Rabu, 21 Januari 2009

Cerpen Bapakku Telah Pergi


Suara Merdeka, 14 Desember 2008
BAPAKKU TELAH PERGI*
Cerpen : S. Yoga

Bapakku telah pergi. Menemui pembakaran. Ruang suci tempat selesaian. Apa yang harus aku ingat dan kenang dari semua itu. Tak ada. Tak ada yang ingin kuingat. Namun apakah mungkin, aku bisa melupakan, karena begitu kuat kenangan terhadap Bapak mencengkeram pikiran. Padahal abunya telah kularung di lautan, tempat yang paling ia senangi ketika masih hidup. Bapak senang plesir hingga lautan terjauh dan pulau-pulau terpencil. Membawa pancing dan jaring. Bila kesabarannya tak terbendung untuk memperoleh ikan dengan memancing. Maka Bapak akan menjaringnya, hingga ikan-ikan kecil dan besar dapat diciduk dan bergeleparan di dalam jala. Ia merasa puas dan tertawa terbahak-bahak. “Tak ada seni memancing yang kudapat bila berprinsip kesabaran,” begitu kata Bapak sambil memasukkan ikan-ikan ke dalam bak penampungan.
Ah kenangan ini, begitu menyengsarakan, Bapak telah pergi, namun kenangan terus menyeret-nyeret. Dengan apa harus kuputuskan tali sejarah Bapak yang membelitku. Oh kenangan, ia meringkuk di dasar hati yang paling dalam. Seperti batu yang berserakan di dasar kali. Ia akan mengganggu arus air, bahkan bisa merubah jalur utama. Bisa membuat langkahku tersendat-sendat, bahkan membelokkan arah tujuan dari hidupku. Atau justru hidupku selama ini sudah ditentukan Bapak? Tanpa aku sadari.
“Itulah hidup,” kata Bapak suatu saat, sambil duduk di kursi goyang.
“Tapi Bapak, apakah hidup harus seperti ini. Bukankah masih ada jalan yang lebih baik?” tanyaku sambil kuperhatikan wajah Bapak yang mulai keriput.
“Anakku, kau benar-benar masih hijau, belum banyak makan asam garam kehidupan, jadi jalan pikiranmu masih lempeng-lempeng saja, kaya rel kereta api. Lalu kalau kau sudah berkeluarga nanti, anak dan istrimu mau dikasih makan apa. Kalau sikapmu masih kekanak-kanakan. Dunia sudah berubah, saingan tambah berat, musuh tambah banyak, karena itu bila ada kesempatan dan peluang sikat hingga tujuan tercapai.”
Bapak benar-benar raja tega, bila kupikir-pikir, karena semua anak-anaknya diajari bagaimana cara menjalani hidup dengan menghalalkan segala cara. Bila melanggar tak segan-segan tangan Bapak begitu ringannya menghajar tubuh kami. Tapi entah kenapa kami hanya bisa diam saja, dan mengamini semua petunjuk Bapak. Petunjuk Bapak seolah sabda, tak bisa dibantah lagi, maka jadilah ia hantu, yang selalu menghantui pikiran dan jalan hidup anak-anaknya. Seolah seekor ular, yang bisanya tak mungkin dihindari. Dan ekor-ekornya terus membelit tubuh kami yang rapuh ini. Dan Ibu hanyalah bidadari manis, yang selalu menyembuhkan luka-luka memar kami, tapi luka dalam hati terus menumpuk hingga membusuk.
“Ular itu pintar anak-anakku. Contohlah ia,” begitu petunjuk Bapak ketika kami duduk bersama di meja makan.
“Ular itu berbisa, Bapak, jadi tak baik untuk anak perempuan, sepertiku,” begitu jawab kakak perempuanku.
“Karena itu kau harus memahami filosofi ular, nantinya kau akan bisa menaklukan dunia, sekaligus lelaki yang kau idam-idamkan. Karena sifat lelaki juga seperti ular,” kata Bapak dengan mata berbinar-binar, seolah menemukan sebuah ladang oase di tengah gurun.
“Tapi aku phobia ular, lho, Pak!” sahut kakak perempuanku sambil tangannya didekapkan ke dadanya, ketakutan.
“Ha ha ha ha. Anak-anak, sekali lagi Bapak katakan bahwa kalian benar-benar tak pernah beranjak dewasa. Dan Bapak tekankan bahwa kalian harus jadi ular. Tentu saja ular yang cerdik dan pintar. Ular itu memiliki senjata yang mematikan, baik itu gigi-giginya, bisa yang beracun, tubuhnya untuk membelit, juga mulut dan perutnya yang bisa menelan musuh meski tubuhnya jauh lebih besar. Belum lagi dalam situasi tertentu ia bisa merubah kulitnya menjadi baju baru yang lebih baik. Tubuhnya juga licin dan lincah dalam keadaan apa pun, jadi benar-benar sulit ditangkap dan cepat menyembunyikan diri bila ada bahaya.”
“Tapi Bapak, ular bukan manusia, sehingga ia tak tahu rasa belas kasihan, semua mangsanya akan dilumat habis,” sergah kakak lelakiku sambil membetulkan kaca matanya.
“Itulah kelemahan kalian semua, memandang manusia dengan cara yang sederhana. Tentu saja kita masih memiliki rasa kemanusiaan. Bukankan di perusahaan-perusahaan yang kita miliki, kita telah memperkerjakan orang-orang yang kurang beruntung,” jelas Bapak.
“Yang aku maksud adalah cara kita mendapatkan perusahaan itu, Pak?” tanya kakak lelakiku dengan nada agak tinggi.
“Bukankan dengan uang kita. Dan menurut hukum dan udang-undang negara, siapa pun yang memiliki uang dapat saja membuat perusahaan, siapa yang melarang. Kita punya uang siapa yang melarang. Dan uang itu kita dapatkan dari kerja keras, keringat kita!” terang Bapak dengan nada tinggi.
Makan malam pun diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus bergejolak dalam pikiran kami semua. Apa makna hidup sebenarnya bila semua diukur dengan cara keduniawian. Hidangan makam malam pun tak bisa kami nikmati dengan memuaskan, bahkan kami hampir lupa apa tadi yang kami santap dan minum. Karena pikiran-pikiran kami terus bergentayangan saling berkejaran dengan pikiran-pikiran Bapak yang begitu menenggelamkan masa lalu dan masa depan kami. Sedang Ibu hanya diam saja seolah pikirannya ada di luar sana, mengembara bersama para bidadari. Mungkin juga Ibu, sudah tidak mau berurusan dengan Bapak, karena bila salah, tamparanlah yang akan didapat. Ah begitu kejamnnya Bapak, bila kupikir-pikir. Namun di sisi lain ia begitu mencintai keluraga. Apakah ini perpaduan malaikat dan iblis sekaligus, aku tak tahu dan aku tak peduli lagi.
Suatu kali aku bersenang-senang dengan teman-teman semalam suntuk, dan ketika pulang, aku merasa kesepian di kamar, dunia ini seakan tak peduli lagi. Apakah sebenarnya yang kau tanamakan dalam jiwa kami, Bapak. Kemegahan atau kesepian.
“Kau bertanya tentang jiwa, anakku. Ia tak lain hanyalah sebuah ilusi dari impian kita. Bila impian kita tergapai maka sebagian jiwa kita akan terisi, demikian seterusnya. Sehingga bila impian-impian kita belum tercapai, maka sebenarnya jiwa kita belum penuh,” begitu kata Bapak, suatu ketika sambil membersihkan senapan buruan.
“Bapak, apakah seluruh jiwa nantinya akan kita bawa mati? Termasuk juga impian-impian kita?” tanyaku sambil mengambil ransel berburu.
“Ha ha ha ha ha ha! Bicaramu seperti seorang pendakwah saja. Cepat siapkan senapanmu dan kita akan berburu. Kau harus ikut, biar aku tunjukkan bagaimana cara berburu yang baik. Melacak jejak babi hutan di belantara.”
Kami rupanya telah menyiapkan bekal perburuan dengan sangat baik. Entah kenapa Ibu yang biasanya enggan ikut dalam perburuan, kali ini sangat bersemangat dan ingin menyaksikan kami berburu. Dalam perjalanan sang sopir entah kenapa selalu menabrakan ban mobil ke dalam sebuah lobang, atau memang jalan kini banyak yang sudah berlobang. Sehingga tubuh kami seringkali tergoncang-goncang. Dan entah kenapa pula Ibu selalu memandang ke atas dan melihat burung-burung berterbangan. Bapak hanya diam dan waspada memandang ke depan.
Perjalanan pun sampai tempat perburuan yang dituju. Kami turun dan membuat kemah di tepi jalan. Biar Ibu dan sopir menjaga mobil dan menyiapkan makan siang. Bapak memintaku agar cepat mempersiapakan senapan dan perlengkapan lainnya. Kami pun mulai memasuki hutan. Hutan nampak sunyi, hanya ada suara belalang dan cericit burung. Tak ada tanda-tanda babi hutan atau menjangan berlalu-lalang. Tak terasa perjalanan hampir satu jam, namun tak selongsong peluru pun yang terlepas dari laras senapan kami. Benar-benar hari yang naas bagi perburuan ini.
Awan mulai menghitam, berarak-arakan melintas di atas kami. Sebentar pasti hujan lebat datang. Bapak pun mengajak agar segera kembali. Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bapak, hanya isyarat mata dan gelengan kepala yang membuat kami akhirnya membatalkan perburuan selanjutnya. Kami pun bergegas untuk segera sampai di mobil, agar hujan tidak membasahi. Namun setengah jam dari perjalanan, arak-arakan awan hitam bergelimpangan ke arah barat, menjauh dari hutan perburuan, dan berganti menjadi awan cerah, putih bagaikan gumpalan kapas. Di puncak pohon pinus nampak bertenger puluhan burug gagak yang berkaokan. Tak lama kemudia ia berterbangan dan berputar-putar di atas hutan. Suaranya benar-benar menakutkan seolah mereka sedang berkabung. Kami terus saja menlanjutkan perjalanan pulang, tak ada gunanya kembali ke tengah hutan lagi. Benar-benar hari yang sial.
“Hentikan langkahmu, ada jejak babi hutan, jangan menembak” sahut Bapak.
Memang gerakan-gerakan binatang melintasi semak-semak dan dahan-dahan sangat terlihat di depan mata kami. Benar kata Bapak jarak masih cukup jauh, percuma melepaskan tembakan, karena pasti akan meleset. Kami terus berjalan perlahan dan kini hampir merangkak. Terdengar di atas kami, burung-burung gagak terus menerus berkaokan dan berkelayapan. Sedang rombongan babi hutan nampak tidak terpengaruh. Namun suara burung gagak kini mulai bercampur dengan suara-suara mobil yang melintas tak jauh dari tempat kami mengendap-endap. Berarti lokasi ini sudah dekat dengan jalan raya. Lantas apa maunya babi hutan ini, apakah ia akan melintasi jalan raya, menuju hutan sebelah. Tentu saja ini akan lebih menyulitkan, karena bisa jadi begitu dekat jalan raya, mereka akan berlari secepat mungkin untuk menyebrang, lalu masuk hutan kembali. Nampak Bapak memberi isyarat agar aku bersiap-siap. Biasanya Bapak akan menembak duluan, bila masih ada gerakan maka giliranku yang harus membidik. Jika ada gerakan lagi maka Bapak yang harus membidik, demikian juga selanjutnya giliranku lagi. Namun bila tak ada gerakan, maka perlahan kami akan melihat buruan yang terkapar. Tiba-tiba rombongan babi hutan bergerak-gerak tak tentu arah. Dan Bapak menembaki secara membabi buta. Entah kenapa aku terpaku dan tak sanggup berbuat apa-apa.
“Dasar anak tolol!!! Tak tahu situasi! Apa yang bisa diharapkan dari anak seperti kamu!!” dan telapak tangan kanan Bapak mendarat di mukaku. Bapak benar-benar marah. Namun aku diam saja, karena aku merasa bersalah. Meski bibirku mulai berdarah.
Terdengar suara teriakan seseorang dari jalan raya. Dan kami pun segera berlari ke arah suara. Sayup-sayup suara minta tolong begitu dekat, berasal dari perkemahan. Begitu sampai di tempat, Bapak begitu shock, demikian juga aku, melihat Ibu yang terbaring bersimbah darah. Ibu dibopong sang sopir, dan segera dimasukan ke dalam mobil. Kami pun cepat meluncur ke rumah sakit terdekat. Namun mau apa dikata, nyawa Ibu tak bisa ditolong lagi.
Hari-hari berkabung bagi Bapak adalah sepanjang hari setelah kematian Ibu. Perasaan Bapak tak bisa dilukiskan lagi, ia hanya diam dan diam saja. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dan hari-harinya dihabiskan dengan mengurung diri di dalam kamar, hingga tubuhnya membeku, terbujur di pembaringan, menyusul Ibu.
Bapakku telah pergi, memang. Tapi semua jalan pikirannya telah menjadi hantu, demikian kuat, demikian mendesak. Membelit tubuh dan pikiran kami.
***

*Judul puisi Mardi Luhung, kalimat miring bagian dari puisi tersebut.

Tidak ada komentar: