Rabu, 12 November 2008

Ludruk, Kemerdekaan dan Perlawanan


Surabaya Post, 21 September 2008
LUDRUK, KEMERDEKAAN DAN PERLAWANAN
Oleh : S Yoga

“Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.
Begitulah kidungan Cak Durasim, pendiri Ludruk Organizatie (LO) di zaman perjuangan, yang berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang, hingga masuk bui, disiksa tentara Jepang, dan akhirnya meninggal di penjara. Dari fenomena ini, kita tahu bahwa ludruk, sebenarnya merupakan kesenian perlawanan di masa penjajahan, baik itu di masa kolonial Belanda maupun Jepang. Kontribusi ludruk di masa perjuangan kemerdekaan tak bisa diremehkan. Ludruk efektif menghibur masyarakat yang tertekan, tertindas dan lapar, yang dikebiri hak sosial, ekonomi dan politiknya. Sehingga masyarakat ketika menyaksikan pertunjukan ludruk, sekejab bisa terbebas dari segala tekanan hidup dan merasa merdeka. Dan di dalam peristiwa ludruk, yang biasanya terbagi dalam nyanyian, tari remo, kidungan, lawakan dan lakon utama. Para pemain bisa memasukan kidungan atau dialog sambil menyampaikan kritik sosial, yang disebut pasemon, semonan. Di mana kritik tersebut harusnya tidak membuat marah penguasa yang dikritik.

Paranoid
Namun bagi penguasa yang paranoid, ketakutan tanpa sebab, ludruk dipandang membahayakan kekuasaan sehingga hal itu dianggap kegiatan yang subversif. Perlawanan budaya ludruk juga bisa dilihat dari sejarah terbentuknya. Memang ada dua versi dari mana ludruk berasal, yang satu berpendapat ludruk lahir dari Jombang dan yang kedua ludruk berasal dari Surabaya. Ada yang menyatakan pada tahun 1890, ludruk sudah ada, yang serupa badut yang ngamen, mbarang dari rumah ke rumah, dengan tarian yang kakinya menghentak-hetak (gedruk-gedruk) tanah yang kemudian disebut ludruk. Yang disertai nyanyian, dialog dan lawakan dengan cerita yang sederhana atau kisah-kisah kepahlawanan lokal, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso. Yang biasanya dipentaskan di pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.
Sebagai teater rakyat atau jalanan, baik jenis ludruk besut, lerok dan ludruk, secara nyata membuat pengisahan sendiri, yang umumnya cerita berpusat pada kebenaran istana atau penguasa. Kini rakyat diberi alternatif pengisahan lewat lakon di dalam ludruk. Pengisahan ini pun tidak mengambil kisah agung-besar, ludruk memberikan spirit perlawanan dengan kisah-kisah lokal, bahkan keseharian. Di sinilah ludruk menemukan jati dirinya sebagai teater rakyat dan agen perubahan, baik di masa kolonial maupun revolusi. Tidak seperti wayang, tari bedaya atau kethoprak yang muncul dari kalangan istana atau kaum elite, yang komunikasinya benar-benar mempertahankan tata bahasa Jawa. Ludruk memakai bahasa rakyat jelata yang cenderung kasar, egaliter, tanpa ungah-unguh. Selain dari sejarah, bahasa dan pengisahan, ludruk juga menunjukkan perlawanan budaya dengan kostum, yang umumnya memakai kaos merah putih dan ini merupakan semangat nasionalisme yang mensimbolkan bendera merah putih. Juga dengan karakter perempuan yang dimainkan oleh laki-laki, hal ini bisa diartikan ejekan pada rakyat yang tidak mau berjuang sebagai seorang banci atau perempuan.
Di zaman kemerdekaan ludruk masih memiliki fungsi kritik sosial, perlawanan, namun di era Orde Baru ludruk benar-benar dibungkam kreatifitasnya, dan dikenakan kaca mata kuda yang hanya boleh melihat dan bersuara satu arah, yakni kebijakan pemerintah versi Orde Baru. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya grup ludruk yang bergabung dengan instansi dan militer. Sebelumnya ludruk juga telah dimanfaatkan oleh partai politik pada tahun 1945-1965, di mana pada masa itu ludruk yang paling populer adalah “Ludruk Marhaen”, yang sempat main di istana negara 16 kali, milik Partai Komunis Indonesia. Saat itu kedudukan ludruk sangat vital dalam mempengaruhi rakyat. Sehingga PKI mengambil kebijakan untuk merekrut ludruk lewat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) guna menyuarakan partai, tak heran waktu itu banyak orang yang terpengaruh dan bergabung denga PKI, tanpa tahu subtansi visi dan misi yang sebenarnya. Yang akhirnya memunculkan prahara dan kudeta berdarah pada tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta.

Badut Politik
Waktu itu hampir semua partai politik memiliki grup ludruk sebagai corong partai untuk mempengaruhi dan mencari pengikut, khususnya di Jawa Timur, baik yang berbahasa Jawa maupun Madura. Ludruk menjadi primadona partai guna memenangkan pemilu. Di mana para seniman ludruk pun banyak yang akhirnya menjadi anggota partai. Dan fenomena tersebut dalam tataran politik modern saat ini, seniman atau artis menjadi primadona baru untuk mendulang suara partai atau diajukan untuk menjadi bupati, walikota dan gubernur, bahkan dari kalangan artis ada yang berani mencalonkan diri sebagai presiden. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan ternyata juga berpengaruh penting terhadap perjalanan sebuah bangsa, lewat partai politik atau independen. Namun bila tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki maka hanya akan menjadi badut politik.
Setelah era ludruk ditunggangi partai politik, di zaman Orde Baru nasib ludruk secara politis juga masih sama tragisnya, tidak merdeka dan independen. Ibaratnya keluar dari mulut ular masuk mulut harimau. Maka orientasi ludruk sebagai suara rakyat, aspirasi kaum bawah dengan kritik sosial dan mencoba mempengaruhi kebijakan pemenrintah, lagi-lagi menjadi terbungkam. Karena ludruk dikangkangi militer dan pemerintahan Orde Baru, di mana bermunculan nama-nama ludruk sesuai kesatuan militer; misal Ludruk Wijaya Kusuma yang terbagai hingga 5 unit (grup), di mana grup ludruk tersebut leburan dari Ludruk Marhaen-Surabaya, Anogara-Malang, Uril A-Malang, Tresna Enggal-Surabaya dan Kartika-Kediri. Ketika itu semua ludruk yang ada dibina oleh militer sehingga semua konsep pementasan haruslah sesuai atau mendapat ijin dari militer. Kebebasan berekspresi dan kreatifitas ludruk pun terberangus. Yang ada hanyalah satu suara-arah kebijakan yang sesuai dengan pesanan, sehingga dikenal juga sebagai ludruk pesanan, misal untuk klompecapir. Sebenarnya tidak ada salahnya ludruk menyuarakan pesan kebijakan pemerintah, namun seringkali ketika akan memberikan kritikan hal ini dilarang, yang boleh hanya pujian. Masyarakat pun akhirnya tidak memiliki kepedulian karena bahasa yang digunakan, abstrak, jauh dari kenyataan yang ada, sehingga kaku, tidak seperti aslinya dengan bahasa yang ceplas-ceplos, kasar dan familier.
Ludruk dapat menjadi kitab lupa dan gelak tawa bagi rakyat pada umumnya karena ia menyimpan tradisi dan memori hidup yang tak akan terhapus oleh sejarah apa pun, meski sejarah itu telah direkayasa. Karena ingatan pendukungnya lebih kuat lewat cerita dan humor hitam yang didedahkan. Ia menjadi saksi bagi perjalanan bangsa, ia menjadi ekspresi resistensi bagi rakyat jelata terhadap para penguasa. Karena hakikat ludruk adalah perlawanan yang menyuarakan cita-cita kaum lemah, ia simbol perjuangan mereka yang tertindas dan lahir dari kondisi sosial yang represif. Baik itu secara politis maupun ekonomi, di mana ludruk biasanya mengajarkan kearifan lokal dan ini merupakan perlawanan terhadap kapitalisme. Selain secara tradisi lisan menciptakan identitas lokal para pendukungnya. Secara politik ludruk telah menunjukkan jati dirinya sebagai bentuk subversif dari kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Sehingga bila kini banyak grup ludruk yang kehilangan orientasi perjuangan tersebut, dengan pasemon dan lawakan yang getir, pahit maka ia sedang menggali kuburnya sendiri. Karena secara perlahan rakyat pastilah akan meninggalkannya. Karena itu spirit ludruk sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa yang tiran haruslah terus dihidupkan, tentu saja dengan lawakan yang elegan,dan selalu menyerap aspirasi kaum bawah.
Namun kini nasib ludruk sama tidak menentunya dengan nasib rakyat penerima BLT, yang hidup secara subsistensi. Di mana kehidupan ludruk seakan-akan tergantung kepada belas kasihan para pendukungnya. Kadang pentas kadang nganggur, peran pemerintah untuk menghidupkan ludruk pun tidak sungguh-sungguh. Hal ini karena kebijakan pemerintah yang selalu memandang kebudayaan sebagai objek dan dagangan semata. Bukan sebagai ekspresi dan spirit rakyat yang tertekan, di mana roh kearifan lokal bisa memberikan siraman terhadap beban hidup yang mereka alami. Mungkin kalau Cak Durasim saat ini masih hidup, ia akan berkidung: “Bekupon Omahe Doro, Nasib Ludruk Soyo Sengsoro”.
***
Yoga Penyair dan Anggota Komite Sastra DK-Jatim

Selasa, 11 November 2008

Puisi di Kompas 23 Maret 2008


PELANCONG

mereka turun dari kapal di gelap malam
membawa senter, oncor dan peta masa lalu
dan gerimis senja mengantarnya pada hutan belukar
di sebuah tempat yang tak terduga
sebuah semenanjung di sebuah pulau
tempat budak-budak diternak

terdengar lolong serigala di perbukitan
tubuhnya bercahaya di antara bayangan bulan
dan hutan yang terbakar
rupanya bayang-bayang lebih gaib dari pikiran
karena ia selalu lepas dari genggaman

beri aku senapan, beri aku peluru teriakmu
ketika mendengar suara-suara binatang malam
kubisikkan kata-kata muram sebelum matanya lebih jalang
tunggu semua burung-burung pulang ke sarang
agar kau jumpai pikiran lepas dengan badai ingatan

ah kau inlander tahu apa tentang masa lalu
aku pun diam di bawah pohon besar
dekat sebuah makam purba bernisan batu
aku pun tahu sebentar akan sampai pada batas

di pantai ini hanya nasib yang mempertemukan
sebelum esok pagi kita pergi ke besuki
panarukan, panji dan asembagus
melihat pabrik-pabrik dan bising mesin
meminta kita untuk kembali ke masa-masa silam
ketika senjata menjadi panglima
dan pikiran-pikiran berputar-putar pada hasrat dunia
pejamkan matamu dan kau akan melayari semua impian
yang pernah terlupakan, sebelum tergadaikan

di pagi hari di pelabuhan jangkar sebelum gempa
kau memandang kapal-kapal yang berkabut
terdampar di pelupuk matamu yang biru
asap dan bayang-bayang masih menyelimuti
sebuah pulau, nun jauh di sana yang tak terjangkau
seolah diterjunkan dari bukit-bukit tandus
kebun-kebun tebu, sawah dan ladang hangus

dan di pabrik gula, mesin-mesin terus bekerja
memeras keringat dari madu kemurnian
dan sungai-sungai dipenuhi kegelapan
mengalir dari hulu menuju muaramu
sebelum kau layarkan ke pulau-pulau asing
tempat terjauh yang tak pernah kukenal

sebuah gudang tua milik tuan tanah
menyimpan sejarah gelap perbudakan
di ladang tebu, tembakau dan perkebunan
tubuh yang hitam berdiri memandang senja
di antara sihluet patung raksasa berambut gimbal
kau duduk di antara pohon-pohon tua
di pelabuhan kau berteriak, ini juga tanah airku
kau ambil peta dan kau bubuhi tanda
dulu aku juga dilahirkan di sini

aku tenggelam dalam kenangan
bunga harum yang kuharap telah jadi bangkai
ah kau hanya merayu untuk sesuatu yang sesat
ini bukan birahiku di antara sepi dan api
tapi hanyalah lelaki jalang yang mengembara
di antara pulau-pulau yang masih perawan
dan tanah-tanah yang minta diberkahi
aku beri tanda dan kau hanya bisa tengadah
nyalakan obor di kandang dan gubuk sebagai tawanan
hambamu hanyalah hamba yang tunduk pada takdir
kau hanya boleh memainkan kincir di batas mimpi

bau kemarau masih menyimpan tubuhmu dari seberang
di tanah ini telah kau tandai waktu dan sejarah
dengan pabrik, lori, tebu, tembakau dan kapal-kapal
agar masa lalu bisa terulang dan aku terkenang pada noni-noni
ah wajahnya putih susu dan betisnya seharum bunga leli
sedang bau keringatku seapek tembakau di gudang tua
kini kami mainkan tambur dan genderang di ladang-ladang
agar semangat kerja menjadi doa dan pahala

Situbondo, 2008
Kompas, 23 Maret 2008

LAYANG -LAYANG

layang-layang adalah masa kecil yang hilang
ia terbang ke atas dan turun menukik
dan sesekali menyambar-nyambar angin
ketika putus kau terperanggah dan menangis

lalu bangkit dan mengejar-ngejar bayangan
melintasi sawah, ladang, rumah dan menara
ke arah susuh angin yang tak kutahu di mana rimbanya
yang begitu sempurna mempermainkan sayap sihirnya

dalam pengejaran ini aku semakin tercekam
ketika memasuki senja dengan cahaya suram
yang kulihat hanya bayang-bayang gelap
yang mengejar-ngejar dan mempermaikan waktu

Ngawi, 2008
Kompas, 23 Maret 2008

ASMARALAYA

di antara pohon-pohon kamboja
dan rerontokan bunga kenanga
ilalang panjang dan nyanyian rembang

kusaksikan sebuah isyarat senja
di epitat reruntuhan makam
kekasih adalah batu yang dipahat waktu

Ngawi, 2008
Kompas, 23 Maret 2008

Puisi Kompas 14 September 08

PENYAIR LAPAR

ia lupa bila seharian belum makan
ia hanya mengunyah ribuan kata
yang tak bisa membuatnya kenyang
ia singkap makna agar memperoleh terang

agar akar rahasia kata terkuak menjadi tanda
namun makna sembunyi dalam kesunyian
ia selesaikan sebuah puisi
namun hanya deretan bangkai kata

dengan dekoratif imitasi yang menghiasi
ia tahan semua laparnya hingga larut malam
seharian tak mandi dan tak makan
sedang secangkir kopi dan rokok inspirasi

hanya bualan belaka
dan laparnya semakin menjadi
ia lihat komputer menjadi kabur
seolah berada di dalam kabut

kini ia merasa kata-kata mulai berloncatan
berakrobat ria membentuk sebuah puisi
memakai topeng kata untuk merengkuh isi
ketika tersadar dari halusinasi

laparnya semakin menggila
ia lapar rahasia perut
ia lapar rahasia kata
ia lapar rahasia hidup

hingga ia bicara tentang maut
yang hampir menjemput
pada layar komputer
yang kosong

Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008

GERIMIS

mungkin aku tak pernah
menulis puisi cinta untukmu
seperti sekuncup bunga mekar
di musim hujan
tak mengenal pagi yang cerah
namun tiba-tiba wajahmu
tertunduk memandang senja
yang hampir tenggelam
wajahmu bagai mimpi dalam kesepian
dan bukan kebahagiaan yang pernah kukenal
kusemayamkan kenangan di ruang dalam
tempat keris dan tombak tertidur
kutulis gerimis di alis matamu
yang melengkung bagai bianglala
bukan hujan kemarin yang menggugurkan bunga
namun hanya gerimis lewat
yang menanam jejak dan biji-biji mawar
yang kau cari sepanjang malam
karena ia menyimpan birahi
sepanjang hari
ini bukan puisi cinta tentunya
ketika matamu berkilat-kilat bagai clurit
ingin menebas jantungku yang berdetak
bagai tunas cahaya milikmu
yang kucari dan kupetik dari sinar bulan
seperti wajah ibu yang dulu kukenal
sebelum lenyap ditelan malam
mungkin ia jadi ular
atau perigi tempatku mandi
pagi ini kupetik rasa takut
agar kecemasan umur
tak membuatmu surut
dan membuat kita hanyut
ini hanya jalan kecil
sebelum menuju rumah

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

RINDU

ia putih seperti butiran salju
tapi bukan kapas yang mudah diterbangkan angin
ia tahu dirinya tipis bagaikan kertas
tapi bukan tempat mencatat jejak, kisah dan sejarah

ia hanya menampung luka yang tak pernah sembuh
ia lebih lapar dari ular yang sedang puasa
ia ingin menjadi sepiring daging
agar semua bisa merasakan nyeri

ia lebih mirip darah yang memiliki urat nadi
yang melintasi lorong kegelapan di dalam tubuh
ia pun selalu merindukan sebuah danau
di tengah hutan yang setiap saat bisa ia temui

di mana semua rupa menjadi semu di dalam air
ia ingin menjadi cermin bagi semesta burung-burung
karena ia tahu hanya bayangan yang menipu kenyataan
ia ikhlas akan rasa sakit yang selalu datang setiap saat

ia bukan sosok yang bisa dikenali
ia hanya ingin menjadi api selamanya
agar tabah ia menahan dingin dan sepi
agar tak terasa sakit bila terbakar nanti

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008

LUDRUK

ia rias wajahnya agar lebih cantik
ia menjadi sang putri malam ini
bukan sebagai lelaki yang biasa ia lakoni
yang datang dari rasa birahi

di panggung penonton masih sepi
ia ingat bedak terakhir yang tersimpan di laci
agar wajahnya tambah putih bunga leli
menyempurnakan penyamaran hari ini

atas riwayat hidup yang ingin dilupakan
dulu ia pernah menjadi tokoh yang gagal
kini ingin berganti peran dan nasib
agar semua rahasia bisa tersingkap

agar kenangan masa lalu bisa terkubur
dan bayangan sunyi sehabis subuh bisa berganti
ia mondar-mandir di tengah panggung
seperti hendak menanti eksekusi

ia berkidung agar semangat tidak luntur
sementara penabuh gamelan masih tertidur
tukang parkir sudah seminggu libur
ia ke tengah tobong menghitung kursi kosong

ia memandang panggung dan menyaksikan
permainan yang sesungguhnya sedang dimulai
ia lihat bayang-bayang dirinya di jendela kamar
bergincu tebal sambil melambaikan tangan

tanjung perak mas
kapale kobong
monggo mampir mas
kamare kosong

Surabaya, 2008
Kompas, 14 September 2008

KOLAM

di kolam ini
tak kutemukan apa-apa
kecuali suara angin berbisik
airnya dingin seperti tubuhmu

dedaunan rontok di atas air
berayun-ayun ingin kembali ke pinggir

kau nampak hilir mudik
dengan wajah pucat
disaksikan remang bulan di malam hari

kadang-kadang kau terpekur di tepi kolam
sambil memandang kedalaman wajahmu

yang samar terbayang
dihanyutkan gelombang

Ngawi, 2008
Kompas, 14 September 2008