Sabtu, 24 Mei 2008
Puisi di Jurnal Nasional
LILIN
telah kumusnahkan tubuh yang dulu
hingga dapat kuciptakan bayangan baru
dengan api yang selalu menghabiskan
kepercayaan kepercayaanku telah jatuh
ke dalam jurang jurang malam
pada langit yang tak pernah kujangkau
kuharap kau merunduk dan menciumku
karena hanya ruang yang dapat kupahami
dengan waktu pun aku telah menjauh
karena hanya akan mengekalkan kesunyian
yang selalu kumusuhi dalam mencari terang
aku hanya bertamsil pada angin yang membisu
di atas meja berplitur yang menggoda
debu debu telah bersetubuh dengan waktu
mengincarku dengan bidikan lumpur
agar aku runtuh dalam lobang yang sama
lobang yang pernah kugali saat kejatuhan dulu
saat aku membenci warna yang menyilaukan
ketika aku menyihir bayang bayang
dari kenikmatan kenikmatan dunia
di atas penderitaanmu
memang kebahagiaan yang selalu kucari
dengan api yang menerangi kegelapan
sebelum tubuh habis dilalapnya
***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008
IKAN
bukan aku yang ingin mendustai
sisik sisik ini bukti keremajaanku
meski telah kutempuh berpuluh lautan
jurang, palung dan kapal karam
yang selalu menggoda adalah waktu
yang tak pernah mau menunjukkan arah
hingga cahaya lautan tak dapat kutaklukkan
maka terimalah aku sebagai kepunyaanmu
bila belum dengan apa aku harus datang padamu
akan kuberikan jika kau minta seluruh harta di laut
namun kau hanya mengirimkan isyarat ombak
yang kuterjemahkan dalam ibadah
bahwa keikhlasanku belum sampai batas
kugali lagi darah air agar dapat menjadi bukti
bahwa aku pernah sampai di palung terdalam
untaian untaian mutiara ini buktinya
yang telah kuraih dari mulut tiram yang karam
istana dan kerajaan lautan pun pernah kusinggahi
namun tak kutemukan kau di singgasana
hanya ada jerangkong kosong bermahkota lumut
telah kusihir beribu kuda laut agar takluk
namun desirmu telah menggagalkan semua rencana
padahal pasir pasir telah berjamaah bersamaku
agar selalu setia menemani dalam kesepian
agar selalu setia menemani dalam kegelapan
akan kutunggu dan kujebak kedatanganmu
kusiapkan perangkat doa agar kau menerimaku
sebelum matahari mengeringkan lautan
***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008
TULANG
telah kuterima nasihatmu wahai sang malam
agar aku tabah menerima semua ini
menerima kepurbaan yang terus melapuk
menerima lumpur yang terus menyembur
darah atau lumpur tak pernah kuingat benar
ke dalam pori pori yang tak pernah berkuasa
bukan aku menolak tapi isyarat malam terus menatap
karena matahati telah terkubur di jantung nafsu
dan sumsum hidup telah terhisap ke dalam lambung
aku tak ingin melukai hatimu yang rapuh
dan tak ingin menyempurnakan kefanaanmu
setiap hari aku hanya bercermin pada labirin waktu
yang kuterjemahkan sebagai tugu kesunyian
sebelum kebangkitan cahaya yang pertama
arwahmu telah memintaku untuk kembali
namun aku masih sabar menghadapi kegelapan
***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008
AKIK
telah kuserap semua cahaya yang kukenal
ke dalam diri yang gelap gulita
agar raga dapat kau lihat dengan kemilau
agar kesempurnaan bukan lagi kemustahilan
apa gunanya bertapa di dalam gua
bila batu batu tetap menyertai
tubuh begitu berat sebelum terbasuh dalam air
rasa yang tak pernah kujumpa sebelum kejatuhan
langkah besarku menjadi begitu bebal dan gagal
bila kusidik dari jemari tangan yang hening
gerinda telah membuatku mahir memainkan peran
menggosok tubuh hingga mengilap
jasad yang sebentar tampak indah
lumpur lumpur telah kutaklukkan dalam air bening
telah kusuling menjadi kristal kristal cahaya
sebelum musuh musuhku membuatku lebih berharga
batu mulia kau sebut ragaku yang baru
namun aku undur dalam kata kata mutiara
sebelum para aulia
mempercayai
***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008
MATA
kubenamkan matahati di air hening
ketika subuh mengutusku ke dalam sepi
kubuka jendela dan matahari menghampiri
sisiknya bergelantungan di janggut pepohonan
berkilauan diiringi cericit burung pipit
dengan api pagi kuambil jaketku yang lusuh
siap berangkat bertarung dengan waktu
mataku kini memang sunyi di bawah tatapanmu
tapi percayalah dendam telah kusimpan rapi
di almari hati yang luka oleh kenangan
sebenarnya enggan aku menatap sebening telaga
karena cahaya hanya memantul di permukaan air
ingin aku tenggelam selamanya di dasar kolam
agar raga berlumut dan menebal dalam warna kelam
agar diri terhindar dari gelombang cahaya
telah kusidik luas dan panjang palungmu
dengan mata yang hampir buta karena luasmu
tak mampu kujangkau dan kuukur kekufuran ini
sedang jejak jejak yang pernah tertinggal
hanya samar dan hampir terhapus kitab waktu
batu dan ilalang telah kujinakkan
dalam rumah doa dan savana
agar ia tabah dalam mencari mata sejati
yang berwajah kesunyian
***
Jurnal Nasional, 25 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar