Jumat, 14 Oktober 2011

SEPOTONG CINTA YANG TERBELAH

SEPOTONG CINTA YANG TERBELAH

Oleh : S Yoga

Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya cerpen-cerpen yang biasanya kita kenal di media masa, atau lebih dikenal dengan cerpen koran, cenderung bersifat informatif, dari berita ke cerita. Mereka mencoba mengekalkan laporan jurnalistik ke dalam sebentuk cerita. Kadang-kadang tanpa memperhatikan seluk beluk hakikat cerpen itu sendiri, seolah-olah cerpen hanyalah tulisan informatif, bahasa menjadi alat penyampaian pesan, tanpa memperhatikan bagaimana cerpen itu sesungguhnya dipertaruhkan. Apa sekedar dengan tema besar, pesan menohok, alur-plot dramatik, penuh suspens yang dipaksakan. Atau sebenarnya cerpen hanyalah hakikat sastra itu sendiri yakni tulisan, di mana tulisan atau lebih tepatnya racikan cerita mampu memberikan kehidupan tersendiri bagi cerita yang hendak dikisahkan.

Memang seringkali kita jumpai kisah dalam cerpen-cerpen koran pada umumnya telah tersingkir, dan hal ini telah disinyalir oleh Kutowijoyo dekade 90an. Dan yang lebih mengedepan adalah pesan, yang mengendarai bahasa, bahkan lebih tragisnya, pesan itu pada prinsipnya bukan suara tokoh-tokoh dalam kisah tersebut, mereka hanya dipinjam namanya untuk menyuarakan opini pengarangnya. Maka tak heran kalau kita jumpai banyak cerpen seolah artikel opini, yang kebetulan dibuatkan kisah, seting, alur dan tokoh. Cerpen berubah fungsi menjadi juru kampanye kemiskinan, kebenaran, politik-sosial-hukum, ketidakadilan, dan tentu saja cinta yang melankolis. Cara ungkap mereka seperti sastra didaktis, moral yang tersurat. Mereka mengabaikan kesadaran berbahasa, pernak-pernik dan detail, rincian cerita, serta kesabaran berkisah.

Ibarat sebuah lukisan, semua detail-detail, pernik-pernik obyek lukisan mampu dituangkan ke dalam kanvas dengan baik sehingga ujud yang hendak dikisahkan benar-benar sempurna. Kalau mau melukis wajah maka semua elemen wajah, bahkan hingga pori-porinya dapat terdeteksi, begitulah dunia cerpen sebenarnya terwujud, tentu saja dengan suntingan agar cerita tetap wajar dan memikat, di mana daya simpati dan empati tetap terjaga. Kadang kita membaca tanpa sadar terombaang-ambing ke dalam cerita itu karena tidak dapat menebak racikan cerita berikutnya. Pembaca menjadi subyek aktif dalam kisah yang dibacanya. Bukan menjadi obyek sang pengarang dalam menyampaikan pesan, seolah-olah mendudukkan si pembaca sebagai seseorang yang bodoh dan perlu dikhotbahi, diceramai tentang kebajikan dan lain-lain. Dengan bahasa yang gagah bak politisi, kyai, pendeta, pejabat, memberikan wejangan pada pembaca, seolah kebenaran hanya mereka yang tahu.

Demikianlah gambaran umum lomba manuskrip cerpen FSS 2011 yang mengambil tema Anomali, bahasa cerpen didudukkan pada bahasa sebagai alat penyampian pesan, bahkan berusaha sebagai agen perubahan, tak beda dengan watak jurnalistik. Padahal kita tahu sastra adalah kisah itu sendiri, yang memberikan keaktifan kepada pembaca untuk menafsir ulang, bahkan berulang-ulang, akan menemukan hal yang baru, tidak sekedar kesan dan pesan yang tersurat. Ada pernik-pernik yang menarik di dalamnya, bisa cerita itu sendiri, bahasa, racikan bercerita. Pernik-pernik inilah yang bisa membuat sebuah cerpen menjadi menarik dan memikat. Tidak terburu-buru menjalin kronologis demi mengejar dramatik, sehingga bahasa menjadi propaganda si penulis dalam menyampaikan pesan, bahasa menjadi tidak wajar. Mestinya bahasa tumbuh dari darah dan daging kisah dan tokoh yang ada dalam cerita itu.

Bahkan sebagian besar peserta lomba tidak siap dengan apa yang dinamakan manuskrip lomba cerpen, sehingga antar lini cerpen tidak memiliki kekuatan yang merata. Misal dari 10/15 cerpen yang ada, hanya 3-5 cerpen saja yang memiliki kekuatan atau unggulan, lainnya hanya untuk memenuhi ketebalan halaman. Kumpulan cerpen itu menjadi njomplang, tidak seimbang. Namun untunglah kita menemukan manuskrip cerpen La Rangku, yang antar lini cerpennya memiliki keseimbangan kualitas, sehingga layak untuk diterbitkan ke dalam sebuah kumpulan cerpen.

La Rangku, sendiri merupakan tokoh dalam mitos, cerita rakyat suku, masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara, yang dikorbankan orang tuanya guna menggapai sesuatu yang diinginkan. Dalam tradisi masyarakat Muna kemudian dikenal dengan festival layang-layang setelah panen tiba, sebagai penghormatan. Dalam manuskrip La Rangku karya Erlang Niduparas, bahasa sebagai piranti cerita cukup disadari, kesadaran berbahasanya cukup tinggi dalam kaitan cerpen sebagai karya sastra, sehingga ceritanya nampak hidup, bukan dihidupkan dengan bahasa pesan pengarangnya, namun bahasa mensublim dalam bentuk cerita. Dari peristiwa ke peristiwa mampu ia racik dengan kesadaran bahasa yang baik. Tidak seperti umumnya cerpen koran yang ada, meski cerpen-cerpen ini sebagian juga dimuat di koran. Namun mampu menunjukkan jati dirinya sebagai cerpen yang benar-benar berwatak sastra. Tema atau motif utama kadang hanya dikesankan dan disiratkan saja.

Semua cerpen dalam La Rangku, diikat dalam tema utama, yakni tentang cinta (pengorbanan, perceraian, perselingkuhan, cinta terlarang, ketersaingan dan kehilangan). Tema ini memang sangat umum dan biasa-biasa saja, namun demikian di tangan Erlang Niduparas, kisah tersebut menjadi unik dan menarik, misal dalam Gaco, yang merupakan sebuah alat dan permainan anak-anak, yang bisa berubah menjadi simbol perselingkuhan dan seksualitas. Demikian juga dengan judul-judul lainya semisal Sula, Tarawengkal dan La Rangku, yang memanfaatkan tradisi dan kisah rakyat menjadi cerita yang menarik tentang terkoyak dan terbelahnya cinta manusia. Entah kebetulan atau tidak dari masing-masing cerpen ada yang interteks, saling terkait-mengisi-berkelindan dalam keterbelahan cinta. Ada kegetiran dan ironi dalam beberapa karya-karyanya yang dibalut kemiskinan. Bagaimana memaknai rasa cinta kasih dalam deraan kemiskinan, di mana tokoh-tokohnya melarikan diri dalam sikap yang irasional, fatalis dan traumatik. Sebagian cerpen dalam La Rangku, menguak disharmonis keluarga yang diakibatkan oleh kemiskinan, dalam karya-karya Sam Shepard, Sumpah Serapah Kaum Lapar dan Anak yang Dikuburkan, hal tersebut juga mengedepan dan menjadi titik tolak drama-dramanya, di mana cinta menjadi barang langka karena telah tergadaikan dan terkoyak-koyak oleh situasi sosial dan ekonomi, antara ayah, ibu dan anak saling mengkhianati, orientasi cinta telah terbelah.

Gaya bercerita Niduparas memanfaatkan ambang, arus kesadaran, stream of consciousness ala James Joyce, kilas balik, lamunan, masa kecil, mimpi, harapan dan angan-angan, saling berkelindan dalam cerpen-cerpen Niduparas. Bahkan dalam cerpen, Aku Harus Tidur, Purna, Niduparas mengutip sebuah judul novel James Joyce, A Potrait of the as a Young Man, hal ini menunjukkan pengarang mengagumi-terpengaruh oleh gaya bercerita James Joyce, stream of consciousness, yang kemudian ia praktekkan dalam cerpen-cerpennya, tentu saja dengan gayanya sendiri. Kadang pembaca tidak sadar bila cerita telah berpindah ruang dan waktu. Gramatikal bahasanya sering puitik, menjaga rima dan irama, serta perbadingan dan simbolisasi yang tak terduga, dengan tetap menjaga realitas cerpen itu sendiri. Apakah cerpen-cerpen Niduparas juga semacam otobiorafi dirinya, seperti novel James Joyce, karena didominasi akan rasa kehilangan kasih sayang dari orang tua, baik itu karena diterlantarkan, perceraian, maupun kematian, hanya Niduparas yang tahu, kelak bisa ditanyakan sendiri.

Cerpen-cerpen dalam La Rangku, memiliki landasan atau pijakan pada cerita rakyat atau tradisi yang menjadi subyek utama Niduparas. Menjadi ambang antara tradisi dan modernisme, ambang antara agama dan kepercayaan, ambang antara rasionalitas dan irasionalitas-magis, lokal dan global. Meski berkisah tentang realitas yang biasa kita jumpai, namun penyampian, bentuk cerita tidak realis murni. Kadang kita dikejutkan setelah usai membaca ceritanya. Dan inilah salah satu kumpulan cerpen yang mungkin bisa menyelamatkan kita dari amuk cerpen-cerpen topikal pada umumnya yang sering menghiasi surat kabar.

S Yoga

Penyair, prosais dan esais.

Anggota Komite Sastra DK-Jatim

.

Tidak ada komentar: