Jumat, 14 Oktober 2011

SABDA DARI NERAKA

SABDA DARI NERAKA

Oleh : S Yoga

Dari beberapa manuskrip puisi dalam rangka lomba FSS 2011, brtema anomali, rata-rata puisi yang ada masih dalam eksplorasi bahasa yang standar, dengan capaian puitik yang juga sama, dengan yang sering kita jumpai di koran-koran, kecuali dua manuskrip dan salah satunya Syair Pemanggul Mayat karya Indra Tjahyadi. Puisi-puisi Indra merupakan apokaliptik, surealisme, dengan bahasa teror, menderam, liar dan tak terduga, ada keterputusan gramatikal dan kekacuan pikiran. Membuat kita tersesat dalam strukturalisme puisi-puisinya. Indra berdiri dari realitas yang asing, sebuah menara kegelapan sambil memfirmankan, sabda dari neraka dunia. Dan kegelapan ini telah membawaku sampai pada sebuah/sungai, tempat mereka membakar mayat-mayat tak/dikenal......hujan merah yang memancar dari wajah/iblis yang mengangkut seribu kisah bayang-bayang/dan kegelapan, sajak Inferno. Membaca puisi-puisi Indra, saya teringat lukisan Salvador Dali, ada jam dan perempuan meleleh, serta lukisan-lukisan surealisme yang menakjubkan, ganjil, unik dan anomali.

Bagi Indra surealisme adalah jawaban dan gambaran yang tepat dari realitas sosial yang mencekam, represif dan informasi yang tak bisa dipercaya. Hingga tema puisi-puisinya didominasi kecemasan, seolah dunia merupakan neraka dan harus dihancurkan guna memulai tatanan dunia baru. Surealisme, super realis, “yang melampaui kenyataan”, begitu menurut pencipta istilah tersebut; Guillaume Apollinaire, mulai diperkenalkan oleh Andre Brenton-penyair Perancis, pada tahun 1924, ia mencetuskan Manifesto Surealisme. Andre Breton menyerukan pembebasan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia, di alam bawah sadar, yang telah terkekang oleh rasio dan kebiasaan, membiarkan imajinasi liar bekerja secara bebas.

Dalam puisi-puisi surealisme, apokaliptik, penyair berharap menemukan paduan antar kata dalam sebuah metafor yang mengejutkan dan baru, tidak terpancang pada logika struktural dan konvensi umum sebuah puisi. Mereka mencoba menerapkan temuan psikoanalisis Sigmun Freud dari Austria antara tegangan id dan ego. Yakni antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego). Freud percaya bahwa, mengesampingkan desakan tuntutan untuk menekan hasrat-hasrat, yang ada di pikiran bawah sadar tetap menampilkan dirinya, terutama ketika pikiran yang sadar melonggarkan cengkeramannya; dalam mimpi, mitos, corak kelakuan ganjil, terpelesetnya lidah, ketidaksengajaan dan seni. Dalam pencarian untuk mendapatkan akses ke alam pikiran bawah sadar, para surealis menciptakan bentuk dan teknik baru seni yang radikal.

Puisi gelap, apokaliptik dan surealisme, tidak rasional, sebenarnya sudah marak pada tahun 1950-1960, di mana pada waktu itu banyak puisi yang susah dimengerti dan dinikmati. Kemudian muncul juga pada tahun 70 dan 80-an, misal lewat puisi-puisi penyair Kriapur, Solo. Seolah gelombang yang secara siklus terus mengempur kesadaran rasional kita di zaman modern. Puisi-puisi dalam Syair Pemanggul Mayat, seolah-olah melakukan pelarian kedalam keterasingan terhadap pikiran-pikiran pembaca, mengambil jarak, menjauhi akal sehat dan imajinasi pembacanya. Puisi-puisinya sangat subjektif, alienasi dirinya terhadap dunia sekitarnya. Sarat imajinasi, pembebasan imaji, dan metafor, kata-kata adalah imajinasi. Yang seringkali meloncat-loncat, tidak sinkron, retak-retak dari bangunan imaji sebelumnya. Puisi dipahami sebagai sebuah teks (writerlytext) yang cerai berai, retakan-retakan peristiwa. Dalam gelap rimba imajinasi, kita berharap bisa mendapatkan sejumput kearifan dan keindahan yang dilanturkan. Diperlukan studi intertektualitas-Julia Kristeva, untuk menguak modus operandi puisi yang tidak bisa sekedar didekati dengan strukturalisme. Macam puisi Indra Tjahyadi dan Afrizal Malna. Bila dalam puisi-puisi Afrizal Malna melakukan teror lewat diksi-diksi urban-budaya masa, Indra melakukan teror lewat maut, kecemasan, kehampaan, anomali dan hal-hal yang seram-seram. Seolah sabda dari neraka.

Karena itu dalam menelaah puisi semacam ini, perlulah juga melihat struktural semiotik dan latar seting sosial budaya. Di mana kondisi sosial dan politik yang sedang berkembang, di mana kepastian politik, sosial, dan hukum (ketidakadilan) sangat berperan. Namun kegelisahan Indra dalam manifestasinya tidak muncul dalam karya sastra kritik sosial atau puisi protes. Indra lebih memilih dalam gambaran dari bentuk pemerintahan yang reprensif itu sendiri. Dalam wadah sebuah ekspresi simbolik yang subyektif. Yang mencerminkan sebuah zaman kegelapan, di mana struktur kekuasaan yang otoriter dalam tataran sosial, ekonomi dan hukum begitu dominan, keterasingan masyarakat begitu mengedepan. Maka puisi-puisi Indra benar-benar kelam, cemas, seram, gelap, erotis, liar, sebagai bentuk perlawanan realitas sosial yang ada, yang ingar-bingar dengan kekerasan, penembakan, pembunuhan, pengusuran dan ketidakadilan yang merajalela, di mana hukum menjadi barang dagangan dan kebijakan menjadi persengkongkolan (partai) politik.

Sehingga wajar bila judul-judul puisi Indra yang serba seram, menakutkan dan liar; Kembali ke Neraka, Syair Penyair Pemanggul Mayat, Jisim Requim Muram Hantu-Hantu, Hantu Pasir, Siulan Hitam Raut Kematian, Kulukis Mayatku, Terkurung di Dasar Maut, Mata Mayat Penyembelih Kupu. Kata-kata neraka, maut, labirin, mayat, hantu, kematian, kegelapan dan bayang-bayang seolah-olah menjadi kata-kata kunci dalam puisi-puisi Indra.

Rupanya Indra lebih memilih sebuah paradigma atau ideologi dalam perjuangan literernya yakni surealisme yang cenderung kedalam kegelapan, di mana bentuk-bentuk strukturalisme kaku ia tentang. Hingga bila memahami puisi Indra dengan cara strukturalisme baku maka akan sia-sia, yang akan ditemui hanyalah kegelapan semata. Karena puisi Indra adalah retakan-retakan realitas yang tidak bisa atau terpahami lagi, karena kegelapan peristiwa yang ada, realitas yang ada bagai jaring-jaring labirin yang tak bisa diurai dan ditemukan siapa pelaku, bagaimana bisa terjadi, apa yang terjadi sebenarnya, dan bagaimana bisa keluar dari kenyataan yang ada. Indra tak bisa memahami realita itu semua, karena yang ada hanya kabar burung tanpa ada sebuah kebenaran yang bisa dipengang.

Bila hingga kini Indra masih tekun menulis dengan cara demikian, puisi apokalitik, gelap, surealisme, berarti ia masih meyakini bahwa pada zaman sekarang ini, yang katanya menjunjung demokratisasi dan keterbukaan ternyata masih menyimpan labirin-labirin kegelapan yang susah untuk dibongkar, semisal mafia peradilan dan korupsi rente dalam sebuah birokrasi. Maka Indra memilih menjelajahi dan merayakan alam mimpi dan pikiran bawah sadar, yang menekankan pada irasionalitas kemanusiaan.

***

S Yoga

Penyair, prosais dan esais.

Anggota Komite Sastra DK-Jatim.








Tidak ada komentar: