Rabu, 21 Januari 2009

Cerpen Dalam Gelap Tanpa Cahaya Bulan dan Bintang


Gb Tamar Saraseh
Sumber Jurnal Cerpen Indonesia Nomor 2, Juni 2002
DALAM GELAP TANPA CAHAYA BULAN DAN BINTANG
Cerpen : S. Yoga

Senja itu, seperti senja-senja yang lain; senja di masa lalu dan mungkin senja di masa depan, temaram merah dengan ufuk-ufuk pancaran langit yang cerah cerlang di sisi atasnya, di sisi bawahnya seperti bara api yang tersulut dari kegelapan bumi, seakan ada tangan-tangan jahat yang menarik dalam gelap. Mengingatkanku akan tungku perapian di dapur nenek, seiring terbayang kaki nenek yang telanjang di dekatkan di perapian, seolah denyut darah tak mau lagi memanasi sekujur tubuh, sehingga perlu penopang dari energi panas yang lain. Tentu karena seorang nenek pasti sudah tua dan perlu penopang untuk hidup. Bara api di senja itu benar-benar mirip mata raksasa yang rakus akan nafsu dunia dan telah malang melintang di dunia angkara murka, dunia yang penuh arak, perempuan jahat memamerkan betis di pinggir jalan, yang puting susunya menyembul dari balik sweter merah, sambil bergincu di setiap waktu, dunia di bawah tanah yang gelap dan lembab, yang jalannya berliku-liku, berserak dan bercecabang, dipenuhi lorong-lorong tanpa cahaya, menuju ke arah barat dunia yang gaib. Dari arah senja nampak kerumunan burung kuntul melambai pulang, berarak melintasi senja ke arah utara, menuju carang di gerumbul pohon bambu tutul, seakan gerombolan gagak yang berkaok-kaok, melintasi cahaya merah, menandakan adanya kematian. Sebentar lagi warna merah temaran akan dikerek diganti kelir gelap oleh tangan-tangan gaib di bawah bumi, atau dari dalam lautan, gelap yang teramat gelap, tanpa lampu dan lilin, sehingga jalan-jalan kampung hanya akan terlihat oleh mata yang berakal sehat dan bermata waras. Gelap akan membentang sepanjang malam, tanpa cahaya bulan dan bintang, langit diselimuti mendung hitam pekat, gelap malam akan memaparkan kisah perjalanan siang yang telah ia tempuh, di mana, ke mana, bagaimana, mengapa, ia bisa bertahan di siang hari yang panas dan gerah, mungkin sembunyi di ketiak bumi. Tentu. Di malam hari dalam gelap tanpa cahaya bulan dan bintang, hanya ditemani dahan-dahan dan batang-batang bergesekan menimbulkan suara derit purbani yang lirih namun memilukan, seolah suara dari jiwa yang kelam muncul dari dasar kematian, dibarengi suara burung hantu yang berkukuk ditiming waktu yang tepat dan mengejutkan, suara jangkerik mengkili telinga, desir ular meraba kulit ari, dan cicak yang menghitung detik menanti hari dan menelusup dalam kesunyian malam.
Seekor kelelawar tiba-tiba menuntun mataku ke arah setangkup benda yang teramat besar dan hitam seperti gundukan tanah atau timbunan sampah di tengah jalan, yang rupanya tidak terlalu besar namun di mataku benda itu rupanya cukup membelalakkan mata dan kuanggap sebuah benda yang besar dan magis hingga akan membawa bencana. Dalam perjalanan sebelumnya jelas-jelas tak ada benda apa pun yang mampu menghalangi mata siapa pun yang berjalan melewati jalan ini. Jalan yang lengang dan lapang. Aku mulai mendekati benda magis, mataku menyelidik dari jarak lima tombak, sebuah keajaiban gelap yang menumpuk di tengah jalan. Pikiranku bekerja perlahan-lahan dan mengendap-endap menyibak sebuah batu yang terbujur kaku dan abadi namun terasa lunak seolah seonggok lempung yang mudah hancur terbujur di bawah cakrawala langit senja. Apa mungkin batu dari langit yang dilempar malaikat yang usil. Atau batu dari jalanan. Siapa yang melempar batu sebesar ini, mungkin orang kuat sehingga serupa batu apa pun mampu ia lempar dan buang. Atau tubuh raksasa yang terbujur di tengah jalan seperti yang dikisahkan nenek dalam dongeng malam, yang kini menjelma di hadapan mata cerlangku dan ingin menampakkan dirinya bahwa raksasa itu benar-benar ada dan nyata di dunia, raksasa yang rakus dan serakah, yang mati di tangan pahlawan rupawan, sebuah pemahaman baru, karena dalam diriku hanya ada cerita bahwa kisah raksasa bisa dijumpai dalam negeri dongeng, namun kenapa nenek di setiap akhir cerinta selalu mengatakan; “maka kamu, bocah bagus, bermata lebar, jangan suka main-main di dekat sungai, nanti dibawa raksasa wewe gombel dengan tangan sebesar batang bambu petung, jari-jari sebesar pisang kepok, payudara panjang dan besar, berayun-ayun hitam kemilau kekanan-kekiri, berkeriput dan bersisik ular, giginya bersiung dan matanya merah menyala, rambut gimbal dan kaki bengkok sebesar kaki gajah yang terserang tumor, dan siap membopongmu ke atas pohon randu alas. Menculik siapa pun yang ia senangi.” Berarti bila nenek mengatakan begitu, maka raksasa itu benar-benar ada. Buktinya banyak orang hilang tak pernah kembali, siapa lagi yang menculik kalau bukan raksasa wewe gombel atau gederuwo yang suka bertindak sewenang-wenang.
Sedikit demi sedikit mata kecilku mulai menemukan titik terang di remang hari akan teka-teki yang sedang kuhadapi, diwarnai cahaya kemerahan yang hampir gelap seluruhnya dan geluduk mulai menguntur dengan kilat menyambar bagai lidah langit yang menjilat tubuh bumi, benda itu menampakkan kekudusan dan kesihiran, sehingga mataku begitu takjub dan menderita karena tak juga mengetahui kebenaran yang nyata dihadapanku, kebenaran yang masih maya dan belum tuntas tergali hingga ke akar-akarnya. Dalam kekhusukan menyelidik, kaki yang bersijingkat perlahan-lahan seperti hendak mencuri sesuatu barang sedangkan jiwanya sebenarnya menolak keras-keras akan perbuatan yang merugikan orang lain, tiba-tiba aku dikejutkan kukuk burung hantu menghentak dari pohon mahoni yang tumbuh menyembul di pinggir jalan, mata hatiku kecut dan mulutku reflek memaki:
“Burung terkutuk! Jatungku hampir copot.”
“Kuk-kuk-kuk-kuk.”
“Diamlah penguasa malam.”
Untuk sementara perjalanan petualangan dalam membuka tabir rahasia akan benda terpuruk menjadi bunyar, dan harus kembali dari titik nol lagi, sehingga pada akhirnya mampu menyusun kronologis dan ujud benda yang sebenarnya. Kikuk mata hatiku segera terobati oleh kejelasan yang sedikit terbuka dari kesamaran maya mata kecilku, sebuah bangkai kerbau terbujur kaku, kakinya menjuntai hitam pekat seolah berminyak. Bukan. Bukan. Bukan bangkai kerbau, namun sesosok lelaki yang terkapar, jelas kontolnya terkulai, dengan luka-luka parah dan melembam di sekujur tubuh. Aku lihat dengan teliti dari jarak satu tombak, mataku berusaha menelanjangi sosok tubuh yang tergeletak, namun aku tak menemukan apa-apa kecuali lelaki yang terluka. Kuberanikan lagi mendekat lebih akrab, hingga kakiku menyentuh, betapa terkejut, ketika menyadari tubuh itu begitu lunak, bukan sesosok tubuh yang biasa kita jumpai, namun sesosok mayat yang terbaring dan hampir membusuk, namun tak ada bau busuk yang menyembul, hanya bau tanah dan bau keringat yang hampir mirip bau minyak menyengat. Tentu bukan mayat yang membusuk, masih bagus keadaannya, hanya tubuhnya jadi lunak dan membengkak. Jelaslah luka-luka yang pernah ia alami tak bisa dikenali lagi dari luka apa ia berasal. Sulit ditebak apakah dari benda tumpul atau dari benda tajam; apa dari selongsong peluru yang merajam, pisau dapur, pisau cukur, sangkur, atau martil dan batu, tak bisa di duga, semuanya membiru dan menampakkan dari kedua jenis benda itu luka lelaki berasal, yang menyatu haru atau tidak dari benda apa pun, namun dari jenis sengatan atau patukan binatang yang berbisa atau dari dalam tubuhnya luka itu berasal, apa mungkin dari racun yang ia teguk, karena juga nampak melepuh, mungkin juga dari cairan panas yang mematikan, semacam air raksa, atau air panas yang disiramkan disekujur tubuh. Tak bisa dicandra dengan persis dan meyakinkan, semuanya membayang penuh keragu-raguan yang abadi, hanya si mayatlah yang tahu mengapa dan bagaimana luka rajam yang sempurna itu berasal, yang akhirnya menghacurkan seluruh tubuh indahnya serta memutuskan satu-satunya nyawa kebanggaannya.
Cahaya merah hampir menghilang. Gelap hampir sempurna. Geluduk terus mengema. Kilatan petir seperti lidah ular menjulur siap menerkam sang mangsa. Namun hujan tak turun. Malam sebentar lagi benar-benar baka. Suara belalang bersautan menemani kesepian. Kesepian yang akut.
Mayat misterius rupanya dipenuhi lalat yang merubung, berdegung-dengung bagai lebah siap menyengat siapa pun yang mendekat. Dengungan-dengungan itu seolah suara-suara dari masa lalu, atau mungkin dari neraka yang membuatku bertambah ketakutan dan undur diri selangkah ke belakang, terbayang dalam khayalan tentang dunia para raksasa dengan binatang-binatang purba menjijikkan. Setelah sejenak aku tersadar pada apa yang tengah kuhadapi, keberanianku kembali bangkit untuk menguak kebenaraan yang harus aku tuntaskan, memahami sedetailnya siapa dan mengapa mayat ini berada di sini. Aku melangkah lagi mendekati mayat yang terbujur melintang di tengah jalan. Kuamati wajahnya yang menghitam dengan cukuran gundul atau memang berkepala plotos yang terbenam dalam lumpur, sehingga sekujur tubuh berwarna hitam, tentu mayat ini pernah tercebur ke dalam kubangan lumpur. Kucermati lagi tubuh mayat nampak telentang di atas tanah, tangan kanan memegang batu sekuat mungkin, seakan ia melawan sebelum ajal menjemput tamat. Sebuah perlawanan yang agung namun tak berdaya melawan musuh-musuh mautnya yang lebih perkasa dan berkuasa atas nasib dirinya, sebuah ajal yang tak diundang, matanya terpejam dan mulutnya tersenyum bangga, seakan mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang pernah ia singgahi dan sangat membahagiakan atau mengucapkan selamat tinggal pada anak-anaknya yang jumlahnya belasan, juga pada istri-istrinya yang ditinggal pergi tanpa dapat lagi memberikan nafkah baik lahir maupun batin dan nampak merelakan bila anak-anak dan istri-istrinya kawin lagi dan beranak pinak sebanyak-banyaknya seolah ia bangga akan keturunan-keturunannya, karena ia sangat mempercayai para keturunannya nanti atau yang pernah berhubungan dengan dirinya akan memiliki watak-watak dan kepribadian seperti dirinya, gagah berani melawan kebengisan yang mengacam kehidupan, melawan musuh-musuh hidupnya, melawan siapa pun yang ingin melukai dan mencelakakan jalan hidup keluarga, melawan kebenaran yang selalu ia pegang dan jalankan. Mati satu tumbuh seribu begitu mungkin arti senyum kematian yang telah ia berikan dan menampakkan dalam ujud terakhirnya sebagai manusia, sebelum berubah jadi tanah, sebelum melalang dalam dunia gaib dan lain. Dan ia akan bangga dengan senyum yang dikulum melihat keturunannya melawan musuh-musuh dirinya, musuh-musuh yang berhati jahat. Tentu senyum itu sebagai doa juga atas penyiksaan dirinya yang sama sekali tidak ia restui, sehingga ia mengalami hal yang paling menyakitkan di dunia, dan sebagai doa pula akan keselamatan anak cucu Sulaiman, -begitu mungkin namanya, serta istri-istrinya dalam menegakkan kebenaran.
Aku terus mencandra bagaimana mungkin mayat bisa berada di tengah jalan, mayat yang begitu besar dan berat, siapa yang kuat mengangkat, siapa yang menaruh, bila memakai kendaraan tentu bekas ban akan nampak di jalan tanah, bila digotong beramai-ramai, akan nampak jejak kaki dan sepatu para pengusung, bila digeledek dengan gerobak, akan terlihat kaki-kaki kuda atau sapi, namun di sekitar mayat tidak tampak jejak apa pun, kecuali jejak-jejak kaki kecil mungil tak bersepatu, milikku. Apa mungkin mayat ini sudah ada sejak beberapa hari yang lalu, sehingga jejak-jejaknya sudah terhapus, namun pikiranku segera menyangkal keras akan dugaan tersebut, karena dengan jelas dan yakin, aku telah mengingat-ingat sedalam-dalamnya, dan demi jagad raya yang menyaksikan, aku tidak berdusta, perjalanan sore ketika melintas di jalan ini, ketika menengok nenek di tepi sungai, tak ada mayat satu pun dan benda apa pun yang mencurigakan, bahkan aku ingat di bawah pohon asam aku berhenti sebentar untuk memunguti buah asam yang jatuh berserakan di semak-semak dan ilalang, karena terhempas angin, apa mungkin buah asam berubah jadi mayat. Apa mungkin mayat itu barusan tiba, sebelum aku pulang dari rumah nenek, yang segera setelah mayat diletakkan beramai-ramai, segera jejak-jejak kaki mereka dilenyapkan dengan dahan atau sapu dan dikipasi agar jalan tanah sempurna seperti sedia kala dan terakhir ditaburi daun-daun yang rontok dihembus angin, sambil mereka berjalan mundur ke arah matahari terbenam, tempat gelap akan menjemput, karena pintu hari segera ditutup dan dibukalah pintu malam yang kelam, mereka bisa lenyap di telan malam, tempat sembunyi paling aman sedunia, sehingga tak satu pun orang yang mengira mayat itu barusan diletakkan, dan tak satu pun yang mengira kalau mayat itu mereka yang meletakkan, dan tak satu pun yang dapat melacak siapa yang melakukan, dan tak satu pun yang dapat melacak kenapa mayat itu dibunuh, sebuah taktik yang sempurna untuk menghilangkan jejak, apa pun kejahatan yang ada di dunia, sebuah labirin gila, seakan kelenyapan jejak akan mampu menghapus segala kejahatan yang telah ia lakukan, dan tak akan tercatat dalam ingatan dan sejarah siapa pun, kecuali sejarah dan ingatan si pelaku dan si korban, yang tak mengerti tak akan mengingat selamanya, ingatan hanya akan muncul adanya mayat misterius yang terbujur di tengah jalan, jalan menuju rumahku. Jalan menuju desa perbukitan yang sepi dan jauh dari kepintaran karena kebodohan selalu memayungi dan merestui desaku, sebuah tempat yang strategis untuk melenyapkan jejak kejahatan dan memendam kebenaran dalam gelap malam dan warga desa yang tak satu pun peduli dengan hal usut mengusut. Aku hanya menduga-duga dalam kebingungan yang menampakkan puncaknya pada dahiku yang berkeringat dan mata yang terpejam-pejam dan kaki yang gemetaran serta tangan yang mengaruk-garuk kepala, padahal tak ada yang terasa gatal di kepala dan rambut tak dihuni seekor serangga pun, namun rasa gatal mencabik-cabik dalam otak dan kalbu yang terus mempertanyakan keberadaan diriku dan mayat yang ada di tengah jalan. Kenapa hari ini aku terlibat dalam peristiwa yang misterius, kenapa aku yang harus mengalami bukanya orang lain, kenapa mayat itu ada di tengah jalan, kenapa aku tadi pulang dari rumah nenek harus di sore hari ketika remang senja akan tiba, kenapa aku harus melewati jalan yang sunyi, kenapa tak ada seorang pun kecuali diriku, kenapa ketika pulang dari rumah nenek mataku terlalu cermat melihat apa pun yang ada di sekitar. Andaikan aku terus berlari di tepi jalan tanpa menoleh kanan-kiri tentu sudah sampai rumah dan sekarang pasti sedang bermain-main petak umpet, kuda lumping, jamuran, dengan teman-teman, tak bertemu dengan seonggok mayat misterius.
Aku bertambah heran karena bau mayat tak sebusuk ujud asli, nampak membusuk dengan lalat merubungi dan air mulai mengalir dari tubuh, membengkak dan gembur. Dan apakah mayat ini akan terus membengkak lebih panjang dan lebih besar lagi, tiga kali lipat dari tubuh asli, sehingga seolah-olah ada tiga mayat yang terbujur kaku sebelum membengkak. Tentu tak gampang mengangkat mayat, mungkin tak ada seorang pun di dunia yang mampu mengangkat sendirian, dibutuhkan tak kurang lima belas orang, itu pun harus dipilih dari laki-laki kekar yang terbiasa kerja kasar di pelabuhan, memiliki otot-otot sempurna, tiap hari makan sepuluh piring nasi, lima belas telur angsa sehingga memiliki energi yang cukup besar, hampir seimbang dengan tenaga kuda, atau bahkan harus dibutuhkan jumlah orang lebih banyak lagi, karena selain mengangkat daging busuk, mereka harus mengangkat berliter-liter cairan dalam tubuh mayat, ditambah binatang-binatang yang selalu sigap berkembang biak di dalamnya, mereka akan berjalan lamban, perlahan-lahan seperti semut mengotong mangsa ke liang dalam, tempat semut bersemayam, sebuah lorong gelap tanpa cahaya, dan mereka akan membawa mayat itu ke penguburan di lereng bukit, seperti kereta api menuju senja yang berjalan lamban karena kehabisan batu bara, berapa kali mereka harus berhenti, karena kehabisan energi, karena begitu berat si mayat, semakin lama tentu berat mayat akan bertambah, mungkin binatang di dalam tubuh mayat semakin bertambah banyak, belatung-belatung yang getayangan dan berjibun ribuan jumlahnya siap berkembang dengan hitungan detik, dan air semakin berlimpah berliter-liter dalam tubuh mayat, sehingga mengelembung seperti balon, siap meledak kapan pun ketika titik kulminasi dari tekanan maksimal sudah diambang kritis, dampaknya akan luar biasa, mengagetkan orang di sekitar, dan melukai sebagian orang yang menonton, namun bila yang meledak mayat yang mengelembung, karena batas maksimal sudah tercapai, apa yang akan terjadi, mungkin juga bekas-bekas ledakan yang terdiri dari serpihan daging dan lelehan air busuk, serta belatung-belatung yang bertaburan, akan membuat orang mual dan pusing, lebih parahnya akan menimbulkan penyakit dan bencana yang menakutkan yang membuat seluruh desa terjangkiti penyakit yang akut yang disebabkan oleh penyakit yang ada dalam tubuh si mayat. Di mana paginya sakit sorenya mati, sorenya sakit paginya mati, sebuah pageblug yang ditakuti warga desa, seperti yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu, di mana mayat-mayat bergelimpangan, besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan. Sebuah pagebluk tentang mayat-mayat yang tak bernama.
Malam benar-benar sempurna. Petir menyambar-nyambar. Hujan mulai turun. Di dalam gelap tanpa cahaya bulan dan bintang aku masih terus tekun memecahkan misteri. Siapa yang melakukan pembunuhan. Dan untuk apa harus membunuh.
***
Ponorogo, 7 Desember 2001

5

Tidak ada komentar: