MATI SURI TEATER JAWA TIMUR
Oleh S Yoga
Pada dekade terakhir ini dunia teater Jawa Timur, bahkan Indonesia, benar-benar mengalami kemerosotan. Tidak tampak kelompok teater yang kuat muncul. Kalaupun ada, hanyalah teater-teater dan aktor-aktor lama yang bangkit dan berpentas, misal Teater Koma.
Noorca M.Massardi bahkan meminta Festival Teater Jakarta dibubarkan saja (Kompas,7/1) karena kualitas pesertanya makin merosot jauh. Demikian juga Festival Teater Remaja Jatim yang tak kedengaran gaungnya, meski setiap tahun diadakan.
Ada apa sebenarnya dengan dunia teater kita hingga kini tak memunculkan kekuatan yang dapat dibicarakan di tingkat provinsi atau nasional. Jangan-jangan para pekerja teater belum dapat menyadari bahwa kerja teater sebenarnya bagaikan ilmuwan yang sedang melakukan riset.
Sering saya melihat pementasan teater, baik di daerah maupun di Surabaya, menampilkan naskah yang cenderung tidak memiliki karakter antartokohnya sehingga pementasan seolah suara dari satu karakter. Artinya, kelemahan yang pertama adalah naskah yang sering dibuat sendiri.
Coba kita hitung di antara pementasan yang pernah ada, sangat minim kelompok teater yang berani menampilkan naskah standar. Pada tahun lalu saya mencatat naskah standar ditampilkan ditampilkan dengan cukup bagus oleh kelompok Teater Unisma Malang di Festival Seni Surabaya dengan naskah Aduh (Putu Wijaya), yang berani mengimajinasikan seting dalam sebuah lingkungan pabrik dengan mesin-mesinnya. Sebuah penemuan dan kerja kreatif yang patut diacungi jempol.
Kemudian kelompok Tombo Ati dari Jombang yang menampilkan Kapai-Kapai (Arifin C.Noor) di Cak Durasim. Akan tetapi, kelompok ini agak lemah dalam penyutradaraan karena waktu yang terlalu lama, sedangkan greget pementasan mulai kedodoran. Pilihan naskah standar inilah yang patut ditiru oleh kelompok-kelompok lain kalau benar-benar ingin bermain seni peran, keaktoran.
Pementasan-pementasan yang ada di beberapa kota umumnya menampilkan sebuah pementasan yang mirip-mirip gaya bermainnya Teater Sae, dengan naskah yang serupa ditulis oleh Afrizal Malna. Jangan lupa, sebelum Teater Sae berkecimpung dalam naskah-naskah semacam itu, mereka pernah merajai Festival Teater Jakarta dengan naskah-naskah standar . Ibarat seorang pelukis, mereka ini sudah menguasai lukisan realis terlebih dahulu sebelum melukis surealis atau yang lain.
Namun, yang saya temui dalam pementasan di beberapa kota menampakkan bahwa kelompok teater ini tidak menguasai lukisan realis, tetapi langsung melukis surealis atau absurditas. Ketika diminta untuk melukis realis yang muncul lukisan-lukisan yang lucu dan tak berwatak. Inilah wajah teater kita hari ini, menempuh jalan pintas yang metodologinya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Sebuah kelompok msetinya memiliki jati diri dan bukan jati diri orang lain, kecuali mereka mampu melakukan terobosan kreativitas yang radikal dari pendahulunya. WS Rendra pun pernah melakukan pementasan mini kata, namun ia kembali lagi kepada hakikat teater, yakni seni peran. Bahkan ia mengatakan pementasan semacam itu hanya merupakan eksplorasi dalam metode pelatihan.
Ada beberapa catatan menarik dari pementasan teater di jatim selama ini.
Pertama, merupakan manifestasi dari budaya massa. Banyak pementasan yang menyiratkan adegan sinetron, misteri, detektif, serta banyolan ala Srimulat dan film aksi yang mengharu-biru penonton dengan realitas diangan-angan. Bisa jadi tanpa sadar para pelaku pementasan yang bernapas budaya massa, bersifat menyenangkan, wishful thingking, adalah produk yang gilang-gemilang rekayasa budaya saat ini. Akhirnya yang muncul dipentas tak lain konflik kata-kata, karakter tunggal: flat character. Bentuk seninya masih dicari-cari sehingga kesadaran sosial dan kemasyarakatan menjadi terabaikan.
Kedua, meski pertunjukan dikemas rapi dan baik, berlubang besar kejiwaan tokoh-tokohnya. Kelompok seperti ini sebenarnya cukup menguasai teknik teater, tetapi begitu tergoda dengan hasrat pemberontakannya, tidak sabar dan tidak jeli dalam teknik penyampaian. Rupanya kredo dari kelompok-kelompok ini memang sudah mengkhususkan diri pada teater kesadaran yang didaktis. Jika kelompok-kelompok ini bisa keluar dari rasa “amarah” yang berlebihan, tentu hasilnya akan merupakan bentuk seni yang menarik, berupa suatu gerakan kesadaran. Seni bukan suatu entitas mati. Ia dinamis sejalan dengan kesadaran manusia.
Ketiga, memilih naskah yang sublim, namun ekspresi seninya kurang mendapat porsi yang optimal. Sebenarnya dengan menggarapa dengan lebih jeli lagi mengerahkan segala daya kreativitas untuk mewujudkan kompleksitas karakter: round character. Pementasan mereka akan lebih memberi siraman rohani, batin kita yang merupakan roh dari gerak budaya. Mereka akan mampu menyebarkan gagasan, tematik yang penting guna pencerahan masyarakat yang telah dikepung oleh segala silang-sengkarut kenyataan yang bertambah kompleks dan membingungkan.
Mereka akan mampu merefleksikan daya cipta yang secara sublim dari ruang batin masyarakat yang tengah dibungkam. Bila kelompok-kelompok semacam ini dapat mengoptimalkan bentuk seninya, ia adalah potensi besar.
Keempat, pertunjukan yang penuh dengan konflik kata-kata, konflik fisik, konflik adegan, terampil beratraksi, kayak sirkus, pandai beretorika, mecomot sana-sini istilah yang lagi keren di periklanan, digabungkan dengan teknologi, politik, dan dihampirkan pada agama, jadilah pementasan teater. Ditambah penguasaan medium lewat trik-trik adegan, fragmentasi, jadilah pertunjukan yang menakjubkan inderawi, bagai film futuris atau sirkus. Urusan peran dan jiwa untuk sementara dilupakan.
Dari berbagai kelemahan-kelemahan yang ada, baik kurang optimalnya daya ekspresi,bentuk dan isi, maupun wawasan sastranya, diharapkan pada kesempatan mendatang para pekerja teater dapat membenahinya. Bukan hanya katarsis inderawi semata. Keseimbangan antarkeduanya akan memunculkan kebenaran dalam berkesenian yang bisa menerobos melampaui batas-batas moral, yakni gambaran-gambaran keadaan yang humanis.
Memang karya sastra yang baik juga haruslah menyuarakan semangat zaman, zetgeist. Atau lebih dalam lagi, ia tak akan lekang oleh waktu. Namun, semangat zaman yang temporer dan membabi buta, tak lebih sebagai sebuah propaganda, yang nilainya sesaat. Tak ada kedalaman renungan hidup dan hanyalah merupakan usaha penumpulan kecerdasan dan kehalusan budi kita, tidak memberi keaktifan, pertanyaan, dan kegelisan hidup. Padahal, kerja kebudayaan adalah sebaliknya.
Disinilah letak dilematis ekspresi seni. Di sini pula letak pentingnya kedudukan seni di dalam kehidupan. Ia bukan lokomotif demokrasi, tetapi ia adalah gerak roh budaya demokrasi itu sendiri.
Oleh S Yoga
Pada dekade terakhir ini dunia teater Jawa Timur, bahkan Indonesia, benar-benar mengalami kemerosotan. Tidak tampak kelompok teater yang kuat muncul. Kalaupun ada, hanyalah teater-teater dan aktor-aktor lama yang bangkit dan berpentas, misal Teater Koma.
Noorca M.Massardi bahkan meminta Festival Teater Jakarta dibubarkan saja (Kompas,7/1) karena kualitas pesertanya makin merosot jauh. Demikian juga Festival Teater Remaja Jatim yang tak kedengaran gaungnya, meski setiap tahun diadakan.
Ada apa sebenarnya dengan dunia teater kita hingga kini tak memunculkan kekuatan yang dapat dibicarakan di tingkat provinsi atau nasional. Jangan-jangan para pekerja teater belum dapat menyadari bahwa kerja teater sebenarnya bagaikan ilmuwan yang sedang melakukan riset.
Sering saya melihat pementasan teater, baik di daerah maupun di Surabaya, menampilkan naskah yang cenderung tidak memiliki karakter antartokohnya sehingga pementasan seolah suara dari satu karakter. Artinya, kelemahan yang pertama adalah naskah yang sering dibuat sendiri.
Coba kita hitung di antara pementasan yang pernah ada, sangat minim kelompok teater yang berani menampilkan naskah standar. Pada tahun lalu saya mencatat naskah standar ditampilkan ditampilkan dengan cukup bagus oleh kelompok Teater Unisma Malang di Festival Seni Surabaya dengan naskah Aduh (Putu Wijaya), yang berani mengimajinasikan seting dalam sebuah lingkungan pabrik dengan mesin-mesinnya. Sebuah penemuan dan kerja kreatif yang patut diacungi jempol.
Kemudian kelompok Tombo Ati dari Jombang yang menampilkan Kapai-Kapai (Arifin C.Noor) di Cak Durasim. Akan tetapi, kelompok ini agak lemah dalam penyutradaraan karena waktu yang terlalu lama, sedangkan greget pementasan mulai kedodoran. Pilihan naskah standar inilah yang patut ditiru oleh kelompok-kelompok lain kalau benar-benar ingin bermain seni peran, keaktoran.
Pementasan-pementasan yang ada di beberapa kota umumnya menampilkan sebuah pementasan yang mirip-mirip gaya bermainnya Teater Sae, dengan naskah yang serupa ditulis oleh Afrizal Malna. Jangan lupa, sebelum Teater Sae berkecimpung dalam naskah-naskah semacam itu, mereka pernah merajai Festival Teater Jakarta dengan naskah-naskah standar . Ibarat seorang pelukis, mereka ini sudah menguasai lukisan realis terlebih dahulu sebelum melukis surealis atau yang lain.
Namun, yang saya temui dalam pementasan di beberapa kota menampakkan bahwa kelompok teater ini tidak menguasai lukisan realis, tetapi langsung melukis surealis atau absurditas. Ketika diminta untuk melukis realis yang muncul lukisan-lukisan yang lucu dan tak berwatak. Inilah wajah teater kita hari ini, menempuh jalan pintas yang metodologinya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Sebuah kelompok msetinya memiliki jati diri dan bukan jati diri orang lain, kecuali mereka mampu melakukan terobosan kreativitas yang radikal dari pendahulunya. WS Rendra pun pernah melakukan pementasan mini kata, namun ia kembali lagi kepada hakikat teater, yakni seni peran. Bahkan ia mengatakan pementasan semacam itu hanya merupakan eksplorasi dalam metode pelatihan.
Ada beberapa catatan menarik dari pementasan teater di jatim selama ini.
Pertama, merupakan manifestasi dari budaya massa. Banyak pementasan yang menyiratkan adegan sinetron, misteri, detektif, serta banyolan ala Srimulat dan film aksi yang mengharu-biru penonton dengan realitas diangan-angan. Bisa jadi tanpa sadar para pelaku pementasan yang bernapas budaya massa, bersifat menyenangkan, wishful thingking, adalah produk yang gilang-gemilang rekayasa budaya saat ini. Akhirnya yang muncul dipentas tak lain konflik kata-kata, karakter tunggal: flat character. Bentuk seninya masih dicari-cari sehingga kesadaran sosial dan kemasyarakatan menjadi terabaikan.
Kedua, meski pertunjukan dikemas rapi dan baik, berlubang besar kejiwaan tokoh-tokohnya. Kelompok seperti ini sebenarnya cukup menguasai teknik teater, tetapi begitu tergoda dengan hasrat pemberontakannya, tidak sabar dan tidak jeli dalam teknik penyampaian. Rupanya kredo dari kelompok-kelompok ini memang sudah mengkhususkan diri pada teater kesadaran yang didaktis. Jika kelompok-kelompok ini bisa keluar dari rasa “amarah” yang berlebihan, tentu hasilnya akan merupakan bentuk seni yang menarik, berupa suatu gerakan kesadaran. Seni bukan suatu entitas mati. Ia dinamis sejalan dengan kesadaran manusia.
Ketiga, memilih naskah yang sublim, namun ekspresi seninya kurang mendapat porsi yang optimal. Sebenarnya dengan menggarapa dengan lebih jeli lagi mengerahkan segala daya kreativitas untuk mewujudkan kompleksitas karakter: round character. Pementasan mereka akan lebih memberi siraman rohani, batin kita yang merupakan roh dari gerak budaya. Mereka akan mampu menyebarkan gagasan, tematik yang penting guna pencerahan masyarakat yang telah dikepung oleh segala silang-sengkarut kenyataan yang bertambah kompleks dan membingungkan.
Mereka akan mampu merefleksikan daya cipta yang secara sublim dari ruang batin masyarakat yang tengah dibungkam. Bila kelompok-kelompok semacam ini dapat mengoptimalkan bentuk seninya, ia adalah potensi besar.
Keempat, pertunjukan yang penuh dengan konflik kata-kata, konflik fisik, konflik adegan, terampil beratraksi, kayak sirkus, pandai beretorika, mecomot sana-sini istilah yang lagi keren di periklanan, digabungkan dengan teknologi, politik, dan dihampirkan pada agama, jadilah pementasan teater. Ditambah penguasaan medium lewat trik-trik adegan, fragmentasi, jadilah pertunjukan yang menakjubkan inderawi, bagai film futuris atau sirkus. Urusan peran dan jiwa untuk sementara dilupakan.
Dari berbagai kelemahan-kelemahan yang ada, baik kurang optimalnya daya ekspresi,bentuk dan isi, maupun wawasan sastranya, diharapkan pada kesempatan mendatang para pekerja teater dapat membenahinya. Bukan hanya katarsis inderawi semata. Keseimbangan antarkeduanya akan memunculkan kebenaran dalam berkesenian yang bisa menerobos melampaui batas-batas moral, yakni gambaran-gambaran keadaan yang humanis.
Memang karya sastra yang baik juga haruslah menyuarakan semangat zaman, zetgeist. Atau lebih dalam lagi, ia tak akan lekang oleh waktu. Namun, semangat zaman yang temporer dan membabi buta, tak lebih sebagai sebuah propaganda, yang nilainya sesaat. Tak ada kedalaman renungan hidup dan hanyalah merupakan usaha penumpulan kecerdasan dan kehalusan budi kita, tidak memberi keaktifan, pertanyaan, dan kegelisan hidup. Padahal, kerja kebudayaan adalah sebaliknya.
Disinilah letak dilematis ekspresi seni. Di sini pula letak pentingnya kedudukan seni di dalam kehidupan. Ia bukan lokomotif demokrasi, tetapi ia adalah gerak roh budaya demokrasi itu sendiri.
(S Yoga, Penyair dan Pemerhati Teater. Tinggal di Sumenep, Madura).
Pernah dimuat di harian Kompas Edisi Jawa Timur, Sabtu, 3 Februari 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar