Jumat, 17 Desember 2010

NAMA SAYA BUKAN OREZ-OREZ ITU CUMA NAMA

Jawa Pos, Minggu Pahing 11 Juli 1999

NAMA SAYA BUKAN OREZ
Cerpen : S. Yoga

Nama saya bukan Orez, kepala saya tidak besar, kasar dan benjol-benjol. Tangan dan kaki juga tidak sebesar milik Orez. Tubuh saya normal, tidak kerdil, pokoknya wujud tubuh saya normal saja. Bahkan wajah saya cukup tampan. Otak saya juga tidak idiot kayak Orez. Suara saya juga tidak sehebat dan sekeras suara Orez yang seperti gemuruh gempa bumi itu.
“Pokoknya saya bukan Orez.”
Tapi kenapa orang-orang memanggil saya dengan mana Orez. Sungguh keterlaluan.
Memang, mulanya hanya kawan-kawan masa kecil saja yang memanggil saya dengan sebutan Orez. Kata teman-teman karena saya nakal luar biasa, pernah mengencingi Sita saat bermain di selokan, menusuk ban mobil tetangga, menimpuk kakek yang lewat, dan mengembat dompet purnawirawan sehabis mengambil pensiun. Tapi itu kenakalan yang lumrah, kenakalan anak kecil. Saat itulah teman saya sering memanggil saya dengan nama Orez. Saya sendiri tidak tahu apa maksudnya dan apa maknya nama itu. Ketika saya tanyakan kenapa mereka memanggil nama saya dengan Orez, mereka pun tidak tahu apa maksudnya. Katanya, pokoknya kamu pantas menyadang nama itu. “Orez! Orez! Sayangku! Sini Orez, jangan ngembat domet ayah ya, jangan menimpuk rumah lagi ya, jangan mengores-ngoresi mobil ayah dengan tahi kuda ya, ya Orez malang berotak kosong.”
Begitu kawan-kawan bila meledek. Dengan serta merta mereka saya kejar. Bila ada yang tertangkap langsung saya hajar hingga babak belur, setengah jam kemudian pasti orang tuanya memiting telinga saya, menjewernya hingga berdarah-darah. Tapi kelakuan orang tua mereka justru tidak menyurutkan nyaliku untuk membenci keluarga itu. Maka malamnya kutebar jarum, paku di pelataran rumahnya, Saya tahu, ayahnya sebentar lagi pulang dari luar kota. Ketika mobil masuk, tak terasa apa-apa, esoknya, sekeluarga akan uring-uringan, mau melabrak saya tak ada saksi, mereka hanya marah-marah, teriak-teriak, menghujat namaku. Saya tersenyum sinis di bawah pohon jambu bol, sambil membetulkan ketapel untuk membidik burung kakaktua kesayangan keluarga itu, nanti siang bila sudah sepi.
Sejak kecil memang saya sudah dilatih berburu. Hingga dewasa berburulah hobi saya. Hutan-hutan mana yang belum saya jelajahi, tak ada lagi, semua pernah saya jelajahi, sayalah pemburu ulung. Namun banyak orang yang menyangsikan keulungan saya sebagai pemburu. Padahal petualangan saya sudah banyak saksi mata melihat dengan mata kepala dan mengikuti setiap perburuan. Tapi orang-orang tetap tidak percaya pada kisah-kisah petualangan saya. Sungguh membuat saya masygul, sedih dan terlunta. Tak kurang lusian kisah perburuan telah saya terbitkan. Itu pun tidak mereka percaya. Mereka bilang kisah itu penuh manipulasi, “bohong besar, tak ada danau di hutan ini. Orez jelas embual besar, pandai menipu sejarah, bahaya ia bila jadi penguasa.”
Jelas itu sebuah sindiran yang keras terhadap saya, dan hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena saya benar-benar bukan seorang pembual apalagi penipu sejarah, kisah petualngan berburu sesuai benar dengan peristiwa yang ada. Memang di sana-sini ada kisah-kisah lucu, ya sekedar berolok-olok, dan memang ada sedikit kisah yang berbohong, tapi ini kan supaya ceritanya dramatik, pembaca tertarik dan tidak bosan. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh penulis-penuli kita. Tapi mereka tetap saja tidak percaya dan terus menuduh saya hanyalah seorang penipu. Apalagi dengan menyebut-nyebut nama Orez. Dan nama itu bukan nama saya. Penghinaan besar!
Saya tak terima atas tuduhan ngawur itu. Saya bukan Orez. Kisah perburuan saya tidak fiktif. Saking marahnya. Seluruh staf perusahaan dan cabang-cabangnya saya kumpulkan. Briefing. Siapa yang berani memangil nama saya dengan sebutan Orez harus didenda atau dikeluarkan, dan jelas itu merupakan tindakan provokasi dan dengan tujuan mengina dina diri saya. Juga siapa yang tak percaya kisah-kisah saya yang telah susah-susah saya tulis juga harus dikeluarkan dari perusahaan. Dan mulai saat ini mereka wajib membaca buku-buku yang telah saya tulis, keputusan-keputusan dalam perusahaan juga harus merujuk ke dalam buku saya yang berkaitan dengan hal tersebut. “Siapa membangkang ke luar dari perusahaan.” Semua tidak ada yang bicara. Mereka tunduk. Meski pikiran mereka sulit diterka.
Tapi selalu saja ada yang lolos dari awasan saya. Pernah saya pergoki, beberapa karyawan membicarakan nama saya dengan menyebut nama Orez. Dan menghubung-hubungkan dengan tokoh-tokoh raksasa. Mereka bilang sudah sepatutnya saya dipanggil Orez, “wataknya sudah jelas merusak.” Saya tidak terima, saya sidang mereka berlima, yang sebelumnya, muka mereka sudah tidak karuan rupanya terkena jotosan tangan kiri kanan. Mereka sangat menjengkelkan, ketika saya tanya kenapa mereka menyebut saya dengan Orez? Dan bagimana asal usul dongen Orez? Mereka bungkam. “Ah, dasar pemberontak.” Sebagai imbalan ketidak hormatan mereka pada orang yang seharusnya mereka hormati. Sebelum saya pecat mereka saya jajar semalaman di atas kursi yang belakangnya saya aliri setrum listrik otomatis yang menyengat setiap dua menit. Esok paginya mereka harus berjemur seharian di tengah terik matahari tanpa busana. Setelah itu saya lepaskan. Saya pulangkan tanpa pesagon. Dan setelah kejadian itu tak ada yang berani macam-macam. Entah kenapa. Mungkin takut, tidak berani melapor. Karena yang sudah-sudah, yang berani menghinaku, selalu ditemukan tewas tertembak. Sedangkan siapa yang membunuh saya benar-benar tidak tahu.
Namun semuanya itu sebenarnya belum memuaskan diriku. Saya belum merasa lega bila belum tahu apa artinya sebenarnya nama Orez. Hingga kini tak seorang pun yang tahu dan mau menceritakan padaku. Sudah berpuluh-puluh buku saya baca, bahkan beratus-ratus tak kutemu juga nama Orez. Ensiklopedi juga tak memuat. Apalagi kamus.
Sementara permasalahan penelusuran nama Orez mulai terlupa. Muncul masalah baru. Isteriku yang kelima mau minta cerai. Ini jelas keberanian yang luar biasa. Selama ini tak ada yang merasa resah apalagi minta cerai. Semua kebutuhan telah tercukupi. Permasalahan ranjang pun, mereka selalu merasa puas. Siapa yang du balik semua itu, pikirku. Dari tempat beruru di luar pulau. Saya langsung ke rumah Ida. Saya ketuk pintu dengan ujung senapan. Ida membuka pintu. Saya berdiri tegar dengan senapan masih mengarah ke depan. Tak disangka Ida segera menubruk kaki saya, bersimpuh, meminta maaf atas ucapannya, niatannya. Segera saya angkat dia. Saya lentangkan di atas meja. Kami bersetubuh sehari penuh, seperti binatang yang lagi birahi. Dalam keadaan begini memang kami binatang.
Anak-anak juga seperti ayahnya. Mereka sungguh hobi berburu. Sudah berapa banyak binatang-binatang mati, terkena bidikannya. Beberapa banyak gadis-gadis yang juga kena jeratannya. “Dasar anak-anak mewarisi jiwa ayahnya.” Tapi mereka tak pernah pulang ke rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berburu. Berburu apa saja yang mereka sukai. Tak tanggung-tanggung, selain di pulau-pulau negeri ini, mereka juga berburu-buruannya di negeri-negeri lain. Mereka punya gerombolan-gerombolannya sendiri yang begitu taat pada pemimpinnya. Dan pemimpinnya, ya anak-anak saya.
Nyatanya1 Semua itu belum membahagiakan hati saya. Satu-satunya ketersinggungan saya pada siapa pun adalah sebutan nama Orez. Di belakang keberhasilan anak-anak saya, selalu diembel-embeli, “oh anaknya Orez.” Begitu pulan sebutan isteri-isteri saya, “oh isterinya Orez.” Karenanya, saya mangkel luar biasa. Siapa yang berabi menyebut-nyebut nama saya. Akan saya balas penghinaan itu.
Maka karena saya terbiasa bekerja sendiri, kalau tidak terpaksa tidak akan meminta bantuan orang lain. Semua sumber yang menyebut saya Orez, saya telusuri. Dengan bekerja tak mengenal waktu dan karena insting berburu saya. Dalam tempo kurang sebulan semua ketemu. Semua saya kasih pelajaran dengan muka tak berbentuk, ada yang mulutnya robek, jidatnya miring, kepalanya peang, kupingnya hilang, hidungnya rontok matanya juling. Semua akhirnya jadi bungkam. Dan pihak keamanan tak bisa melacak siapa pelakunya. Karena kerja saya begitu rapi dan bersih dari jejak. “Jelas naluri pemburu.”
Sementara itu, laporan-laporan dari perusahaan-perusahaan menjadi merepotkan sekali di bulan ini. Saya diharapkan segera mewaspadai datangnya bahaya badai La Nina, yang bakal rutin mengunjungi kota kami. Setiap tahun di bulan ini. Tapi di tahun ini katanya badai ini merupakan siklus 100 tahunan yang terhebat. Dengan resiko seluruh kota akan porak-poranda sama dengan 100 tahun yang lalu. Dengan laporan ini, saya tidak menganggapnya sama sekali. “Ramalan sudah biasa hanya menakut-nakuti.” Tapi laporan yang benar-benar membuat saya murka. Aadalah laporan yang hanya sehelai selebaran. Yang katanya sudah disebarluaskan ke segenap pelosok kota. Isinya menghujat saya: “Orez,” begitu mereka menyebut di selebaran, dan perusahaan-perusahaan yang saya miliki, katanya mencemarkan seluruh kota. Menghadang aliran-aliran sungai yang akan mengakibatkan banjir besar. Dan perusahaan milik saya, katanya begitu sewenang-wenang terhadap pegawai dan buruh-birihnya. Mereka sepakat besok pagi akan mengadakan dmonstrasi besar-besaran menentang perusahaan-perusahaan saya.
Oleh semua itu, sebenarnya, yang membuat saya murka bukan masalah pencemaran dan segala hal yang berkaitan dengan perusahaan. Tapi sekali lagi, karena sebutan nama, ya mereka menyebut saya dengan. “Orez.” Oh suatu penghinaan massal yang sangat memukul saya. Mereka benar-benar ingin berontak pada diri saya. Mereka harus diberi pelajaran agar tak sewenang-wenang menyebut seenaknya nama orang. Baiklah kalau memang mereka menyebut saya dengan Orez. “Padahal saya bukan Orez.” Orez yang pernah saya dengar memang sebuah dongeng. Kata nenek saya dulu, Orez seorang anak yang bermuka buruk dan berwatak perusak. Idiot namun punya sedikit rasa manusiawi. “Tapi Orez yang ini.” Karena geram, kini saya mengukuhkan diri sebagai Orez dewasa. “ Tak lagi perlu perasaan manusiawi. Toh penduduk kota sudah tidak punya perasaan. Buktinya mereka menghalangi sepak terjang saya. Pantas dihuku,.”
Malam itu bersama pemburu sewaan, saya sibuk mengatur stretegi. Karena rupanya penduduk sudah mencium dan tak mau kompromi, apalagi petugas yang rupanya memihak mereka. Benar-benar ingin menghancurkan kehidupan saya. Mereka akan membakar saya hidup-hidup. Mereka memburu saya bagai genderuwo yang harus dilenyapkan karena membawa wabah, kesengsaraan. “Baiklah.” Setelah kami berhasil mengatur siasat untuk menghancurkan mereka. Rupanya kawan-kawan pemburu saya memang dikaruniai kecerdikan luar biasa. Saya menjadi tenang. “Esok pagi! Esok pagi!” pikirku. “Kalian akan terpanggang habis.”
Menjelang fajar. Kota dikagetkan oleh suara ledakan keras. Disusul hamburan nyapa api, yang dengan cepat membakar gedung-gedung tinggi, plaza-plaza, rumah-rumah penduduk. Angin semakin kencang, kilat terus menyambar-nyamar, geluduk bergelegaran di atas kota. Penduduk berteriak-teriak berhamburan keluar dari reruntuhan, melangkahi mayat-mayat. Hiruk pikuk, menyelamatkan diri. Seluruh kota tak berfungsi, jalan-jalan hancur, jembatan jebol. Hujan menderas, kilat berjilatan di angkasa, banjir tak bisa dibendung, dam-dam ambrol. Badai mengamuk. Orang-orang marah, mencaci-maki, menghujat nama Orez. “Orez-lah yang bertindak, dia yang berbuat. Dasar Orez bajingan! Orez! Orez! Keluarlah kau, kucincang tubuhmu!” Orang-orang berlarian hilir mudik sambil membawa parang, celurit, tombak. Sedang korban terus berjatuhan, tertimpa reruntuhan, terseret banjir, disamabar halilintar, diterjang angin badai.
Tiba-tiba selebaran berterabangan dari atap gedung yang disapu angin badai. Tertulis nama Orez. Nama saya. “Siapa yang tunduk sama Orez, silahkan bergabung dan tetap di kota. Siapa yang membangkang, silahkan tinggalkan kota atau para sniper akan menghancurkan batok kepala kalian.” Begitu pesan yang saya tulia.
“Tapi siapa itu Orez? Saya samar-samar mengingatnya. Saya hampir ingat. Di antara reruntuhan gedung ini, ingatan saya mulai normal. “Memang serangan itu sangat mendadak. Jadi bukan saya yang melakukan. Pasti ada pihak ketiga. Tangan lain yang ikut campur. Bukan scenario saya. Bahkan pemburu sewaan saya. Lihatlah. Bergelimpangan di anatara reruntuhan gedung ini. Dan beberapa orang yang selamat. Termasuk saya. Tapi muka-muka mereka hancur, tak karuan.
Ah! Bayangan di cermin yang pecah berantakan di tanah dekat kaki saya. Bayangan siapa. Wajahnya mengerikan. Kepalanya benjol-benjol, tangan dan kakinya, terlalu panjang dan besar! Oh Tuhan!! Ah! Suara saya kenapa begitu keras, keras sekali. “Rumah-rumah dan gedung-gedung yang belum rontok jadi berguguran, ambruk, suara saya seperti gempa. “Tapi percayalah, perusakan yang pertama bukan saya yang melakukan. Benar! Benar! Saya jadi menyesal berteriak, berbicara, maupun mendesah. Semua akan merubuhkan apa pun di sekitar saya. Saya lebih baik diam? “Siapa yang sebenarnya yang menghancurkan kota kami, gedung-gedung saya? Siapa? Badai itu? Banjir itu? Halilitar itu? Gelegar geluduk itu? Mungkin itu penyebabnya. Tapi siapa yang menggerakkan kekuatan sedahsyat itu? Menggugah perasaan saya?”
Sesudah ini saya kira tak ada cerita yang menarik. Sesudahnya hanya kisah-kisah yang monoton, membantu mereka-mereka yang miskin, menyumbang ke yayasan-yayasan social, dengan uang simpanan saya yang tak terhitung jumlahnya dan Anda tidak akan tahu di mana saya menyimpannya. Tapi ingat, bahwa nama saya bukan Orez!
***
*Orez adalah salah satu tokoh dalam cerpen Budi Darma



Jawa Pos, Minggu Wage 18 Juli 1999
OREZ ITU CUMA NAMA

Beberapa hari yang lalu Jawa Pos membuat sebuah cerpen karangan S. Yoga berjudul Nama Saya Bukan Orez. Di situ dikatakan, nama Orez diambil dari judul cerita pendek saya, yaitu Orez, dalam kumpulan cerita pendek Orang-Orang Bloomington. Kemudian, di situ diceritakan Orez adalah seorang yang tidak mempunyai moral, sangat nakal dan kurang ajar, cacat fisik namun mempunyai kemampuan fisik yang luar biasa. Memang betul, semuanya diambil dari kumpulan cerita pendek Orang-Orang Bloomington. Dan, nuansa-nuansa dalam cerpen Nama Saya Bukan Orez kecuali diambil dari berbagai cerpen di buku Orang-Orang Bloomington –jadi bukan hanya pada Orez saja- juga diambil dari novel Olenka dan juga dari cerpen saya terakhir yang dimuat di Kompas,yaitu Derabat, yang mengisahkan pemburu dan sebaginya.
Kemudian, dipertanyakan oleh S. Yoga, pengarangnya, tokoh sentral dalam cerpen Nama Saya Bukan Orez itu tidak tahu makna Orez. Sebetulnya, Orez itu apa, tapi orang menunduh dia sebagai Orez dan tidak mau mengganti namanya, tapi dia tetap dinamakan Orez, karena itu dia marah.
Nama Orez sebetulnya saya sendiri mula-mula tidak tahu. Mengapa tidak tahu karena setiap kali saya mengarang saya tidak pernah merencanakan untuk mengarang. Demikian juga ketika menulis cerpen Orang-Orang Bloomington saya tidak punya rencana sama sekali untuk menulis cerpen-cerpen tersebut. Dengan demikian, nama-nama, peristiwa-peristiwa, dan sebagainya itu datang dengan sendirinya, termasuk nama Orez.
Jadi, siapa nama Orez ini saya sendiri sebenarnya tidak tahu, tapi biasanya setelah saya selesai menulis, setelah karya tersebut diterbitkan, kadang-kadang saya bertanya kembali mengapa nama ini muncul, mengapa peristiwa ini muncul. Dan, nama Orez yang muncul saat saya menulis itu ternyata pengendapannya sudah cukup lama, yaitu sekitar 7-8 tahun. Sebelum menulis cerpen itu, saya pernah mengadakan perjalanan keliling dengan Sapardi Djoko Damono di Amerika dengan mempergunakan pesawat terbang, bus, kereta api, kendaraan sewaan, dan sebagainya. Pada waktu keliling ke mana-mana itu, saya menemukan satu nama, yaitu nama Orez. Nama itu terpampang di sebuah iklan di kota kecil. Tapi, saya tidak ingat lagi iklan apa dan di kota mana saya melihatnya. Jadi, nama Orez ini kemudian mengendap dan setelah itu, ketika saya menulis cerpen Orang-Orang Bloomington, langsung muncul nama ini.
Nama Orez ini sebetulnya berkaitan dengan peristiwa korban ketika Nabi Ibtahim diminta memotong anaknya, Ismail. Orez dalam cerita pendek itu (dalam kumpulan Orang-Orang Bloomington) karena ayahnya merasa kasihan pada anaknya dan anaknya diperkirakan tidak mungkin hidup normal lagi, maka akanya itu harus dibunuh. Pada saat akan membunuh, ternyata ayahnya tidak mampu untuk membunuhnya karena bagimanapun Orez itu manusia dan dia lahir bukan karena minta dilahirkan, melainkan karena solah tingkah ayahnya sendiri, karena itu kemudian diantarkan pulang.
Jadi, Orez ini sebetulnya pencerminan pencarian jati diri, yaitu mengapa seseorang bisa lahir seperti itu, cacat tapi mempunyai kemampuan fisik luas biasa, bersifat merusak tapi kadang-kadang juga bersifat baik. Orez ini adalah satu jenis makhluk yang tidak minta dilahirkan kenapa seperti ini, seperti juga makhluk lain. Karena itu, cerpen-cerpen saya banyak mempermasalahkan orang-orang aneh. Sebab, memang, kita bertanya mengapa dunia ini demikian aneh, mengapa ada orang-orang seperti ini, mengapa ada orang seprti itu, mengapa dia lahir tahun ini, tidak sebelumnya, mengapa dia lahir di sini dan tidak di negara lain, mengapa anak orang ini dan bukan orang lain, dan sebagainya.
Dengan adanya cerpen S. Yoga itu, memang saya sama sekali tidak dirugikan dan tidak merasa keberatan apa-apa. Sebab, sebuah cerpen yang sudah diterbitkan bebas untuk ditafsirkan oleh siapa pun dan juga bebas untuk direjreasikan oleh sipa pun, seperti yang dilakukan S. Yoga. Jadi, karya sastra itu menggelinding untuk menjadi karya sastra yang lain. Ini tidak apa-apa. Jadi, dengan adanya cerpen S. Yoga itu bukan lantas saya harus memberikan penjelasan dalam arti sesungguhnya, tapi saya hanya menyampaikan latar belakang karena memang S. Yoga dalam cerpennya mengatakan bahwa saya tidak tahu mengapa saya dinamakan Orez dan dalam pandangan umum Orez itu adalah makhluk yang demikian. Pertanyaan ini sebenarnya banyak ditanayakan orang-orang lain uang kebetulan tidak menulis. Kebetulan, S. Yoga menuliskannya dalam bentuk cerpen.
(Budi Darma)

Minggu, 05 Desember 2010

SASTRA INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN

Sumber, Jawa Pos, Minggu 5 Desember 2010
Sastra Indonesia di Persimpangan Jalan
Oleh : S Yoga*

Sebagian pengamat sastra menyatakan bahwa sastra Indonesia saat ini berada dalam status quo, jalan ditempat. Bahkan ada yang mengganggap mengalami kemunduran jika dibanding dengan sepuluh tahun yang lalu. Padahal, secara kuantitatif, banyak karya sastra yang diterbitkan, banyak pula sastra asing yang sudah diterjemahkan, banyak even sastra, lomba dan diskusi. Begitu pula sudah sangat terbuka penerbitan buku maupun media masa yang mengakomodasi karya sastra. Lalu bagaimana kondisi yang sebenarnya?
Bila kita cermati, perkembangan sastra sepuluh tahun terakhir, memang ada dinamika yang menarik. Pertumbuhan komunitas-komunitas cukup pesat, entah atas nama apa pun komunitas itu terbentuk. Juga, media masa memiliki peran yang cukup signifikan dengan pertumbuhan sastra di Indonesia. Penerbitan-penerbitan pun ada dimana-mana, baik yang berskala besar maupun kecil. Demokratisasi karya sastra menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Festival, even-even dan lomba karya sastra pun marak. Lalu, mengapa perkembangannya sastra Indonesia masih dianggap jalan ditempat? Tentu karena ukurannya masih kuantitas. Belum kualitas. Itu bisa kita telusuri dari beberapa penyebab sehingga sastra Indonesia berada di persimpangan jalan.

Hegemoni Komunitas
Pertama, banyak padangan yang menyatakan bahwa sastra Indonesia dihegemoni oleh estetika (komunitas) tertentu yang dominan dan memiliki jaringan atau kekuatan kapital yang cukup besar. Dengan demikian, banyak sastrawan yang mengikuti mazhabnya dan banyak pula yang melakukan resistensi. Entah apa pun alasannya. Upaya hegemonik dilakukan oleh banyak komunitas dengan saling mencari dan memperbanyak pengikut. Antara yang dilawan dan yang melawan memiliki ideologi yang saling menyerang dan tidak mau dikalahkan, (padahal demokrasi sedang didengung-dengungkan), yang bisa jadi bersangkut paut dengan estetika sastra atau justru diluar estetika sastra. Artinya, ini sebuah pertarungan ideologi yang bersumber pada perebutan kedudukan atau kekuasaan sastra Indonesia. Setiap mereka ingin dianggap sebagai pelaku utama sastra Indonesia.
Yang sering terjadi adalah perdebatan yang bukan bersumber dari karya sastra, tapi hal-hal diluar karya sastra. Kalaupun perihal karya sastra, perbedaan yang mencolok antara karya mereka -baik yang ditentang maupun yang menentang- pada umumnya memiliki kekaburan untuk bisa dibedakan dengan jelas. Artinya, karya-karya mereka masih memiliki cara pandang yang sama dalam memaknai kesusastraan Indonesia. Bahkan, kalau kita melihat secara seksama para pelaku ternyata menyandarkan diri pada estetika tertentu yang mereka anggap sebagai kanon. Para pelaku maupun pengikutnya memandang karya sastranya harus atau kurang lebih sama dengan karya-karya kanon tersebut. Jadi, tidak terjadi sebuah pemberontakan dari konvensi yang sudah ada.
Bukan sekadar masalah penyeragaman karya. Namun, hal ini menyangkut mentalitas sastrawannya yang cenderung mengalami ketergantungan estetika. Mereka merasa aman dalam jalur-jalur estetika yang dominan, terus menerus mengamankan status quo, sehingga karya-karya yang diasilkan pun jalan di tempat. Sastrawan yang demikian telah memiliki “helm” estetika komunitas tertentu sehingga mereka ogah keluar dari estetika yang mereka anut.

Sastra Koran
Kedua, kritik sastra Indonesia hari ini telah direbut oleh redaksi-redaksi media massa. Kita tidak menjumpai lagi apa yang dikenal dengan “Paus Sastra Indonesia” yang bisa menasbihkan atau melegitimasi seseorang untuk menjadi sastrawan. Yang ada, kritik sastra yang telah mengalami demokratisasi yang berwujud pada muncul redaksi-redaksi (halaman sastra dan budaya) media massa, pembaca-pembaca yang trampil (bisa jadi antarteman sastrawan) dan editor-editor penerbitan. Penentuan baik buruk karya sastra telah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan atau tugas, dan akhirnya melakukan pembesaran dalam sastra Indonesia. Bukan di tangan kritikus an sich. Sebab, kritik sastra juga telah bergeser ke dalam bidang seni kritik, memperkaya makna karya sastra dan tidak lagi menentukan baik buruk karya sastra. Bahkan, kritik sastra yang kerap muncul berbicara di luar teks sastra itu sendiri.
Dalam kondisi yang seperti itu, estetika karya sastra mengalami pemampatan, keterbatasan pada kemampuan redaksi-redaksi media massa dan editor buku. Pola ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak memiliki independesi mutlak atas kebebasan berkreativitas. Para redaksi dan editor telah membentuk sebuah pola esetika sastra yang harus dituruti oleh para sastrawan, baik yang menulis prosa maupun puisi. Akibatnya, banyak sastrawan yang mempelajari pola-pola yang ada untuk memasukkan karya sastranya ke dalam wilayah estetika sastra yang tidak steril tersebut. Menghamba dalam estetika tertentu demi bisa menyalurkan karya-karyanya. Sekali lagi, itu menunjukkan bahwa sikap ketergantungan pada konvensi estetika sastra yang dominan masih menggejala.
Jiwa-jiwa pemberontakan dalam hakikat sastra menjadi lenyap, berubah menjadi penurut dan tunduk pada estetika tertentu. Maka, dikenal pula apa yang kita sebut dengan estetika sastra koran yang kurang lebih memiliki kriteria-kriteria yang hampir sama di antara beraneka ragamnya media massa.
Bila kita bandingan karya sastra hari ini, kumpulan cerpen, misalnya, dengan yang dihasilkan sepuluh tahun yang lalu, terasa sekali adanya penurunan kualitas. Kalau ada yang kualitasnya tetap bertahan, itu pun masih dalam posisi jalan ditempat. Itu pun umumnya dilakukan oleh pengarang-pengarang lama yang tidak juga menunjukkan grafik peningkatan kualitas karyanya. Kalau dia menulis sepuluh tahun yang lalu, kita nilai 8, dia menulis sekarang pun nilainya masih sama, bahkan bisa turun. Buku-buku kumpulan cerpen di Indonesia umumnya merupakan cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media massa. Dewasa ini kita tidak menemui kumpulan cerpen yang memang diniatkan untuk dibukukan dalam bentuk buku. Kalaupun ada yang menerbitkan buku cerpen yang semua karyanya belum dimuat di media massa, format dan estetika sastranya pun tidak jauh-jauh dari sastra koran.
Dalam perlombaan-perlombaan pun, sering kita jumpai karya sastra yang menstandarkan dirinya pada estetika sastra koran. Padahal, lomba tersebut sudah memberikan kebebasan jumlah halaman, bahkan kadang termasuk jadi temanya. Karena itu, estetika sastra koran yang digawangi redaksi media massa menjadi virus tersendiri dalam jagat sastra Indonesia. Para sastrawan akhirnya memiliki ketergantungan estetika koran dan tidak mau keluar dari konvensi yang bisa jadi telah membesarkan namanya.

Selera Pasar
Ketiga, dengan maraknya penerbitan-penerbitan di tanah air, sikap kritis terhadap hakikat karya sastra itu sendiri menjadi luntur. Bagi penerbit, kapital menjadi hal yang utama karena hal tersebut berkaitan dengan bisnis. Mereka tidak mau merugi karena menerbitan karya sastra sehingga mereka harus memilih atau memiliki estetika sastra yang berpedoman pada selera pasar. Bila pasar itu mampu menghimpun kapital yang paling besar, karya sastra yang sesuai dengan estetika tersebutlah yang akan diikuti. Seperti sudah kita ketahui bahwa kapitalis tidak memiliki ideologi yang pasti. Ideologinya cuma satu: keutungan atau uang. Karena itu, penerbitan di Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam menstandarkan estetika sastra yang ada ke wilayah-wilayah yang lebih profan. Estetika pasar pun berkembang. Banyak sastrawan yang menyandarkan dirinya pada estetika itu agar karya-karyanya dapat diterbitkan dan berharap menjadi bestseller. Padahal kita tahu logika kesusastraan berbeda dengan logika pasar.
Dalam perkembangannya, maka mentalitas-mentalitas sastrawan diuji oleh sebuah magnet estetika pasar. Itu pulalah yang akhirnya membuat ketergantungan sastrawan pada kemauan penerbit. Sekali lagi, jiwa independensi sastrawan menjadi terabaikan. Mereka menulis apa yang sedang digandrungi pasar. Bisa berbasis agama, sekualitas, etnis, multikultur, sains, sejarah maupun budaya pop. Tak pelak sastra dekade ini digempur habis-habisan oleh sastra pop yang sering menyaru dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Karena itu pula, logika pasar umumnya tidak jauh-jauh dari logika budaya pop, sebuah hiburan dan kesenangan sesaat, tidak ada kegelisahan dan kontemplasi.
Ulasan di atas tentu saja merupakan kecenderungan umum yang terjadi di khazanah sastra Indonesia sampai hari ini. Adapun pengarang-pengarang yang masih memiliki militansi yang kuat umumnya menyiasati ruang-ruang yang ada, namun juga tidak bisa lepas dari estetika yang sedang dominan. Belum berani keluar dari konvensi sastra yang sudah ada. Karena itu, terasa sekali karya-karyanya kurang berkembang atau itu-itu saja. Tidak ada dinamika dalam hal estetika dan kualitasnya.
Pergulatan estetika sastrawan semestinya bisa benar-benar lepas dan luas. Tidak terbayang-bayangi atau bergantung pada estetika-estetika yang selama ini mengelayuti sastra Indonesia. Sayang, saat ini sastwawan kita lebih memilih mentalitas atau spiritualitas sebagai selebritis sastra (ingin segera dikenal) daripada mengolah spiritualitas batin estetikanya. Mereka mengganggap sastra Indonesia seolah-olah telah menemukan masa puncaknya pada estetika sastra koran, komunitas dan selera pasar. Padahal, menurut William Faulkner, sastrawan yang mudah puas, sama saja dengan bunuh diri.
*)Penyair