PELANCONG
mereka turun dari kapal di gelap malam
membawa senter, oncor dan peta masa lalu
dan gerimis senja mengantarnya pada hutan belukar
di sebuah tempat yang tak terduga
sebuah semenanjung di sebuah pulau
tempat budak-budak diternak
terdengar lolong serigala di perbukitan
tubuhnya bercahaya di antara bayangan bulan
dan hutan yang terbakar
rupanya bayang-bayang lebih gaib dari pikiran
karena ia selalu lepas dari genggaman
beri aku senapan, beri aku peluru teriakmu
ketika mendengar suara-suara binatang malam
kubisikkan kata-kata muram sebelum matanya lebih jalang
tunggu semua burung-burung pulang ke sarang
agar kau jumpai pikiran lepas dengan badai ingatan
ah kau inlander tahu apa tentang masa lalu
aku pun diam di bawah pohon besar
dekat sebuah makam purba bernisan batu
aku pun tahu sebentar akan sampai pada batas
di pantai ini hanya nasib yang mempertemukan
sebelum esok pagi kita pergi ke besuki
panarukan, panji dan asembagus
melihat pabrik-pabrik dan bising mesin
meminta kita untuk kembali ke masa-masa silam
ketika senjata menjadi panglima
dan pikiran-pikiran berputar-putar pada hasrat dunia
pejamkan matamu dan kau akan melayari semua impian
yang pernah terlupakan, sebelum tergadaikan
di pagi hari di pelabuhan jangkar sebelum gempa
kau memandang kapal-kapal yang berkabut
terdampar di pelupuk matamu yang biru
asap dan bayang-bayang masih menyelimuti
sebuah pulau, nun jauh di sana yang tak terjangkau
seolah diterjunkan dari bukit-bukit tandus
kebun-kebun tebu, sawah dan ladang hangus
dan di pabrik gula, mesin-mesin terus bekerja
memeras keringat dari madu kemurnian
dan sungai-sungai dipenuhi kegelapan
mengalir dari hulu menuju muaramu
sebelum kau layarkan ke pulau-pulau asing
tempat terjauh yang tak pernah kukenal
sebuah gudang tua milik tuan tanah
menyimpan sejarah gelap perbudakan
di ladang tebu, tembakau dan perkebunan
tubuh yang hitam berdiri memandang senja
di antara sihluet patung raksasa berambut gimbal
kau duduk di antara pohon-pohon tua
di pelabuhan kau berteriak, ini juga tanah airku
kau ambil peta dan kau bubuhi tanda
dulu aku juga dilahirkan di sini
aku tenggelam dalam kenangan
bunga harum yang kuharap telah jadi bangkai
ah kau hanya merayu untuk sesuatu yang sesat
ini bukan birahiku di antara sepi dan api
tapi hanyalah lelaki jalang yang mengembara
di antara pulau-pulau yang masih perawan
dan tanah-tanah yang minta diberkahi
aku beri tanda dan kau hanya bisa tengadah
nyalakan obor di kandang dan gubuk sebagai tawanan
hambamu hanyalah hamba yang tunduk pada takdir
kau hanya boleh memainkan kincir di batas mimpi
bau kemarau masih menyimpan tubuhmu dari seberang
di tanah ini telah kau tandai waktu dan sejarah
dengan pabrik, lori, tebu, tembakau dan kapal-kapal
agar masa lalu bisa terulang dan aku terkenang pada noni-noni
ah wajahnya putih susu dan betisnya seharum bunga leli
sedang bau keringatku seapek tembakau di gudang tua
kini kami mainkan tambur dan genderang di ladang-ladang
agar semangat kerja menjadi doa dan pahala
Situbondo, 2008
Kompas, Minggu, 23 Maret 2008
LAYANG -LAYANG
layang-layang adalah masa kecil yang hilang
ia terbang ke atas dan turun menukik
dan sesekali menyambar-nyambar angin
ketika putus kau terperanggah dan menangis
lalu bangkit dan mengejar-ngejar bayangan
melintasi sawah, ladang, rumah dan menara
ke arah susuh angin yang tak kutahu di mana rimbanya
yang begitu sempurna mempermainkan sayap sihirnya
dalam pengejaran ini aku semakin tercekam
ketika memasuki senja dengan cahaya suram
yang kulihat hanya bayang-bayang gelap
yang mengejar-ngejar dan mempermaikan waktu
Ngawi, 2008
LUDRUK
ia rias wajahnya agar lebih cantik
ia menjadi sang putri malam ini
bukan sebagai lelaki yang biasa ia lakoni
yang datang dari rasa birahi
di panggung penonton masih sepi
ia ingat bedak terakhir yang tersimpan di laci
agar wajahnya tambah putih bunga leli
menyempurnakan penyamaran hari ini
atas riwayat hidup yang ingin dilupakan
dulu ia pernah menjadi tokoh yang gagal
kini ingin berganti peran dan nasib
agar semua rahasia bisa tersingkap
agar kenangan masa lalu bisa terkubur
dan bayangan sunyi sehabis subuh bisa berganti
ia mondar-mandir di tengah panggung
seperti hendak menanti eksekusi
ia berkidung agar semangat tidak luntur
sementara penabuh gamelan masih tertidur
tukang parkir sudah seminggu libur
ia ke tengah tobong menghitung kursi kosong
ia memandang panggung dan menyaksikan
permainan yang sesungguhnya sedang dimulai
ia lihat bayang-bayang dirinya di jendela kamar
bergincu tebal sambil melambaikan tangan
tanjung perak mas
kapale kobong
monggo mampir mas
kamare kosong
Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar