Jumat, 03 September 2010

Baca Puisi di Komunitas Salihara, 14 Juli 2010
























PELANCONG


mereka turun dari kapal di gelap malam

membawa senter, oncor dan peta masa lalu

dan gerimis senja mengantarnya pada hutan belukar

di sebuah tempat yang tak terduga

sebuah semenanjung di sebuah pulau

tempat budak-budak diternak


terdengar lolong serigala di perbukitan

tubuhnya bercahaya di antara bayangan bulan

dan hutan yang terbakar

rupanya bayang-bayang lebih gaib dari pikiran

karena ia selalu lepas dari genggaman


beri aku senapan, beri aku peluru teriakmu

ketika mendengar suara-suara binatang malam

kubisikkan kata-kata muram sebelum matanya lebih jalang

tunggu semua burung-burung pulang ke sarang

agar kau jumpai pikiran lepas dengan badai ingatan


ah kau inlander tahu apa tentang masa lalu

aku pun diam di bawah pohon besar

dekat sebuah makam purba bernisan batu

aku pun tahu sebentar akan sampai pada batas


di pantai ini hanya nasib yang mempertemukan

sebelum esok pagi kita pergi ke besuki

panarukan, panji dan asembagus

melihat pabrik-pabrik dan bising mesin

meminta kita untuk kembali ke masa-masa silam

ketika senjata menjadi panglima

dan pikiran-pikiran berputar-putar pada hasrat dunia

pejamkan matamu dan kau akan melayari semua impian

yang pernah terlupakan, sebelum tergadaikan


di pagi hari di pelabuhan jangkar sebelum gempa

kau memandang kapal-kapal yang berkabut

terdampar di pelupuk matamu yang biru

asap dan bayang-bayang masih menyelimuti

sebuah pulau, nun jauh di sana yang tak terjangkau

seolah diterjunkan dari bukit-bukit tandus

kebun-kebun tebu, sawah dan ladang hangus


dan di pabrik gula, mesin-mesin terus bekerja

memeras keringat dari madu kemurnian

dan sungai-sungai dipenuhi kegelapan

mengalir dari hulu menuju muaramu

sebelum kau layarkan ke pulau-pulau asing

tempat terjauh yang tak pernah kukenal


sebuah gudang tua milik tuan tanah

menyimpan sejarah gelap perbudakan

di ladang tebu, tembakau dan perkebunan

tubuh yang hitam berdiri memandang senja

di antara sihluet patung raksasa berambut gimbal

kau duduk di antara pohon-pohon tua

di pelabuhan kau berteriak, ini juga tanah airku

kau ambil peta dan kau bubuhi tanda

dulu aku juga dilahirkan di sini


aku tenggelam dalam kenangan

bunga harum yang kuharap telah jadi bangkai

ah kau hanya merayu untuk sesuatu yang sesat

ini bukan birahiku di antara sepi dan api

tapi hanyalah lelaki jalang yang mengembara

di antara pulau-pulau yang masih perawan

dan tanah-tanah yang minta diberkahi

aku beri tanda dan kau hanya bisa tengadah

nyalakan obor di kandang dan gubuk sebagai tawanan

hambamu hanyalah hamba yang tunduk pada takdir

kau hanya boleh memainkan kincir di batas mimpi


bau kemarau masih menyimpan tubuhmu dari seberang

di tanah ini telah kau tandai waktu dan sejarah

dengan pabrik, lori, tebu, tembakau dan kapal-kapal

agar masa lalu bisa terulang dan aku terkenang pada noni-noni

ah wajahnya putih susu dan betisnya seharum bunga leli

sedang bau keringatku seapek tembakau di gudang tua

kini kami mainkan tambur dan genderang di ladang-ladang

agar semangat kerja menjadi doa dan pahala


Situbondo, 2008

Kompas, Minggu, 23 Maret 2008


photo

LAYANG -LAYANG


layang-layang adalah masa kecil yang hilang

ia terbang ke atas dan turun menukik

dan sesekali menyambar-nyambar angin

ketika putus kau terperanggah dan menangis


lalu bangkit dan mengejar-ngejar bayangan

melintasi sawah, ladang, rumah dan menara

ke arah susuh angin yang tak kutahu di mana rimbanya

yang begitu sempurna mempermainkan sayap sihirnya


dalam pengejaran ini aku semakin tercekam

ketika memasuki senja dengan cahaya suram

yang kulihat hanya bayang-bayang gelap

yang mengejar-ngejar dan mempermaikan waktu


Ngawi, 2008

Kompas, Minggu, 23 Maret 2008

photo

LUDRUK


ia rias wajahnya agar lebih cantik

ia menjadi sang putri malam ini

bukan sebagai lelaki yang biasa ia lakoni

yang datang dari rasa birahi


di panggung penonton masih sepi

ia ingat bedak terakhir yang tersimpan di laci

agar wajahnya tambah putih bunga leli

menyempurnakan penyamaran hari ini


atas riwayat hidup yang ingin dilupakan

dulu ia pernah menjadi tokoh yang gagal

kini ingin berganti peran dan nasib

agar semua rahasia bisa tersingkap


agar kenangan masa lalu bisa terkubur

dan bayangan sunyi sehabis subuh bisa berganti

ia mondar-mandir di tengah panggung

seperti hendak menanti eksekusi


ia berkidung agar semangat tidak luntur

sementara penabuh gamelan masih tertidur

tukang parkir sudah seminggu libur

ia ke tengah tobong menghitung kursi kosong


ia memandang panggung dan menyaksikan

permainan yang sesungguhnya sedang dimulai

ia lihat bayang-bayang dirinya di jendela kamar

bergincu tebal sambil melambaikan tangan


tanjung perak mas

kapale kobong

monggo mampir mas

kamare kosong


Surabaya, 2008

Kompas, 14 September 2008



Tidak ada komentar: