JERAMI
kenapa tubuh selalu layu dalam tatapanmu
teronggok di tengah langit kesunyian
meski matahari selalu menyinari
hingga kesempurnaan tak pernah kudapat
hanya embun yang selalu menyelimuti
dan jubah malam yang menemani
pernah kupercaya rindumu akan datang tepat waktu
namun bertahun kutunggu kau tak pernah datang
hanya asap yang kau kirim sebagai isyarat sebab
tubuh menggigil dalam penderitaan tak berkesudahaan
pernah kupinjam tubuh baru dengan warna cerah
jiwa menolak dan ingin kembali padamu jua
warna warna telah kutuangkan ke dalam tubuh
kucat seluruh permukaan, dalam dan ketinggiannya
namun ruangku tak pernah puas dan terjamah
hingga dahaga selalu datang terlambat
dahan dahan muda pernah kusihir menjadi diri
namu wajah tetap sayu tak bisa ditipu dan ditiru
meski tetap tegak berjalan ke arah senja
ketika aku bertanya dengan apa aku dibuat
hanya seekor cacing yang terus menggemburkan tanah
ketika aku bertanya ke mana semua akan berakhir
tak seorang pun mau menjawab dan semua menjauh
hanya cerlang embun yang mengirimkan isyarat langit
ketika aku merenungi semua jawaban
tak kusadari perlahan api dalam diri telah membakar
hingga asap hidup yang bisa kuhirup
sebelum tubuhku membusuk
***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008
LUMUT
untuk apa aku melawan cahaya
bila semua yang kuperlukan tersedia
kesunyian bukan duka yang harus ditangisi
dingin batu maut yang tumbuh di tubuhku
adalah teman abadi yang mengajak samadi
air telah mendinginkan hati yang mulai mendidih
untuk apa kusuntukkan doa hingga pagi
bila hanya kesementaraan yang kutemui
bila keremangan terus menghayuti bagai malam
itulah hakikat hidup yang kelak kau maknai
sebagai tanda bahwa kau bukan yang abadi
kesempurnaan hanya ada dalam angan
dan hatimu akan luka bila kau terus meminta
agar cahaya membuatmu lebih dari pualam
karena kesepian akan lebih abadi dari kelahiran
angin telah mengabarkan ada yang lebih sesat
daripada memaknai dan menandai jejak perjalanan
bila kau sudi tubuhmu kuminta kembali
agar asin garam, kerikil dan pasir tak melukai lagi
karena cahaya bukan tempatku bertahta
***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008
LINTAH
permainan permainan cahaya yang kau perankan
dalam air yang bening hanyalah kemilau permukaan
sedang lautan akan selalu meminta hening yang dalam
sedalam lubuk hati yang tak pernah mendesah
telah kucegah darah yang keluar dari kulit ari
agar kau bisa mengembalikan tafsirmu
seperti yang selalu diminta lautan
hanya akan menerima kesetian yang tak cacat
hidupmu penuh perlambang tak terjamah
namun cermin yang selalu kau bawa dalam kegelapan
hanyalah samar menunju satu jalan
hingga kau selalu terjatuh dan tersesat
setiap akan memasuki lobang cahaya
demikian juga aku yang gagal menerjemahkan malam
darah telah kau kumpulkan dalam perjalanan panjang
agar sampai jasadmu ke haribaan
namun darah mudamu diminta untuk disucikan
sedang gelap datang dan menyerbu lubukmu
mataku telah kupinjamkan
agar tajam awasmu dapat menerka
waktu yang terus berputar
seolah warna senja akan segera tiba
sudah kuduga kau tak akan bisa
menjinakkan jentera malam
kupinjami lagi tubuh ini agar bisa menghias diri
agar tubuhmu tidak berledir lagi
hanya satu permintaanku sudikah kau kiranya
memimjamkan nafsumu itu
***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008
kenapa tubuh selalu layu dalam tatapanmu
teronggok di tengah langit kesunyian
meski matahari selalu menyinari
hingga kesempurnaan tak pernah kudapat
hanya embun yang selalu menyelimuti
dan jubah malam yang menemani
pernah kupercaya rindumu akan datang tepat waktu
namun bertahun kutunggu kau tak pernah datang
hanya asap yang kau kirim sebagai isyarat sebab
tubuh menggigil dalam penderitaan tak berkesudahaan
pernah kupinjam tubuh baru dengan warna cerah
jiwa menolak dan ingin kembali padamu jua
warna warna telah kutuangkan ke dalam tubuh
kucat seluruh permukaan, dalam dan ketinggiannya
namun ruangku tak pernah puas dan terjamah
hingga dahaga selalu datang terlambat
dahan dahan muda pernah kusihir menjadi diri
namu wajah tetap sayu tak bisa ditipu dan ditiru
meski tetap tegak berjalan ke arah senja
ketika aku bertanya dengan apa aku dibuat
hanya seekor cacing yang terus menggemburkan tanah
ketika aku bertanya ke mana semua akan berakhir
tak seorang pun mau menjawab dan semua menjauh
hanya cerlang embun yang mengirimkan isyarat langit
ketika aku merenungi semua jawaban
tak kusadari perlahan api dalam diri telah membakar
hingga asap hidup yang bisa kuhirup
sebelum tubuhku membusuk
***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008
LUMUT
untuk apa aku melawan cahaya
bila semua yang kuperlukan tersedia
kesunyian bukan duka yang harus ditangisi
dingin batu maut yang tumbuh di tubuhku
adalah teman abadi yang mengajak samadi
air telah mendinginkan hati yang mulai mendidih
untuk apa kusuntukkan doa hingga pagi
bila hanya kesementaraan yang kutemui
bila keremangan terus menghayuti bagai malam
itulah hakikat hidup yang kelak kau maknai
sebagai tanda bahwa kau bukan yang abadi
kesempurnaan hanya ada dalam angan
dan hatimu akan luka bila kau terus meminta
agar cahaya membuatmu lebih dari pualam
karena kesepian akan lebih abadi dari kelahiran
angin telah mengabarkan ada yang lebih sesat
daripada memaknai dan menandai jejak perjalanan
bila kau sudi tubuhmu kuminta kembali
agar asin garam, kerikil dan pasir tak melukai lagi
karena cahaya bukan tempatku bertahta
***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008
LINTAH
permainan permainan cahaya yang kau perankan
dalam air yang bening hanyalah kemilau permukaan
sedang lautan akan selalu meminta hening yang dalam
sedalam lubuk hati yang tak pernah mendesah
telah kucegah darah yang keluar dari kulit ari
agar kau bisa mengembalikan tafsirmu
seperti yang selalu diminta lautan
hanya akan menerima kesetian yang tak cacat
hidupmu penuh perlambang tak terjamah
namun cermin yang selalu kau bawa dalam kegelapan
hanyalah samar menunju satu jalan
hingga kau selalu terjatuh dan tersesat
setiap akan memasuki lobang cahaya
demikian juga aku yang gagal menerjemahkan malam
darah telah kau kumpulkan dalam perjalanan panjang
agar sampai jasadmu ke haribaan
namun darah mudamu diminta untuk disucikan
sedang gelap datang dan menyerbu lubukmu
mataku telah kupinjamkan
agar tajam awasmu dapat menerka
waktu yang terus berputar
seolah warna senja akan segera tiba
sudah kuduga kau tak akan bisa
menjinakkan jentera malam
kupinjami lagi tubuh ini agar bisa menghias diri
agar tubuhmu tidak berledir lagi
hanya satu permintaanku sudikah kau kiranya
memimjamkan nafsumu itu
***
Suara Merdeka, Minggu, 23 Maret 2008
1 komentar:
Nice poems.. There are simple words.. Those are really easy to be understood..
Posting Komentar