Sabtu, 12 September 2009

DIASPORA KEGELAPAN

DIASPORA KEGELAPAN

Naskah Monolog : S Yoga

(Setting di halaman rumah Kalebun (Kepala Desa) bernama Maman di sebuah desa di Madura, ketika itu listrik mati berbulan-bulan. Di sudut panggung kanan-kiri ada lampu/ting, di tengah ada meja dan kursi. Maman memakai sarung, baju biasa dan berpeci)

(Di panggung lampu gelap, Maman menyalakan korek api, menyalakan lampu ting).

Nah, begini kan agak terang! Susah juga ketika hidup terus-terusan dalam kegelapan.

(Ia menyalakan lampu di sudut yang lain)

Listrik sendiri baru akan nyala 5 bulan lagi. Setelah listrik mati, tiap malam benar-benar gelap gulita, agak terang bila bulan purnama, ada cahaya temaran, di halaman duduk-duduk beramai-ramai sambil melihat anak-anak bermain, dan kalau mau bisa ngitip gadis-gadis mandi di kali. Apa benar ya listrik putus karena kabel di Selat Madura tersangkut jangkar kapal. Itu memang berita resminya, berita tak resminya yang terus beredar di masyarakat; pasti sabotase guna persiapan pemilu, kalau listrik mau nyala harus pilih sebuah partai, provokasi agar waduk di seberang disetujui masyarakat dibangun PLTA, meski ganti rugi tak beres, agar jembatan Suramadu lekas dibangun, lantas Madura jadi lahan industri, para investor asing berbondong-bondong datang, rupanya negara pandai juga memperdagangkan potensi alamnya. Sebagai Kepala Desa saya sama sekali tidak mampu membungkam bisik-bisik yang terus berkembang.

(Maman perlahan duduk di kursi)

Masak Kepala Desa dilempar batu. Ini keterlaluan. Ini buktinya, mata saya bengkak. Waktu itu saya menuju rumah Roji.

(Berdiri dan berjalan ke sudut)

Rumah Roji masih jauh tapi tiba-tiba perutku sakit sekali, saya sudah tidak kuat untung ada semak ilalang. Saya mendekam di situ. Terdengar langkah sepatu berderap, memberat dan mendekat. Semoga dia tidak melihat, malu kan berak di sembarang tempat. Saat yang paling menentukan dan pas akan keluar tiba-tiba ada batu sebesar kepalan tangan melayang.

(Keluar dari semak-semak)

Kurang ajar! Cong, siapa yang melempar batu. Mataku kena, bengkak ini. Tak ada siapa-siapa, hanya kelepak kelelawar di kegelapan. Saya jadi takut. Jangan-jangan ada hantu? Apalagi saya berak dekat kuburan. Tapi masak hantu. Kalau tak ada hantu, pasti manusia. Kurang ajar, baru kali ini ada orang lempar batu sembunyi tangan di sini.

(Duduk di meja)

Sampai di rumah Roji, saya ceritakan kejadian yang saya alami, dilempar batu. Rupanya Roji juga mengalami nasib naas; RX King-nya hilang. Katanya sehabis Magrib di Masjid, kebetulan rumah Roji kosong ditinggal ayah-ibu dan adik-adiknya ke Surabaya menghadiri pernikahan sepupu.

(Megambarkan adegan Roji, peci dipakai melintang)

Ketika Roji membuka pintu, ternyata sepeda motornya sudah amblas tak berbekas. Padahal sepeda baru dibeli seminggu yang lalu, dari hasil panen tembakau, tiap pagi, tiap sore dikeluarkan, seminggu itu baru dia lap-lap hingga mengkilap, sesekali dibawa putar-putar kampung, pamer, dibleyer-bleyer agar orang-orang melihat kalau ia sudah punya sepeda motor. Ketika melihat sepeda motornya raib, Roji menangis meraung-raung, seluruh tetangganya jadi ikut sibuk mencari. Namun ke mana mau dicari kalau barangnya sudah raib. Setelah pura-pura mencari ke sana ke mari, tetangga-tetangganya matanya saling menyidik, saling curiga dan sontak berhamburan ke rumah masing-masing, takut barangnya jadi ikut hilang. Ha ha ha ha mau nolong tapi takut kecolong.

(Berjalan mondar-mandir)

Ketika saya pulang dari rumah Roji. Tiba-tiba, Tohir tetangga sebelah Roji menjerit-jerit keras sekali seperti orang kesurupan.

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Pis….pis….. pistol! Siapa ini. Hee…he…. Aaada piss…. pipissss…. siapa ini!? Pissstol siapa ini tertinggal di rumah!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Benar ada pistol berlumur darah di depan pintu.

(Bingung mencari-cari seseorang entah siapa yang dicurigai)

Apa kamu tidak lihat siapa yang meletakkan pistol!?

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Tidak lihat, Pak Kalebun!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Sudah benar-benar kamu cari di sekitar rumah?

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Sudah, Pak Kalebun, ini aku bawa clurit, hampir saya tebas batang lehernya bila ketemu, untung tak ada.

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Kamu punya saudara yang jadi tentara?

(Menjadi Tohir, peci dipakai melintang)

Tak punya Pak Kalebun, polisi juga tak punya, Si Rofiq itu hanya satpam tak punya pistol, cuma punya pentungan yang selalu ia bawa, yang satu besar dan satunya kecil!

(Perlahan ia duduk di kursi, kembali memerankan Maman, kembali ke peristiwa listrik mati)

Kami jadi kesal, gara-gara listrik padam, banyak peristiwa aneh-aneh. Jangan-jangan di desa-desa lain, kota-kota lain, juga ada peristiwa seperti ini. Jangan-jangan sudah ada yang jadi korban, ada yang tertembak, bukankah di rumah Tohir sudah ditemukan pistol. Lalu pistol siapa? Darah siapa? Siapa yang masih suka main-main dengan pistol. Ndak masalah kalau hanya pistol mainan sendiri. Jelas ada darah pasti sudah makan korban.

(Lengang)

Kejadian itu saya kira merupakan kejadian yang paling aneh tapi nyatanya tidak karena ketika saya pulang dari rumah Tohir, Matrawi tetangga sebelah rumah teriak-teriak di halaman.

(Menjadi Matrawi, peci dipakai hingga jidat dan rambut bagian depan terlihat)

Pak Kalebun! Pak Kalebun! Bajingan dia! Dasar tak tahu diri! Masak kepala orang dibuat mainan. Kepala ini Pak Kalebun, memar semua, lihat ini, waktu saya berjalan kepalaku dipukul dari belakang, saya tengok tak ada orang, kupingku dijewer keras, saya tengok lagi tak ada siapa-siapa. Masak ada tangan tapi tak ada orang. Ada korban tapi tak ada tersangka. Kurang ajar mereka yang bertangan panjang, sesuka hati memeprmainkan nasib orang lain. Dia benar-benar sialan! Saya tidak terima kepalaku dibuat mainan. Kepala itu harga diri bagi kita dan harga diri adalah segalanya. Daripada berputih tulang lebih baik berputih mata, Pak Kalebun. Ayo Pak Kalebun, kita carok. Ayo, kita ambil clurit kita tebas batang lehernya

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Kalau kita sudah ambil clurit, lalu mau bacok siapa?

(Menjadi Matrawi, peci dipakai hingga jidat dan rambut bagian depan terlihat)

Ya, dia yang mempermainkan dari belakang Pak Kalebun?!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Ya, dia siapa? Kamu tahu orangnya?

(Menjadi Matrawi, peci dipakai hingga jidat dan rambut bagian depan terlihat)

Iya, ya. Siapa dia ya. Bayangannya juga tak terlihat. Habis gelap, Pak Kalebun!

(Menjadi Kalebun, peci dipakai biasa)

Makanya jangan bertindak grusah-grusuh, jangan mudah terpancing. Akhir-akhir ini memang banyak kejadian aneh-aneh.

(Naik ke menja melihat-lihat kalau-kalau ada yang datang)

Saya jadi ingat kata-kata Pak Kyai dulu, waktu saya masih kecil, tentang zaman Jahiliyah, zaman kegelapan, yang ditandai dengan orang-orang yang saling bertikai sendiri, saling rampok, saling bunuh, agama tak dipedulikan, tak ada kedamainan, hidup rasanya was-was, kejahatan merajalela. Saya takut jagan-jangan tanda-tanda itu benar-benar sedang berlangsung di sini.

(Turun dari meja dan duduk di kursi)

Memang setelah listrik padam kami tak tahu keadaan di luar kampung. Kalau benar keadaan di luar Madura juga gelap gulita, ini benar-benar bahaya. Bagaimana dengan pusat pemerintahan, bagaimana dengan Jakarta.

(Bunyi sirene)

Pasti ada bahaya. Tedengar suara sirene bernguing-nguing, diiringi suara mengaphone keras di mana-mana. Bila semua gelap?! Bila semua ini dibiarkan!? Benar-benar keadaan akan menjadi kacau!?

(Mengambil mengaphone, merespon situasi)

Halo-halo, halo-halo, di sini kegelapan! Halo-halo, hubungkan dengan dunia luar. Hubungkan dengan internasional!? Halo-halo, tolong sambungkan dengan dunia manapun!? Halo-halo, tolong-tolong, kami dalam kegelapan. Tolong-tolong Madura gelap, Surabaya gelap, Banyuwangi gelap, Papua gelap, Aceh gelap, Nias gelap, Sambas gelap, Ambon gelap, Poso gelap, Kalimatan gelap, Sulawesi gelap, Sumatera gelap, Yogyakarta gelap, Sidoarjo gelap. Halo-halo, halo-halo apa Jakarta gelap. Apa Jakarta sumber kegelapan. Halao-halo mohon bantuan siapa pun, Indonesia dalam kegelapan. Dalam kegelapan. Dalam gelap akan banyak kejahatan. Kegelapan ada di mana-mana di rumah, di jalan, di toko, di pabrik, di plaza, di hotel, di kantor-kantor.

(Membagi-bagikan selebaran tentang kegelapan)

Bapak rt, bapak rw, bapak lurah, bapak camat, bapak bupati, bapak gubernur, bapak menteri, bapak presiden tolong kami. Bapak hansip, bapak polisi, bapak tentara, bapak jenderal, bapak hakim, bapak jaksa tolong kami. Tolong kami. Tolong kami. Yang selalu jadi korban kegelapan.

(Berdiri di atas meja, ketakutan, sirene makin mendekat, perlahan lampu satu persatu mati)

Kegelapan semakin menjadi-jadi. Kegelapan semakin meraja lela. Awas kegelapan!? Awas kegelapan!? Kegelapan di sekitar kita! Menghidar!? Ayo menghindar!? Ahhh ahhh!? Gelap! Gelap!? Aku dalam kegeeeeelapaaaaaaann!? Tooooloooong!?

(Bunyi sirene semakin keras, ketika memuncak sontak mati sendiri, panggung gelap total)

- S E L E S A I -

Surabaya 1999

Tidak ada komentar: