Senin, 22 November 2010

Puisi di Jurnal Nasional, 14 November 2010

GAJAH

di way kambas
mari bercermin pada alam dan dunia nyata
tempat burung-burung bersarang
di hutan-hutan dalam kepurbaan
yang selalu terjaga
tak mau tercermar dari dunia luar
tempat gajah-gajah menemukan jati diri
dan melebihi akal manusia
yang sering berniat jahat terhadap sesama

lihat gajah-gajah hidup rukun dan saling melindungi
lihat kulit gajah yang kasar dan kotor
namun dalam kalbu tersimpan cermin bening
sesuci danau ranau
mata yang sipit melindungi dari ketamakan dunia
belalai yang panjang adalah malaikat penolong
dan bukan tukang petolan pencuri uang rakyat
atau seseorang yang tak bertanggungjawab melempar api
kekerumunan massa yang hidup damai dan tenang
karena gajah adalah kemanusiaan yang mestinya
hidup dalam diri kita

***

PANTAI

di pantaimu kusaksikan gerimis bisu
embun di dahan meluruhkan hening
pada pepohonan yang berjajar di pasir putih
ketika burung-burung laut mengajak pergi

di pagi hari sebelum para nelayan datang
rupanya ia telah menerima nasib lautan
dan mempersilakan gerombolan burung menjauh
dari tubuhnya yang telah tabah dalam waktu

menghadapi pergantian musim
telah menerima warna bumi di pesisir
pantai hanyalah muara yang selalu tertinggal
karena deburan ombak selalu menghapus jejak usia

***

JANTUNG

ingin kusulap detak menjadi ledakan besar
agar sempurna tugas yang tak pernah selesai
kupahami hidup hanyalah mesin waktu
darah pernah kuminta agar memasok warna gelap

agar kelam segera datang menjemput
dan cahaya tak pernah sempurna
sisik-sisik waktu pernah kuhentikan sejenak
namun denyut darah terus meminta arus

dan gelombang yang pernah kutakdirkan
terlepas di lautan dan berjanji kepada angin
agar badaimu mengombak dan menggulung daratan
karena sujud waktu telah terlupakan

agar kenangan dapat kuraih dan kusempurnakan
maka kujaring pengalaman hitam bernoda
yang selalu membawa ke jurang luka
akan kutawarkan pada muara hati yang bening

apakah akan kuampuni
atau kupanggang dalam api
agar cahaya yang kugali mau kembali
ke dalam bilik kalbu

***

BISIKAN ULAR

kau hampir terjebak dan tercekik
pada gemebyar sisik-sisik dan lengkingan hutan sunyi
kau hampir tergoda pada bisik-bisik dan lidah ular berduri
menghuni gendang telinga dan sembunyi dibalik kata-kata

ingin kau kalahkan musuh yang semayam dalam diri
ular merah bermata darah dan suara yang tak terdengar
ketika terdesak di tepi jurang dan ekormu hampir jatuh
kau ayunkan pedang bermata doa dan bersayap langit

hingga sinarnya menebas-nebas pohon rindumu
agar langkah kaki semakin cepat menuju senja yang murung
kau mengeluh tak ada tempat singgah dan sekejab istirah
sedang jalan kembali ke asal sudah berkabut

***


TELAH AKU SEMPURNAKAN KESUNYIAN

sebenarnya telah aku sempurnakaan kesunyian
batu-batu telah aku tanam di lubuk rumah
agar tak mengganggu tidurmu
di tengah malam

pohon-pohon telah aku simpan di alir sungai
semuanya bisu diam abadi
tubuhnya semakin jadi
dan tabah menghadapi mati

namun hijau perjalanan
menjadi arca di lereng lembah
kusempurnakan saja topeng malammu
sebelum senja menjemput

***

SELAMANYA PERNAH KUBAYANGKAN

selamanya pernah kubayangkan
akan kenangan
bau tanah di sawah
bau tanah di ladang
bau tanah di pekuburan
waktu itu kita selalu bermain bersama
seolah hari hari menjadi kebahagiaan
yang abadi
kita ambil permainan petak umpet
kita ambil permainan perang perangan
kita ambil permainan mayat mayatan
kau kuburkan aku di halaman rumah
selamanya pernah kubayangkan
akan kenangan
rupa wajahmu yang menghitam
rupa rumah kita yang kosong
rupa bayang bayang botol yang suram
waktu itu kita masih remaja
seolah hari hari menjadi kesunyian
yang abadi

***

BERDIRI MENGHADAPMU
: borobudur

malam purnama yang senyap
angin mencubiti dinding candi
bayanganku mengisut dibebatu andesit
memprawani kesunyian purbani

berdiri menghadapmu
relief-relief candika memanggil
amsal asal mula
cinta kasih sang budha

tergiring derit seruling derita
sang sidharta
tergerak hatinya
mencampakkan istana

mencampakkan
kemewahan dunia
mengembara dalam pertapaan
menuai kesempurnaan

malam makin larut memahat sepi
kutinggalkan dirimu membatu
kini derit derita kaum papa
menjerit lengking dalam hati purbaku

***

AKU BANYAK BERDIAM

akhir akhir ini
aku banyak berdiam
menyepi
kumatikan radio dan tv
kututup jendela
dan pintu rapat-rapat
kututup kuping pendengaranku

biar
tak ada suara
melambung lambung
kering
ditelinga

aku ingin berteman sunyi
berkarib dengan hening
bersamadi pikiran

***

LAUT

di atas gelombang lautmu
aku mulai berjalan
sejak dilahirkan
aku bersahabat dengan asin garam
dan kasim kuda laut hingga birahi dunia hilang
para kelasi yang berbaju kotor karena gemuk
dan bertubuh tegar karena matahari
adalah kawan yang pemberani
rumput dan karang laut pun berjamaah bersamaku
bersama angin dan badai yang tunduk pada gelombang laut
aku pun rindu pada ikan-ikan yang berenang begitu jauh
ke palung-palung tak terjaga dan jurang-jurang laut yang kemilau
dari atas permukaan laut
gelap ke arah dalam
aku ingin mereka pulang dan bermain kecipak air
dengan cahaya-cahaya langit yang selalu menyinari
menjaga perjalanan kami
ke dalam dasar laut terdalam
hingga kami sampai ke altar laut
tempat kami bersujud

***


SEBUAH RUMAH

sebuah rumah adalah keranda hidup
kelak tergusur dalam lubang kubur
sebuah rumah mestinya bersih
ketika fajar tiba dan senja menjemput

sebuah rumah yang ada di kaki bukit
dengan rumbia dan kayu lapuk
serta lantai tanah membasah
adalah sama wadak dengan rumah
gedung bertingkat tujuh
dengan marmar dan ac menyala

sebuah rumah adalah tanda kehidupan
memiliki dua pintu
di kanan dan di kiri
di muka atau belakang
untuk keluar masuk
para penghuni
atau tamu istimewa yang suatu saat
akan datang meski tak diundang
dan kau persilakan masuk
dan kau jamu sebaik hati

sebuah rumah akan nampak sehat
bila jendela-jendela terbuka
dengan ventilasi bervariasi
angin dan udara berhembus silih berganti
tetangga-tetangga datang dan pergi

saling memberi dan menerima
tanpa rasa curiga
dan cemas mencekam
karena sebuah rumah adalah
tempat ibadah
terbaik untuk mati

***

NEGERI TROPIS

negeri tropis yang rekah
sungai-sungai menjauh dan membentang
negeri mengapung bagai kapas-kapas air yang lepas
aku teringat jalan berat yang panjang
semacam sejarah masa silam
kutempuh dalam usia renta

negeri tropis yang gerah
waktu-waktu berlalu bagai api yang mengamuk
cahaya merah menghanguskan rumah-rumah
sebuah kisah di musim kerontang
orang-orang haus dan lapar segala
mengilas kehidupan kulit sawo matang

negeri tropis yang panas
cahaya-cahaya berjajar-jajar dengan tubuhku
semacam nafsu yang ganas dan sulit dikendalikan
berkelebat debu menjamah air mata
dan di tanah-tanah tandus gembala mengais
samudera di hatinya yang kosong

negeri tropis yang berair
aku berdiam bagai patung jerami
mendayung sampan musim hujan
dari dingin sampai dingin yang kekal
membangkitkan nafsu-nafsu perairan gila
menumpahkan hujan api kefanaan
dari api sampai api yang dendam
ingin membakar segala

***

LUMPUR I

kau merasa tubuhmu sudah rapuh
tidak seperti dulu lagi saat remaja
sudah saatnya menjadi tanah
menjadi lumpur yang menyuburkan

hidup telah kau habiskan dalam kesunyian
waktu terus membimbing ke jalan berat
kau tinggal di alir sungai penuh lumpur
kau nikmati lumpur pertama sebelum kejatuhan

orang-orang berlarian menghindar dari lumpur panas
kau diam dan berdoa agar menjadi air
mendinginkan panas hidup yang menerjang
jangan lawan api dengan api, bisikmu

setelelah sekian tahun hidup dalam lumpur
kau merasa ada yang berubah dalam diri
kau merasa hatimu telah berlumpur
padahal telah kau sucikan dalam seribu sujud

***

LUMPUR II

setiap saat kau kenang peristiwa itu
kau merasa berada di dalam kubangan lumpur
susah untuk bergerak, susah untuk bernafas
tinggal doa-doa yang bisa kau lantunkan

lumpur memang telah padam panasnya
tapi lukanya tak pernah bisa terobati dalam hati
kau merasa tercabik oleh masa lalu yang mengerikan
oleh kenangan yang selalu merisaukan

kini kau masih bersama lumpur kenangan
tinggal dalam kesunyian dan penantian
lupakan saja lumpur kita yang menggenang
yang tak mungkin dibersihkan lagi

tinggal hikmah menuju rumah berikutnya
lumpur hidup hanyalah sepenggal perjalanan kelam
namun kau masih terjebak dalam lumpur kenangan
yang terus menyembur dalam hidupmu

***

LUMPUR III

kau tahu dari dulu
kalau kesetiaan itu akan pudar
sudah berulang kali kau coba hentikan
semburan lumpur hidup kita

tapi hasilnya sia-sia
airnya terus meluber ke jalan-jalan
ke tempat-tempat sepi dan nyeri
ke rawa-rawa hati

hingga setiap hari kita minum
dari air yang keruh dan beracun
tapi hidup kita tetap bertahan
lambung kita hampir robek dan cacat

adakah waktu seperti telaga yang dulu
hening dan ditumbuhi bunga teratai
tanpa kasak-kusuk membersihkan rumah kita
yang sebentar lagi akan tenggelam

***

LUMPUR IV

percayalah kalau lumpur tetap lumpur
meski kau saring dan suling berulang kali
meski kau tasbihkan dengan kata-kata mutiara
lumpur hidup akan tetap menjadi lumpur selamanya

ketika kau teguk pertama kali lumpur kenangan
rasanya pahit, berbau dan melumpuhkan
seperti peristiwa saat terjebur ke dalam lumpur
sebelum kesucian terenggut

adakah lumpur halal atau haram
kau tafsirkan tiap malam dan doamu terlepas
tinggal arus penyesalan yang tak terbendung
hanya kuman-kuman yang menjadi saksi

atas kebenaran dan keadilan yang akan berlangsung
kau minta seluruh riwayat hidupmu dikembalikan
tanpa cacat dan ternoda apalagi digenangi lumpur
namun lumpur telah merasuk ke dalam darahmu

***
Jurnal Nasional, 14 November 2010

Tidak ada komentar: