Jumat, 17 Desember 2010
NAMA SAYA BUKAN OREZ-OREZ ITU CUMA NAMA
NAMA SAYA BUKAN OREZ
Cerpen : S. Yoga
Nama saya bukan Orez, kepala saya tidak besar, kasar dan benjol-benjol. Tangan dan kaki juga tidak sebesar milik Orez. Tubuh saya normal, tidak kerdil, pokoknya wujud tubuh saya normal saja. Bahkan wajah saya cukup tampan. Otak saya juga tidak idiot kayak Orez. Suara saya juga tidak sehebat dan sekeras suara Orez yang seperti gemuruh gempa bumi itu.
“Pokoknya saya bukan Orez.”
Tapi kenapa orang-orang memanggil saya dengan mana Orez. Sungguh keterlaluan.
Memang, mulanya hanya kawan-kawan masa kecil saja yang memanggil saya dengan sebutan Orez. Kata teman-teman karena saya nakal luar biasa, pernah mengencingi Sita saat bermain di selokan, menusuk ban mobil tetangga, menimpuk kakek yang lewat, dan mengembat dompet purnawirawan sehabis mengambil pensiun. Tapi itu kenakalan yang lumrah, kenakalan anak kecil. Saat itulah teman saya sering memanggil saya dengan nama Orez. Saya sendiri tidak tahu apa maksudnya dan apa maknya nama itu. Ketika saya tanyakan kenapa mereka memanggil nama saya dengan Orez, mereka pun tidak tahu apa maksudnya. Katanya, pokoknya kamu pantas menyadang nama itu. “Orez! Orez! Sayangku! Sini Orez, jangan ngembat domet ayah ya, jangan menimpuk rumah lagi ya, jangan mengores-ngoresi mobil ayah dengan tahi kuda ya, ya Orez malang berotak kosong.”
Begitu kawan-kawan bila meledek. Dengan serta merta mereka saya kejar. Bila ada yang tertangkap langsung saya hajar hingga babak belur, setengah jam kemudian pasti orang tuanya memiting telinga saya, menjewernya hingga berdarah-darah. Tapi kelakuan orang tua mereka justru tidak menyurutkan nyaliku untuk membenci keluarga itu. Maka malamnya kutebar jarum, paku di pelataran rumahnya, Saya tahu, ayahnya sebentar lagi pulang dari luar kota. Ketika mobil masuk, tak terasa apa-apa, esoknya, sekeluarga akan uring-uringan, mau melabrak saya tak ada saksi, mereka hanya marah-marah, teriak-teriak, menghujat namaku. Saya tersenyum sinis di bawah pohon jambu bol, sambil membetulkan ketapel untuk membidik burung kakaktua kesayangan keluarga itu, nanti siang bila sudah sepi.
Sejak kecil memang saya sudah dilatih berburu. Hingga dewasa berburulah hobi saya. Hutan-hutan mana yang belum saya jelajahi, tak ada lagi, semua pernah saya jelajahi, sayalah pemburu ulung. Namun banyak orang yang menyangsikan keulungan saya sebagai pemburu. Padahal petualangan saya sudah banyak saksi mata melihat dengan mata kepala dan mengikuti setiap perburuan. Tapi orang-orang tetap tidak percaya pada kisah-kisah petualangan saya. Sungguh membuat saya masygul, sedih dan terlunta. Tak kurang lusian kisah perburuan telah saya terbitkan. Itu pun tidak mereka percaya. Mereka bilang kisah itu penuh manipulasi, “bohong besar, tak ada danau di hutan ini. Orez jelas embual besar, pandai menipu sejarah, bahaya ia bila jadi penguasa.”
Jelas itu sebuah sindiran yang keras terhadap saya, dan hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena saya benar-benar bukan seorang pembual apalagi penipu sejarah, kisah petualngan berburu sesuai benar dengan peristiwa yang ada. Memang di sana-sini ada kisah-kisah lucu, ya sekedar berolok-olok, dan memang ada sedikit kisah yang berbohong, tapi ini kan supaya ceritanya dramatik, pembaca tertarik dan tidak bosan. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh penulis-penuli kita. Tapi mereka tetap saja tidak percaya dan terus menuduh saya hanyalah seorang penipu. Apalagi dengan menyebut-nyebut nama Orez. Dan nama itu bukan nama saya. Penghinaan besar!
Saya tak terima atas tuduhan ngawur itu. Saya bukan Orez. Kisah perburuan saya tidak fiktif. Saking marahnya. Seluruh staf perusahaan dan cabang-cabangnya saya kumpulkan. Briefing. Siapa yang berani memangil nama saya dengan sebutan Orez harus didenda atau dikeluarkan, dan jelas itu merupakan tindakan provokasi dan dengan tujuan mengina dina diri saya. Juga siapa yang tak percaya kisah-kisah saya yang telah susah-susah saya tulis juga harus dikeluarkan dari perusahaan. Dan mulai saat ini mereka wajib membaca buku-buku yang telah saya tulis, keputusan-keputusan dalam perusahaan juga harus merujuk ke dalam buku saya yang berkaitan dengan hal tersebut. “Siapa membangkang ke luar dari perusahaan.” Semua tidak ada yang bicara. Mereka tunduk. Meski pikiran mereka sulit diterka.
Tapi selalu saja ada yang lolos dari awasan saya. Pernah saya pergoki, beberapa karyawan membicarakan nama saya dengan menyebut nama Orez. Dan menghubung-hubungkan dengan tokoh-tokoh raksasa. Mereka bilang sudah sepatutnya saya dipanggil Orez, “wataknya sudah jelas merusak.” Saya tidak terima, saya sidang mereka berlima, yang sebelumnya, muka mereka sudah tidak karuan rupanya terkena jotosan tangan kiri kanan. Mereka sangat menjengkelkan, ketika saya tanya kenapa mereka menyebut saya dengan Orez? Dan bagimana asal usul dongen Orez? Mereka bungkam. “Ah, dasar pemberontak.” Sebagai imbalan ketidak hormatan mereka pada orang yang seharusnya mereka hormati. Sebelum saya pecat mereka saya jajar semalaman di atas kursi yang belakangnya saya aliri setrum listrik otomatis yang menyengat setiap dua menit. Esok paginya mereka harus berjemur seharian di tengah terik matahari tanpa busana. Setelah itu saya lepaskan. Saya pulangkan tanpa pesagon. Dan setelah kejadian itu tak ada yang berani macam-macam. Entah kenapa. Mungkin takut, tidak berani melapor. Karena yang sudah-sudah, yang berani menghinaku, selalu ditemukan tewas tertembak. Sedangkan siapa yang membunuh saya benar-benar tidak tahu.
Namun semuanya itu sebenarnya belum memuaskan diriku. Saya belum merasa lega bila belum tahu apa artinya sebenarnya nama Orez. Hingga kini tak seorang pun yang tahu dan mau menceritakan padaku. Sudah berpuluh-puluh buku saya baca, bahkan beratus-ratus tak kutemu juga nama Orez. Ensiklopedi juga tak memuat. Apalagi kamus.
Sementara permasalahan penelusuran nama Orez mulai terlupa. Muncul masalah baru. Isteriku yang kelima mau minta cerai. Ini jelas keberanian yang luar biasa. Selama ini tak ada yang merasa resah apalagi minta cerai. Semua kebutuhan telah tercukupi. Permasalahan ranjang pun, mereka selalu merasa puas. Siapa yang du balik semua itu, pikirku. Dari tempat beruru di luar pulau. Saya langsung ke rumah Ida. Saya ketuk pintu dengan ujung senapan. Ida membuka pintu. Saya berdiri tegar dengan senapan masih mengarah ke depan. Tak disangka Ida segera menubruk kaki saya, bersimpuh, meminta maaf atas ucapannya, niatannya. Segera saya angkat dia. Saya lentangkan di atas meja. Kami bersetubuh sehari penuh, seperti binatang yang lagi birahi. Dalam keadaan begini memang kami binatang.
Anak-anak juga seperti ayahnya. Mereka sungguh hobi berburu. Sudah berapa banyak binatang-binatang mati, terkena bidikannya. Beberapa banyak gadis-gadis yang juga kena jeratannya. “Dasar anak-anak mewarisi jiwa ayahnya.” Tapi mereka tak pernah pulang ke rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berburu. Berburu apa saja yang mereka sukai. Tak tanggung-tanggung, selain di pulau-pulau negeri ini, mereka juga berburu-buruannya di negeri-negeri lain. Mereka punya gerombolan-gerombolannya sendiri yang begitu taat pada pemimpinnya. Dan pemimpinnya, ya anak-anak saya.
Nyatanya1 Semua itu belum membahagiakan hati saya. Satu-satunya ketersinggungan saya pada siapa pun adalah sebutan nama Orez. Di belakang keberhasilan anak-anak saya, selalu diembel-embeli, “oh anaknya Orez.” Begitu pulan sebutan isteri-isteri saya, “oh isterinya Orez.” Karenanya, saya mangkel luar biasa. Siapa yang berabi menyebut-nyebut nama saya. Akan saya balas penghinaan itu.
Maka karena saya terbiasa bekerja sendiri, kalau tidak terpaksa tidak akan meminta bantuan orang lain. Semua sumber yang menyebut saya Orez, saya telusuri. Dengan bekerja tak mengenal waktu dan karena insting berburu saya. Dalam tempo kurang sebulan semua ketemu. Semua saya kasih pelajaran dengan muka tak berbentuk, ada yang mulutnya robek, jidatnya miring, kepalanya peang, kupingnya hilang, hidungnya rontok matanya juling. Semua akhirnya jadi bungkam. Dan pihak keamanan tak bisa melacak siapa pelakunya. Karena kerja saya begitu rapi dan bersih dari jejak. “Jelas naluri pemburu.”
Sementara itu, laporan-laporan dari perusahaan-perusahaan menjadi merepotkan sekali di bulan ini. Saya diharapkan segera mewaspadai datangnya bahaya badai La Nina, yang bakal rutin mengunjungi kota kami. Setiap tahun di bulan ini. Tapi di tahun ini katanya badai ini merupakan siklus 100 tahunan yang terhebat. Dengan resiko seluruh kota akan porak-poranda sama dengan 100 tahun yang lalu. Dengan laporan ini, saya tidak menganggapnya sama sekali. “Ramalan sudah biasa hanya menakut-nakuti.” Tapi laporan yang benar-benar membuat saya murka. Aadalah laporan yang hanya sehelai selebaran. Yang katanya sudah disebarluaskan ke segenap pelosok kota. Isinya menghujat saya: “Orez,” begitu mereka menyebut di selebaran, dan perusahaan-perusahaan yang saya miliki, katanya mencemarkan seluruh kota. Menghadang aliran-aliran sungai yang akan mengakibatkan banjir besar. Dan perusahaan milik saya, katanya begitu sewenang-wenang terhadap pegawai dan buruh-birihnya. Mereka sepakat besok pagi akan mengadakan dmonstrasi besar-besaran menentang perusahaan-perusahaan saya.
Oleh semua itu, sebenarnya, yang membuat saya murka bukan masalah pencemaran dan segala hal yang berkaitan dengan perusahaan. Tapi sekali lagi, karena sebutan nama, ya mereka menyebut saya dengan. “Orez.” Oh suatu penghinaan massal yang sangat memukul saya. Mereka benar-benar ingin berontak pada diri saya. Mereka harus diberi pelajaran agar tak sewenang-wenang menyebut seenaknya nama orang. Baiklah kalau memang mereka menyebut saya dengan Orez. “Padahal saya bukan Orez.” Orez yang pernah saya dengar memang sebuah dongeng. Kata nenek saya dulu, Orez seorang anak yang bermuka buruk dan berwatak perusak. Idiot namun punya sedikit rasa manusiawi. “Tapi Orez yang ini.” Karena geram, kini saya mengukuhkan diri sebagai Orez dewasa. “ Tak lagi perlu perasaan manusiawi. Toh penduduk kota sudah tidak punya perasaan. Buktinya mereka menghalangi sepak terjang saya. Pantas dihuku,.”
Malam itu bersama pemburu sewaan, saya sibuk mengatur stretegi. Karena rupanya penduduk sudah mencium dan tak mau kompromi, apalagi petugas yang rupanya memihak mereka. Benar-benar ingin menghancurkan kehidupan saya. Mereka akan membakar saya hidup-hidup. Mereka memburu saya bagai genderuwo yang harus dilenyapkan karena membawa wabah, kesengsaraan. “Baiklah.” Setelah kami berhasil mengatur siasat untuk menghancurkan mereka. Rupanya kawan-kawan pemburu saya memang dikaruniai kecerdikan luar biasa. Saya menjadi tenang. “Esok pagi! Esok pagi!” pikirku. “Kalian akan terpanggang habis.”
Menjelang fajar. Kota dikagetkan oleh suara ledakan keras. Disusul hamburan nyapa api, yang dengan cepat membakar gedung-gedung tinggi, plaza-plaza, rumah-rumah penduduk. Angin semakin kencang, kilat terus menyambar-nyamar, geluduk bergelegaran di atas kota. Penduduk berteriak-teriak berhamburan keluar dari reruntuhan, melangkahi mayat-mayat. Hiruk pikuk, menyelamatkan diri. Seluruh kota tak berfungsi, jalan-jalan hancur, jembatan jebol. Hujan menderas, kilat berjilatan di angkasa, banjir tak bisa dibendung, dam-dam ambrol. Badai mengamuk. Orang-orang marah, mencaci-maki, menghujat nama Orez. “Orez-lah yang bertindak, dia yang berbuat. Dasar Orez bajingan! Orez! Orez! Keluarlah kau, kucincang tubuhmu!” Orang-orang berlarian hilir mudik sambil membawa parang, celurit, tombak. Sedang korban terus berjatuhan, tertimpa reruntuhan, terseret banjir, disamabar halilintar, diterjang angin badai.
Tiba-tiba selebaran berterabangan dari atap gedung yang disapu angin badai. Tertulis nama Orez. Nama saya. “Siapa yang tunduk sama Orez, silahkan bergabung dan tetap di kota. Siapa yang membangkang, silahkan tinggalkan kota atau para sniper akan menghancurkan batok kepala kalian.” Begitu pesan yang saya tulia.
“Tapi siapa itu Orez? Saya samar-samar mengingatnya. Saya hampir ingat. Di antara reruntuhan gedung ini, ingatan saya mulai normal. “Memang serangan itu sangat mendadak. Jadi bukan saya yang melakukan. Pasti ada pihak ketiga. Tangan lain yang ikut campur. Bukan scenario saya. Bahkan pemburu sewaan saya. Lihatlah. Bergelimpangan di anatara reruntuhan gedung ini. Dan beberapa orang yang selamat. Termasuk saya. Tapi muka-muka mereka hancur, tak karuan.
Ah! Bayangan di cermin yang pecah berantakan di tanah dekat kaki saya. Bayangan siapa. Wajahnya mengerikan. Kepalanya benjol-benjol, tangan dan kakinya, terlalu panjang dan besar! Oh Tuhan!! Ah! Suara saya kenapa begitu keras, keras sekali. “Rumah-rumah dan gedung-gedung yang belum rontok jadi berguguran, ambruk, suara saya seperti gempa. “Tapi percayalah, perusakan yang pertama bukan saya yang melakukan. Benar! Benar! Saya jadi menyesal berteriak, berbicara, maupun mendesah. Semua akan merubuhkan apa pun di sekitar saya. Saya lebih baik diam? “Siapa yang sebenarnya yang menghancurkan kota kami, gedung-gedung saya? Siapa? Badai itu? Banjir itu? Halilitar itu? Gelegar geluduk itu? Mungkin itu penyebabnya. Tapi siapa yang menggerakkan kekuatan sedahsyat itu? Menggugah perasaan saya?”
Sesudah ini saya kira tak ada cerita yang menarik. Sesudahnya hanya kisah-kisah yang monoton, membantu mereka-mereka yang miskin, menyumbang ke yayasan-yayasan social, dengan uang simpanan saya yang tak terhitung jumlahnya dan Anda tidak akan tahu di mana saya menyimpannya. Tapi ingat, bahwa nama saya bukan Orez!
***
*Orez adalah salah satu tokoh dalam cerpen Budi Darma
Jawa Pos, Minggu Wage 18 Juli 1999
OREZ ITU CUMA NAMA
Beberapa hari yang lalu Jawa Pos membuat sebuah cerpen karangan S. Yoga berjudul Nama Saya Bukan Orez. Di situ dikatakan, nama Orez diambil dari judul cerita pendek saya, yaitu Orez, dalam kumpulan cerita pendek Orang-Orang Bloomington. Kemudian, di situ diceritakan Orez adalah seorang yang tidak mempunyai moral, sangat nakal dan kurang ajar, cacat fisik namun mempunyai kemampuan fisik yang luar biasa. Memang betul, semuanya diambil dari kumpulan cerita pendek Orang-Orang Bloomington. Dan, nuansa-nuansa dalam cerpen Nama Saya Bukan Orez kecuali diambil dari berbagai cerpen di buku Orang-Orang Bloomington –jadi bukan hanya pada Orez saja- juga diambil dari novel Olenka dan juga dari cerpen saya terakhir yang dimuat di Kompas,yaitu Derabat, yang mengisahkan pemburu dan sebaginya.
Kemudian, dipertanyakan oleh S. Yoga, pengarangnya, tokoh sentral dalam cerpen Nama Saya Bukan Orez itu tidak tahu makna Orez. Sebetulnya, Orez itu apa, tapi orang menunduh dia sebagai Orez dan tidak mau mengganti namanya, tapi dia tetap dinamakan Orez, karena itu dia marah.
Nama Orez sebetulnya saya sendiri mula-mula tidak tahu. Mengapa tidak tahu karena setiap kali saya mengarang saya tidak pernah merencanakan untuk mengarang. Demikian juga ketika menulis cerpen Orang-Orang Bloomington saya tidak punya rencana sama sekali untuk menulis cerpen-cerpen tersebut. Dengan demikian, nama-nama, peristiwa-peristiwa, dan sebagainya itu datang dengan sendirinya, termasuk nama Orez.
Jadi, siapa nama Orez ini saya sendiri sebenarnya tidak tahu, tapi biasanya setelah saya selesai menulis, setelah karya tersebut diterbitkan, kadang-kadang saya bertanya kembali mengapa nama ini muncul, mengapa peristiwa ini muncul. Dan, nama Orez yang muncul saat saya menulis itu ternyata pengendapannya sudah cukup lama, yaitu sekitar 7-8 tahun. Sebelum menulis cerpen itu, saya pernah mengadakan perjalanan keliling dengan Sapardi Djoko Damono di Amerika dengan mempergunakan pesawat terbang, bus, kereta api, kendaraan sewaan, dan sebagainya. Pada waktu keliling ke mana-mana itu, saya menemukan satu nama, yaitu nama Orez. Nama itu terpampang di sebuah iklan di kota kecil. Tapi, saya tidak ingat lagi iklan apa dan di kota mana saya melihatnya. Jadi, nama Orez ini kemudian mengendap dan setelah itu, ketika saya menulis cerpen Orang-Orang Bloomington, langsung muncul nama ini.
Nama Orez ini sebetulnya berkaitan dengan peristiwa korban ketika Nabi Ibtahim diminta memotong anaknya, Ismail. Orez dalam cerita pendek itu (dalam kumpulan Orang-Orang Bloomington) karena ayahnya merasa kasihan pada anaknya dan anaknya diperkirakan tidak mungkin hidup normal lagi, maka akanya itu harus dibunuh. Pada saat akan membunuh, ternyata ayahnya tidak mampu untuk membunuhnya karena bagimanapun Orez itu manusia dan dia lahir bukan karena minta dilahirkan, melainkan karena solah tingkah ayahnya sendiri, karena itu kemudian diantarkan pulang.
Jadi, Orez ini sebetulnya pencerminan pencarian jati diri, yaitu mengapa seseorang bisa lahir seperti itu, cacat tapi mempunyai kemampuan fisik luas biasa, bersifat merusak tapi kadang-kadang juga bersifat baik. Orez ini adalah satu jenis makhluk yang tidak minta dilahirkan kenapa seperti ini, seperti juga makhluk lain. Karena itu, cerpen-cerpen saya banyak mempermasalahkan orang-orang aneh. Sebab, memang, kita bertanya mengapa dunia ini demikian aneh, mengapa ada orang-orang seperti ini, mengapa ada orang seprti itu, mengapa dia lahir tahun ini, tidak sebelumnya, mengapa dia lahir di sini dan tidak di negara lain, mengapa anak orang ini dan bukan orang lain, dan sebagainya.
Dengan adanya cerpen S. Yoga itu, memang saya sama sekali tidak dirugikan dan tidak merasa keberatan apa-apa. Sebab, sebuah cerpen yang sudah diterbitkan bebas untuk ditafsirkan oleh siapa pun dan juga bebas untuk direjreasikan oleh sipa pun, seperti yang dilakukan S. Yoga. Jadi, karya sastra itu menggelinding untuk menjadi karya sastra yang lain. Ini tidak apa-apa. Jadi, dengan adanya cerpen S. Yoga itu bukan lantas saya harus memberikan penjelasan dalam arti sesungguhnya, tapi saya hanya menyampaikan latar belakang karena memang S. Yoga dalam cerpennya mengatakan bahwa saya tidak tahu mengapa saya dinamakan Orez dan dalam pandangan umum Orez itu adalah makhluk yang demikian. Pertanyaan ini sebenarnya banyak ditanayakan orang-orang lain uang kebetulan tidak menulis. Kebetulan, S. Yoga menuliskannya dalam bentuk cerpen.
(Budi Darma)
Minggu, 05 Desember 2010
SASTRA INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN
Sastra Indonesia di Persimpangan Jalan
Oleh : S Yoga*
Sebagian pengamat sastra menyatakan bahwa sastra Indonesia saat ini berada dalam status quo, jalan ditempat. Bahkan ada yang mengganggap mengalami kemunduran jika dibanding dengan sepuluh tahun yang lalu. Padahal, secara kuantitatif, banyak karya sastra yang diterbitkan, banyak pula sastra asing yang sudah diterjemahkan, banyak even sastra, lomba dan diskusi. Begitu pula sudah sangat terbuka penerbitan buku maupun media masa yang mengakomodasi karya sastra. Lalu bagaimana kondisi yang sebenarnya?
Bila kita cermati, perkembangan sastra sepuluh tahun terakhir, memang ada dinamika yang menarik. Pertumbuhan komunitas-komunitas cukup pesat, entah atas nama apa pun komunitas itu terbentuk. Juga, media masa memiliki peran yang cukup signifikan dengan pertumbuhan sastra di Indonesia. Penerbitan-penerbitan pun ada dimana-mana, baik yang berskala besar maupun kecil. Demokratisasi karya sastra menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Festival, even-even dan lomba karya sastra pun marak. Lalu, mengapa perkembangannya sastra Indonesia masih dianggap jalan ditempat? Tentu karena ukurannya masih kuantitas. Belum kualitas. Itu bisa kita telusuri dari beberapa penyebab sehingga sastra Indonesia berada di persimpangan jalan.
Hegemoni Komunitas
Pertama, banyak padangan yang menyatakan bahwa sastra Indonesia dihegemoni oleh estetika (komunitas) tertentu yang dominan dan memiliki jaringan atau kekuatan kapital yang cukup besar. Dengan demikian, banyak sastrawan yang mengikuti mazhabnya dan banyak pula yang melakukan resistensi. Entah apa pun alasannya. Upaya hegemonik dilakukan oleh banyak komunitas dengan saling mencari dan memperbanyak pengikut. Antara yang dilawan dan yang melawan memiliki ideologi yang saling menyerang dan tidak mau dikalahkan, (padahal demokrasi sedang didengung-dengungkan), yang bisa jadi bersangkut paut dengan estetika sastra atau justru diluar estetika sastra. Artinya, ini sebuah pertarungan ideologi yang bersumber pada perebutan kedudukan atau kekuasaan sastra Indonesia. Setiap mereka ingin dianggap sebagai pelaku utama sastra Indonesia.
Yang sering terjadi adalah perdebatan yang bukan bersumber dari karya sastra, tapi hal-hal diluar karya sastra. Kalaupun perihal karya sastra, perbedaan yang mencolok antara karya mereka -baik yang ditentang maupun yang menentang- pada umumnya memiliki kekaburan untuk bisa dibedakan dengan jelas. Artinya, karya-karya mereka masih memiliki cara pandang yang sama dalam memaknai kesusastraan Indonesia. Bahkan, kalau kita melihat secara seksama para pelaku ternyata menyandarkan diri pada estetika tertentu yang mereka anggap sebagai kanon. Para pelaku maupun pengikutnya memandang karya sastranya harus atau kurang lebih sama dengan karya-karya kanon tersebut. Jadi, tidak terjadi sebuah pemberontakan dari konvensi yang sudah ada.
Bukan sekadar masalah penyeragaman karya. Namun, hal ini menyangkut mentalitas sastrawannya yang cenderung mengalami ketergantungan estetika. Mereka merasa aman dalam jalur-jalur estetika yang dominan, terus menerus mengamankan status quo, sehingga karya-karya yang diasilkan pun jalan di tempat. Sastrawan yang demikian telah memiliki “helm” estetika komunitas tertentu sehingga mereka ogah keluar dari estetika yang mereka anut.
Sastra Koran
Kedua, kritik sastra Indonesia hari ini telah direbut oleh redaksi-redaksi media massa. Kita tidak menjumpai lagi apa yang dikenal dengan “Paus Sastra Indonesia” yang bisa menasbihkan atau melegitimasi seseorang untuk menjadi sastrawan. Yang ada, kritik sastra yang telah mengalami demokratisasi yang berwujud pada muncul redaksi-redaksi (halaman sastra dan budaya) media massa, pembaca-pembaca yang trampil (bisa jadi antarteman sastrawan) dan editor-editor penerbitan. Penentuan baik buruk karya sastra telah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan atau tugas, dan akhirnya melakukan pembesaran dalam sastra Indonesia. Bukan di tangan kritikus an sich. Sebab, kritik sastra juga telah bergeser ke dalam bidang seni kritik, memperkaya makna karya sastra dan tidak lagi menentukan baik buruk karya sastra. Bahkan, kritik sastra yang kerap muncul berbicara di luar teks sastra itu sendiri.
Dalam kondisi yang seperti itu, estetika karya sastra mengalami pemampatan, keterbatasan pada kemampuan redaksi-redaksi media massa dan editor buku. Pola ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak memiliki independesi mutlak atas kebebasan berkreativitas. Para redaksi dan editor telah membentuk sebuah pola esetika sastra yang harus dituruti oleh para sastrawan, baik yang menulis prosa maupun puisi. Akibatnya, banyak sastrawan yang mempelajari pola-pola yang ada untuk memasukkan karya sastranya ke dalam wilayah estetika sastra yang tidak steril tersebut. Menghamba dalam estetika tertentu demi bisa menyalurkan karya-karyanya. Sekali lagi, itu menunjukkan bahwa sikap ketergantungan pada konvensi estetika sastra yang dominan masih menggejala.
Jiwa-jiwa pemberontakan dalam hakikat sastra menjadi lenyap, berubah menjadi penurut dan tunduk pada estetika tertentu. Maka, dikenal pula apa yang kita sebut dengan estetika sastra koran yang kurang lebih memiliki kriteria-kriteria yang hampir sama di antara beraneka ragamnya media massa.
Bila kita bandingan karya sastra hari ini, kumpulan cerpen, misalnya, dengan yang dihasilkan sepuluh tahun yang lalu, terasa sekali adanya penurunan kualitas. Kalau ada yang kualitasnya tetap bertahan, itu pun masih dalam posisi jalan ditempat. Itu pun umumnya dilakukan oleh pengarang-pengarang lama yang tidak juga menunjukkan grafik peningkatan kualitas karyanya. Kalau dia menulis sepuluh tahun yang lalu, kita nilai 8, dia menulis sekarang pun nilainya masih sama, bahkan bisa turun. Buku-buku kumpulan cerpen di Indonesia umumnya merupakan cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media massa. Dewasa ini kita tidak menemui kumpulan cerpen yang memang diniatkan untuk dibukukan dalam bentuk buku. Kalaupun ada yang menerbitkan buku cerpen yang semua karyanya belum dimuat di media massa, format dan estetika sastranya pun tidak jauh-jauh dari sastra koran.
Dalam perlombaan-perlombaan pun, sering kita jumpai karya sastra yang menstandarkan dirinya pada estetika sastra koran. Padahal, lomba tersebut sudah memberikan kebebasan jumlah halaman, bahkan kadang termasuk jadi temanya. Karena itu, estetika sastra koran yang digawangi redaksi media massa menjadi virus tersendiri dalam jagat sastra Indonesia. Para sastrawan akhirnya memiliki ketergantungan estetika koran dan tidak mau keluar dari konvensi yang bisa jadi telah membesarkan namanya.
Selera Pasar
Ketiga, dengan maraknya penerbitan-penerbitan di tanah air, sikap kritis terhadap hakikat karya sastra itu sendiri menjadi luntur. Bagi penerbit, kapital menjadi hal yang utama karena hal tersebut berkaitan dengan bisnis. Mereka tidak mau merugi karena menerbitan karya sastra sehingga mereka harus memilih atau memiliki estetika sastra yang berpedoman pada selera pasar. Bila pasar itu mampu menghimpun kapital yang paling besar, karya sastra yang sesuai dengan estetika tersebutlah yang akan diikuti. Seperti sudah kita ketahui bahwa kapitalis tidak memiliki ideologi yang pasti. Ideologinya cuma satu: keutungan atau uang. Karena itu, penerbitan di Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam menstandarkan estetika sastra yang ada ke wilayah-wilayah yang lebih profan. Estetika pasar pun berkembang. Banyak sastrawan yang menyandarkan dirinya pada estetika itu agar karya-karyanya dapat diterbitkan dan berharap menjadi bestseller. Padahal kita tahu logika kesusastraan berbeda dengan logika pasar.
Dalam perkembangannya, maka mentalitas-mentalitas sastrawan diuji oleh sebuah magnet estetika pasar. Itu pulalah yang akhirnya membuat ketergantungan sastrawan pada kemauan penerbit. Sekali lagi, jiwa independensi sastrawan menjadi terabaikan. Mereka menulis apa yang sedang digandrungi pasar. Bisa berbasis agama, sekualitas, etnis, multikultur, sains, sejarah maupun budaya pop. Tak pelak sastra dekade ini digempur habis-habisan oleh sastra pop yang sering menyaru dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Karena itu pula, logika pasar umumnya tidak jauh-jauh dari logika budaya pop, sebuah hiburan dan kesenangan sesaat, tidak ada kegelisahan dan kontemplasi.
Ulasan di atas tentu saja merupakan kecenderungan umum yang terjadi di khazanah sastra Indonesia sampai hari ini. Adapun pengarang-pengarang yang masih memiliki militansi yang kuat umumnya menyiasati ruang-ruang yang ada, namun juga tidak bisa lepas dari estetika yang sedang dominan. Belum berani keluar dari konvensi sastra yang sudah ada. Karena itu, terasa sekali karya-karyanya kurang berkembang atau itu-itu saja. Tidak ada dinamika dalam hal estetika dan kualitasnya.
Pergulatan estetika sastrawan semestinya bisa benar-benar lepas dan luas. Tidak terbayang-bayangi atau bergantung pada estetika-estetika yang selama ini mengelayuti sastra Indonesia. Sayang, saat ini sastwawan kita lebih memilih mentalitas atau spiritualitas sebagai selebritis sastra (ingin segera dikenal) daripada mengolah spiritualitas batin estetikanya. Mereka mengganggap sastra Indonesia seolah-olah telah menemukan masa puncaknya pada estetika sastra koran, komunitas dan selera pasar. Padahal, menurut William Faulkner, sastrawan yang mudah puas, sama saja dengan bunuh diri.
*)Penyair
Senin, 22 November 2010
Puisi di Suara Merdeka, 12 Desember 2010
MERAPI
:mbah marijan
selalu tak kuduga kedatanganmu
sunyi sepi oleh retaknya waktu
tak kurasakan sesayat apa atas perihmu
yang merintih di bawah pohon rumpang
kedalamanmu tak mungkin kuukur
hanya sedepa rindu yang memuntahkan dahagaku
ingin kupeluk namun kau selalu menghindar
dari rengkuhan malam dan tangan-tangan kelam
wahai, kau yang bersamadi dalam rahim waktu
berikan aku petunjuk untuk menghadapmu
untuk menghadangmu agar raga ini lebih sempurna
dari kematian yang panjang
bukan arang, batu, kerikil, debu dan api yang kuminta
namun sebuah bujuk rayu agar doa-doa kelelawar
menjadi pembawa berkah, nikmat dalam sekejab sebab
namun kau selalu murka dalam tatapan rindu
oleh sebab apa dan sebab siapa, jalan-jalan menjadi
neraka bagi surga dibumi, ingin kumuntahkan saja
rinduku padamu yang bertumpuk-tumpuk menjadi batu nisan
agar semua yang mendugamu dan memandangmu
menjadi sadar bahwa firmanmu
telah tertulis di kalam waktu
tertanda di batu-batu, pohon-pohon
dan rumah-rumah yang terbakar
seperti apimu yang membawa doa-doa surga
membawa kambing, ayam, sapi dan kuda-kudamu
ke arah magrib raib dan senja yang terbakar
dan di sana, nun, bahasa-bahasa telah dibangkitkan
Purworejo, 2010
ISYARAT
hanya jejak dan pertanda
yang terurai sepanjang jalan
serupa bayang-bayang
sebelum kejatuhan yang pertama
kau tahu matahari sebentar lagi
tenggelam ke dasar ufuk
kau tahu udara hampir busuk
di antara kita
dalam perjalanan panjang tak betepi
asin garam telah kutaklukan
di rawa-rawa
ombak lautan telah kujinakan
di keluasan samudera
cangkang mati telah kugunakan
dalam penyamaran ini
di mana kuharus mencarimu
di pintumu aku mengetuk
tak ada isyarat dan jejak
seolah lubang rasa tak bertepi
Ngawi, 2010
CACING
tak ingin diduga dan dicerca
ia lahir dari rahim malam masa lalu
segelap dan sehitam batu matahari
serupa benang yang menyusup
diam-diam disebalik baju
yang berjalan di dalam kelam
tak ingin melihat cahaya terang
hanya jejak dan tanda sebagai isyarat
yang membuatnya lebih tabah dari hujan
hujan yang benar-benar turun dari langit
langit yang membuatnya lebih miris
dari jurang rahim waktu yang berdetak
yang tak pernah lelah menghitung
langkah-langkahnya sendiri
sebelum musnah dalam apimu
Ngawi, 2010
TELAGA
dalam kebeningan telaga
kusaksikan pusat yang meluruh
ruang terbuka bagi burung-burung
yang menghuni hutan dan lembah
dalam keheningan hujan pagi
paras buga menawarkan kepahitan
disebujur tanggul sawah yang dingin
embun telah menyusupkan firmannya
pada batu-batu hitam yang bersamadi
senja yang terguling dalam gelap
duka daun mahoni pun telah tersaji
belum sempat terucap kata
belum sempat membilang nama
engkau telah sirna dalam doaku
Sarangan, 2010
LARON
sayap-sayap matahari
menerbangkanmu
dari gelap-gelap gua purbani
kebebasan apa yang dicari
jika setelah itu mati
Ngawi, 2010
Pusi Dimuat Kompas, 21 November dan 4 Juli 2010
obor-obor menyala berarak ke kampung
hutan, pantai, sawah, lembah dan gunung
ember, panci, sendok, piring seng
wajan, cutil, kompor, garpu, dandang
diseret berdencing dan dipukul bertalu-talu
bising dan memercikkan api masa lalu
blek blek ting tong, blek blek ting tong
berirama tak genah hingga memusingkan
membangunkan para penguasa malam
yang sembunyi di pohon-pohon waktu
bertahta di kursi megah kegelapan
yang telah mencuri malam-malamku
kelak kusumpah tujuh turunan
akan kupanggil raja kegelapan dari istana
untuk menghukummu dan membakarmu
dengan sembilan puluh sembilan cahaya
semua kegelapan telah kuterangi
dari sudut sempit, lebar, tinggi
rendah, pendek dan yang maha luas
dengan nyala obor dan doa-doa
namun tak kujumpai kau
yang menyita seluruh hidupku
Purworejo, 2010
Kompas, 21 November 2010
BARONGSAI
barongsai
cahaya keperakan, merah, kuning
hijau giok adalah pernak pernik kesunyian
terbang ke atas, ke puncak cahaya
meledakkan malam yang buta
malam lampion yang bercahaya
karnaval perayaan musim tanam
malam menjulang bertabur bintang
kembang api menyembur
di kegelapan malam yang memanjang
mercon meledak di udara
tambur dimainkan, gemerencing genta
dan keras genderang yang menggema
di persimpangan jalan kau ragu
arah mana yang dituju
menari-nari di malam gemerlap
warna-warni merah api
bergantungan di udara
di sisimu seekor naga raksasa
meliukkan ekor hitamnya
dengan sisik kuning emas
penuh kenangan
dan derita yang memanjang
dari sejarah gelap yang terlupa
berlengak-lengok dalam tarian liong
dengan tubuh telanjang
ekor masa lalumu yang melumut
melingkar-lingkar di dasar angan
meliuk dan menyemburkan api
membelit tubuhmu yang mulai bersisik
Ngawi, 2010
Kompas, 21 November 2010
NGIBING
hutan yang sunyi
seharum tubuh terlupa
hanya jejak-jejak yang tertinggal
di mana akar pertama ditanam
malam telah bertabur bintang dan kunang
kau mulai ngibing
sambil telanjang dada
kaki menghentak pada irama kendang
selendang kuning terkalung di leher
lelaki legam sebentar lagi tambah kelam
kau buka sarung yang melingkar di bahu
kau kembangkan ke udara memanas
kau sarungkan ke tubuh penari takjub
kau menari dalam balutan ciu kedelapan
kau menari dalam sarung yang sama
kau mencari dalam jiwa yang samar
tanganmu masuk ke rusuk sebelah kiri
menemukan tulang yang selama ini dicari
penari bergelinjang ke sebelah kanan
mencari yang lebih sepi dari api
Ngawi, 2009
Kompas, 4 Juli 2010
PALGUNADI
aku belajar dengan damar di belukar
hingga fajar pada sesosok tubuh samar
untuk mengejar semua pusat dan pusar amar
yang tak pernah kudengar
kudirikan sebuah patung buntung memegang jemparing
dengan punggung melengkung serupa dirimu yang agung
dari lempung gunung menghadap gerbang kampung
agar sabdamu selalu dapat kutangkap dan kukenang
kubentangkan panah cakrawala dari busurku
ingin kubidikan pada musuh-musuh malamku
namun kau meminta agar aku tak memanah rembulan
simpan semua kesabaran pada datangnya firman
Ngawi, 2009
Kompas, 4 Juli 2010
Puisi di Jurnal Nasional, 14 November 2010
di way kambas
mari bercermin pada alam dan dunia nyata
tempat burung-burung bersarang
di hutan-hutan dalam kepurbaan
yang selalu terjaga
tak mau tercermar dari dunia luar
tempat gajah-gajah menemukan jati diri
dan melebihi akal manusia
yang sering berniat jahat terhadap sesama
lihat gajah-gajah hidup rukun dan saling melindungi
lihat kulit gajah yang kasar dan kotor
namun dalam kalbu tersimpan cermin bening
sesuci danau ranau
mata yang sipit melindungi dari ketamakan dunia
belalai yang panjang adalah malaikat penolong
dan bukan tukang petolan pencuri uang rakyat
atau seseorang yang tak bertanggungjawab melempar api
kekerumunan massa yang hidup damai dan tenang
karena gajah adalah kemanusiaan yang mestinya
hidup dalam diri kita
***
PANTAI
di pantaimu kusaksikan gerimis bisu
embun di dahan meluruhkan hening
pada pepohonan yang berjajar di pasir putih
ketika burung-burung laut mengajak pergi
di pagi hari sebelum para nelayan datang
rupanya ia telah menerima nasib lautan
dan mempersilakan gerombolan burung menjauh
dari tubuhnya yang telah tabah dalam waktu
menghadapi pergantian musim
telah menerima warna bumi di pesisir
pantai hanyalah muara yang selalu tertinggal
karena deburan ombak selalu menghapus jejak usia
***
JANTUNG
ingin kusulap detak menjadi ledakan besar
agar sempurna tugas yang tak pernah selesai
kupahami hidup hanyalah mesin waktu
darah pernah kuminta agar memasok warna gelap
agar kelam segera datang menjemput
dan cahaya tak pernah sempurna
sisik-sisik waktu pernah kuhentikan sejenak
namun denyut darah terus meminta arus
dan gelombang yang pernah kutakdirkan
terlepas di lautan dan berjanji kepada angin
agar badaimu mengombak dan menggulung daratan
karena sujud waktu telah terlupakan
agar kenangan dapat kuraih dan kusempurnakan
maka kujaring pengalaman hitam bernoda
yang selalu membawa ke jurang luka
akan kutawarkan pada muara hati yang bening
apakah akan kuampuni
atau kupanggang dalam api
agar cahaya yang kugali mau kembali
ke dalam bilik kalbu
***
BISIKAN ULAR
kau hampir terjebak dan tercekik
pada gemebyar sisik-sisik dan lengkingan hutan sunyi
kau hampir tergoda pada bisik-bisik dan lidah ular berduri
menghuni gendang telinga dan sembunyi dibalik kata-kata
ingin kau kalahkan musuh yang semayam dalam diri
ular merah bermata darah dan suara yang tak terdengar
ketika terdesak di tepi jurang dan ekormu hampir jatuh
kau ayunkan pedang bermata doa dan bersayap langit
hingga sinarnya menebas-nebas pohon rindumu
agar langkah kaki semakin cepat menuju senja yang murung
kau mengeluh tak ada tempat singgah dan sekejab istirah
sedang jalan kembali ke asal sudah berkabut
***
TELAH AKU SEMPURNAKAN KESUNYIAN
sebenarnya telah aku sempurnakaan kesunyian
batu-batu telah aku tanam di lubuk rumah
agar tak mengganggu tidurmu
di tengah malam
pohon-pohon telah aku simpan di alir sungai
semuanya bisu diam abadi
tubuhnya semakin jadi
dan tabah menghadapi mati
namun hijau perjalanan
menjadi arca di lereng lembah
kusempurnakan saja topeng malammu
sebelum senja menjemput
***
SELAMANYA PERNAH KUBAYANGKAN
selamanya pernah kubayangkan
akan kenangan
bau tanah di sawah
bau tanah di ladang
bau tanah di pekuburan
waktu itu kita selalu bermain bersama
seolah hari hari menjadi kebahagiaan
yang abadi
kita ambil permainan petak umpet
kita ambil permainan perang perangan
kita ambil permainan mayat mayatan
kau kuburkan aku di halaman rumah
selamanya pernah kubayangkan
akan kenangan
rupa wajahmu yang menghitam
rupa rumah kita yang kosong
rupa bayang bayang botol yang suram
waktu itu kita masih remaja
seolah hari hari menjadi kesunyian
yang abadi
***
BERDIRI MENGHADAPMU
: borobudur
malam purnama yang senyap
angin mencubiti dinding candi
bayanganku mengisut dibebatu andesit
memprawani kesunyian purbani
berdiri menghadapmu
relief-relief candika memanggil
amsal asal mula
cinta kasih sang budha
tergiring derit seruling derita
sang sidharta
tergerak hatinya
mencampakkan istana
mencampakkan
kemewahan dunia
mengembara dalam pertapaan
menuai kesempurnaan
malam makin larut memahat sepi
kutinggalkan dirimu membatu
kini derit derita kaum papa
menjerit lengking dalam hati purbaku
***
AKU BANYAK BERDIAM
akhir akhir ini
aku banyak berdiam
menyepi
kumatikan radio dan tv
kututup jendela
dan pintu rapat-rapat
kututup kuping pendengaranku
biar
tak ada suara
melambung lambung
kering
ditelinga
aku ingin berteman sunyi
berkarib dengan hening
bersamadi pikiran
***
LAUT
di atas gelombang lautmu
aku mulai berjalan
sejak dilahirkan
aku bersahabat dengan asin garam
dan kasim kuda laut hingga birahi dunia hilang
para kelasi yang berbaju kotor karena gemuk
dan bertubuh tegar karena matahari
adalah kawan yang pemberani
rumput dan karang laut pun berjamaah bersamaku
bersama angin dan badai yang tunduk pada gelombang laut
aku pun rindu pada ikan-ikan yang berenang begitu jauh
ke palung-palung tak terjaga dan jurang-jurang laut yang kemilau
dari atas permukaan laut
gelap ke arah dalam
aku ingin mereka pulang dan bermain kecipak air
dengan cahaya-cahaya langit yang selalu menyinari
menjaga perjalanan kami
ke dalam dasar laut terdalam
hingga kami sampai ke altar laut
tempat kami bersujud
***
SEBUAH RUMAH
sebuah rumah adalah keranda hidup
kelak tergusur dalam lubang kubur
sebuah rumah mestinya bersih
ketika fajar tiba dan senja menjemput
sebuah rumah yang ada di kaki bukit
dengan rumbia dan kayu lapuk
serta lantai tanah membasah
adalah sama wadak dengan rumah
gedung bertingkat tujuh
dengan marmar dan ac menyala
sebuah rumah adalah tanda kehidupan
memiliki dua pintu
di kanan dan di kiri
di muka atau belakang
untuk keluar masuk
para penghuni
atau tamu istimewa yang suatu saat
akan datang meski tak diundang
dan kau persilakan masuk
dan kau jamu sebaik hati
sebuah rumah akan nampak sehat
bila jendela-jendela terbuka
dengan ventilasi bervariasi
angin dan udara berhembus silih berganti
tetangga-tetangga datang dan pergi
saling memberi dan menerima
tanpa rasa curiga
dan cemas mencekam
karena sebuah rumah adalah
tempat ibadah
terbaik untuk mati
***
NEGERI TROPIS
negeri tropis yang rekah
sungai-sungai menjauh dan membentang
negeri mengapung bagai kapas-kapas air yang lepas
aku teringat jalan berat yang panjang
semacam sejarah masa silam
kutempuh dalam usia renta
negeri tropis yang gerah
waktu-waktu berlalu bagai api yang mengamuk
cahaya merah menghanguskan rumah-rumah
sebuah kisah di musim kerontang
orang-orang haus dan lapar segala
mengilas kehidupan kulit sawo matang
negeri tropis yang panas
cahaya-cahaya berjajar-jajar dengan tubuhku
semacam nafsu yang ganas dan sulit dikendalikan
berkelebat debu menjamah air mata
dan di tanah-tanah tandus gembala mengais
samudera di hatinya yang kosong
negeri tropis yang berair
aku berdiam bagai patung jerami
mendayung sampan musim hujan
dari dingin sampai dingin yang kekal
membangkitkan nafsu-nafsu perairan gila
menumpahkan hujan api kefanaan
dari api sampai api yang dendam
ingin membakar segala
***
LUMPUR I
kau merasa tubuhmu sudah rapuh
tidak seperti dulu lagi saat remaja
sudah saatnya menjadi tanah
menjadi lumpur yang menyuburkan
hidup telah kau habiskan dalam kesunyian
waktu terus membimbing ke jalan berat
kau tinggal di alir sungai penuh lumpur
kau nikmati lumpur pertama sebelum kejatuhan
orang-orang berlarian menghindar dari lumpur panas
kau diam dan berdoa agar menjadi air
mendinginkan panas hidup yang menerjang
jangan lawan api dengan api, bisikmu
setelelah sekian tahun hidup dalam lumpur
kau merasa ada yang berubah dalam diri
kau merasa hatimu telah berlumpur
padahal telah kau sucikan dalam seribu sujud
***
LUMPUR II
setiap saat kau kenang peristiwa itu
kau merasa berada di dalam kubangan lumpur
susah untuk bergerak, susah untuk bernafas
tinggal doa-doa yang bisa kau lantunkan
lumpur memang telah padam panasnya
tapi lukanya tak pernah bisa terobati dalam hati
kau merasa tercabik oleh masa lalu yang mengerikan
oleh kenangan yang selalu merisaukan
kini kau masih bersama lumpur kenangan
tinggal dalam kesunyian dan penantian
lupakan saja lumpur kita yang menggenang
yang tak mungkin dibersihkan lagi
tinggal hikmah menuju rumah berikutnya
lumpur hidup hanyalah sepenggal perjalanan kelam
namun kau masih terjebak dalam lumpur kenangan
yang terus menyembur dalam hidupmu
***
LUMPUR III
kau tahu dari dulu
kalau kesetiaan itu akan pudar
sudah berulang kali kau coba hentikan
semburan lumpur hidup kita
tapi hasilnya sia-sia
airnya terus meluber ke jalan-jalan
ke tempat-tempat sepi dan nyeri
ke rawa-rawa hati
hingga setiap hari kita minum
dari air yang keruh dan beracun
tapi hidup kita tetap bertahan
lambung kita hampir robek dan cacat
adakah waktu seperti telaga yang dulu
hening dan ditumbuhi bunga teratai
tanpa kasak-kusuk membersihkan rumah kita
yang sebentar lagi akan tenggelam
***
LUMPUR IV
percayalah kalau lumpur tetap lumpur
meski kau saring dan suling berulang kali
meski kau tasbihkan dengan kata-kata mutiara
lumpur hidup akan tetap menjadi lumpur selamanya
ketika kau teguk pertama kali lumpur kenangan
rasanya pahit, berbau dan melumpuhkan
seperti peristiwa saat terjebur ke dalam lumpur
sebelum kesucian terenggut
adakah lumpur halal atau haram
kau tafsirkan tiap malam dan doamu terlepas
tinggal arus penyesalan yang tak terbendung
hanya kuman-kuman yang menjadi saksi
atas kebenaran dan keadilan yang akan berlangsung
kau minta seluruh riwayat hidupmu dikembalikan
tanpa cacat dan ternoda apalagi digenangi lumpur
namun lumpur telah merasuk ke dalam darahmu
***
Jurnal Nasional, 14 November 2010
Realisme dan Sastra Multikultur, Dimuat di Jawa Pos 31 Oktober 2010
MASA DEPAN SASTRA KITA
Oleh : S Yoga
Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau angkatan 45, yang digemai oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang mengejala di sastra dunia hingga kini.
Realita Sosial
Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realita sosial. Yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Fenomena ini bisa kita jelaskan, dari perkembangan sastra koran dan majalah, yang berkembang sejak lahirnya kesusastraan modern tahun 20 hingga sekarang ini.
Karenanya kehidupan sastra kita lebih banyak didominasi oleh sastra yang bersifat realis, relevan dengan berita atau isi koran dan majalah yang juga menyuarakan realita yang terkini. Sastra dimasa depan, kiranya juga masih akan didominasi oleh sastra realita sosial. Meski bisa jadi media akan berubah menjadi dan berada dalam dunia maya, tapi watak-watak jurnalismenya akan tetap sama, apalagi dalam dunia maya, kepedulian sosial akan semakin tinggi, dimana facebook dan sejenisnya akan memainkan peran penting dan cepat.
Belum lagi problem sosial-politik-ekonomi-hukum di Indonesia yang juga belum beres-beres, sehingga akan memunculkan realita-realita yang dengan mudah bisa menjadi bahan para sastrawan kita. Karena perkembangan sastra pada umumnya, bergandeng tangan dengan perkembangan kebangsaan, pemikiran, dan filsafat pada zamannya. Dalam dinamika realita sosial seringkali sastra realis ini jatuh sebagai dokumen sosial bila benar-benar tidak cermat, sehingga kritik sastra pun bicara tentang intertekstual secara sosial, berkecenderungan untuk bicara hal-hal yang berada diluar karya sastra. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarginalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, masih bergetayangannya para teroris. Maka problem-problem sosial ini masih banyak akan mewarnai kehidupan sastra kita dimasa depan, meski bagaimanapun bentuk bahasa dan media sastra nantinya.
Sementara itu dalam kehidupan yang semakin pragmatis ini dan nantinya, maka kehidupan sastra pun akan mengalami pergeseran-pergeseran, dimana sastra yang bersifat serius akan terus digempur oleh kehidupan sastra pop, karena orang secara fisik sudah lelah dan capai oleh kesibukkan dan rutinitas. Ingin mencari sesuatu yang pragmatis dan mendapatkan kenimataan sesaat dan budaya poplah jawabannya, termasuk juga sastra pop yang akan memberikan jawaban.
Sastra Multikultur
Dan dimasa depan mungkinkah migrasi bahasa akan benar-benar terjadi, beralih mengunakan bahas Inggris. Jika hal itu terjadi resikonya, para pengarang akan dianggap, hanya meneruskan, hypogram dari karya-karya pengarang Inggris. Ketika bahasa Inggris yang digunakan tidak mampu melakukan resistensi terhadap bahasa Inggris yang sudah ada. Seperti yang dikatakan Ngugi Wa Thiongo, seorang novelis Kenya yang tinggal di New York, yang juga menulis dalam bahasa Inggris, bahwa para penulis Afrika yang menulis dalam bahasa Inggris tidak akan pernah memproduksi sastra Afrika tapi hanya memproduksi sastra Inggris. Baginya bahasa bukanlah sekedar alat, tapi merupakan pandangan dunia si pengarang. Dan pada akhirnya Ngugi Wa Thiongo, kini menulis dalam bahasa ibu-sukunya, Kikuyu, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ini artinya bahwa pengarang itu lebih nyaman, sreg, mengunakan bahasa ibu dalam menghasilkan karya sastranya, dalam mengungkapkan-cara pandang dunia-jagad batinnya. Yang bisa jadi akan kehilangan unity-nya, kesatuannya, bila diungkapkan dalam bahasa lain. Sehingga bila kita cermati para penulis sendiri selalu mengalami ketegangan dalam memilih bahasa.
Namun bila mampu melakukan pewarnaan dalam karya sastra yang berbahasa Inggris, dengan melakukan percampuran atau penyerapan-penyerapan. Hingga corak karya sastra yang dihasilkan memiliki citra rasa yang berbeda dengan karya sastra berbahasa Inggris yang sudah ada. Dan karya sastra yang demikian sebenarnya sudah terjadi, dan sudah banyak dilakukan oleh para pengarang keturunan India, Cina dan yang lainnya, misalnya, seperti apa yang dilakukan Bharati Mukherjee, Vikram Seth, John Updike, Joyce Carol Oates, Maxine Hong Kingston, Salman Rushdie, Kazuo Ishiguro, yang pengucapan karya sastranya, mencerminkan situasi kontemporer. Termasuk juga V.S. Naipaul-Trinidad-Tobago, Ben Okri-Nigeria, Michael Ondaatje-Kanada, Derek Walcott, Caryl Philips-Karibia, Keri Hulme-Selandia Baru, Timothy Mo, Rohinton Mistery, Chinua Achebe. Bukan hanya kualitas karyanya, namun adanya kontribusi terhadap perbendaharaan kosa kata dan tata bahasa Inggris. Dengan tema tarik ulur antar identitas, tradisi-modern, dan silang sengkarut kultur yang mereka jelajahi. Sehingga terjadi kerumitan identitas dalam merumuskan jati diri, polibudaya, muncul impresi India, Cina, Jepang dalam khazanah sastra Inggris. Lewat bahasa maupun tema-temanya, sehingga bentuk sastranya menjadi berbeda dari kanon sastra Inggris yang selama ini ada.
Dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra Amerika Latin, Inggris, Rusia, Amerika, Perancis, Afrika, India dan Jepang misalnya, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern. Sehingga kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, sehingga setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari, budaya baru, ungkapan baru dan karya sastra baru. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan.
Dari perkembangan sastra kita dari zaman ke zaman menunjukkan gejala yang hampir sama. Diantaranya terjadi tarik menarik antara yang tradisi, modern, sinkretisme keduanya atau postmodernisme. Hal ini bisa kita lihat dari perdebatan-perdebatan yang ada dan karya sastra yang dihasilkan. Dimana watak karya yang mewarisi, mempertimbangkan tradisi selalu hadir semenjak para pengarang melayu lama, Amir Hamzah, Ajip Rosidi, WS Rendra, Sutardji Cazlom Bacri, Linus Suyadi, Korrie Layun Rampan dll, hingga kini. Yang pada hakikatnya mereka mencercap spirit lokal dan hendak disintesakan dengan sastra nasional, bahkan dunia. Karena itu sastrawan Subagiyo Sastrowadoyo, menyatakan, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan dan Goenawan Mohamad, memandang, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang. Ini artinya kita selalu berada dalam perbatasan dan perjumpaan, saling hilir mudik mempengaruhi, bahkan mungkin tanpa kita sadari.
Kedepan dapat kita lihat sastra multikultur akan makin marak. Sedang yang selama ini kita lihat, masih digandoli subkebudayaan-etnis yang terlalu berat. Contoh beberapa karya dari, Linus Suryadi, Umar Kayam, Korrie Layun Rampan, Wisran Hadi dan Chairul Harun. Pada sastra masa depan tentunya akan kita jumpai sastra multikultur yang mampu melakukan sintesa kultur-etnis yang lebih baik. Sehingga menghasilkan sastra hibrida yang memiliki jati diri sendiri, baik itu sastra multikultur yang berbahasa Indonesia atau yang mengunakan bahasa Inggris, bahkan bahasa Inggris bercitra rasa Indonesia.
Namun pada pertengahan Oktober 2010, Kanselir Jerman, Angela Merkel, membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia menegaskan, usaha membangun multikulturalisme di Jerman telah mengalami kegagalan total. Bahkan dua partai Uni Demokrat Kristen dan Uni Sosial Kristen, berkomitmen mewujudkan kultur Jerman yang dominan dan menentang bentuk multikulturalisme. Dan pernyataan ini diucapkan dimana neoliberalisme dan global modial sedemikian dahsyatnya. Komitmen itu memiliki arti penting, bahwa identitas nasional menjadi sebuah wilayah yang paling vital dan menentukan. Di Perancis juga sedang membentengi indentitas nasionalnya, dimana bahasa Perancis menjadi hal yang utama, sebagai jati diri bangsa. Ini artinya multikulturalisme yang terjadi hanya semu belaka, basa-basai, sebuah bayang-bayang dari keragaman. Apakah kesemu-semuan itu juga terjadi dalam kehidupan karya sastra. Sastra multikulturalisme yang ada dan akan berkembang hanyalah bayang-bayang kesusastraan yang sesungguhnya. Untuk menjawabnya tentu kita memerlukan telaah yang mendalam. Dan biarlah masa depan sastra sendiri yang membuktikannya.
***
Penyair dan Anggota Biro Sastra DK-Jatim
Jumat, 03 September 2010
Baca Puisi di Komunitas Salihara, 14 Juli 2010



PELANCONG
mereka turun dari kapal di gelap malam
membawa senter, oncor dan peta masa lalu
dan gerimis senja mengantarnya pada hutan belukar
di sebuah tempat yang tak terduga
sebuah semenanjung di sebuah pulau
tempat budak-budak diternak
terdengar lolong serigala di perbukitan
tubuhnya bercahaya di antara bayangan bulan
dan hutan yang terbakar
rupanya bayang-bayang lebih gaib dari pikiran
karena ia selalu lepas dari genggaman
beri aku senapan, beri aku peluru teriakmu
ketika mendengar suara-suara binatang malam
kubisikkan kata-kata muram sebelum matanya lebih jalang
tunggu semua burung-burung pulang ke sarang
agar kau jumpai pikiran lepas dengan badai ingatan
ah kau inlander tahu apa tentang masa lalu
aku pun diam di bawah pohon besar
dekat sebuah makam purba bernisan batu
aku pun tahu sebentar akan sampai pada batas
di pantai ini hanya nasib yang mempertemukan
sebelum esok pagi kita pergi ke besuki
panarukan, panji dan asembagus
melihat pabrik-pabrik dan bising mesin
meminta kita untuk kembali ke masa-masa silam
ketika senjata menjadi panglima
dan pikiran-pikiran berputar-putar pada hasrat dunia
pejamkan matamu dan kau akan melayari semua impian
yang pernah terlupakan, sebelum tergadaikan
di pagi hari di pelabuhan jangkar sebelum gempa
kau memandang kapal-kapal yang berkabut
terdampar di pelupuk matamu yang biru
asap dan bayang-bayang masih menyelimuti
sebuah pulau, nun jauh di sana yang tak terjangkau
seolah diterjunkan dari bukit-bukit tandus
kebun-kebun tebu, sawah dan ladang hangus
dan di pabrik gula, mesin-mesin terus bekerja
memeras keringat dari madu kemurnian
dan sungai-sungai dipenuhi kegelapan
mengalir dari hulu menuju muaramu
sebelum kau layarkan ke pulau-pulau asing
tempat terjauh yang tak pernah kukenal
sebuah gudang tua milik tuan tanah
menyimpan sejarah gelap perbudakan
di ladang tebu, tembakau dan perkebunan
tubuh yang hitam berdiri memandang senja
di antara sihluet patung raksasa berambut gimbal
kau duduk di antara pohon-pohon tua
di pelabuhan kau berteriak, ini juga tanah airku
kau ambil peta dan kau bubuhi tanda
dulu aku juga dilahirkan di sini
aku tenggelam dalam kenangan
bunga harum yang kuharap telah jadi bangkai
ah kau hanya merayu untuk sesuatu yang sesat
ini bukan birahiku di antara sepi dan api
tapi hanyalah lelaki jalang yang mengembara
di antara pulau-pulau yang masih perawan
dan tanah-tanah yang minta diberkahi
aku beri tanda dan kau hanya bisa tengadah
nyalakan obor di kandang dan gubuk sebagai tawanan
hambamu hanyalah hamba yang tunduk pada takdir
kau hanya boleh memainkan kincir di batas mimpi
bau kemarau masih menyimpan tubuhmu dari seberang
di tanah ini telah kau tandai waktu dan sejarah
dengan pabrik, lori, tebu, tembakau dan kapal-kapal
agar masa lalu bisa terulang dan aku terkenang pada noni-noni
ah wajahnya putih susu dan betisnya seharum bunga leli
sedang bau keringatku seapek tembakau di gudang tua
kini kami mainkan tambur dan genderang di ladang-ladang
agar semangat kerja menjadi doa dan pahala
Situbondo, 2008
Kompas, Minggu, 23 Maret 2008
LAYANG -LAYANG
layang-layang adalah masa kecil yang hilang
ia terbang ke atas dan turun menukik
dan sesekali menyambar-nyambar angin
ketika putus kau terperanggah dan menangis
lalu bangkit dan mengejar-ngejar bayangan
melintasi sawah, ladang, rumah dan menara
ke arah susuh angin yang tak kutahu di mana rimbanya
yang begitu sempurna mempermainkan sayap sihirnya
dalam pengejaran ini aku semakin tercekam
ketika memasuki senja dengan cahaya suram
yang kulihat hanya bayang-bayang gelap
yang mengejar-ngejar dan mempermaikan waktu
Ngawi, 2008
LUDRUK
ia rias wajahnya agar lebih cantik
ia menjadi sang putri malam ini
bukan sebagai lelaki yang biasa ia lakoni
yang datang dari rasa birahi
di panggung penonton masih sepi
ia ingat bedak terakhir yang tersimpan di laci
agar wajahnya tambah putih bunga leli
menyempurnakan penyamaran hari ini
atas riwayat hidup yang ingin dilupakan
dulu ia pernah menjadi tokoh yang gagal
kini ingin berganti peran dan nasib
agar semua rahasia bisa tersingkap
agar kenangan masa lalu bisa terkubur
dan bayangan sunyi sehabis subuh bisa berganti
ia mondar-mandir di tengah panggung
seperti hendak menanti eksekusi
ia berkidung agar semangat tidak luntur
sementara penabuh gamelan masih tertidur
tukang parkir sudah seminggu libur
ia ke tengah tobong menghitung kursi kosong
ia memandang panggung dan menyaksikan
permainan yang sesungguhnya sedang dimulai
ia lihat bayang-bayang dirinya di jendela kamar
bergincu tebal sambil melambaikan tangan
tanjung perak mas
kapale kobong
monggo mampir mas
kamare kosong
Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008
Minggu, 29 Agustus 2010
S Yoga Baca Puisi di Lampion Sastra 2 DKJ 2006

LAMPION SASTRA2 "BUKU BARU"
Bosan dengan peluncuran buku yang gitu-gitu aja? Proses Kreatif penulis, Diskusi, tanya jawab, padahal kita belum baca bukunya?
(Puisi Sape Sono*. puisi yang dibacakan dalam acara Lampion Sastra)
SAPE SONO’*
cermin di bumi
cermin di langit
datanglah padaku
irigan irigan sesajen
arak arakan payung purba, musik saronen
terompet, siter, tetabuhan
gamelan dan gong bertalu talu
membuka rahasia hidup
langkah sepasang sapi jantan dan betina
menari nari dengan pakaian kemanten
dihiasi pernik pernik, gelang, kalung, perak
tembaga dan alis mata tegak
mata berbinar menuju pelaminan
menuju duka dan nestapa
menuju kebahagiaan dan keabadian
satu langit dan satu bumi
didandani bersepakat satu rumah
kandang sapi, bau apek, tai terbakar
pesing air kencing dan lumpur basah
adalah lantai lantai kehidupan
yang harus dijalani
di depan ada cermin
maha luas
cermin siapakah itu
tak ada yang tahu
hanya ekor sapi yang kebat kebit
mengusir lalat hijau sebesar jempol
menghisap pantat coklat bahenol
sepasang kemanten terus menari nari
seiring musik rancak bersahut
dalam rimba kata kata
terdengar cempreng di pengeras suara
yang hampir pecah
kaki kiri dan kaki kanan bersijingkat seirama saronen
kepala berlengak lengok
gemerincing genta
terpasang di leher
seperti orang berzikir
dengan pakaian warna warni
hijau pupus, merah lembayung dan kuning langsat
bagai keberanian sedang dipertaruhkan
dengan doa sekerabat dekat
dan puja puji dari nyanyian ilahi
orang orang bertepuk tangan
sambil melambai lambaikan masa lalu
dengan kaki gemetar terkena busung lapar
melepas upacara yang sedang dihelat
apakah akan lulus memasuki kehidupan
dua cermin yang terpasang
di kanan kiri gapura
memantulkan bayang bayang hitam
diselingi cahaya cahaya yang kemilau
dua sapi saling berebut simpati
dalam tarian purba yang wingit
di depan cahaya
mereka berdua berlutut
memberi sembah
dengan dua kaki tertekuk
sujud kehidupan dan sujud maut
kepada ilahi
musik mengalun kembali
dalam seruling yang meninggi
seolah suara terompet dari
yang maha jauh
di balik kelambu
sepasang kemanten sedang bercengkrama
menghitung keuntungan
dengan baju baju baru
perhiasan baru
hadiah baru
sambil ekornya
mengibas ngibas
kiri kanan
mengusir
kesunyian
lalu
saling
berbelit
dalam
diri
*Sapi Sonok, sapi Madura yang dilombakan keindahan dan kepandaiannya menari diiringgi musik.
Gapura-Sumenep 2005
(Kompas 6 November 2005)