasir. Saat itu pula aku tendang pantat ayah. Aku ngamuk membabi buta, tidak terima atas perlakuan keji ayah terhadap sahabat baruku. Hari itu aku benar-benar murka. Dunia seakan kiamat. Ingin aku lari ke surga. Tanpa rasa dengki dan dendam. Malam-malam, aku mengendap-endap mendekati ayah yang tertidur di dipan depan pintu. Dengan kehati-hatian luar biasa, segera aku keluarkan sebuah pisau lipat yang telah terasah begitu tajam. Dengan perlahan namun pasti, segera aku gunduli kepala ayah hingga mengkilap. Sebenarnya pekerjaanku sangat sempurna sekali, seandainya saja tangan ini tidak begitu bernafsu untuk membuktikan bahwa darah bisa mengucur seperti air mancur dari kepala gundul ayah, yang begitu mengiurkan untuk segera dibacok agar darahnya muncrat, dan menampilkan keindahan tersendiri, maka dengan tekanan yang agak sembrono, pisau lipat serta-merta mengaruki, dan melukai beberapa bagian kepala ayah. Tentu saja karena kepedihan yang luar biasa ayah terbangun. Mendapati kepalanya telah gundul, ayah langsung menggampari seluruh tubuhku hingga memar-memar. Dan akhirnya aku dilempar ke luar rumah, semalaman tidak dibukakan pintu, terpaksa tidur di gudang pengasapan ikan, asin, gatal, apak dan baunya sangat memusingkan. Tapi aku bahagia bisa mencelakai ayah, tega mempermalukan di hadapan nasib hidupnya. Maka mulai hari itu pula, ayah adalah musuh besarku, kebencianku tak akan menguap sebelum melihat ayah terkubur di dalam tanah.
Satu lagi kejadian yang menarik. Kejadiannya sebenarnya ingin aku lupakan seumur hidup, tapi bila mengingat kakek, bagaimanapun juga aku tak mungkin melepaskan kejadian-kejadian yang menyertai kehidupannya. Memang siapa yang tidak jengkel melihat orang tua yang bisanya cuma minta bantuan dan sama sekali tidak bisa hidup mandiri. Apalagi segala tingkah-laku kakek bukannya malah membuat sebuah keluarga menjadi baik, membantu keluarga, tapi justru membuat kehidupan keluarga menjadi berantakan, kacau, hancur, dan menimbulkan amarah pada diri kita. Dan kakeklah yang berbuat semua itu. Karena kakek selama akhir hidupnya terjebak dalam kenangan masa lalu. Mengalami kepikunan bertumpuk-tumpuk. Setiap hari dia hanya membayangkan hidup di daerah pengunungan, sehingga segala tingkah laku justru berlawanan dengan kehidupan yang seharusnya ia lakukan di kampung nelayan. Siang malam ia pakai jaket tebal. Siang hari seharian di kebun merawat buah apel. Padahal bukan buah apel yang ditanam namun buah cerme. Tapi kakek tetap bersikeras bahwa itu buah apel. "Suatu hari buahnya akan besar-besar dan kamu akan terheran-heran," begitu kata kakek suatu pagi. Kakek tak pernah putus asa, setiap hari ia selalu berharap dan menanti kapan buah itu menjadi besar. Sebuah tindakan yang tak berguna dan buang-buang waktu. Betapa bebal ia kalau aku pikir-pikir. Belum lagi, setiap sehabis makan, ia selalu minta makan lagi, katanya, belum diberi makan dan teriak-teriak minta disuapi.
Tengah malam aku mendengar suara gemericik air dari kamar mandi dengan diselingi dehem-dehem dan nyanyian asing yang tak pernah aku dengar, aku tahu pasti kakek sedang mandi. Aku lekas beranjak dari tidur dan mengintip kakek mandi, ia masih membersihkan badan dengan handuk yang tersedia di kamar mandi, namun aku lihat batal guling yang mestinya ada di kamar kakek kini ada di bak mandi. Aku bergegas semunyi ke balik almari tengah tempat barang-barang pecah belah disimpan, kakek segera keluar dengan bertelanjang, semua kulit telah keriput, berjalan ke keranjang tempat pakaian kotor, waktu itu ibu dan ayah belum pulang dari menghadiri perkawinan anak sahabatnya yang ada di balik bukit, sedang kakak masih keluyuran, dengan kepikunan yang abadi kakek memakai celana dalam milik ibu berwana merah jambu yang belum dicuci, sebelumnya sempat kakek kenakan di kepala sebagai penutup, seolah ia seorang koki ahli masak dan menari-nari di depan cermin, dengan enteng pula ia mencomot rok dan baju ibu yang semalam telah dipakai, warnanya putih kotak-kotak hitam seperti medan permainan catur, kakek terus bernyanyi dan nampak begitu bahagia malam itu. Aku tertawa tertahan dan segera kembali masuk kamar sebelum ayah-ibu pulang.
Aku tahu sesudah itu di tengah malam kakek akan berangkat kerja, padahal hanya duduk-duduk di teras, seolah ruang kerja. Kakek akan selalu duduk di kusri goyang yang ada di pojok teras, lalu dengan geram, gaya otoriter memerintah bawahan, supaya mengambilkan beberapa arsip yang harus ia tanda tangani. Tak seorang pun yang berani duduk di kursi goyang kakek, karena kakek akan marah tidak kepalang dan menghancurkan seisi rumah bahkan pernah kakek hampir membakar rumah bila saja ayah tidak cepat menangkap tangan kakek yang memegang kain yang sudah terbakar dan hendak dilemparkan ke atas genting. Maka kursi goyang kakek sangat keramat tak seorang pun diperbolehkan mendekati apalagi menduduki. Arsip-arsip yang diperintahkan kakek, ibulah yang selalu menjadi kacung, ibulah yang mondar-mandir melayani, seolah sekertarisnya. Tubuh ibu menjadi lebih tua dari usianya, kulit mulai berkeriput, tangan halusnya menjadi amplas yang bisa menggores wajahku, namun wajah ibu masih menampakkan kecantikan, hal ini bisa dilihat dari garis-garis raut mukanya, dan raut wajah ibu tak beda jauh dari wajah ayah. Mungkin benar juga kata orang bahwa bila ada orang yang berpacaran dan memiliki wajah hampir sama, sudah bisa dipastikan bahwa mereka memang sudah dijodohkan sejak di dalam rahim. Kelakuan kakek yang suka aneh-aneh, jelas menunjukkan ia terkena sebuah sidrom masa lalu akan kekuasaan dan tak mungkin ia hapus karena di situlah ia mendapatkan puncak kejayaan. Padahal dulu kakek hanyalah seorang kepala kampung dan bekas prajurit rendahan.
Suatu saat ketika kami sedang makam malam, kami berenam duduk melingkari meja, tiba-tiba kakek menghampiri, menanyakan perempuan yang duduk di ujung meja.
“Ah, kamu tahu siapa yang duduk di ujung meja, dengan baju merah dengan garis-garis putih yang direnda. Betapa cantik ia. Siapa namanya. Tolong sampaikan samputangan ini untuknya. Salam hangat dariku. Dan jangan lupa tanyakan di mana rumahnya. Bolehkah malam minggu aku datang. Tolong ke sana anak ganteng nanti aku belikan gula-gula paling manis.”
Aku pun ke sana menghampiri gadis pujaan kakek. Seisi rumah karena tahu keadaan kakek selalu mengikuti saja apa keinginan kakek. Belum sempat aku medekati kursi nenek, tiba-tiba nenek berdiri dan sangat marah.
“Hentikan sandiwara ini. Tua bangka tak tahu diri. Ngaca. Nyebut. Sebentar lagi masuk liang kubur.”
“Oh , maafkan nona, memang itu semua salahku. Tapi sesungguhnya aku telah jantuh cinta kepadamu, sejak pandangan peertama,” begitu rayu kakek.
“Terkutuk kau kakek tua. Ayo kembali makan. Atau makan malammu akan bersama anjing kudisan di luar sana!” bentak nenek sambil menyuruhku memapah kakek kembali ke kursi.
Suatu kali ketika kakek teringat masa muda saat menjadi prajurit, memang kakek dulu pernah jadi parjurit namun hanya lima tahun, dipecat dengan tidak hormat karena berbaku tembak dengan teman sejawat, ketika mabuk di kedai kopi sehabis upacara bendera. Malam itu tak ada yang bisa tidur. Sejak sore kakek sudah berseragam selempang senjata, untuk itu di rumah ada satu stel pakaian seragam prajurit, seperangkat mainan perang-perangan untuk persiapan bila kakek kumat. Kakek memberi hormat pada siapa pun yang lewat di ruang tamu. Dan bernyanyi sendiri sambil menghentak-hentakkan kaki di lantai seperti sedang baris-berbaris. Diselingi dengan teriakan angkat senjata, tembak, dan tiarap. Ayah, ibu, nenek, kakak, dan aku tak mampu membuat kakek menghentikan kegilaan. Terpaksa kami tidur semua dan membiarkan kakek berbuat sesuka hati di ruang tamu. Ketika pukul duabelas malam kakek berteriak-teriak sambil menggedor-gedor kamar, meminta kami segera bangun dan menyiapkan senjata, karena pasukan akan segera berangkat ke medan laga. Siapa yang belum keluar, pintu kamar akan terus digedor-gedor dan dimaki-maki. Saat itu pula ayah marah dan membawa kakek ke dalam kamar mandi, menyiram dan memandikan. Karena kedinginan kakek mulai meluruhkan perilaku aneh dan sebentar kemudian tertidur di lantai kamar. Seperti mati dalam hidup.
Tingkah laku ibu yang selalu memperhatikan kakek seringkali menjadi malapetakan bagi hubungan ayah dan ibu, ayah merasa hidupnya hanya dibiarkan saja, tidak diurus, maka ayah-ibu diam seribu bahasa tidak saling menyapa tanpa alas an yang jelas dan tidur selalu berpisah, bahkan membuat kopi saja ibu tak mau, dan ayah juga memasak sendiri, sikap saling diam seperti bias berlangsung berbulan-bulan, meski mereka duduk di satu ruang mereka tak mau menyapa maupun saling menatap mata, tanpa sebab yang jelas pula tiba-tiba mereka sudah tidur satu ranjang dan saling bicara, mereka nampak rukun, tanpa sebab yang jelas lagi, mereka akan saling diam dan saling ancam, saling intai, pernah berhari-hari ayah terus memata-matai ibu, saat ibu di kebun belekang ayah mengitip dari jendela, saat ibu keluar rumah, ayah mengikuti dari belakang dengan jarak yang sangat terjaga, meperhatikan tindak tanduk ibu sedetail-detailnya, sehingga seluruh hidup ibu seolah terus dimonitor, dijaga, sehingga tidak berkutik untuk berbuat apa pun, seolah kebebasan sebagai manusia telah terampas, semua memang gara-gara kakek, ayah rupanya sering cemburu atas perilaku ibu terhadap kakek yang sangat istimewa.
Pada suatu hari, ketika ayah sedang mengepaki ikan-ikan yang sudah digantang. Kakek duduk di gudang pengasapan sambil tangannya menunjuk-nunjuk ayah dan mulutnya berteriak-teriak memerintah sana-sini. Waktu itu aku masih ingat benar. Wajah kakek sudah keriput, matanya sangat cekung, sinar matanya kejam dengan bola mata besar, persis sinar mata ayah, giginya ompong, jalannya miring-miring karena kaki kanannya terkena reumatik, rambutnya putih, perutnya buncit, bicaranya keras seperti gelegar geludug. Dan ayah masih sangat muda, hitam, hidung besar agak merah, bulu rambut di sekujur tubuh sangat lebat mirip kera, dengan tangan kasar dan besar. Kakek terus-terusan bicara sambil marah-marah, dan betapa ketusnya kakek memerintah ayah. Katanya semua arsip-arsipnya harus segera dibawa ke meja kakek. Kalau tidak semua pegawai akan ia pecat semua. Kakek jelas sedang mengenang saat-saat ia sebagai kepala kampung. Waktu itu tengah hari, matahari begitu terik memancarkan sinar. Angin berhenti berhembus, memberi kesempatan kakek mengeluarkan semua sumpah serapah. Sumpah serapah dari orang tua yang kelewat pikun. Maka kakek dengan penuh semangat semakin mencaci maki ayah yang bekerja semakin salah tingkah. Pada saat tengah hari dan matahari memancarkan panasnya yang paling kejam, ayah bangkit lalu mencuci tangan kotor di jambang bening hingga air menjadi keruh. Aku melihat dengan pasti, karena aku duduk tidak begitu jauh dari tempat duduk kakek. Perlahan ayah mendekati kakek, mukanya tersenyum ramah. Meminta kakek segera turun dari kursi goyang yang selalu dibawa ke mana pun ia pergi. Kakek menurut, tapi mulutnya terus nerocos membentak-bentak dengan kata-kata kotor, "Anjing semua! Diancuk kalian! Babi ngepet! Bangsat! Dasar keluarga keparat!" Di dekat bara api pengasapan, ayah menghentikan kakek, lalu menelikung tangannya. Dengan sekejab pula yah menyeret kakek ke bawah pohon mangga, kedua kaki kakek lalu dipasung. Aku tidak ingat untuk berapa hari kaki kakek harus dipasung. Aku hanya ingat ketika kaki kakek dilepas, bicaranya sudah mendingan, tidak ngaltur lagi.
Juga menurut ibu, pertama kali penyakit kakek kambuh, kakek masih berusia 20 tahun. Waktu itu sepulang dari hutan kesadaran kakek hilang (kesurupan), ia merasa menjadi seekor anjing dan makan daging mentah. Melolong-lolong tiap malam. Kata orang pintar ia kemasukan roh jahat yang ingin menguasai jiwanya. Karena orang-orang pintar tak bisa mengobati, jalan satu-satunya ia harus dipasung. Maka ia dipasung berhari-hari dibawah pohon beringin, tanpa diberi makan apa pun. Hal itu dimaksudkan untuk mengusir kebiasaan roh jahat yang suka rakus makan apa saja. Berhari-hari kemudian kakek menunjukkan kejinakan. Tidak liar seperti saat pertama kerasukan. Oleh ibunya ia dilepaskan. Saat diberi makan ia menunjukkan kerakusan kembali. Seluruh makanan yang dihidangkan: nasi dua panci, sayur bening satu baskom, tempe goreng satu piring, krupuk udang satu blek, ia lahap hingga tandas. Satu ceret tuak ia gelontorkan ke dalam perut. Lantas ia teriak-teriak lagi, minta makanan yang lebih enak. Ia lari ke dapur. Ia kejar ayam yang sedang mengeram. Telor-telor ayam yang hampir menetas ia sikat langsung. Darah mengalir deras dari mulut. Belum puas. Ia mengejar-ngejar ayam. Sabit yang terselip di dinding ia sambar dengan cepat, ia ayunkan pada ayam yang sedang terbang rendah di hadapannya. Tubuh ayam terbelah. Dengan gegas ia mamah paha ayam dengan rakus. Ibunya menjerit-jerit minta tolong. Tetangga-tetangga datang membawa parang. Merasa terancam kakek nggeblas menjebol jendela. Memanjat pohon kelapa di halaman. Berhari-hari ia tak turun-turun. Bila ada yang mencoba untuk menolong, justru ia siap untuk terjun bebas. Akhirnya tak ada yang bisa membujuk. Ayah-ibunya hanya bisa membangun tumpukan jerami di bawah pohon kelapa. Khawatir anaknya terjun bebas dan tubuhnya hancur di tanah. Kakek sendiri masih dikuasai roh jahat yang membuatnya sangat kuat dan tak pernah merasa sakit. Berhari-hari ia tak makan. Pada suatu malam ibunya mendengar gedebum kelapa jatuh. Tak lain dan tak bukan adalah Kakek yang terjatuh dari pohon kelapa. Anehnya kesadaran sebagai orang waras muncul kembali. Dan tersiarlah keajaiban dan keampuhan kakek, penduduk percaya kakek mewarisi kekuatan luar biasa, dititiskan roh jahat yang pernah menguasai dirinya. Maka semua orang desa hormat, takut, segan, dan ketika kakek mencalonkan menjadi kepala kampung, tanpa kesulitan ia pun memenangkan.
Seingatku, kami bertiga juga pernah dihukum sebulan lamanya tidak diberi makan, hanya minum segelas air laut tiap hari; kami dimasukkan dalam gudang tertutup rapat beratap seng; kaki dan tangan kami diikat dengan rantai. Padahal kesalahan kami yang terakhir hanya sepele. Malam itu, kami berjalan dari rumah Roh hendak mancing di pantai. Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Aku dan Roh membawa oncor, sedang kakakku membawa pancing serta kepis -tempat ikan. Kami berjalan sambil beriangan, bersiul dan bernyanyi. Saat melewati rumah nenek sihir, aku lihat tak ada orang satu pun yang ada di dalam. Sunyi. Dan juga tak ada bunyi. Begitu merasa sunyi perasaanku blingsatan, tak karuan. Karena aku benci sepi maka tanpa ampun kubakar sepi. Aku lemparkan oncor ke atas atap yang terbuat dari rumbia. Api berkobar. Sepi terpanggang. Kami terus ngluyur. Tiba di pantai, kami lemparkan kail. Malam nampak gelap. Namun di kampung terasa terang. Kami lihat perkampungan riuh dan bercahaya. Orang-orang ramai di sekitar rumah nenek sihir. Aku lihat kobaran api terus membumbung ke langit, memecahkan kepekatan malam. Seakan ada cahaya menerangi kampung. Kami terus memancing. Tiba-tiba dari arah kampung berjajar puluhan oncor. Mendekat. Merapat. Mengepung. Menangkap. Kami ditelanjangi. Dipukul. Dikepruk. Kami diam. Digiring berkeliling menelusuri jalan kampung. Di balai kampung kami diinterogasi. Ayah sebagai kepala kampung tak bisa berbuat banyak. Karena penduduk sangat marah. Murka. Bahkan hendak menghajar siapa saja yang berani membela kami.
Ketika kami ditanyai, "Kenapa membakar surau?"
Kami semua bungkam. Mulut kami ditampar-tampar. Merah memar.
Aku bilang, “Karena rumah sepi, pasti dihuni roh jahat, dan aku percaya Tuhan tak akan pernah tinggal di tempat itu. Tak ada yang membakar surau, aku hanya benci nenek sihir. Kenapa kalian malah melindungi tukang santet, sudah sepantasnyalah ia dibakar hidup-hidup.”
“Kamu memang tolol anak durhaka rumah nenek kan berdekatan dengan surau!” bentak lelaki kekar bermata ular.
Mulut kami dihajar lagi, tapi tak terasa sakit. Kami malah tersenyum berpandangan. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya, tak ada yang mau menjawab. Kami bungkam. Serta merta mereka hendak membakar kami hidup-hidup. Tapi ayah mencegah dan mengusulkan agar kami diusir dari kampung.
Setelah dihukum satu bulan, kami diusir dari kampung. Kami bertiga dianggap biang keladi atas kekacuan-kekacuan yang terjadi. Ketika itu usiaku baru 15 tahun. Waktu itu pula tak seorang pun merasa sedih, bahkan orangtua kami merasa bersyukur atas diputuskannya tali ikatan sedarah. Begitu dalam pikiranku, meski aku tahu ayah dan ibu berlinangan air mata ketika melepas kami. Memang ayah-ibu, hanya punya anak kami berdua. Kami pun tak pernah merasa bersedih dan berhutang budi pada orangtua yang telah melahirkan. Kami percaya orangtua kami tidak bersungguh-sungguh ingin melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, begitu dalam hati kecil kami. Mereka hanya iseng saja ketika membuat kami, tanpa pernah merasa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sakral. Bila sedang ngentot mereka tak pernah mengucapkan mantra atau doa; begitu nafsu mereka meledak, istrinya segera diglebakkan di sembarang tempat. Suatu kali saat senja angslup dan kelelawar mulai berterbangan, aku dan kakakku melihat ayah-ibu ngentot di atas keranjang penuh ikan, kami melihat pelir ayah menggelantung bagai telor bebek dicelup dalam gemuk, jembutnya berkibaran bagai buntut celeng hitam pekat. Terlihat leleran pejuh hijau-keputihan mengalir dari turuk ibu ke silit hitamnya. Kontol ayah keluar dengan letih tak berdaya, seperti pohon tumbang. Kelakuan-kelakuan orangtua kami menjadi atraksi mendebarkan bagi batin kami, kami merasa ada surga di balik bokong ibu.

II
Di perjalanan, pikiranku berkecamuk pada Dedes dan keluarganya yang aku tinggalkan begitu saja. Aku bertemu dengan Dedes di jembatan yang menghubungkan Pidienda dengan wilayah Ceruk Hitam, jembatan itu bernama jembatan Merabu Merah, sebuah jembatan bercat merah dan memiliki lengkungan sangat menarik, melenting tinggi seolah bukit yang runcing, di sisi-sisi jembatan dihiasai ornamen-ornamen aneh: wajah kelelawar, burung gagak, harimau, buaya, dan di gapura masuk dihiasi dua patung raksasa berambut terbakar membawa senjata godam dan perisai besi. Waktu itu Dedes mengenakan baju warna-warni bermotif ular. Menurut pengakuannya ia hendak bunuh diri loncat dari jembatan, karena putus asa telah diperkosa sorang serdadu yang tak mau bertanggung jawab. Dan kini ia telah hamil tiga bulan. Aku katakan, tak ada alasannya kalau cuma diperkosa hingga tega bunuh diri. “Itu cara yang paling mudah untuk mati dan tak ada tantangan apa-apa kalau hal itu sebagai ujung kehidupan karena kehidupan masih panjang dan nasib orang bisa berubah secepat membalikkan telapak tangan bila ada kesempatan emas datang.” Aku tidak tahu pasti, kenapa Dedes tiba-tiba tercengang mendengar keteranganku yang sekenanya, dan perkataanku mampu meluruhkan hatinya yang hampir buta. Ia lantas memintaku untuk mengantarkan pulang.
Rumahnya cukup jauh dari jembatan. Setengah hari kami jalan kaki, baru sampai di rumahnya, dekat perbatasan Kota Raja. Rumahnya tidak begitu bagus, tapi cukup rapih, dindingnya terbuat dari kayu jati pilihan, lantainya masih semen kasar. Di halaman tersebar bunga melati, kamboja, mawar, flamboyan, kertas, dan pohon-pohon kersen berjajar menjadi pagar rumah. Dan di pekarangan nampak pohon kinetu, durian, rambutan, salak, diatur rapih. Betapa semaraknya harum bunga yang semerbak mengelayuti sekitar rumah. Aku menduga betapa romantisnya orang-orang yang tinggal di rumah ini. Di rumah hanya ada Dedes beserta ibu dan ayahnya yang sudah sakit bertahun-tahun tak tersembuhkan seperti sebuah penyakit yang diakibatkan dari karma keluarga. Kata ibunya, suaminya sakit karena terserang penyakit aneh yang tidak bisa dideteksi dokter maupun para dukun sakti mana pun. Menurut Dedes, ayahnya sakit karena diguna-gunai orang jahat yang tidak suka akan keberhasilan ayahnya menjadi pedagang tembakau yang sukses. Pada suatu hari, di pelataran rumah, ibunya menemukkan gundukan tanah baru, begitu dibongkar nampak bangkai ayam cemani dan burung hantu yang sudah terbakar. Mulai hari itu, ayahnya sakit hingga kini, seluruh tubuhnya lumpuh total hanya mata cekungnya yang mencoba bertahan dari rasa sakit yang tak terkira dan menampakkan kengerian yang dalam.
Sebenarnya aku tidak ingin tinggal lebih lama lagi seandainya tidak muncul debar-debar di dada dan desiran darah yang begitu mencekam dan menderas seakan ada yang memompa. Saat itu aku duduk di sebongkah batu hitam sebesar badak menunggu Dedes mandi di sungai yang mengalir tenang. Mataku sulit berpaling dari pualam hidup yang berkecibakan di air bening. Ketika senja meremang, aku datangi Dedes, aku memintanya berdiri di hadapanku. Dedes menurut dan hanya menutupi tubuhnya dengan selendang tipis sehingga puting susunya mencuat mencolok mataku yang rakus dan hampir buta. Aku pandangi matanya yang kelabu seperti mata ikan yang tengah terpanggang sinar panas. Tubuhku mendidih seperti bara api yang baru menyala, tak mungkin dapat di padamkan kecuali dengan air dingin. Ketika itu pula aku ingin memadamkan bara api di dalam tubuh, sekelebat itu pula aku lihat sekujur tubuh Dedes masih basah oleh air, maka kudekap dan kutumpahkan seluruh tubuh di atas tubuhku, biar api ini segera padam. Apiku segera padam setelah beberapa detik meluap pada tubuh Dedes yang basah lalu hangat. Kami pulang dengan mata jalang dan kenangan yang merasuk. Tak peduli pada apa yang telah terjadi.
Malamnya aku ikut menemani ibu Dedes menunggui suaminya yang hampir sekarat. Aku tahu nafasnya sudah tak beraturan, instingku mengatakan ia tak akan bertahan hingga fajar. Malam semakin dingin, aku tutupi tubuh ibu Dedes dengan jaket yang aku kenakan, wajahnya begitu haru melihatku berbuat baik padanya. Wajah ibu Dedes memang masih muda, aku tahu persis dari kulit tangannya ketika aku sentuh perlahan. Dedes, mungkin karena kecapaian, tertidur di kursi. Ibu Dedes segera memintaku untuk tidur di kamar sebelah. Aku katakan ingin menemani hingga pagi hari. Suaminya tertidur dengan nafas tersenggal-senggal. Entah kenapa dari sore aku hanya memandangi wajah ibu Dedes, tanpa merasa peduli dengan suaminya. Kembali lagi aku rasakan ada desir aneh merambat di pembulu darah mendesak menuju kepala dan mengetarkan seluruh tubuh, seakan semua organku hidup sendiri-sendiri. Kontolku ngaceng. Renjana menyerang. Terpaksa aku dekap erat tubuh ibu Dedes dengan cengkeraman tak beraturan dan kurum-rum payudaranya yang megah dan kenyal, ia menggelinjang-gelinjang tersenyum nakal dan menunggu perbuatanku selanjutnya. Aku tatap mata beningnya yang menatap begitu dalam ke mataku, seakan sudah begitu lama ia menanti saat-saat seperti ini. Kami rebahan perlahan di lantai, dan sesekali bergulingan dalam badai cakram tangan-kaki tak terkendali hingga lantai basah dan licin penuh kekudusan, tengah malam karena lelah kami teridur hingga pagi. Sebelum mereka bangun aku telah bangun duluan. Aku perhatikan ayah Dedes sudah tak bernafas lagi. Mati. Lantas aku bergegas pergi. Aku tidak ingin merusak perasaan hatinya dan merusak peristiwa yang begitu indah yang telah aku lakukan bersama keluaraga Dedes. Biarlah mereka mengenang kenangan dengan sesuatu yang indah-indah saja, tak perlu ada perpisahan yang akan mengharukan dan menyedihkan hati. Biarlah mereka ketika bangun pagi hari seolah malamnya telah bermipi indah. Biarlah mereka merasa hidup adalah tumpukan mimpi. Sebuah ilusi dari impian kita.

III
Kepergian kami dari kampung akhirnya memaksa kami untuk tinggal di sebuah kota. Kami bertiga bekerja di pabrik. Kota dikelilingi benteng-benteng setinggi tiga tombak, bangunan dari batu bata dan tanah liat, untuk menahan gempuran musuh. Pohon-pohon pinus yang ribuan jumlahnya mengelilingi benteng. Sehingga kota seperti di tengah hutan. Kota dalam hutan. Di tengah-tengah kota berdiri tugu kemerdekaan, begitu orang-orang menyebutnya. Sebuah lingga hitam dan kekar yang maha besar menghujam bumi, sebesar tubuh gajah dewasa. Entah kenapa patung kemerdekaan berupa lingga. Mungkin mengandung arti kekuasaan yang tak terbatas, mutlak dan abadi. Atau justru lambang kehidupan dimulai dan akan dilestarikan. Bukankah awal mula kehidupan adalah tertanamnya kelamin, lingga, -air kehidupan, ke dalam rahim.
Suatu malam aku merasa ingin bersenang-senang. Tanpa memikirkan apa yang harus aku pikirkan. Aku ingin menelusuri kehidupan malam. Sekali-sekali memang hidup perlu mampir sejenak ke pelacuran. Bukan untuk mencari dosa tapi hanya sekedar singgah dan membuktikan adanya kenikmatan surga di dunia. Malam hari aku berjalan di lorong-lorong kota. Sesekali berhenti untuk menulis puisi. Aku suka sekali membuat catatan harian dengan sebuah puisi. Karena kecapaian aku ingin sekali dipijit oleh seorang pelacur yang terampil dan menyenangkan. Aku masuk rumah bordil. Aku minta pelayanan yang paling istimewa. Aku ingin nginap semalam suntuk. Aku pilih kamar bagus. Memang terlihat rumah bordil ini sangat istimewa. Megah dan abadi sebagai lambang lembah hitam. Pasti banyak orang penting yang sesekali dalam hidupnya pernah mampir ke sini. Bau wewangian menyerbak di seluruh ruang. Gadis-gadis memandangku dengan ganjil. Mungkin karena melihat mukaku dipenuhi bopeng-bopeng dan bintik-bintik hitam, terserang cacar ganas yang tak terobati waktu kecil. Waktu itu ibu justru saban pagi mengencingi mukaku, katanya untuk obat cacar. Begitu aku bangun tidur, aku didudukkan di tanah, seweknya segera ia cincingkan, dan ia tarik mukaku ke selangkangan, ia kempit dengan kedua paha. Dunia begitu gelap. Tiba-tiba aku mendengar suara gemerojok. Air bah menerjang mukaku. Begitu asin dan pesing. Di sore hari ibu memandikan aku dengan rendaman daun johar, dicampur air bekas menjerang ayam yang hendak dicabuti bulunya setelah disembelih. Walhasil, kesemuanya justru memperparah cacarku, karena setelah dewasa aku tahu, penyakit cacar tidak boleh terkena air dan angin. Mukaku dan sekujur tubuhku inilah korbannya. Dan kini menjadi ejekan gadis-gadis bordil yang tersenyum pahit-getir tapi nakal dan jahil. Aku masuk kamar di tingkat dua. Aku tiduran di kasur empuk. Betapa nyamannya hidup dalam dunia seperti ini. Aku menanti wanita yang dijanjikan germo pemilik bordil. Aku lepas baju. Berbaring. Terdengar suara ribut di luar. Orang bertengkar tentang harga semalam yang terlalu mahal. Tiba-tiba pintu diketuk. Aku persilakan masuk. Ia masuk dan menutup pintu kembali. Betapa terkejutnya aku ketika aku tengok, rupanya Dedes, gadis yang aku tinggalkan beberapa waktu lalu. Kenapa kini ia memutuskan jadi pelacur. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku persilakan duduk. Dia pun diam. Aku lihat perutnya sudah kempes. Apa dia sudah melahirkan. Apa mungkin…….
“Ya, aku telah menggugurkan kandungan dibantu dukun bayi. Matamu tak usah meyelidik lagi!”
“Maafkan aku.”
“Tak apa. Apa sih yang bisa dipercaya dari laki-laki.”
“Maksudku……”
“Cangkemmu. Diam!”
“Maksudku……”
“Tak apa! Tak apa! Sekarang apa yang harus aku lakukan. Kita selesaikan tugas masing-masing, cepat. Kita terikat kontrak. Tak usah pakai perasaan lagi. Kamu pembelinya dan aku barangnya. Barang sudah siap silahkan lahap.”
“Aku hanya ingin ditemani.”
“Dasar pengecut!”
“Tidak. Benar-benar aku hanya ingin ditemani saja. Tidurlah. Aku ingin menyelesaikan tulisanku dulu.”
Lama aku termenung di hadapan meja yang seolah sedang mengadiliku atas perilakuku terhadap Dedes di masa lalu. Di luar hujan mulai turun. Aku keluarkan pensil dan selembar kertas. Rasanya aku ingin menulis sesuatu yang tak pernah aku bayangkan. Dengan sigap tanganku hendak menarikan pensil hitam di atas sehelai kertas putih yang belum pernah terjamah, namun tanganku hanya berhenti pada kertas kosong, benar-benar kosong perasaanku, mungkin juga jiwaku.
Tengah malam aku tinggalkan Dedes yang masih tertidur pulas. Aku masukkan uang yang menjadi haknya ke dalam saku secara perlahan. Aku merasa tak perlu mengucapkan kata perpisahan sedikit pun. Segalanya telah termaafkan kukira. Dan aku ingin melupakan segala perihal tentang masa lalu. Aku ingin menatap masa depan tanpa menengok ke belakang. Masa lalu adalah racun bagi perjalanan hidup.
Saat fajar tiba aku berjalan meninggalkan kota. Aku lemparkan mata pada datangnya fajar, fajar terakhir yang akan aku lihat di sini. Aku berjalan lamban menelusuri semak-semak, melewati taman jalan setapak bercecabang. Burung-burung berkicau menyambut pagi. Suara jangkrik di kejauhan masih mengerik dan perlahan-lahan hilang tertiup angin. Udara dingin. Butir embun masih berjuntaian di gigir dahan, berkilauan bagai berlian. Pagi masih basah. Sinar mataku meraup buas apa pun keindahan kota untuk terakhir kali. Ada kabut musim kemarau yang menyelimuti jalan-jalan, burung-burung kuntul melintasi perbukitan. Ada pilar-pilar kuil tua, masjid, candi berelief naga-naga, jembatan penuh ornamen kelelawar, puri, air mancur, villa, patung-patung raksasa dengan payung-payung purba, menara menantang langit, gerbang kota berukir para pahlawan yang mati di medan laga. Surga nampak nyata, neraka penuh siksaan, mendetail berlebihan memenuhi dinding-dinding gereja katedral, sebuah lukisan yang disentuh tangan-tangan terampil. Segalanya menjadi berlebihan. Semuanya nampak megah, indah, menjulang, vertikal, lancip, riuh, ramai, menyeruak bagai sulur-sulur akar pohon beringin yang membelit-belit. Sungai-sungai berbinar di tepi kota. Segalanya, ya segalanya bagai gerak alam menuju spiritual tertinggi, melingkar-lingkar, semburat, bercerlangan bagai mutiara tak beraturan, gemerlapan menuju satu titik keabadian yang entah di mana letaknya. Aku terus berjalan. Aku terus melamun. Tak terasa, di belakang, kota telah tertinggal jauh, tersaput kabut tebal. Kesunyian merasuk kalbu. Hampa.
***

Surabaya-Purworejo-Ponorogo
29 Juni 1999 – 10 September 2002

Tidak ada komentar: