Selasa, 11 November 2008

Puisi Kompas 14 September 08

PENYAIR LAPAR

ia lupa bila seharian belum makan
ia hanya mengunyah ribuan kata
yang tak bisa membuatnya kenyang
ia singkap makna agar memperoleh terang

agar akar rahasia kata terkuak menjadi tanda
namun makna sembunyi dalam kesunyian
ia selesaikan sebuah puisi
namun hanya deretan bangkai kata

dengan dekoratif imitasi yang menghiasi
ia tahan semua laparnya hingga larut malam
seharian tak mandi dan tak makan
sedang secangkir kopi dan rokok inspirasi

hanya bualan belaka
dan laparnya semakin menjadi
ia lihat komputer menjadi kabur
seolah berada di dalam kabut

kini ia merasa kata-kata mulai berloncatan
berakrobat ria membentuk sebuah puisi
memakai topeng kata untuk merengkuh isi
ketika tersadar dari halusinasi

laparnya semakin menggila
ia lapar rahasia perut
ia lapar rahasia kata
ia lapar rahasia hidup

hingga ia bicara tentang maut
yang hampir menjemput
pada layar komputer
yang kosong

Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008

GERIMIS

mungkin aku tak pernah
menulis puisi cinta untukmu
seperti sekuncup bunga mekar
di musim hujan
tak mengenal pagi yang cerah
namun tiba-tiba wajahmu
tertunduk memandang senja
yang hampir tenggelam
wajahmu bagai mimpi dalam kesepian
dan bukan kebahagiaan yang pernah kukenal
kusemayamkan kenangan di ruang dalam
tempat keris dan tombak tertidur
kutulis gerimis di alis matamu
yang melengkung bagai bianglala
bukan hujan kemarin yang menggugurkan bunga
namun hanya gerimis lewat
yang menanam jejak dan biji-biji mawar
yang kau cari sepanjang malam
karena ia menyimpan birahi
sepanjang hari
ini bukan puisi cinta tentunya
ketika matamu berkilat-kilat bagai clurit
ingin menebas jantungku yang berdetak
bagai tunas cahaya milikmu
yang kucari dan kupetik dari sinar bulan
seperti wajah ibu yang dulu kukenal
sebelum lenyap ditelan malam
mungkin ia jadi ular
atau perigi tempatku mandi
pagi ini kupetik rasa takut
agar kecemasan umur
tak membuatmu surut
dan membuat kita hanyut
ini hanya jalan kecil
sebelum menuju rumah

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

RINDU

ia putih seperti butiran salju
tapi bukan kapas yang mudah diterbangkan angin
ia tahu dirinya tipis bagaikan kertas
tapi bukan tempat mencatat jejak, kisah dan sejarah

ia hanya menampung luka yang tak pernah sembuh
ia lebih lapar dari ular yang sedang puasa
ia ingin menjadi sepiring daging
agar semua bisa merasakan nyeri

ia lebih mirip darah yang memiliki urat nadi
yang melintasi lorong kegelapan di dalam tubuh
ia pun selalu merindukan sebuah danau
di tengah hutan yang setiap saat bisa ia temui

di mana semua rupa menjadi semu di dalam air
ia ingin menjadi cermin bagi semesta burung-burung
karena ia tahu hanya bayangan yang menipu kenyataan
ia ikhlas akan rasa sakit yang selalu datang setiap saat

ia bukan sosok yang bisa dikenali
ia hanya ingin menjadi api selamanya
agar tabah ia menahan dingin dan sepi
agar tak terasa sakit bila terbakar nanti

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

LUDRUK

ia rias wajahnya agar lebih cantik
ia menjadi sang putri malam ini
bukan sebagai lelaki yang biasa ia lakoni
yang datang dari rasa birahi

di panggung penonton masih sepi
ia ingat bedak terakhir yang tersimpan di laci
agar wajahnya tambah putih bunga leli
menyempurnakan penyamaran hari ini

atas riwayat hidup yang ingin dilupakan
dulu ia pernah menjadi tokoh yang gagal
kini ingin berganti peran dan nasib
agar semua rahasia bisa tersingkap

agar kenangan masa lalu bisa terkubur
dan bayangan sunyi sehabis subuh bisa berganti
ia mondar-mandir di tengah panggung
seperti hendak menanti eksekusi

ia berkidung agar semangat tidak luntur
sementara penabuh gamelan masih tertidur
tukang parkir sudah seminggu libur
ia ke tengah tobong menghitung kursi kosong

ia memandang panggung dan menyaksikan
permainan yang sesungguhnya sedang dimulai
ia lihat bayang-bayang dirinya di jendela kamar
bergincu tebal sambil melambaikan tangan

tanjung perak mas
kapale kobong
monggo mampir mas
kamare kosong

Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008

KOLAM

di kolam ini
tak kutemukan apa-apa
kecuali suara angin berbisik
airnya dingin seperti tubuhmu

dedaunan rontok di atas air
berayun-ayun ingin kembali ke pinggir

kau nampak hilir mudik
dengan wajah pucat
disaksikan remang bulan di malam hari

kadang-kadang kau terpekur di tepi kolam
sambil memandang kedalaman wajahmu

yang samar terbayang
dihanyutkan gelombang

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

Tidak ada komentar: