GANDRUNG*
kaukah mahkota antasena
terpacak di penari gandrung
dengan hiasan omprok di kepala
kulit kerbau disamak dengan warna merah
emas dan perak hingga wajah bulat telur
sayap burung, chundhuk mentul bunga
bungaan dan dupa menyempurnakan
langkah langkah hidupmu
yang bergetar hingga ekormu memanjang
jejakmu tertinggal di kesunyian
dengan baju beludru warna hitam
kau tiupkan ruh minakjingga pada yang diam
kaukah yang bersamadi di dalam diri
hingga aku patuh padamu
padahal hatiku enggan beranjak
dari hutan alas purwa
tempat keramat para jin dan jerangkong
kau getarkan jiwaku pada tembang gaib
kau bimbing langkahku ke tengah kalangan
obor obor telah menyala sejak malam pertama
sejak kegelapan bermula dari diri
sejak awal dimulai, jejer yang menari
menyanyi embat embat sendiri
orang orang melingkar di arena
dengan sarung terkerudung
dalam keterbisuan yang membius
namun api dalam diri mulai mendidih
melihat cahaya terang
memabukkan jiwa
musik kuntulan, gending bali dan angklung
menghentak dalam satu irama percampuran
hibrida yang tumbuh
kaukah naga itu
dengan sisik emas kecemasan
sang penari memancar api
gelora nafasmu memaksa
bintang jatuh ke arah kiblat
kau terpekur di lembah bumi
dibisiki lare osing yang minta sedekah
karena gizi buruk dalam diri
ruhani yang mengembara
seperti pengembala di padang pasir
mencari air suci pawitasari
kau kalah dalam pelarian ini
hanya ragamu yang lepas
jiwamu terikat hingga mati
di timur jawa dwipa
tak paham pada penderitaan sejati
ingat rajamu yang bertahan untuk mati
demi blambangan tanah tercinta
meski kepala terpenggal tebusannya
di tangan damarwulan
yang terbuai wanita dan kuasa
gemulai kau menari seolah gelombang
memuncak hingga pusat tahta
dan kau terjatuh ke dasar lubuk
saat suwelan menyebar ke dada paling dalam
liang yang hangat dihuni puting beliung
kegagalan adalah awal penciptaan
inikah penyatuan diri yang kau nanti
api, angin, air dan tanah bersatu dalam cahaya
ketika kau ngibing di tebing jurang
engkaulah pusatnya
di antara empat mata angin yang mengiring
menusuk, merasuk, menjawil dan mengharap
adalah nafsu nafsu peralihan musim
dari api ke air, dari air ke udara, musnah
tak bertepi hanya sinar yang terbersit
semacam rasa sakit yang selalu dirindu
terkena mantra jaran goyang
kau hanya menari untuk diri yang alpa
seblak ketak kentrung drung drung
kentrang kentrung kentrang kentrung
biola, rebana, saron, kendang, kempul
khetuk, kluncing bersatu dan berpadu
selendang merahmu melambai
ke rembulan ndadari, nawang wulan
dewi bumi dan kemakmuran
pinggulmu mengoyang diri yang ragu
pada permainan api yang tak terduga
menyala panas, hangat dan ganas hawa nafsu
kerling matamu mengajak ke arah dalam
dalam yang sempurna, seperti liang kubur
dengan sisik sisik naga sang penguasa bumi
kau berhias diri sebelum mati
ilat ilatan melilit di leher hingga dada
manik manik mengkilat
kerlap kerlip imitasi sang badan
kain batik gajah oling
tumbuh tumbuhan dan belalai gajah
yang mengoda
seolah kau ikhlas asyik masyuk
ke surga dunia
di subuh hari kau menari seblang
setelah malam yang tintrim
tibalah sumebyar dengan sekar jenar
baik buruk, pintar bodoh aku berguru padamu
dengan dua kipas kehidupan di kanan kiri
yang telah berlalu dan yang akan dimulai
kenangan dan angan saling berpagut
kau haturkan sembah pada bumi dan langit
kau mintakan diri karena akan pergi
tinggalkan sejarah, kenangan dan hasrat
seorang pengkhianat yang tak akan kembali
kau hanya berucap ini demi harga diri
Ngawi-Sumenep, 2006
*Berarti tergila-gila, kesenian khas Bayuwangi sejenis ronggeng.
(Kompas, 16 April 2006)
DI PELAMINAN
sudah kuduga bila tubuhku berbau seperti ini
padahal telah kukenakan reroncean bunga melati
padahal telah kumandikan dan kurendam di taman sari
kini kurapihkan tangan dan kaki di pelaminan abadi
kusalami tamu yang datang dan pergi dengan ragu
mereka mengucapkan selamat menempuh hidup baru
sampai bertemu di surga semoga bahagia selalu
kuterima semua hadiah dan kenangan yang haru
aku berbisik pada mempelai yang telah jadi jerangkong
duduk gagu di sebelahku dengan wajah berkerudung
simpan rahasia bila kita telah mati dalam hidup yang gamang
catat setiap tamu yang datang karena kita wajib berkunjung
di waktu nanti mereka akan meminta semua pemberian ini
di waktu nanti ada yang datang meminta kita untuk kembali
membawa undangan lengkap dengan tanggal kematian nan pasti
di sana kita bisa meninkah lagi untuk kedua kali dengan permaisuri
Sumenep, 2007
Kompas, 25 Februari 2007
AKIK
telah kuserap semua cahaya yang kukenal
ke dalam diri yang gelap gulita
agar raga dapat kau lihat dengan kemilau
agar kesempurnaan bukan lagi kemustahilan
apa gunanya bertapa di dalam gua
bila batu batu tetap menyertai
tubuh begitu berat sebelum terbasuh dalam air
rasa yang tak pernah kujumpa sebelum kejatuhan
langkah besarku menjadi begitu bebal dan gagal
bila kusidik dari jemari tangan yang hening
gerinda telah membuatku mahir memainkan peran
menggosok tubuh hingga mengilap
jasad yang sebentar tampak indah
lumpur lumpur telah kutaklukkan dalam air bening
telah kusuling menjadi kristal kristal cahaya
sebelum musuh musuhku membuatku lebih berharga
batu mulia kau sebut ragaku yang baru
namun aku undur dalam kata kata mutiara
sebelum para aulia mempercayai
Sumenep, 2006
Koran Tempo, 24 September 2006
LILIN
telah kumusnahkan tubuh yang dulu
hingga dapat kuciptakan bayangan baru
dengan api yang selalu menghabiskan
kepercayaan kepercayaanku telah jatuh
ke dalam jurang jurang malam
pada langit yang tak pernah kujangkau
kuharap kau merunduk dan menciumku
karena hanya ruang yang dapat kupahami
dengan waktu pun aku telah menjauh
karena hanya akan mengekalkan kesunyian
yang selalu kumusuhi dalam mencari terang
aku hanya bertamsil pada angin yang membisu
di atas meja berplitur yang menggoda
debu debu telah bersetubuh dengan waktu
mengincarku dengan bidikan lumpur
agar aku runtuh dalam lobang yang sama
lobang yang pernah kugali saat kejatuhan dulu
saat aku membenci warna yang menyilaukan
ketika aku menyihir bayang bayang
dari kenikmatan kenikmatan dunia
di atas penderitaanmu
memang kebahagiaan yang selalu kucari
dengan api yang menerangi kegelapan
sebelum tubuh habis dilalapnya
Sumenep, 2006
Koran Tempo, 24 September 2006
MATA
kubenamkan matahati di air hening
ketika subuh mengutusku ke dalam sepi
kubuka jendela dan matahari menghampiri
sisiknya bergelantungan di janggut pepohonan
berkilauan diiringi cericit burung pipit
dengan api pagi kuambil jaketku yang lusuh
siap berangkat bertarung dengan waktu
mataku kini memang sunyi di bawah tatapanmu
tapi percayalah dendam telah kusimpan rapi
di almari hati yang luka oleh kenangan
sebenarnya enggan aku menatap sebening telaga
karena cahaya hanya memantul di permukaan air
ingin aku tenggelam selamanya di dasar kolam
agar raga berlumut dan menebal dalam warna kelam
agar diri terhindar dari gelombang cahaya
telah kusidik luas dan panjang palungmu
dengan mata yang hampir buta karena luasmu
tak mampu kujangkau dan kuukur kekufuran ini
sedang jejak jejak yang pernah tertinggal
hanya samar dan hampir terhapus kitab waktu
batu dan ilalang telah kujinakkan dalam rumah doa
agar ia tabah dalam mencari mata sejati
yang berwajah kesunyian
Sumenep, 2006
Koran Tempo, 24 September 2006
JERAMI
kenapa tubuh selalu layu dalam tatapanmu
teronggok di tengah langit kesunyian
meski matahari selalu menyinari
hingga kesempurnaan tak pernah kudapat
hanya embun yang selalu menyelimuti
dan jubah malam yang menemani
pernah kupercaya rindumu akan datang tepat waktu
namun bertahun kutunggu kau tak pernah datang
hanya asap yang kau kirim sebagai isyarat sebab
tubuh menggigil dalam penderitaan tak berkesudahaan
pernah kupinjam tubuh baru dengan warna cerah
jiwa menolak dan ingin kembali padamu jua
warna warna telah kutuangkan ke dalam tubuh
kucat seluruh permukaan, dalam dan ketinggiannya
namun ruangku tak pernah puas dan terjamah
hingga dahaga selalu datang terlambat
dahan dahan muda pernah kusihir menjadi diri
namu wajah tetap sayu tak bisa ditipu dan ditiru
meski tetap tegak berjalan ke arah senja
ketika aku bertanya dengan apa aku dibuat
hanya seekor cacing yang terus menggemburkan tanah
ketika aku bertanya ke mana semua akan berakhir
tak seorang pun mau menjawab dan semua menjauh
hanya cerlang embun yang mengirimkan isyarat langit
ketika aku merenungi semua jawaban
tak kusadari perlahan api dalam diri telah membakar
hingga asap hidup yang bisa kuhirup
sebelum tubuhku membusuk
Sumenep, 2006
Koran Tempo, 24 September 2006
KOMET
bintang bintang telah menipuku
seolah gemerlap di atas singgasana
namun semua hanya semu
hanya pantulan cahaya permukaan
yang ia tampilkan dengan kebanggaan diri
bukan cahaya dari nur kesejatian
yang muncul dari kegelapan
akhirnya aku berkeliling mencari jalan pulang
berputar pada poros yang bimbang
dengan kabut yang selalu mengikuti
ekor yang membayang sepanjang hayat
dengan hitam yang menyelubungi
bagai jelaga sejarah diri yang kelam
dihuni makhluk purba kesunyian
bila ada cahaya terang di titik tengah
hanyalah lilin alit yang kupelihara hingga mati
yang selalu kunyalakan sebelum kegelapan datang
ekorku pernah kupotong untuk mengelabuhi
namun dengan sorot matahari kau kirimkan sinyal
agar aku menepi dan menyepi
sebagai hukuman atas syak wasangka yang kufur
aku dibakar dalam api pendiangan malam
mengitari matahari seumur hidup
dengan apa harus kutebus kesalahan diri
agar aku bebas dari takdirmu
baraku telah kusiapkan dalam menempuh jalan baru
dengan cermin yang kuabadikan dari mimpimu
kini aku ingin menelusuri rawa ragaku lagi
kujatuhkan diri di bumi luka
kubenamkan wajah di danau bening
kubakar keasingan tubuh di gunung gunung
kuhanyutkan diri di laut lepas
agar abuku sampai di muaramu
Sumenep, 2006
Koran Tempo, 24 September 2006
IKAN
bukan aku yang ingin mendustai
sisik sisik ini bukti keremajaanku
meski telah kutempuh berpuluh lautan
jurang, palung dan kapal karam
yang selalu menggodaku adalah waktu
yang tak pernah mau menunjukkan arah
hingga cahaya lautan tak dapat kutaklukkan
maka terimalah aku sebagai kepunyaanmu
bila belum dengan apa aku harus datang padamu
akan kuberikan jika kau minta seluruh harta di laut
namun kau hanya mengirimkan isyarat ombak
yang kuterjemahkan dalam ibadah
bahwa keikhlasanku belum sampai batas
kugali lagi darah air agar dapat menjadi bukti
bahwa aku pernah sampai di palung terdalam
untaian untaian mutiara ini buktinya
yang telah kuraih dari mulut tiram yang karam
istana dan kerajaan lautan pun pernah kusinggahi
namun tak kutemukan kau di singgasana
hanya ada jerangkong kosong bermahkota lumut
telah kusihir beribu kuda laut agar takluk
namun desirmu telah menggagalkan semua rencana
padahal pasir pasir telah berjamaah bersamaku
agar selalu setia menemani dalam kesepian
agar selalu setia menemani dalam kegelapan
akan kutunggu dan kujebak kedatanganmu
kusiapkan perangkat doa agar kau menerimaku
sebelum matahari mengeringkan lautan
Sumenep, 2006
Koran Tempo, 24 September 2006
LINTAH
permainan permainan cahaya yang kau perankan
dalam air yang bening hanyalah kemilau permukaan
sedang lautan akan selalu meminta hening yang dalam
sedalam lubuk hati yang tak pernah mendesah
telah kucegah darah yang keluar dari kulit ari
agar kau bisa mengembalikan tafsirmu
seperti yang selalu diminta lautan
hanya akan menerima kesetian yang tak cacat
hidupmu penuh perlambang tak terjamah
namun cermin yang selalu kau bawa dalam kegelapan
hanyalah samar menunju satu jalan
hingga kau selalu terjatuh dan tersesat
setiap akan memasuki lobang cahaya
demikian juga aku yang gagal menerjemahkan malam
darah telah kau kumpulkan dalam perjalanan panjang
agar sampai jasadmu ke haribaan
namun darah mudamu diminta untuk disucikan
sedang gelap datang dan menyerbu lubukmu
mataku telah kupinjamkan agar tajam awasmu dapat menerka
waktu yang terus berputar seolah warna senja akan segera tiba
sudah kuduga kau tak akan bisa menjinakkan jentera malam
kupinjami lagi tubuh ini agar bisa menghias diri
agar tubuhmu tidak berledir lagi
hanya satu permintaanku sudikah kau kiranya
memimjamkan nafsumu itu
Sumenep, 2006
Koran Tempo, 24 September 2006
KEONG
perjalanan hanyalah mencari jejak lambang
lambat sebelum ke arah cahaya terang
sungut pun hanya mampu meraba permukaan
tubuhku selalu berdesir ketika berjumpa air bening
bertahun tahun sudah kubersihkan cangkang berlendir
namun selalu kembali ke dalam lumpur
biarlah perjalanan kupahatkan pada gelap malam
agar jiwaku tak karam lagi dan mengungsi ke semak
agar matahari tak menolak ketika kupinang
rencana rencana telah kupetakan di sawah sawah
burung burung hanya menunjukkan jalan
jalan yang lurus tidak berliku dan berjurang
namun burung burung hanya dapat terbang di terang
sedang jauh perjalanan hanya bisa ditempuh
lewat lorong lorong gelap berlumut
akhirnya hanya kelelawar yang menemani
ia pun hanya memberi baju malam yang kelam
ilalang hanya menyibakkan bulu gaibnya
yang akan terbakar esok hari
kalau api itu kawan akan aku ajak menyelam
ke dasar lumpur yang terdalam
agar ia tak panas lagi dan tahu apa harga diri
kutuntaskan saja lendir lendir perjalanan
kuminum sebanyak mungkin air keruh
kumuntahkan dalam setiap doa
kuhancurkan cangkang yang bebal dan tebal
agar aku nampak telanjang di hadapanmu
Sumenep, 2006
Kompas, 17 September 2006
JARUM
bisikmu selalu didengar embun pagi
sebelum kau kembali dalam sepi
jerami hanya sebentar menghangatkan
sebelum jasadmu kembali ke haribaan
ketika bisik bisik sampai ke ujung yang jauh
kau hanya mendesah, lupakan semua api
yang pernah kutangkap dan kutawan
kembalikan semua pada yang purba
bebaskan diri dari rasa kuasa
karena tak akan beroleh rasa terang
kesempurnaan akan sirna setiap ditatap
hanya satu yang kuminta sebelum kepergian
agar kilau matamu tak menusuk lagi
dengan rasa sakit yang sama
yang pernah kutemukan dalam kedukaan
tusukan yang akan mengingatkan semua kenangan
yang pernah kukenakan sebelum kesunyian
menjadi benang yang panjang dalam hidup
sebelum kejatuhan ke dalam jerami
kau mudah dicari dan ditangkap
namun kini wujudmu pun tak bisa kuingat
seolah tak mau kusentuh dan kudekati
pernah kuhapus asap yang mendengus
dalam belukar perjalanan api
yang akan membakarmu hidup hidup
agar bayang bayang segera sempurna
namun kucegah karena nadimu telah kulukai
jantungmu telah kutusuk agar cahaya menerangi
tanpa terbakar api
Sumenep, 2006
Kompas, 17 September 2006
PESTA TOPENG
pesta topeng telah dimulai
menyambut hari yang fana
gugusan bintang dan kabut yang meluncur
telah menyertai dan merestui upacara
kau telah puasa menahan rasa sakit
dan rasa nikmat yang mestinya kau dapat
melupakan semua nama nama yang pernah kau kenal
membuat nama nama baru agar bisa dikenal
bukan dari topeng tapi dari makna dan tanda
meski telah seribu wajah pernah kau ukir
pernah kau perankan untuk menipuku
namun dari guratanmu hanya kukenal satu nama
yang tak pernah bisa kueja sebelum hari pertemuan
ketika kau berkaca pada gelas retak, pada bening telaga
pada cakrawala yang terbersit hanya wajah yang purba
dalam kesunyian lembah lembah
dalam ketabahan gunung gunung
dalam keberanian matahari
yang tak bertepi dan tak berujung
sebelum kau menepi pada akhirnya nanti
sebelum rumah hatimu berubah wujud
hingga kau dapat mendengar
gemuruh neraka dan semilir surga
sebelum pergi ke pesta dunia yang sesungguhnya
kau siram tubuh dengan air suci
di bawah rurung agung
berwarna putih, kuning dan merah
setelah bersih kau siap naik tangga berikutnya
menuju rumahmu
Sumenep, 2006
Kompas, 17 September 2006
DI CANDI SUKUH
bila hanya arca untuk apa aku kenang
tapi ketika kupetakan tubuh ini
angin masa lalu menjatuhkan mataku
pada batu batu purba yang gelap gulita
arah mana yang kutuju
akan kutelusuri dari jejakmu
yang rapat terkunci di andesit tua
kuminta cahayamu membebaskan
dari segala kutukan di bumi
karena selama ini telah kuabdikan hidup
pada lingga dan yoni
apakah itu kesuburan atau kemaksiatan
hanyalah kesunyian yang tahu
hingga wajahku selalu berubah
hingga wajahku kau tolak ketika menghadap
tubuhku melayang pada permukaan bumi
bersama hantu hantu dan burung malam
kapan akan sampai pada tujuan
tangan, lengan, kepala, pantat, paha, kaki
berjalan sendiri sendiri menuju pohon randu
tempat permohonan dari dunia nyata
pengetahuanku hampir hancur ketika melihat
kegelapan bergelayutan pada dahan malam
lalu pohon apa yang semayam dalam diri
ketika lambung pedih, hati perih, jantung sedih
telah kuselami lumpur masa lalu hingga tubuh ini
memberat seperti kapal selam karam di luas samudera
ingin kulepas jaket tebal lumut kehidupan
yang pernah kugores di kanvas masa lalu
setelah kulihat dewi durga
terbebas dari kutukan karena doa sudamala
setelah disabda jadi raksasa mengerikan
di tengah malam terdengar bunyi kentongan bertalu talu
orang orang berhamburan keluar rumah
ingin diriku bangkit dari kegelapan ini
namun tubuhku terus memberat
tak ada yang dapat digerakkan
di antara kunang kunang yang berterbangan
di antara bau kembang dan kemenyan
Karanganyar, 2005
(Kompas, 25 Juni 2006)
EKOR
sudah lama kubenci pakaian ini
padahal selalu di belakangku
bayang bayang yang tak terlihat
bayang bayang hitam di perjalanan
bayang bayang yang tak mungkin kukejar
waktu hanyalah benalu yang melekat di ujung kaki
ketika tubuhku kusiram air telaga nyatanya lumut hijau
menyertai ke mana pun langkah kakiku
aku benci pada kemapanan dan kemunduran
aku benci pada yang di depan dan yang di belakang
karena hidup selalu tertinggal, selalu tersingkir
pengalamanku hanyalah mengusir lalat dan nyamuk
duduk di belakang sambil berjaga dan menutup pintu
lalu dengan apa aku akan menghadapmu
bila semua jalan ternyata bau
bila semua jalan telah tertutup
bila semua langkah telah tercegat
ingin kuciptakan kepala sendiri dari ekorku
dengan kepala yang mengekor
bayang bayang menjadi sirna
apa gunanya hidup tanpa bayang bayang
karena bayang bayang adalah diri yang sejati
karena bayang bayang adalah anak kita tanpa ibu
karena tanpa bayang bayang
tak akan pernah ada cahaya
Madiun, 2004
(Kompas, 25 Juni 2006, Surabaya Post, 27 Agutus 2006)
DI MAKAM SUNAN GIRI
h u mardi luhung
kunaiki tangga tanggamu
yang sempit hingga melebar ke atas
di antara pohon pohon hidup
randu alas, sawo kecik dan jelantang tua
kupanjat undak undakan batu
yang sunyi di atasmu
kutemui sebuah bangunan kuno
itukah kubah dari hati yang berubah
jelaga jelaga telah kering di muka pintu
ada arang, tembakau, pudak, semangka
dan bau kutuk masa lalu
ketika kubuka makam tak kutemukan kau di sana
hanya jejak yang membekas di dinding waktu
hanya sarang lebah yang berdengung tak tentu arah
mengelilingi dan sesekali menyengat tubuh
sendiri, sambil menghisap sari madu hidupnya
adakah yang lebih suci dari sebuah makam
kubaca kitab kitabmu di antara para serangga
pohon mengkudu yang tunduk pada alam
hanya seekor burung bulbul dari masa lalu
yang menemuiku, mempersilahkan aku minum
dari sungaimu yang kerontang di musim hujan
dalam kekosongan waktu yang kureguk
mempersilahkan aku makan dari pohon hayatmu
yang tak berbuah, tinggal dahan dahan kering
yang bergelayutan dalam hatiku
bila ini hari kamis maka esok hari jumat
tujuh hari dalam seminggu dapat kuhafal
namun tak kukenal nama nama hari berikutnya
demikian juga aku tak pernah dapat
mengikuti jejakmu dengan pasti
hanya berdendanglah yang dapat kulakukan
sambil meninggalkanmu di siang yang resah
Gresik, 2006
(Kompas, 16 April 2006)
LORJU’*
kisahmu tak pernah usai kubaca
tubuhmu bersayap di pasir memancar
di dalam lautan kau mencair
pernah kujumpa kau duduk sendirian
di atas karang membaca kitab samudera
ada angin, asin garam, badai, hujan
perahu dan para bajak laut
kisah cintamu dengan perawan laut
sudah usai tinggal kenangan yang hanyut
di lubuk sungai, sedang kau tersesat
di lautan pengembaraan menuju pusat
menjadi diri yang alit
di dasar bumi, pasir tepi pantai
kau bertapa berhari hari
menjadi yang maha kecil
enak, gurih dan nikmat
untuk santapan kehidupan
di sisi nasi kejahatan
dan sayur asam penderitaan
di dasar samudera kenangan
tak pernah kutemukan
tubuhmu yang tenggelam
menjadi matahari laut
yang ada hanya gangang
gunung dan jurang laut
yang tersisa hanya jejakmu
terhapus waktu
terpahat di dinding dinding laut
palung dan gua gua gelap berlumut
tinggal tanda yang harus kumaknai
berulang kali
agar aku sampai
padamu
Pantai Slopeng-Sumenep, 2005
*Sejenis kerang kecil, hidup di dalam pasir, biasanya dibuat camilan.
(Kompas, 16 April 2006)
MATAHARI BUMI RENCONG
ketika senja angslup kedalam gelap
mataku hampir buta
hatiku sakit memandang kelam
malam telah berkawan lelawar
bintang jatuh kearah kiblat
tak kutemukan petaMu
kumasukkan mata kalbuku kedalam sunyi
menunggu cahaya datang
mencari matahari yang hilang
kelubuk yang lebih lubuk
keasal yang lebih asal
ketepi yang yang lebih tepi
kesepi yang lebih sepi
kuburu cahaya matahari
diantara gelombang mautMu
kau tahu tubuh ini alergi pada kelam
telah kulepas seluruh pakaian kumal
kukenakan selimut tebal ketabahan
namun pertemuan selalu tertunda
kucari matahari dihutan-kota-Mu
kutemu mayat dan mayat
memintaku menjadi saksi
atas arang peradaban
dari jelaga jati diri
kuteruskan perjalanan rohku
mencari matahari yang satu
karena kini beribu matahari
saling berebut simpati
dibumiMu
***
(Kompas, 27 Februari 2005, Surya, 20 Februari 2005)
SEBENARNYA APA YANG MASIH TERSISA
sebenarnya apa yang masih tersisa
bila ombak telah meluruhkan gairah purba
dan anak anak telah kehilangan langit yang menawan
hanya reruntuhan hidup
yang menyala terang seakan dunia kiamat
dan diri kita hanyalah debu di jalan
kau tahu pintu hari telah terluka pada fajar hari
dan doa doa telah kembali pada langit
membersihkan diri dari noda dunia
yang kuingat
hanya sepenggal kejahatanku yang meluap
menjadi berhala dan kendala dalam pahala
seakan mulutku penuh lumpur masa lalu
yang dijelmakan tangan tangan kelam
yang menjulur ingin menguasai dunia
sebenarnya apa yang masih tersisa
bila di depan mata kita hanya mayat dan mayat
surga nampak maya dan masam berwajah ganda
***
(Kompas, 27 Februari 2005, Surya, 20 Februari 2005)
TIRAM
cahaya cahaya mulai menyusut dalam tubuhmu
air laut meluruh menjadi lumpur hidup yang langu
pesta kemarin tinggal kenangan dalam keabadian abu
sampan sampan telah berpulang ke hulu
para penjaga telah melepas semua tenda biru
serta pakaian, perhiasan, pernik pernik, kalung, sarung dan kayu waru
barang sewaan telah dipulangkan kepada yang punya sebelum berdebu
kini kau tinggal sendiri dalam kenangan rindu
kemegahan cahaya lautan yang merayu
para pelaut telah kembali mencari ikan, kerang, rumput, garam dan batu batu
ombak bagai mainan tak berpeghuni sedangkan dalam lautmu tak bisa diduga
hanya ikan ikan yang menemani menyeberang dari selat ke selat hingga muara
mencarimu dalam cahaya remang senjakala
tubuhmu mencair menjadi ular laut tembus cahaya namun tak teraba dan terasa
tak bersenyawa namun terwujud dalam pertanda
ujudkan dalam cahaya terang pintamu dalam bisikan lembut ke arah samudera
lalu berjejalan cahaya laut mengepungmu seolah mustika
namun kau ragu dalam menangkap isyarat sabda
hanya lumpur yang kau reguk dalam dahaga semesta
dan asin garam yang mencekik leher tak terseka
nafasmu tersenggal dan terpana menatap cahaya
hingga tenggelam ke dasar laut kehidupan yang maya
cumi, kuda laut dan sekawanan mutiara hitam menantimu
di ujung kemarau hingga getahmu kerontang dalam rindu
suatu hari kau minta pohon hujan yang benar benar turun dari langit biru
tanpa petir, geludug dan badai yang menderu
tiba tiba air hidupmu meluap ke dalam bilik bilik sanubarimu
yang tak tertampung dalam doa alitmu
ayat ayat lautan berjatuhan di atas terumbu dan perdu kalbu
menyala menjadi rumput laut, cermin laut, topeng laut, gelombang berlalu
menjadi sarang laut, jurang laut, bulu air, patung air, gemerecik bertalu
palung cahaya dan hantu hantu
dalam lukisanMu
Sumenep, 2006
(Kompas, 5 Februari 2006)
TUKANG CUKUR
guting, silet, penjepit rambut dan belati
telah menantimu dalam bising hari
telah kau sempurnakan lagi baling kipas yang mati
berputar salah arah dalam diri
hatimu kini cemas pada pasien antri
tak pernah usai mencari akar sejati
selalu datang saban hari
padahal telah kau pangkas hingga ke hati
dengan doa doa yang selalu kau amini
sebelum pekerjaan dimulai
namun rambut malam begitu lebat dan abadi
tak pernah terpangkas hingga akar birahi
rambut hitam telah memanjang dalam mimpimu
hingga membuatmu repot berjalan ke arah surau
langkah kakimu terhambat dan kau hanya sedeku di pintu
hingga tak kau mengerti ke mana semua ini menuju
yang nampak hanya gemerlap tubuh merayu
seperti kenangan yang tersesat puluhan tahun lalu
kekal dalam balutan kesunyian hidup yang ragu
padahal telah kau silet jatung malam yang menyatu
Sumenep, 2006
(Kompas, 5 Februari 2006)
JOKO TOLE*
aku lahir tanpa ayah dan ibu
dari sepasang kekasih
bermesraan dalam mimpi
begitu sabda raja diserukan kaum brahamana
bisik bisik di luar keraton berkembang
aku anak jadah tak berguna
dilahirkan karena hubungan gelap
mesum dan zina
di gua payudan penuh lenguh dan desah
karena akar kekar pohon purba membucah
menghujam ke liang gelap bumi yang rekah
namun kenyataan dinistakan demi istana
diciptakanlah mitos kebohongan
menyesatkan sejarah
tak peduli kasak kusuk tak berujung
kini aku mencari bayangan
wajah ayah dan ibu
yang tak pernah kulihat
sejak aku mengenal dunia
yang melahirkan dan menciptakanku
aku datangi pasar, terminal, tambak, danau
para nelayan dan para bajingan
tak sorang pun tahu
mereka hanya membisu
pandangan mata mendelik dan ragu
menjauh dari bangkai hidup yang bau
di pertapaan para dukun mengisahkan
aku lahir dari bumi dan berayah langit
di mana aku berdiri
di situ aku dipangku ibu
di mana aku tengadah
di situ aku menghadap ayah
maka aku memandang gelap malam yang gawat
sebagai ayah sepanjang hayat
karena belum puas pada hakikat hidup
dalam kegelapam malam
aku bertanya pada rembulan
di mana ayah ibuku yang sebenar benarnya
dalam mimpi purbani
aku menemukan isyarat ayat
tancapkanlah sepotong kayu ruh
buat kamu berteduh
di bawah pohon gayam aku bersamadi
dengan lelawar merah menemani
bergantungan di rahang rahang pohon
berhari hari tubuhku seperti batu
lumut melumat habis ragaku
dari rasa dendam dan benci
pohon pohon tumbuh dalam darahku
buah buah merekah dan matang dalam jatungku
binatang binatang berumah dalam dagingku
lautan berdeburan dalam pikiranku
angin berhembusan dalam hatiku
bintang bintang gemerlapan dalam jiwaku
meski tanpa ayah dan ibu yang tersujud
rahasia hidup akan terwujud
*Lengenda masyarakat Madura yang konon lahir dari sebuah mimpi Putri Koneng dan Adipoday
Sumenep, 2005
(Kompas, 5 Februari 2006)
JIWA-JIWA MATI
jiwa-jiwa telah mati
dan sia-sia tubuhmu hanyut di sungai
dan hari pun merekah dengan seribu serbuk kabut
menyebarkan dingin pagi
dan udara yang bisu serta kebiruan
jiwa-jiwa telah mati
dan kehidupan telah sirna
yang hidup adalah mayat-mayat
yang dihidupi api dendam
yang membakar segala yang ada
jiwa-jiwa telah mati
dan jiwa suci terkapar di kubur
dan purnama padam di kegelapan malam
dan mayat-mayat menyalakan obor kemenangan
kemenangan dari jiwa-jiwa yang mati
1999
Sumber Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001, Kompas Juni 2001
DI BUKIT ITU
di bukit itu
gelap selalu datang
dan tanah-tanah membelah diri
mayat-mayat hidup dalam mati
bergembira
membayang dari dahan kedahan
berderai tawanya tapi tertekan
seperti kesedihan yang tersimpan
aku lihat wajahnya yang hitam
dan sekelebat lubang-lubang menganga
tembus dari tubuhnya
begitu sempurna dan ngilu
di tapal batas bukit itu
sekelompok truk melintas dalam jalur hitam
menuju puncak bukit menurunkan muatan
mayat-mayat yang hidup dan mati
ada suara adzan di surau
mengiringi truk-truk melintas pulang
ada suara dari dalam
tentang sopir yang kehilangan kepalanya
dan di balik bukit
mayat-mayat berdzikir
di dekat jenazah kawannya yang datang
berdoa tentang kemanusiaan manusia yang hilang
1999
Sumber Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001, Kompas Juni 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar